cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. kudus,
Jawa tengah
INDONESIA
PALASTREN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Education,
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue " Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN" : 10 Documents clear
PENGENDALIAN PERKAWINAN DINI (CHILD MARRIAGE) MELALUI PENGEMBANGAN MODUL PENDIDIKAN PENYADARAN HUKUM : STUDI KASUS PADA MASYARAKAT SUBKULTUR MADURA DI DAERAH TAPAL KUDA, JAWA TIMUR Hanafi, Yusuf
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini mencoba untuk mengembangkan modul pendidikan berorientasi pengakuan hukum untuk menghindari praktik pernikahan anak di bawah umur, terutama di Madura Sub-Budaya Masyarakat di daerah tapal kuda. Hasilnya adalah modul pendidikan yang terdiri atas tiga paket. Paket I berisi istilah perkawinan dan anak-anak di bawah usia sahnya dalam perspektif hukum Islam, hukum nasional dan hak asasi manusia internasional. Paket II resiko dan bahaya pernikahan anak di bawah umur, baik fisik, psikologis, medis dan seksual. Paket III berisi rencana kebijakan dan rencana aksi untuk pencegahan praktik pernikahan anak di bawah umur yang dirancang secara sinergis di segala bidang, baik hukum, politik, pendidikan, agama dan sosial-ekonomi. Bahan Modul dikembangkan berdasarkan pendekatan kompetensi. Seperti biasa bahan berbasis kompetensi, maka modul adalah hasil dari perkembangan ini akan terdiri dari: standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, tema, strategi, media, penilaian, dan alokasi waktuABSTRACT This research tried to develop educational module orientated in law recognition to avoid the practice of child marriage under age, especially in Madura Sub-Culture Community in Horseshoe Area. The result is an educational module which consist three packages. Package I contains the terms marriage and children under the age of legality in the perspective of Islamic jurisprudence, national laws and international human rights. Package II risks and dangers of the marriage of child marriage under age, whether physical, psychological, medical and sexual. Package III contains policy plan and action plan for the prevention of child marriage practices designed underage synergistically in all fields, whether legal, political, educational, religious and socio-economic. The materials module was developed based on the competency approach. As usual competency-based material, then the module is the result of this development will consist of: competency standards, competency base, indicators, themes, strategies, media, assessment, and time allocation
PEREMPUAN DALAM TANTANGAN PENDIDIKAN GLOBAL : KONTRIBUSI KAUM PEREMPUAN DALAM MEWUJUDKAN MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS Syamsiyah, Dailatus
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Partisipasi perempuan dalam pendidikan semakin mendapatkan momentumnya melalui indikator GDI (Gender Development Index) yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan dan jumlah pendapatan. Kenyataannya angka partisipasi perempuan dalam pendidikan masih rendah. Sejumlah faktor baik agama, budaya, sosial, politik dan budaya ditengarai menjadi penyebab. Pandangan perempuan yang penting melek huruf perlu diubah dengan meningkatkan kesetaraan akses pendidikan bagi perempuan. Peningkatan persentase pendidikan perempuan di Indonesia pada gilirannya akan dapat meningkatkan pencapaian MDG’s yaitu menurunkan angka kematian ibu, menurunkan angka kematian anak, dan memberantas kemiskinan.The participation of women in education is increasingly gaining its momentum through indicators GDI (Gender Development Index) which is concerning about equality between men and women in life expectancy , education and income amount . In fact the numbers of female participation in education is still low. A number of factors such as religious, cultural, social,and political factors suspected to be the main cause. The views about women’s literacy are important to be changed to improve access to education for women’s equality. The increase in the percentage of female education in Indonesia in turn will be able to improve the achievement of the MDG’s is to reduce maternal mortality, reduce child mortality, and combating poverty.
