cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016" : 7 Documents clear
Berdisco Sebagai Bentuk Pengalaman Proses Penggarapan Karya Tari I Nyoman Galih Adi Negara
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (340.084 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1589

Abstract

Berdisco merupakan judul dari karya tari ini. Disco berarti sebuah kegiatan berdansa di lantai dansa secara bersama-sama, berikan awalan ber- yang merujuk pada proses disco tersebut. Berdisco memiliki makna melakukan disco baik dalam tari, musik, dan busana, namun dalam karya ini merujuk pada proses bagaimna disco itu menjadi sebuah jati untuk berkarya. Karya ini menekankan pada proses pencarian dan menetapkan pilihan hingga berjuang untuk pilihan tersebut. Dahulu disco dianggap sangat tidak pantas untuk ditampilkan di publik karena dianggap merusak generasi. Bentuk tari, musik, dan busana yang digunakan oleh seniman disco dianggap tidak senonoh dan diluar dari aturan yang berlaku pada saat itu. Disco sangat kelam pada saat itu, apapun yang berbau disco dihancurkan hingga tidak tersisa. Disco dianggap membawa perubahan yang buruk bagi masyarakat pada saat itu.Karya ini memiliki alur dramatik yang hampir mirip dengan situasi disco pada saat itu. Situasi tersebut dikaitkan dengan apa yang terjadi pada proses penggarapan karya tari ini. Proses yang sangat tidak mudah, karena disco dianggap kurang “keren”. Padahal hingga saat ini disco masih setia diperdengarkan, ditayangkan, dan diaransemen ulang agar lebih menarik.Karya tari Berdisco disajikan dengan menampilkan dua belas orang penari putra dan putri. Musik iringan yang digunakan pada karya ini adalah rekaman bentuk WAV dari midi. Busana yang berkilau, menghadirkan disco ball, dan aksesoris yang dikenakan penari dimaksudkan dapat mewakili disco. Berdisco is the title of this masterpiece. Disco means a dance activities on the dance floor together each other, added “ber-“ refer to disco proses. Berdisco meaning do disco in dance, music, or fashion style, but in this work refers to the proses of how disco became a identity. This masterpiece emphasize on proses to find a choice and struggle for that choice. Before disco considered inappropriate to show on public because it can damaging generations. Dance form, music, and fashion style was used by disco artist are considered not profanity and out of applicable rule in that era. Disco has a dark time, they destroyed anything about disco until no remaining. Disco considered to bring a bad change for society at that time.This masterpiece has a dramatic flow is almost similar to situation at era. That situation related to what happens in the proses of this masterpiece. Perform productions proses is never easy, because disco concendered is not cool. Whereas until now they still played, dance, and listen disco. Berdisco displaying twelve male and female dancers. Musical accompaniment used are recording from midi. Blink costume design, displaying disco balls, and many disco setting, lighting they wearing.
Taru Tari Tara I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (456.666 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1593

