cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 137 Documents
Fungsi Tari Nyambai Pada Upacara Perkawinan Adat Nayuh Pada Masyarakat Saibatin Di Pesisir Barat Lampung Cintia Restia Ningrum
Joged Vol 8, No 2 (2017): OKTOBER 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (888.714 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i2.1887

Abstract

Tari Nyambai adalah tari kelompok berpasangan yang dilakukan oleh gadis (muli) dan bujang (mekhanai) sebagai ajang pertemuan atau ajang silahturahmi untuk mencari jodoh. Sebagai tarian adat pada masyarakat saibatin (pesisir), kehadirannya menjadi bagian dari rangkaian upacara perkawinan yang disebut dengan upacara Nayuh/Penayuhan. Upacara Nayuh/Penayuhan adalah upacara perkawinan adat besar-besaran yang diadakan oleh masyarakat Lampung yang beradat Saibatin/pesisir. Metode analisisis bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan teori fungsi dan teori sosio-budaya. Ada tiga kategori fungsi dalam kebudayaan yakni, 1). Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan dan prokreasi, 2) Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan pendidikan, dan 3). Kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian. Dalam sosiologi budaya ada tiga komponen pokok, yaitu 1). Institution atau lembaga budaya yang menanyakan: siapa yang mengontrol, dan bagaimana kontrol itu dilakukan, 2) Isi budaya menanyakan produk atau simbol apa yang dihasilkan, dan 3). Efek budaya menanyakan apa yang diusahakan. Tari Nyambai dan upacara Nayuh pada masyarakat Saibatin di Pesisir Barat Lampung mencerminkan adanya keharmoinisan komunikasi masyarakat dan bentuk peneguhan upacara pernikahan sebagai kebijakan adat yang harus dipatuhi seluruh warga pesisir Barat, Lampung sebagai basis sosialnya.  Nyambai is a pair group dance composition mekhanai (unmarried) and muli (virgin) as a site of get along or hospitality and seeking true love. As traditional dance in society of saibatin ( coastal area), the presence as the part of chain of wedding ritual of coastal society that is called asNayuh/Penayuhan ceremony. Nayuh/Penayuhan ceremony is an enormous wedding ritual which is hold by Lampung society which has saibatin/coastal tradition. The analysis method is analysis descriptive with function and sosio-culture theoris as approachment. There are there levels of function on culture, they are: 1) Culture must fulfill the need of biologist, as the needs of eating and procreation, 2) Culture must fulfill the need of instrumental, as the needs of law and education, and 3) Culture must fulfill the need of integrative, such as religion and art. Within culture sosiology there are there main components, they are 1) institutution or culture institution that questioning: who is controller, and how the control is done ( culture institution), 2) Culture contain, is product or symbol that will be produced ( Nyambai dance ), and 3) Culture Effect, is what is worked for. Elaboration between fungtion and sosio-cultural that reflect or harmony of societal communication and the form of Wedding ritual as the policy of culture that must be obeyed to all coastal society of west Lampung as basic social.
Nyerok Nanggok Ayudha Luthfiyanti
Joged Vol 8, No 1 (2017): APRIL 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (410.502 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i1.1669

