cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 137 Documents
Fungsi Tari Babangsai Dalam Upacara Aruh Ganal Di Desa Loksado Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan Rahmani Rahmani; I Wayan Dana
Joged Vol 7, No 2 (2016): NOPEMBER 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (410.374 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i2.1602

Abstract

Tari Babangsai disajikan sebagai ungkapan rasa syukur dan rasa gembira atas berhasilnya panen padi. Tarian ini tersaji menjadi bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan upcara Aruh Ganal. Kegembiraan masyarakat penyangga ini tampak terlihat dengan hadirnya masyarakat Loksado sebagai pelaku maupun penyelenggara upacara Aruh Ganal.            Penyelengaraan upacara Aruh Ganal diadalan setahun sekali, sesuai dengan ketentuan masyarakat adat Loksado Hulu Sungai di Kalimantan Selatan. Kehadiran tari Babangsari dalam upacara Aruh Ganal berfungsi sebagai sarana upcara di satu sisi, dan di sisi yang lain juga untuk hiburan bagi masyarakat pelaku upacara sehingga dapat melaksanakan upacara secara berurutan selama tujuh hari tujuh malam. The Babangsaidance is performed as an expression of thankfulness and happiness due to the successful rice harvest. This dance is an inseparable part of the AruhGanalceremony. The joyfulness of the supporting community can be seen from the presence of the members of Loksado society as both the performers and organizers of the ceremony.            The AruhGanalceremony is carried out once a year, that is in accordance with the rule of the society of  the village of river upstream Loksado, south Borneo. The existence of the Babangsaidance in the AruhGanalritual ceremony functions as a means of ceremony on one hand, and as an entertainment for the society carrying out the ritual ceremony on the other. Consequently, the ceremony may take place continually for seven days and seven nights.
Taru Tari Tara I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (456.666 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1593

Abstract

“Taru Tari Tara” adalah judul dari karya tari yang   menunjuk pada konsep dasar yang diwujudkan ke dalam sebuah koreografi kelompok. Taru dalam bahasa Bali memiliki arti kayu, kemudian Tari berarti tari atau apabila dilihat dari substansi dasarnya adalah gerak atau perilaku, selanjutnya Tara yang berasal dari kata ketara dalam bahasa Bali berarti terlihat. “Taru Tari Tara” berarti bagaimana gerak dan perilaku (Tari) yang terlihat (Tara) dalam mengolah sebuah kayu (Taru). Ide karya tari ini muncul dari ketertarikan penata terhadap gerak dan perilaku seorang maestro seniman pembuat topeng di Bali bernama I Wayan Tangguh, yang merupakan kakek penata sendiri.Karya tari ini secara struktural dibagi ke dalam lima adegan (introduksi, adegan satu, dua, tiga, ending) dengan lebih berfokus pada aktivitas I Wayan Tangguh sebagai seorang petani, pembuat topeng, dan pemangku. Gagasan tersebut muncul berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara visual kemudian berkembang menjadi sebuah ide. Hasil dari pengamatan yang dilakukan terhadap proses pembuatan topeng dijadikan sebagai bahan acuan untuk melangkah pada tahap ekpslorasi, meliputi pencarian gerak, pembuatan properti, setting, kostum tari, dan musik tari.Karya tari yang disajikan dalam bentuk koreografi kelompok ini melibatkan enam orang penari laki-laki, menggunakan properti tari berupa topeng Bali, dan dipentaskan di proscenium stage. Gerak tari yang digunakan berdasar pada hasil eksplorasi gerak membuat topeng seperti menyerut kayu, memukul kayu, memegang topeng, dan menjepit topeng menggunakan kaki, serta divariasikembangkan dengan sikap serta motif gerak tari tradisi Bali seperti agem, malpal, ngaed, dan nayog. "Taru Tari Tara" is the title of a created dance piece. The title is pointing to the basic concepts that are embodied into a choreography group. Taru in Balinese language means wood, then Tari or dance means when seen from the substance or behavior is essentially the motion, then Tara is derived from the word in the language of Bali means striking looks. “Taru Tari Tara” means how movement and behavior (Tari) are visible (Tara) in processing a timber (Taru). The idea of this dance work arises from interest from the choreographer against the motion and behavior of a master artist mask maker in Bali named I Wayan Tangguh, choreographer's own grandfather.This dance piece is structurally divided into five scenes (introduction, scene one, two, three, ending) with a focus on the activities of I Wayan Tangguh as a farmer, mask makers, and stakeholders. The idea arose based on observations made visually and then developed into an idea. The results of observations made on the process of making a mask used as a reference material for stepping on stage ekploration, includes motion search, the manufacture of the property, setting, costume dance, and dance music.Dance works presented in the form of the group choreography involving six male dancers, using the property Balinese dance masks, and staged in a proscenium stage. Dance movement that is used, based on the results of exploration motion that makes the masks like shaving wood, hitting the wood work, holding the mask, and clamping the mask using the feet, as well as attitudes and motives varied and develop with traditional Balinese dance like agem, malpal, ngaed, and nayog.  
Eksistensi Kesenian Masyarakat Transmigran Di Kabupaten Pringsewu Lampung Studi Kasus Kesenian Kuda Kepang Turonggo Mudo Putro Wijoyo Mutiara Dini Primastri
Joged Vol 8, No 2 (2017): OKTOBER 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (400.646 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i2.1889