Abstract

“Taru Tari Tara” adalah judul dari karya tari yang   menunjuk pada konsep dasar yang diwujudkan ke dalam sebuah koreografi kelompok. Taru dalam bahasa Bali memiliki arti kayu, kemudian Tari berarti tari atau apabila dilihat dari substansi dasarnya adalah gerak atau perilaku, selanjutnya Tara yang berasal dari kata ketara dalam bahasa Bali berarti terlihat. “Taru Tari Tara” berarti bagaimana gerak dan perilaku (Tari) yang terlihat (Tara) dalam mengolah sebuah kayu (Taru). Ide karya tari ini muncul dari ketertarikan penata terhadap gerak dan perilaku seorang maestro seniman pembuat topeng di Bali bernama I Wayan Tangguh, yang merupakan kakek penata sendiri.Karya tari ini secara struktural dibagi ke dalam lima adegan (introduksi, adegan satu, dua, tiga, ending) dengan lebih berfokus pada aktivitas I Wayan Tangguh sebagai seorang petani, pembuat topeng, dan pemangku. Gagasan tersebut muncul berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara visual kemudian berkembang menjadi sebuah ide. Hasil dari pengamatan yang dilakukan terhadap proses pembuatan topeng dijadikan sebagai bahan acuan untuk melangkah pada tahap ekpslorasi, meliputi pencarian gerak, pembuatan properti, setting, kostum tari, dan musik tari.Karya tari yang disajikan dalam bentuk koreografi kelompok ini melibatkan enam orang penari laki-laki, menggunakan properti tari berupa topeng Bali, dan dipentaskan di proscenium stage. Gerak tari yang digunakan berdasar pada hasil eksplorasi gerak membuat topeng seperti menyerut kayu, memukul kayu, memegang topeng, dan menjepit topeng menggunakan kaki, serta divariasikembangkan dengan sikap serta motif gerak tari tradisi Bali seperti agem, malpal, ngaed, dan nayog. "Taru Tari Tara" is the title of a created dance piece. The title is pointing to the basic concepts that are embodied into a choreography group. Taru in Balinese language means wood, then Tari or dance means when seen from the substance or behavior is essentially the motion, then Tara is derived from the word in the language of Bali means striking looks. “Taru Tari Tara” means how movement and behavior (Tari) are visible (Tara) in processing a timber (Taru). The idea of this dance work arises from interest from the choreographer against the motion and behavior of a master artist mask maker in Bali named I Wayan Tangguh, choreographer's own grandfather.This dance piece is structurally divided into five scenes (introduction, scene one, two, three, ending) with a focus on the activities of I Wayan Tangguh as a farmer, mask makers, and stakeholders. The idea arose based on observations made visually and then developed into an idea. The results of observations made on the process of making a mask used as a reference material for stepping on stage ekploration, includes motion search, the manufacture of the property, setting, costume dance, and dance music.Dance works presented in the form of the group choreography involving six male dancers, using the property Balinese dance masks, and staged in a proscenium stage. Dance movement that is used, based on the results of exploration motion that makes the masks like shaving wood, hitting the wood work, holding the mask, and clamping the mask using the feet, as well as attitudes and motives varied and develop with traditional Balinese dance like agem, malpal, ngaed, and nayog.  
Kicak Shrogol Aprilia Wedaringtyas
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.761 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1588

Abstract

Kicak Shrogol diambil dari gabungan suku kata nama motif yang dikembangkan yaitu kirig, cakilan, shrokal, dan megol. Motif gerak yang menjadi dasar karya tari ini adalah motif gerak kirig, cakilan, shrokal, dan megol. Karya tari Kicak Shrogol merupakan jenis koreografi kelompok dengan menggunakan dua puluh lima penari. Tidak ada makna khusus dalam jumlah penari Kicak Shrogol, koreografer hanya ingin mencoba dan membuat pola lantai yang bervariasi dengan menggunakan dua puluh lima penari. Selain itu, pembawaan yang lebih maskulin maupun feminin juga ditekankan. Tipe karya tari Kicak Shrogol adalah studi motif gerak kirig, cakilan, megol,dan shrokal. Pencarian pengembangan atau kemungkinan-kemungkinan dalammengembangkan esensi motif gerak tersebut, misalnya esensi gerak kirig pada bahu di pindah ke pantat dan dada, maka akan menghasilkan gerak yang baru. Formasi karya tari Kicak Shrogol menggunakan titik kuat dan titik lemah pada proscenium stage. Kicak Shrogol name taken from dance movement namely kirig, cakilan , shrokal , and megol. Those movements had been the basic movement for this coreography. This dance performed by group with twenty five dancers .There is no special meaning in the number of Kicak Shrogol dancers , choreographer just wanted to try and made a dance floor pattern varies with twenty five dancers . In addition , masculine and feminine character were emphasized. Kicak Shrogol had a study dance type from kirig,cakilan , megol , and shrokal movements. Choreographer search how the possibility and develop of the essence movement, for example the essence of kirig was on the shoulder than thrive to bottom and cest, so it create a new movement. Choreographer used strong and weak proscenium stage point for the dance floor pattern.
Kasetyan Endang Setyaningsih
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (403.753 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1594