Abstract

Koreografi Nyerok Nanggok merupakan bentuk pengulangan dari ekspresi masyarakat Desa Kemiri (sebuah desa yang masih termasuk dalam kawasan wilayah Kabupaten Belitung) pada saat menangkap ikan di musim kemarau panjang dengan menggunakan properti. Koreografi ini kemudian disusun dalam bentuk komposisi kelompok besar (Large Group Compotition) dan termasuk ke dalam tipe tari studi dramatik. Tema karya tari ini ialah tentang rasa kebersamaan, semangat, dan gotong-royong warga desa pada saat menangkap ikan. Untuk memperkuat adegan-adegan yang ditampilkan maka terdapat properti yang digunakan dan memang ada hubungannya dengan karya, properti tersebut dibagi menjadi 3, yaitu tanggok, dulang, dan tudung saji. Karya tari “Nyerok Nanggok” ini mempunyai 5 bagian, bagian introduksi merupakan rangkuman dari semua adegan, pada bagian ini semua properti ditampilkan di atas panggung. Adegan 1 merupakan bagian musim kemarau panjang, dilanjut dengan bagian 2 yang mengekspresikan masyarakat desa Kemiri pada saat mengadakan ritual dan do’a bersama sebelum masuk ke dalam sungai atau rawa. Pada bagian 3 menggambarkan seekor ikan yang dilakukan oleh salah satu penari yang sedang diburu oleh beberapa penangkap ikan dengan menggunakan “tanggok”. Bagian ending dari karya ini ialah tentang rasa kegembiraan dan rasa syukur terhadap permohonan yang telah dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.Proses penggarapan koreografi ini dicapai melalui beberapa tahapan seperti menyampaikan topik kepada para penari sekaligus sebagai rangsangan yang berlanjut pada proses kreatif pencarian gerak seperti eksplorasi dan improvisasi. Penata juga merangsang para penari melalui properti serta musik untuk memicu daya imajinasi dan kreativitas para penari. Perwujudan musik yang digunakan sebagai pengiring dari koreografi ini ialah musik etnik (musik tradisional) yang membantu mengkespresikan suasana serta membuat dramatik dalam karya tari ini.
Isun Hang Gandrung Elan Fitra Dianto
Joged Vol 7, No 2 (2016): NOPEMBER 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (284.445 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i2.1596

Abstract

Isun Hang Gandrung adalah judul karya tari yang diciptakan. Judul ini sekaligus menjadi konsep dasar yang diwujudkan dalam sebuah koreografi kelompok. Isun dalam bahasa Osing artinya Saya, kemudian Hang berarti yang, dan Gandrung berarti disanjung, dicintai, atau digandrungi. “Isun Hang Gandrung“ berarti saya yang digandrungi. Ide tersebut muncul dari ketertarikan terhadap kesenian Gandrung yang dulunya dilakukan oleh laki-laki sehingga disebut Gandrung Lanang.            Gandrung merupakan sebuah kesenian yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam sejarahnya Gandrung dulunya dilakukan oleh seorang laki-laki, namun sekarang berganti menjadi perempuan. Segala bentuk sumber telah dicari melalui buku, wawancara, dan juga melalui video. Hal tersebut sangat membantu dalam proses penciptaan dan penjajakan gerak serta komposisinya.            Karya tari Isun Hang Gandrung disajikan dalam sebuah koreografi kelompok dengan melibatkan delapan penari laki-laki dan satu penari perempuan, dengan menggunakan properti kipas dan dipentaskan di proscenium stage. Gerak yang digunakan bersumber dari gerak tari Gandrung Banyuwangi yang dikomposisikan dengan memperhatikan aspek ruang, waktu, dan tenaga. Isun Hang Gandrung is the title of a dance piece created. The title also became a basic concept that is embodied in a choreography group. Isun in Osing language means „I‟, Hang means „that‟, and Gandrung means praised or loved. “Isun Hang Gandrung“mean that I am loved. The idea came from the interest of the arts Gandrung that formerly done by men so-called Gandrung Lanang.            Gandrung is an art from Banyuwangi, East Java. Historically, Gandrung formerly done by a man, but now turned into woman. All forms of resources have been sought through books, interviews, and also via video. It was very helpful in the process of creation and exploration of movement and composition.            Isun Hang Gandrung dance piece presented in a choreography group involved eight male dancers and one female dancer, the property of the fan was used and staged in a proscenium stage. The motion was obtained from Gandrung Banyuwangi dance composed with attention to aspects of space, time, and energy. 
Cinte Yin Galema Renny Destiani
Joged Vol 8, No 1 (2017): APRIL 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.02 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i1.1674