Abstract

Penelitian ini merupakan sebuah analisis deskriptif yang menggunakan pendekatan sosiologi dan antropologi untuk membedah tentang eksistensi kesenian masyarakat transmigran berupa kesenian kuda kepang di Kabupaten Pringsewu Lampung. Kesenian kuda kepang yang eksis di Kabupaten Pringsewu yaitu komunitas seni Turonggo Mudo Putro Wijoyo (TMPW).Eksistensi adalah adanya sebuah keberadaan yang tidak hanya sebagai sesuatu yang “diam” akan tetapi menjadi sesuatu yang aktif dan memiliki peran di dalam lingkungannya. Melalui kajian sinkronik, kesenian kuda kepang TMPW tetap eksis saat ini karena memiliki fungsi sebagai seni pertunjukan yang menghibur (presentasi estetis), memuat nilai-nilai budaya, serta dapat menjadi identitas orang Jawa di Pringsewu. Kajian sinkronik didukung oleh kajian diakronik, yaitu kemunculan kesenian kuda kepang TMPW merupakan hasil dari rangkaian sejarah berupa eksistensi orang-orang yang bertransmigrasi di Pringsewu, melalui tahap eksistensi yaitu eksistensi estetis, etis dan religius.Eksistensi kesenian kuda kepang TMPW tidak lepas dari faktor-faktor pendukungnya. Komunitas TMPW terus menunjukkan eksistensinya dengan melakukan inovasi pada segala aspek-aspek penunjang koreografi dengan menjaga otentisitas agar tidak hilang dan menjadi ciri khas. Sebuah seni pertunjukan bersifat stimulus bagi masyarakat tentu mendapatkan respons, berupa respons positif dan respons negative.   This research is a descriptive analysis using sociology approach to analysed about art existence of transmigrant society, that is kuda kepang in Pringsewu Regency of Lampung. Kuda kepang that exist in Pringsewu is Turonggo Mudo Putro Wijoyo (TMPW) community.Existence is the existence is not only as something "silent" but becomes something active and has a role in the environment. Synchronic studies, kuda kepang TMPW still exists because it has a function as an entertaining performing art (aesthetic presentation), contains cultural values, and can be a Javanese identity in Pringsewu. Synchronic studies are supported by diachronic studies, that is the emergence of kuda kepang TMPW is the result of a series of histories of the existence of people who transmigrated in Pringsewu, through the stage of existence of aesthetic, ethical and religious existence.The existence of kuda kepang TMPW is not separated from the supporting factors. The TMPW community continues to show its existence by innovating on all aspects of choreography support and to be kept authenticity not lost and become characteristic. The performing arts have the character of stimulus for the society of course get the response, that is positive response and negative response.
Ritus Barong I Gede Radiana Putra
Joged Vol 8, No 1 (2017): APRIL 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.358 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i1.1671