PENDIDIKAN SASTRA SENSITIF GENDER: ALTERNATIF METODE PEMBELAJARAN SASTRA BERPERSPEKTIF GENDER UNTUK JENJANG SEKOLAH DASAR Susanti, Rini Dwi
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang paling strategis menanamkan perspektif gender dalam pendidi-kan. Penanaman nilai-nilai wacana gender harus dimu-lai sejak dini, terutama sejak sekolah dasar. Pemilihan bahan ajar yang sesuai dan proses belajar yang tidak diskriminatif merupakan faktor penentu dalam keber-hasilan penanaman wacana gender. Guru dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam merancang pembelajaran dan memilih sumber belajar mengajar. Penanaman nilai-nilai kesetaraan gender pada siswa sejak apresiasi awal sastra melalui karya sastra dalam mata pelajaran bahasa dapat dilakukan dengan; (1) Memilih contoh dalam karya sas-tra sebagai bahan ajar. (2) Menyajikan contoh kutipan karya sastra dalam bentuk gambar seperti anak-anak ataupun foto-foto. (3) Memilih buku teks yang berisi karya-karya sastra yang mengutip kesetaraan gender School as an educational institutionis has strategic position in internalizing the gender perspective in education including the values of gender discourse that must be started earlier, especially since the basic education level. The selection of appropriate teaching materials and learning process that is not discriminatory is a determinant factor in the success of the internalizing of gender discourse. Teachers are required to be creative and innovative in designing a learning and teaching resources. Internalizing the values of gender equality in the students since the early appreciation of literature through the works of literature in the language subjects can be done with; (1) Choosing an example in the case of works of literature as teaching materials. (2) Presenting examples of the quote in the paper literature such as children and photographers. (3) Selection of a text book that contains the works of literature that quote intensive gender.
PENDIDIKAN AKHLAK MUSLIMAT MELALUISYA’IR : ANALISIS GENDER ATAS AJARAN SYI’IR MUSLIMAT KARYA NYAI WANIFAH KUDUS Said, Nur
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini difokuskan pada tiga hal: (1) Apakah karakteristik lingkup isi Syi’ir Muslimat?, (2) Bagai-manakah kondisi sosial budaya pada saat naskah ditulis oleh penulis?, (3) Apa nilai-nilai pendidikan moral bagi perempuan Muslim di isi Syi’ir Muslimat dalam perspektif gender?. Penelitian ini menggunakan pendekatan filologi dengan meningkatkan penggunaan analisis gender. Hasil dari penelitian ini adalah: Pertama, Syi’ir Muslimat ditulis oleh Nyai Wanifah, seorang wanita yang hidup pada zaman kolonial Belanda dipesantren tradisi di Kudus, Jawa Tengah. Kedua, beberapa nilai pendidikan moral di Syi’ir Muslimatantara lain: (1) Pentingnya pendidikan moral, (2) Bahaya perempuan bodoh; (3) Pentingnya belajar bagi perempuan di usia dini, (4) Etika menghias diri; (5) Bahaya materialisme, (6) Etika hubungan keluarga; (7) Dari rumah untuk mencapai surga; (8) Berhati-hatilah dengan tipu iblis; (9) Hindari perzinahan; (10) yang penting dari penutupan aurot; (11) yang ditujukan kepada orang tua. Ketiga, meskipun ada beberapa senyawa yang bias gender dalam Syi’ir Muslimat misalnya: (a) Ada penjelasan yang menunjukkan bahwa perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki dalam derajat, (2) Pernyataan bahwa wanita bicara dibandingkan laki-laki, (3) wanita hanya cocok di wilayah domestik; Namun secara umum nasihat di syi’ir masih sangat relafen dalam konteks sekarang, terutama untuk memberikan solusi alternatif dalam merespon krisis moral bangsa terutama pada wanita generasi muda.Kata kunci: Syi’ir Muslimat, Pendidikan Karakter, Analisis Gender.This study focused on three things: (1) What is the characteristics of the scope of contents of Syi’ir Muslimat?, (2) What is the socio-cultural conditions at the time the manuscript was written by the author?, (3) What are the moral education values for Muslim women in the content of Syi’ir Muslimat in the perspective of gender?. This research uses a philological approach with enhanced use of gender analysis. The result of this study are: Firstly, Syi’ir Muslimat is written by Nyai Wanifah, a woman who lived during the Dutch colonial era in Islamic boarding schools (pesantren) tradition in Kudus, Central Java. Secondly, some of the moral education values in Syi’ir Muslimat among others: (1) The importance of moral education, (2) The danger of stupid women; (3) The importance of learning for women at early age, (4) Ethics decorated themselves; (5) The danger of materialism, (6) The ethics of relation the family; (7) From the house to reach heaven; (8) Beware the devil trickery; (9) Avoid adultery; (10) the important of closing aurot; (11) devoted to parents. Third, although there are some compounds that gender bias in Syi’ir Muslimat for example: (a) There is an explanation that shows that women lower than men in degree, (2) The claim that women are talkative than men, (3) Women only fit in the domestic sphere; however in general the advices in syi’ir is still very relafen in the present context, particularly to give alternative solution in responding the nation moral crisis especially in women young generation.Keywords:Syi’ir Muslimat, Character Education, Gender Analysis.