Abstract

Karya tari yang berjudul Cinte Yin Galema diambil dari nama seorang tokoh yang sangat berpengaruh di kerajaan Balok pulau Belitung dan merupakan seorang putri keturunan Tiongkok berparas cantik dan berjiwa kesatria. Yin Galema menceritakan sosok putri Cina yang akrab dengan kebudayaan Melayu seperti cara berpakaian dan bersikap sopan santun di dalam kerajaan Melayu Belitung. Seorang putri ini memilik hasrat dan keinginan yang luar biasa untuk menjaga janji suci pernikahannya dengan suami yang bukan berasal dari golongan manusia, suami yang dimiliki oleh Yin Galema merupakan makhluk bunian yang berarti makhluk keturunan bangsa jin yang memiliki kekuasaan di Pulau Belitung. Karya ini memunculkan sosok laki-laki bunian, dalam hal ini penata menyimbolkan sesuatu yang berbeda alam dengan memunculkan sosok bunian di bagian belakang panggung seperti hanya bayangan sesosok laki-laki yang tidak terlihat.Kehidupan cinta Yin Galema yang sangat indah walaupun berbeda alam namun bisa saling menyentuh berkat pertolongan Raja pertama kerajaan Balok, dengan kekuatan supranatural yang digunakannya dalam bentuk sebuah gelang sakti dan dapat membuat Yin Galema masuk ke dalam dunia makhluk bunian, kehidupan cinta Yin Galema dibangun dengan sangat sempurna, tanpa ada satu orangpun yang mengetahuinya kecuali Raja pertama kerajaan Balok. Yin Galema yang dikenal dengan paras cantiknya membuat semua lelaki yang ada di kerajaan Balok jatuh cinta dan tergila-gila dengan wajah indahnya termasuk lelaki yang menjadi pewaris tahta kerajaan Balok yaitu pangeran Ki Agus Mending atau biasa disebut dengan julukan K.A Mending. Besarnya keinginan pangeran K.A Mending untuk memiliki Yin Galema yang membuatnya mendapatkan tubuh Yin Galema. Hal ini memunculkan terjadinya suatu pengkhianatan yang diketahui oleh makhluk bunian, sehingga menjadikan hubungan percintaan Yin Galema menjadi suram dan menakutkan akibat dari sebuah kutukan bunian.Karya tari ini digarap dengan tipe tari dramatik dan tipe tari studi, dengan adanya alur yang dibuat saling berhubungan atau saling terkait. Penata mengembangkan studi gerak pada tari campak (salah satu kesenian tradisional masyarakat kerajaan Balok) dengan mengambil motif becampak (gerakan mengayun kedua kaki dan tangan secara bergantian). Karya ini memunculkan sosok laki-laki yang menjadi Bunian, dalam hal ini penata menyimbolkan sesuatu yang berbeda alam dengan memunculkan sosok bunian di bagian belakang panggung seperti hanya bayangan saja dan penari perempuan maupun laki-laki lainnya melakukan gerak dengan mengexplor ke tiga karakter tersebut.
Transformasi Teks Sejarah Pertempuran Kotabaru ke dalam Teks Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru Susi Setyaningsih
Joged Vol 7, No 2 (2016): NOPEMBER 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (268.867 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i2.1601