Abstract

Karya Tari Berjudul Kasetyan adalah komposisi tari puteri yang berbentuk srimpen, yakni refleksi kesetiaan atau sikap tidak ingkar janji Dewi Drupadi yang diambil dari cerita Mahabarata. Drupadi sebagai putri dari kerajaan Pancala yang dilahirkan dari api pemujaan yang kemudian menjadi istri Raja Yudhistira. Karya ini berangkat dari rangsang idesional dan gagasan yang kemudian memilih temakesetiaan Drupadi dengan tipe tari Dramatik. Mode penyajian adalah simbolisrepresentasional dengan menggunakan empat penari puteri. Ide penciptaan karya merupakan hasil eksplorasi dan analisis dari pola-pola gerak tari tradisi puteri yaitu tari Srimpi. Pengembangan geraknya mengacu pada motif gerak tari tradisi puteri gaya Surakarta, seperti gerak lenggut, manglung, lumaksana lara maju mundur, ogek lambung, sembahan laras, sekar suwun dan berbagai motif gerak bahkan sendi. Aspek koreografi lain yang mendukung penciptaan karya ini adalah penataan setting panggung yang menggunakan trap di area up center sebagai dimensi ruang yang berbeda untuk mendukung perjalanan tiap adegan. A Dance titled Kasetyan is a composition of a female dance which have a form of srimpen, this dance is a reflection of a loyalty or Goddess Draupadi’s attitude that doesn’t break a promise which taken from the Mahabharata. Draupadi as the daughter of Panchala born from veneration fire which later became the wife of King Yudhishthira. This artwork departs from the idea that excitatory idesional and then choose the theme of Draupadi’s loyalty with the Dramatic type dance. The presentation mode is symbolic-representational using four female dancers. The idea from the creation of thisartwork is the result of exploration and analysis from the patterns of traditional female dance called Srimpi. Development of the choreography refers to the motion motive of femaletraditional dance from Surakarta style, such as lenggut motion, manglung,lumaksana laras maju mundur, ogek lambung, sembahan laras, sekar suwun and various motifs motion even the joints. Another aspect of choreography that supports the creation of this artwork is the arrangement of stage setting that uses trap in up center area as another dimension to support the plot of each scene.
Proses Ritual Sêblang Olehsari Ammy Aulia Renata Anny
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (290.726 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1590

Abstract

Sêblang Olehsari adalah ritual adat yang ada di desa Olehsari, Banyuwangi Jawa Timur. Secara etimologi kata Sêblang berasal dari bahasa Osing yang merupakan akronim dari kata sêbêlé ilang yang artinya membuang sial. Ritual Sêblang Olehsari diselenggarakan setelah hari raya Idul Fitri dan dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut. Pada hari ketujuh dilakukan prosesi Idêr Bumi (berjalan mengelilingi desa Olehsari) dan keesokan harinya diadakan upacara Ngêlungsur atau siraman. Bagian terpenting dalam ritual ini adalah ketika penari yang terpilih berdasarkan garis keturunan, mampu menari selama tiga jam dalam kondisi kesurupan. Tertarik dengan melihat perubahan moral dan kognitif subjek, maka penelitian ini difokuskan untuk mengamati proses ritual yang dialami subjek ritual. Berdasarkan pada teori proses ritual Victor Turner yakni separasi, liminalitas, reagregasi, dan dalam ritual Sêblang Olehsari ini subjek juga mengalami tahap transformasi. Diharapkan hasil penelitian yang dikaji dengan perspektif Etnokoreologi ini, memberikan kontribusi pengetahuan yang lebih luas tentang ritual Sêblang Olehsari. Sêblang Olehsari was customary ritual that existed in Olehsari village, Banyuwangi East Java. Etimologycally, Sêblang derived from Osing languages, acronyim from ‘sêbêlé ilang’ which mean unfortunate throw way. Sêblang Olehsari ritual held after the day of Eid Fitri during seven consecutive days. On the seventh days be a procession Idêr Bumi (walk around in the Olehsari village) and the next day held Ngêlungsur or steady ceremonial. The most important part in this ritual was when the dancer who elected based on line descent, and able to dancing during three hours in trance condition. Interest with moral and cognitive changes from subject, so this research focused to observe ritual process that subjects experienced. Based on ritual process theories of Victor Turner even separation, liminality, reagregation, and in this Sêblang rituals subject also suffered transformation phases. Expected the results of research which is examined by ethnocoreological perspective, can contribute knowledge that was more widespread about Sêblang Olehsari ritual.
Sarosacitta Adi Putra Cahya Nugraha
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (327.699 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1591