Abstract

"Ritus Barong”, adalah judul yang dipilih untuk garapan tari ini. Karya ini menggambarkan tentang tahapan sakral Barong Ket yang ada di desa Singapadu, Kabupaten Gianyar, Bali. Tahapan tersebut berupa tahap ngetus (melepas bagian barong), tahap ngatep (memasang kembali bagian tersebut), dan tahap nyambleh (menyucikannya kembali). Prosesi ini sangat sakral bagi masyarakat Singapadu. Singapadu terkenal dengan kesenian dan tradisi budaya barongnya. Barong yang disakralkan sudah menjadi kebanggaan budaya Singapadu.Barong menjadi inspirasi untuk menciptakan sebuah karya tari, berawal dari kesenangan penata menari dan mengikuti kunjungan spiritual Barong Ket Singapadu. Barong identik dengan suara-suara gongseng yang menambah kesan sakral dan magis. Pengolahan gongseng tersebut sebagai pendukung musikalitas karya tari yang banyak memainkan musik-musik internal, dari tubuh penari itu sendiri. Gongseng merupakan salah satu bagian terpenting dari barong. Oleh karena itu, penggunaan properti gongseng dengan rasa musikalitasnya digarap sebagai studi gerak kaki.Karya tari “Ritus Barong” merupakan koreografi garap kelompok dengan sepuluh penari laki-laki. Tujuh orang laki-laki sebagai penari inti, pada saat tertentu menggambarkan kebersamaan warga masyarakat Singapadu, dua orang penari sebagai penari barong dan seorang penari rangda. Melalui karya ini diharapkan muncul regenerasi penari barong setidaknya penari menguasai unsur-unsur gerak tari Barong.
Gumrah Wewarah Yuni Ratnasari
Joged Vol 7, No 2 (2016): NOPEMBER 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (319.029 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i2.1598

Abstract

Karya tari tugas akhir berjudul Gumrah Wewarah terinspirasi oleh salah satu punokawan putri yakni tokoh Limbuk. Gumrah Wewarah, Gumrah memiliki arti ramai, keramaian, dan bercanda yang berkonotasi positif, sedangkan Wewarah memiliki arti nasehat. Gumrah Wewarah bercerita tentang perjalanan hidup Bathari Kanestren yang berubah wujud menjadi Limbuk, ia selalu memberikan suasana yang bahagia, sumringah, ramai dan selalu jenaka, memiliki tujuan agar yang di momong betah, remaket dan bahagia namun dibalik kelucuannya ada nasehat yang tersirat didalamnya. Mulut Limbuk yang mengucap dan mengurai sebuah makna tentang kesejatian perempuan nuswantara yang terpilih, dan semua ucapan dan uraian itu selalu disampaikan lewat mulut yang tersenyum.            Limbuk adalah pamomong yang tergolong masih remaja berkarakter genit namun selalu memberikan tuntunan dan memuat wewarah didalam kejenakaannya, ia selalu membawa cermin, sisir dan kacu yang menjadi identitasnya, alat-alat tersebut digunakan untuk menghias dirinya sendiri ataupun mendandani para putri yang di emong nya.            Karya tari divisualisasikan dalam komposisi tari kelompok , didukung oleh tujuh penari putri, putri menggambarkan tokoh Limbuk yang berjenis kelamin wanita, selain itu memberikan pitutur tentang bagaimana seharusnya wanita bersikap, keanggunan dan peranan wanita yang begitu penting di kehidupan ini. Tujuh penari sebagai simbol pitulungan. Karya ini dipentaskan di proscenium stage. Pijakan pengembangan gerak berasal dari gerak tari putri gaya yogyakarta terutama motif gerak kiprah sekaran gecul, merak ngigel, lilingan, dan encot.  The dance for the final project named Gumerah Wewarah inspired by one of the punakawan called limbuk. Gumrah Wewarah, Gumrah means cheerful and comical in positive ways, while wewarah means advice. Gumrah Wewarah tells the story of Bathari Kanestren who transformed became a limbuk. She is a woman who is very cheerful and comical. She always brings happiness to the people around her. When she takes care of princesses, she always delivers advice in comical ways. The mouth of limbuk delivers a meaning of the genuineness women of Nuswantara, moreover all speech and advice always delivered through smiling mouth.             Although Limbuk is a teenager nanny who is girlish, she always delivers advice in comical ways. She always carries a mirror, combs, and handkerchief which are her identity. Those stuffs are used to help her in grooming.                 The dance is performed in a dance group. It supported by seven girl dancers. The girl dancers represent the limbuk who is a woman. Moreover, they give the good examples of the women’s behavior. They portray elegance and the role of women who are very important in this life. The seven dancers symbolized a help. This dance had performed in proscenium stage. The basic movements are the style from Yogyakarta, especially the movements such as kiprah sekaran gecul, merak ngigel, lilingan, and encot.
Kicak Shrogol Aprilia Wedaringtyas
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.761 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1588