Abstract

Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru merupakan karya tari yang menggunakan sumber materi dramatik fakta sejarah pertempuran 7 Oktober 1945 di Kotabaru, Yogyakarta. Dilihat dari motif geraknya tarian ini menggunakan pola-pola gerak dalam tari putri gaya Yogyakarta. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana fakta sejarah pertempuran Kotabaru ditransformasikan ke dalam sebuah karya tari, yaitu Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru.            Identifikasi teks sejarah pertempuran Kotabaru dan teks Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru akan disandingkan dan dikaji untuk diketahui aspek apa saja yang bertransformasi. Dengan menggunakan teori interteks peneliti akan mengungkap permasalahan dan memberikan penjelasan tentang unsur-unsur intrinsik yang meliputi masalah pokok dan tema, setting/latar, alur, penokohan, dan nilai-nilai untuk melihat proses transformasinya. Unsur-unsur intrinsik pada teks bedhaya di Keraton Yogyakarta, teks sejarah pertempuran Kotabaru, serta teks Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru dianalisis untuk diketahui model-model transformasinya.            Hasil analisis kedua teks yang disandingkan membuktikan adanya unsur-unsur yang sama dan ditafsir sebagai unsur-unsur yang bertransformasi dari teks sejarah pertempuran Kotabaru ke dalam teks Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru. Kelima unsur yang bertransformasi dari teks sejarah pertempuran Kotabaru ke dalam teks Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru merupakan bukti adanya resepsi yang baik oleh penata tari dalam menyusun Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru. Transformasi yang ditemukan dalam penelitian ini yakni transformasi yang bersifat meneruskan/melanjutkan hipogramnya dan transformasi yang bersifat mematahkan hipogramnya. Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru is a dance piece that uses a material source of dramatic historical facts October 7, 1945 battle in Kotabaru , Yogyakarta. Viewed from this dance motif motion patterns of movement in dance style princess Yogyakarta. The problems to be examined in this study is how the battle Kotabaru historical fact transformed into a dance work , namely Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru .             Identification of historical text battle on Kotabaru and Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru text will paired and will studied to know what aspects are transformed. By using the theory of intertextual researchers will unravel the problems and provide an explanation of the intrinsic elements covering subject matter and themes , setting/background , plot, characterization , and values to see its transformation process. The intrinsic elements become a one which analogized and become the study material so produce a answer of the research, that are main transformation problem and theme, setting, plot, characteritation, and the value in Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru. The intrinsic elements of the text bedhaya at Keraton Yogyakarta , Kotabaru battle history text , and text Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru analyzed for known models of transformation.             The result of analysis of both of texts which paired prove there’re same elements and interpreted as elements which do transformation from historical text battle Kotabaru in to Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru text. The five elements which do transformation from historical text battle Kotabaru in to Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru text is a proof of good reception by choreographer in compose Beksan Bedhaya Ngadilaga Kotabaru. The transformation that was found in this research that are transformation forward/continue the hipogram and transformation that are break the hipogram.
Rerahsa Tri Anggoro
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (122.705 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1592

Abstract

Rerahsa merupakan sebuah karya tari kelompok yang ditarikan tujuh orang penari putra. Tari ini merupakan penuangan ide serta kreativitas dari rangsang kinestetik dan rangsang gagasan yaitu pengalaman empiris penata yang pernah berproses dengan tuna daksa sehingga menginspirasi penata untuk mengangkat tokoh pewayangan yaitu Gareng dengan dasar gerak yaitu gerak tidak wajar (cacat) dalam dasar tari tradisi Jawa gaya Yogyakarta. Fokus karya ini lebih kepada esensigerak cacat dan lebih memainkan ekspresi. Alasan penata mengambil tokoh Gareng karena Gareng ini merupakan salah satu simbol contoh kepemimpinan yang dapat memberikan contoh baik kepada generasi penerus saat ini, karena cacat fisik bukanlah hal yang memalukan, justru dapat memotivasi hidup untuk menjadi lebih baik. Menurut penata, dari masa ke masa seorang pemimpin sudah tidak lagi memiliki watak/sifat seperti tokoh Gareng, sehingga menjadi salah satu motivasi penata untuk menggarap karya Rerahsa ini.Pada karya ini terdiri dari 3 adegan. Pada introduksi penata membicarakan Gareng sebagai abdi/pamong. Pada adegan 1 lebih fokus kepada studi gerak gareng dengan berbagai karakter, sedangkan adegan 2 membicarakan 3 poin, yaitu Gareng yang lupa akan titahnya sebagai pamong, membicarakan ketika Gareng menjadi Raja, dan imajinasi Gareng terhadap wanita pujaannya yaitu Dewi Saradewati. Pada adegan 3, penata membicarakan sosok Gareng yang kembali ke perenungan dan berintrospeksi diri.Diharapkan dengan adanya karya cipta tari ini, masyarakat dan penonton dapat mengerti dan memahami bahwa janganlah memandang orang sebelah mata, jangan melihat dari segi fisik, namun lihatlah orang dari hatinya, sebagaimana yang digambarkan oleh sosok Gareng ini.  Rerahsa is a group dance work which danced by seven male dancer. This dance is the way of pouring ideas and creativity from kinesthetic stimuli and notion stimuli, namely the idea of empirical experience by the stylist who ever proceed with the disabled so as to inspire the stylist to lift the puppet characters named Gareng, as the basic of the unnatural motion (defects) in basic Javanese traditional dance, Yogyakarta’s style. The focus of this work is the essence of defects motion and plays more expressions. The stylist takes Gareng as one of the leadership symbols that can provide a good example to the next generation nowadays, to show that a physical disability is not a shameful thing; it can motivates our life to be better. According to the stylist, a leader nowadays has no longer Gareng characteristics, thus becoming one of the stylist motivations to work on this Rerahsa work.This work consists of three scenes. In the introduction, the stylist indicates Gareng as servants / officials. Scene one is focusing on the study of Gareng’s motion with various characters, while the second scene is talking about three points. The first one is when Gareng who forgot his position as officials, the second one is when Gareng became a king, and the last one is about Gareng imagination against his female idol, goddess Saradewati. In the third scene, the stylist discusses Gareng who returns to self-reflection and introspection.Hopefully by this dance artworks, the public and the audience can see and understand to do not judge the book from the cover, do not judge someone by the physical looking, but look at their heart, as is illustrated by the figure of Gareng. 
Transformasi Upacara Belian Ke Dalam Tari Gitang Paser Jumiati Jumiati
Joged Vol 8, No 2 (2017): OKTOBER 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (584.147 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i2.1888