Abstract

Sarosacitta adalah judul karya tari yang diciptakan. Sarosacitta merupakan bahasa Jawa Kuno yang berarti berjuang penuh semangat. Judul tersebut dipilih untuk merujuk pada konsep utama karya yaitu semangat juang rakyat pada masa perang 10 November 1945.Dalam tari Rema, gerak utama sebagai pijakan untuk dikembangkan adalah teknik sadhukan sampur dan beberapa motif lainnya seperti: dolanan sampur, tropongan, bumi langit, dan ngundang bala. Fungsi sampur dalam tari Rema adalah sebagai senjata. Teknik tersebut dikembangkan dan dikemas menjadi sebuah pertunjukan tari secara utuh dengan mengusung kronologi perang 10 November 1945, sebagai landasan cerita yang membentuk tema, alur dan unsur dramatik karya.Karya tari Sarosacitta divisualisasikan dalam bentuk tari kelompok, didukung oleh delapan penari putra, dan dipentaskan di proscenium stage. Sarosacitta is the title of a dance piece created. Sarosacitta an ancient Javanese language, which means fighting vigorously. The title was chosen to refer to the main concept of the work is the fighting spirit of the people in times of war 10 November1945.In the Rema dance, the main motion as a foothold to be developed is a technique sadhukan sampur and some other motifs such as: dolanan sampur, tropongan, bumi langit, and ngundang bala. Sampur function in Rema dance is as a weapon. The technique has been developed and packaged into a dance performance as a whole and brought the chronology of the war 10 November 1945, as the basis for stories that make up the theme, plot and dramatic elements of thework.Sarosacitta dance piece visualized in the form of dance groups, backed by eight dancers son, and staged in a proscenium stage. 
Rerahsa Tri Anggoro
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (122.705 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1592

Abstract

Rerahsa merupakan sebuah karya tari kelompok yang ditarikan tujuh orang penari putra. Tari ini merupakan penuangan ide serta kreativitas dari rangsang kinestetik dan rangsang gagasan yaitu pengalaman empiris penata yang pernah berproses dengan tuna daksa sehingga menginspirasi penata untuk mengangkat tokoh pewayangan yaitu Gareng dengan dasar gerak yaitu gerak tidak wajar (cacat) dalam dasar tari tradisi Jawa gaya Yogyakarta. Fokus karya ini lebih kepada esensigerak cacat dan lebih memainkan ekspresi. Alasan penata mengambil tokoh Gareng karena Gareng ini merupakan salah satu simbol contoh kepemimpinan yang dapat memberikan contoh baik kepada generasi penerus saat ini, karena cacat fisik bukanlah hal yang memalukan, justru dapat memotivasi hidup untuk menjadi lebih baik. Menurut penata, dari masa ke masa seorang pemimpin sudah tidak lagi memiliki watak/sifat seperti tokoh Gareng, sehingga menjadi salah satu motivasi penata untuk menggarap karya Rerahsa ini.Pada karya ini terdiri dari 3 adegan. Pada introduksi penata membicarakan Gareng sebagai abdi/pamong. Pada adegan 1 lebih fokus kepada studi gerak gareng dengan berbagai karakter, sedangkan adegan 2 membicarakan 3 poin, yaitu Gareng yang lupa akan titahnya sebagai pamong, membicarakan ketika Gareng menjadi Raja, dan imajinasi Gareng terhadap wanita pujaannya yaitu Dewi Saradewati. Pada adegan 3, penata membicarakan sosok Gareng yang kembali ke perenungan dan berintrospeksi diri.Diharapkan dengan adanya karya cipta tari ini, masyarakat dan penonton dapat mengerti dan memahami bahwa janganlah memandang orang sebelah mata, jangan melihat dari segi fisik, namun lihatlah orang dari hatinya, sebagaimana yang digambarkan oleh sosok Gareng ini.  Rerahsa is a group dance work which danced by seven male dancer. This dance is the way of pouring ideas and creativity from kinesthetic stimuli and notion stimuli, namely the idea of empirical experience by the stylist who ever proceed with the disabled so as to inspire the stylist to lift the puppet characters named Gareng, as the basic of the unnatural motion (defects) in basic Javanese traditional dance, Yogyakarta’s style. The focus of this work is the essence of defects motion and plays more expressions. The stylist takes Gareng as one of the leadership symbols that can provide a good example to the next generation nowadays, to show that a physical disability is not a shameful thing; it can motivates our life to be better. According to the stylist, a leader nowadays has no longer Gareng characteristics, thus becoming one of the stylist motivations to work on this Rerahsa work.This work consists of three scenes. In the introduction, the stylist indicates Gareng as servants / officials. Scene one is focusing on the study of Gareng’s motion with various characters, while the second scene is talking about three points. The first one is when Gareng who forgot his position as officials, the second one is when Gareng became a king, and the last one is about Gareng imagination against his female idol, goddess Saradewati. In the third scene, the stylist discusses Gareng who returns to self-reflection and introspection.Hopefully by this dance artworks, the public and the audience can see and understand to do not judge the book from the cover, do not judge someone by the physical looking, but look at their heart, as is illustrated by the figure of Gareng. 

Page 1 of 1 | Total Record : 7