Abstract

Kicak Shrogol diambil dari gabungan suku kata nama motif yang dikembangkan yaitu kirig, cakilan, shrokal, dan megol. Motif gerak yang menjadi dasar karya tari ini adalah motif gerak kirig, cakilan, shrokal, dan megol. Karya tari Kicak Shrogol merupakan jenis koreografi kelompok dengan menggunakan dua puluh lima penari. Tidak ada makna khusus dalam jumlah penari Kicak Shrogol, koreografer hanya ingin mencoba dan membuat pola lantai yang bervariasi dengan menggunakan dua puluh lima penari. Selain itu, pembawaan yang lebih maskulin maupun feminin juga ditekankan. Tipe karya tari Kicak Shrogol adalah studi motif gerak kirig, cakilan, megol,dan shrokal. Pencarian pengembangan atau kemungkinan-kemungkinan dalammengembangkan esensi motif gerak tersebut, misalnya esensi gerak kirig pada bahu di pindah ke pantat dan dada, maka akan menghasilkan gerak yang baru. Formasi karya tari Kicak Shrogol menggunakan titik kuat dan titik lemah pada proscenium stage. Kicak Shrogol name taken from dance movement namely kirig, cakilan , shrokal , and megol. Those movements had been the basic movement for this coreography. This dance performed by group with twenty five dancers .There is no special meaning in the number of Kicak Shrogol dancers , choreographer just wanted to try and made a dance floor pattern varies with twenty five dancers . In addition , masculine and feminine character were emphasized. Kicak Shrogol had a study dance type from kirig,cakilan , megol , and shrokal movements. Choreographer search how the possibility and develop of the essence movement, for example the essence of kirig was on the shoulder than thrive to bottom and cest, so it create a new movement. Choreographer used strong and weak proscenium stage point for the dance floor pattern.
Hahomion Na Tolu Rines Onixy Tampubolon
Joged Vol 8, No 2 (2017): OKTOBER 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (968.495 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i2.1885