Abstract

Upacara Belian merupakan ritual pengobatan, membayar hutang, dan pembersihan kampung yang terdapat di Kabupaten Paser. Upacara Belian ini dilatar belakangi oleh sistem kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib. Inti upacara Belian berupa gerak-gerak dan mantra-mantar. Gerak yang dihadiran pada upacara Belian ini menimbulkan inspirasi bagi seorang seniman bernama Irusmiati untuk mentransformasikan upacara Belian menjadi tari Gitang Paser.Gerak dalam tari Gitang ini terinspirasi dari dua motif gerak yang dilakukan oleh Mulung yaitu perambut (gerak lambat), kerkesek (gerak cepat) serta bunyi gitang. Kedua unsur ini dikembangkan dalam irama, ritme dan penggunaan tenaga sehingga menjadikannya lebih dinamisUntuk mengtahui aspek apa saja yang bertransformasi pada upacara Belian ke dalam tari Gitang Paser maka peneliti menggunakan konsep yang dikemukaka n oleh Djoharnurani yang mengemukakan bahwa proses transfomasi dapat dilalui dalam tiga tahap yaitu; 1) tahap pemahaman dan penghayatan makna; 2) tahap resepsi; dan 3) tahap tindak resepsi. Pada butir pertama adalah pemahaman dan penghayatan makna terhadap nilai-nilai yang ditransformasikan. Butir kedua adalah resepsi yang berarti penerimaan memang salah satu aspek yang ada dalam proses transformasi. Kemudian pada aspek tindak resepsilah transformasi membawa rangsangan idesional atau gagasan untuk membuat suatu yang baru. Maka melalui dari tiga tahap ini lah hasil transformasi antara upacara Belian dan tari Gitang Paser dari aspek rasa, bentuk, dan makna masing-masing bisa berubah, masih nampak ataupun menjadi samar-samar.Hasil analisis di atas menunjukkan adanya suatu perubahan bentuk penyajian, makna serta fungsi upacara Belian ke dalam tari Gitang. Hasil yang didapat memberikan nilai yang bersifat mengembangkan. Salah satu pengembangan yang dapat dilihat dari bentuk penyajian yaitu gerak, gerak pada upacara Belian lebih sederhana hanya menggunakan dua motif yaitu perambut dan kerkesek ketika berubah maka gerak tersebut lebih dinamis karena memiliki berbagai macam motif. Pengembangan yang terjadi pada bentuk penyajian memberikan dampak perubahan pula pada fungsi. Fungsi pada upacara lebih pada ritual pengobatan ketika berubah menjadi tari Gitang fungsi tersebut sebagai hiburan semata tanpa meninggalkan suasana magis. Ketika bentuk dan fungsi berubah mengakibatkan perubahan makna yang terjadi pada tari Gitang yaitu hilangnya kepercayaan masyarakat setempat terhadap upacara Belian.  Belian ceremony is a ritual of treatment, debt repayment, and cleaning of villages located in Paser District. This Belian ceremony is based on a belief system of supernatural powers. The core of the Belian ceremony is in the form of movements and mantras. The movement attended at this Belian ceremony inspired an artist named Irusmiati to transform the Belian ceremony into a Gitang Paser dance. Motion in Gitang dance is inspired by two motive motifs performed by Mulung that is perambut (slow motion) kerkesek (fast motion) and the sound of gitang. It is developed in rhythm, rhythm and use of power making it more dynamic. To know what aspects are transformed at Belian ceremony into Gitang Paser dance then the researcher uses the concept proposed by Djoharnurani which shows that the process of transfomation can be passed in three stages that is 1) Stage of understanding and appreciation of meaning 2) the reception stage and 3) stage of action. In the first point is the understanding and appreciation of the meaning of values that are transformed. The second point is acceptance which means acceptance is one of the aspects that exist in the transformation process. Then on the aspect stage of action transformation brings about an ational stimulus or an idea to create a new one. So through these three stages is the result of the transformation between Belian ceremonies into Gitang Paser dance from the aspect of taste, form, and meaning of each can change, remain visible or become blurred. The results of the above analysis indicate a change in the form of presentation, meaning and function of Belian ceremony into Gitang dance. The results obtained provide a value that is developing. One of the developments that can be seen from the form of motion presentation, motion at Belian ceremony is simpler by using only two motifs that is perambut and kerkesek When changed the motion is more dynamic because it has a variety of motives. The development that occurs in the form of presentation gives effect to changes also on the function. The function at this ceremony is more on the treatment ritual when it transforms into a Gitang dance function as a mere entertainment without leaving the magical atmosphere. When the form and function change resulted in a change of meaning that occurred in Gitang dance that is the loss of local belief in Belian ceremony. 
Tumurune Hapsari Fetri Ana Rachmawati
Joged Vol 8, No 1 (2017): APRIL 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (394.947 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i1.1670

Abstract

Kesenian Sintren merupakan kesenian yang hadir di wilayah pantai utara salah satunya terdapat di Kabupaten Indramayu kecamatan Haurgeulis. Terciptanya kesenian Sintren dari cerita percintaan antara Sulasih dan Raden Sulandono.Karya ini diberi judul Tumurune Hapsari, Rangsang awal dalam karya ini yakni rangsang ide kemudian rangsang kinestetik. Tema yang dipilih dalam karya ini yakni koreografi tari yang bersumber dari sikap “Ikhlas” penari sintren yang bernama Ade Nuriya ketika menari. Makna “Ikhlas” dalam penafsiran penata diartikan bahwa tubuh yang bergerak secara kinestetis tanpa ada pemaksaan, mengalir dengan lembut, juga bergerak secara tiba-tiba dan menghentak, semuanya dibungkus dengan suasana yang magis. Komposisi yang digunakan dalam karya ini yakni dengan bentuk dramatik.Karya ini ditarikan oleh 7 orang penari perempuan dewasa dan 10 penari perempuan anak-anak. Karya ini menggunakan properti kurungan. Musik iringan yang digunakan bergaya Indramayuan.
MAKNA IKINSAI DALAM MIEMPU BUYUK SUKU DAYAK MA’ANYAN Emma Tianna Riantri
Joged Vol 9, No 2 (2018): OKTOBER 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (291.899 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i2.2542