Abstract

Dalihan Natolu adalah pandangan hidup dalam masyarakat Batak yang memiliki nilai-nilai yang bersifat universal. Dalihan Natolu terbagi menjadi tiga kedudukan fungsional di dalam masyarakat Batak yaitu, Somba Marhulahula (hormat kepada keluarga dari pihak istri), Elek Marboru (mengayomi wanita), dan Manat Mardongan Tubu (bersikap sopan/hati-hati kepada teman semarga). Tiga kedudukan yang menjadi penyokong adat inilah yang disimbolisasikan ke dalam bentuk visual Dalihan Natolu (tungku berkaki tiga). Tungku yang memiliki tiga kaki, memiliki keseimbangan yang mutlak, karena tungku tersebut tidak dapat berdiri dan tidak dapat digunakan apabila salah satu kakinya rusak. Berdasarkan makna tersebut, leluhur suku Batak memilih tungku berkaki tiga sebagai falsafah hidup dalam tatanan kekerabatan antara sesama yang bersaudara atau satu marga dengan kelompok pemberi istri dan kelompok penerima istri. Segala kegiatan adat masyarakat Batak tidak dapat berjalan dan terlaksana apabila salah satu dari ketiga unsur tersebut tidak ada.Dalam karya Hahomion Na Tolu, penggunaan tiga orang penari yang terdiri dari satu penari perempuan dan dua penari laki-laki dianalogikan sebagai gambaran konsep keseimbangan nilai tiga yang terkandung dalam Dalihan Natolu. Koreografi dalam garap tari kelompok ini memanfaatkan media gerak hasil pengembangan beberapa motif tari Tor-Tor Batak. Pengolahan motif ditekankan pada kualitas gerak tegas, kuat, dan perwujudan desain yang menunjukkan keseimbangan melalui gerak-gerak saling menyangga dan lifting. Busana dalam koreografi ini menggunakan bahan Ulos dan pilihan warna lebih pada warna merah, hitam dan putih, ketiganya merupakan warna yang digunakan dalam setiap kegiatan adat Batak. Musik tari adalah pengembangan pola-pola Gondang Uning-uningan Batak.  Dalihan Natolu is considered as a view of life in Bataknese society's that has values which are universal. Dalihan Natolu is divided into three functional positions namely, Somba Marhulula (respect to the family of the wife), Elek Marboru (nursing women), and Manat Mardongan Tubu (be polite / careful to clan members). Those three positions that serve as proponent of the tradition are symbolized in the visual form of Dalihan Natolu (three-legged fireplace). The three-legged fireplace has an absolute balance, because the fireplace can not stand and can not be used when one of its legs is damaged. Based on that meaning, Bataknese ancestors chose a three-legged fireplace as a philosophy of life in a kinship arrangement between a brothers or a clan with a wife giver and wife receiver groups. All the activities of Bataknese's traditions can not be run and executed if one of the three elements are not there. In the work of Hahomion Na Tolu, the use of three dancers consisting of one female dancer and two male dancers is analogous to the concept of the balance of three values contained in Dalihan Natolu. Choreography in the working on this group of dance is utilizing the motion media development of several motifs from Tor-Tor Bataknese Dance according to the stylist's design. The Motif processing is emphasized on the quality of motion firm, strong, and the embodiment of design that shows the balance through the motion of mutual support and lifting. Clothing in this choreography using Ulos material and more color choices on red, black and white, all three are the colors used in every Bataknese's tradition activities. The music for the dance is formatted live with patterns of bataknese's Gondang Uning-uningan's development.
Dingin Ahmad Susantri
Joged Vol 8, No 1 (2017): APRIL 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.684 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i1.1667

Abstract

Karya tari “Dingin” merupakan sebuah karya yang terinspirasi dari pengalaman empiris di kampung halaman. Karya ini mempresentasikan peristiwa-peristiwa suka dan duka saat berada di kota Liwa, yang pada akhirnya mengarahkan pada satu pilihan untuk kembali pulang.Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sebuah ingatan yang tidak terlupakan. Kebersamaan yang mengembirakan, kesendirian, hidup di keluarga yang ‘kaku’, dan suasana dingin kota Liwa yang membuat nyaman, adalah beberapa peristiwa yang meninspirasi. Berdasarkan interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa yang dialami, dingin dalam karya ini dimaknai sebagai dingin yang dirasakan tubuh sebagai dingin yang menyenangkan, dan ‘dingin hati’ sebagai ungkapan perasaan menyedihkan.Karya tari ini digarap dengan tipe tari studi dan dramatik, ditarikan oleh tiga penari putra, menggunakan setting panggung berupa vinyl berwarna putih yang akan menutup sebagian lantai stage, dan menampilkan multimedia yang menjadi bagian dari pertunjukan karya ini. Bentuk penyajian musik karya ini adalah Musik Instrument Digital Intervace (MIDI). Karya ini diharapkan memberikan manfaat untuk dapat bersikap menghargai masa lalu dan tetap optimis menjalani masa depan.
Kasetyan Endang Setyaningsih
Joged Vol 7, No 1 (2016): APRIL 2016
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (403.753 KB) | DOI: 10.24821/joged.v7i1.1594