Abstract

Miempu Buyuk merupakan istilah untuk menyebut upacara ritual pengobatan suku Dayak Ma‟anyan. Miempu Buyuk dipimpin oleh Wadian Dadas. Miempu Buyuk tidak dapat dilaksanakan tanpa ada seseorang yang sakit, yang datang juga hadir dalam ritual ini. Salah satu elemen terpenting, yaitu gerak yang dilakukan oleh Wadian Dadas disebut dengan ikinsai. Ikinsai dapat disebut tari, karena gerak-gerak yang dilakukan menunjukkan gerak extraordinary. Wadian Dadas mengalami itun alah (kerasukan roh leluhur) untuk mengambil tumbuhan sebagai obat bagi yang sakit.Proses pengobatan dalam Miempu Buyuk mencerminkan sebuah ritus peralihan. Meminjam konsep dari Victor Turner, ritus peralihan dibagi ke dalam tiga bagian, yakni separation (pemisahan), transition (liminal), dan reintegration (penyatuan kembali). Ritus peralihan akan membawa ke persoalan liminoid. Pelaksanaan Miempu Buyuk akan mengubah seseorang dari satu situasi ke situasi lainnya. Proses ini akan membawa pelaku, perlengkapan, dan tempat ritual untuk mengalami kebaruan. Elemen-elemen ini akan mengalami masa pemisah, dan berada dalam situasi ambang saat Wadian Dadas melakukan proses penyembuhan. Setelah orang sakit berhasil disembuhkan, semua elemen akan kembali pada posisi awal. Ketika proses penyembuhan, Wadian Dadas selalu ikinsai.Miempu Buyuk suku Dayak Ma‟anyan membuktikan adanya peralihan yang dialami pada ritual itu sendiri dan elemen-elemennya. Peralihan yang dialami Miempu Buyuk menjadi bukti bahwa ada ikinsai yang dimaknai sebagai liminoid. Pada setiap tahapan dari Miempu Buyuk, ikinsai oleh Wadian Dadas berbeda-beda, tetapi ada kesamaan pada pemanfaatan properti. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ikinsai dalam Miempu Buyuk.
MAKNA DAN SIMBOL BERENTAK DALAM UPACARA BESALE PADA MASYARAKAT SUKU ANAK DALAM DI DUSUN JOHOR BARU DESA BUNGKU, KABUPATEN BATANGHARI JAMBI Arini Novriawati
Joged Vol 9, No 1 (2018): APRIL 2018
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (409.038 KB) | DOI: 10.24821/joged.v9i1.2494

Abstract

Tulisan ini mengupas makna dan simbol Berentak dalam upacara Besale pada masyarakat Suku Anak Dalam di dusun Johor Baru desa Bungku Kabupaten Batanghari Jambi. Berentak adalah tari yang dilakukan oleh dukun untuk berkomunikasi dengan Hyang dalam upacara besale. Besale pada masyarakat Suku Anak Dalam Batin 9 berfungsi untuk mengobati penyakit yang berasal dari gangguan roh halus. Tari dan semua aspek pendukung pada upacara besale mewakili sebagai tanda yang bertujuan untuk mengetahui makna dan simbol dalam upacara besale sebagai identitas dari masyarakat Suku Anak Dalam Batin 9.Untuk memecahkan permasalahan, penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika, yaitu ilmu yang membahas tentang tanda. Salah satunya dipelopori oleh Ferdinand De Saussure. Saussure yang melihat tanda dari sudut pandang bahasa. Tanda disusun oleh dua elemen, yaitu penanda (signified), aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual), dan petanda (signifier) suatu konsep tempat citra-bunyi itu disandarkan. Penelitian ini menganalogikan gerak sebagai media ungkap seperti penggunaan bahasa. Hal ini tampak pada berentak sebagai sebuah tanda, dimana gerak sebagai penanda dan besale sebagai petanda. Bahasa tersebut setara dengan keseluruhan pertunjukan besale. Tanda yang hadir dalam sebuah pertunjukan seperti, tari, pelaku, properti, iringan, kostum, tempat dan waktu pelaksanaan menjadi aspek saling terkait satu sama lain sehingga sebuah tanda yang dimaknai dapat terpecahkan.Simbol yang terdapat pada upacara besale tampak pada pelaku, tari, properti, iringan, kostum, waktu dan tempat pelaksanaan yang saling mendukung satu sama lain. Hal ini sebagai penggambaran Suku Anak Dalam Batin 9 dalam menjalankan adat-istiadat mereka. Dikarenakan adanya pengaruh dari kepercayaan Animisme pada masa lampau. Makna yang terkandung pada upacara besale ialah gambaran dari perjuangan, ketulusan dan tanggung jawab masyarakat sebagai bentuk permohonan maaf dan memohon keselamatan agar terhindar dari malapetaka

Page 6 of 14 | Total Record : 137