Abstract

Karya Tari Berjudul Kasetyan adalah komposisi tari puteri yang berbentuk srimpen, yakni refleksi kesetiaan atau sikap tidak ingkar janji Dewi Drupadi yang diambil dari cerita Mahabarata. Drupadi sebagai putri dari kerajaan Pancala yang dilahirkan dari api pemujaan yang kemudian menjadi istri Raja Yudhistira. Karya ini berangkat dari rangsang idesional dan gagasan yang kemudian memilih temakesetiaan Drupadi dengan tipe tari Dramatik. Mode penyajian adalah simbolisrepresentasional dengan menggunakan empat penari puteri. Ide penciptaan karya merupakan hasil eksplorasi dan analisis dari pola-pola gerak tari tradisi puteri yaitu tari Srimpi. Pengembangan geraknya mengacu pada motif gerak tari tradisi puteri gaya Surakarta, seperti gerak lenggut, manglung, lumaksana lara maju mundur, ogek lambung, sembahan laras, sekar suwun dan berbagai motif gerak bahkan sendi. Aspek koreografi lain yang mendukung penciptaan karya ini adalah penataan setting panggung yang menggunakan trap di area up center sebagai dimensi ruang yang berbeda untuk mendukung perjalanan tiap adegan. A Dance titled Kasetyan is a composition of a female dance which have a form of srimpen, this dance is a reflection of a loyalty or Goddess Draupadi’s attitude that doesn’t break a promise which taken from the Mahabharata. Draupadi as the daughter of Panchala born from veneration fire which later became the wife of King Yudhishthira. This artwork departs from the idea that excitatory idesional and then choose the theme of Draupadi’s loyalty with the Dramatic type dance. The presentation mode is symbolic-representational using four female dancers. The idea from the creation of thisartwork is the result of exploration and analysis from the patterns of traditional female dance called Srimpi. Development of the choreography refers to the motion motive of femaletraditional dance from Surakarta style, such as lenggut motion, manglung,lumaksana laras maju mundur, ogek lambung, sembahan laras, sekar suwun and various motifs motion even the joints. Another aspect of choreography that supports the creation of this artwork is the arrangement of stage setting that uses trap in up center area as another dimension to support the plot of each scene.
Rekonstruksi Gerak Pada Tari Remo Tawi Jombang Ayu Titis Rukmana Sari; Wahyudi Wahyudi
Joged Vol 8, No 2 (2017): OKTOBER 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (457.638 KB) | DOI: 10.24821/joged.v8i2.1890

Abstract

Tari Remo Tawi merupakan salah satu Tari Remo di Jawa Timur yang memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan Tari Ngremo lainnya.Tari ini diciptakan oleh Tawi seorang pengreman dari Jombang. Tawi mengolah gerakan, sehingga mampu memunculkan teknik gerak yang unik dan berbeda dengan Tari Remo lainnya, yakni lebih halus (kêmayu), mencerminkan karakter dari Tawi yang merupakan sosok pria feminin dan berkarakter luruh atau halusTujuan penelitian ini adalah menghasilkan warna baru dalam sajian Tari Remo Tawi. Warna baru yang dimaksud disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat saat ini, yang cenderung mengutamakan kebutuhan visual dan berdurasi singkat. Unsur visual yang utama dalam sebuah sajian tari adalah gerak, maka gerak dalam Tari Remo Tawi dilakukan proses rekonstruksi oleh peneliti untuk mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat modern. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis kualitatif dengan pendekatan etnokoreologi.Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi para seniman tari khususnya tentang cara-cara merekontruksi tari agar lebih memiliki kesan yang menarik masyarakat pada umumnya, namun tetap mempertahankan esensi/nilai dan mengindari distorsi yang berlebihan sehingga eksistensi dari tari tersebut tetap bertahan ditengah derasnya arus globalisasi.  Tawi Dance is one of Remo Dance in East Java which has its own distinctive character compared with other Ngremo Dance. This dance was created by Tawi a pengreman from Jombang.Tawi cultivate the movement in such a way, so as to bring up a unique motion technique and different from Remo Dance which others. The gentle rustle (kêmayu), reflects the individualcharacter of Tawi which is the figure of the feminine man and the character is decayed or subtle. The purpose of this research is to produce new color in Remo Tawi Dance dish. The new colors are adapted to the needs of today's society, which tend to prioritize visual needs and short duration. The main visual element in a dish of dance is motion, then the motion in Remo Tawi Dance done reconstruction process by researchers to maintain its existence in the middle of modern society. The method used in this research is descriptive method of qualitative analysis by using ethnokoreologi approach.The results of this study can be used as a guideline for dance artists, especially on ways to reconstruct dance to have a more interesting impression of society in general, but still maintain the essence / value and avoid excessive distortion so that the existence of the dance survives amid the swift stream of globalization.

Page 4 of 14 | Total Record : 137