ISLAM DAN PENYANDANG DISABILITAS : TELAAH HAK AKSESIBILITAS PENYANDANG DISABILITAS DALAM SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA Sholeh, Akhmad
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pandangan Islam terhadap penyandang disabilitas dan aksesibilitasnya terhadap pendidikan. Melalui metode kualitatif, penelitian menunjukkan bahwa Islam memandang bahwa pendidikan merupakan suatu hak dan kewajiban bagi seluruh manusia, tanpa terkecuali, termasuk bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas merupakan bagian dari umat manusia yang mempunyai hak dan kewajiban dasar yang sama untuk belajar dan menuntut ilmu. Akan tetapi dalam realitanya kesempatan dan fasilitas bagi penyandang disabilitas kurang mendapatkan perhatian. Demikian juga dengan kebijakan-kebijakan yang kurang sensitif terhadap disabilitas.Kata Kunci:Disabilitas, Aksesibilitas, Pendidikan.The research aimed to describe the Islamic view against persons with disabilities and their accessibility to education. Through qualitative method, this research will find the Islamic view against persons with disabilities and accessibility to education. The research finding that the Islamic view that education is right and obligation to all men, without exception, including persons with disabilities. 3 Persons with disabilities are part of the human who have rights and obligations equal basis learning and studying. But in reality the opportunity and facilities for persons with disabilities received less attention. Likewise, the policies issued that less sensitive to disability.Keywords:Disability, Accessibility, Education.
PENDIDIKAN ISLAM BERKEADILAN GENDER : MENYOROTI PEMIKIRAN MUHAMMAD ATIYYAH AL-ABRASHI Maslikhah, Maslikhah
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendidikan adalah hak dan kewajiban bagi setiap orang baik laki-laki maupun perempuan. Melalui pendidikan, setiap perempuan dapat mengembangkan kemandirian mereka untuk berkontribusi membangun dunia. Pendidikan berkeadilan gender menurut Atiyah al-Abrashi adalah manifestasi dari pengembangan konsep pendidikan yang mampu membangun kemadirian dan demokrasi. Berlandaskan pandangan ini, Atiyyah al-Abrashi berpendapat perempuan harus mendapatkan hak dan melakukan kewajibannya untuk mengembangkan kemandirian melalui pendidikan. Pendidikan bagi perempuan ini dilegitimasi oleh data sejarah tentang peran perempuan Islam terdidik sepanjang masa. Education becomes the right and obligation of every human being, including women. Through education, women can develop their autonomy in order to build their world. Gender equitable education in the perspective of Athiyah is a manifestation of the development of educational concepts that can build self-reliance and democracy. Based on this, Athiyah views that women should also get the rights and perform its obligation to develop the self-reliance potency based on the historicity of the role of women (Muslim women) of all time. 
EVALUASI PEMBELAJARAN PERSPEKTIF KESETARAAN GENDER DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL ismanto, Ismanto
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sehubungan dengan evaluasi pembelajaran, sampai sekarang masih banyak instrumen hasil belajar, baik digunakan oleh guru untuk ulangan harian atau oleh sekolah-sekolah untuk ulangan umum yang belum memenuhi persyaratan ideal yaitu, non bias dan standar dapat diukur. instrumen hasil pembelajaran yang berisi item bias akan merugikan siswa yang memiliki kemampuan yang sama dengan siswa yang menjawab dengan benar hanya karena kelompok yang berbeda. Dengan kata lain, instrumen yang berisi item bias, tidak memberikan kesempatan yang sama untuk menjawab dengan benar pada orang mengambil tes dengan kemampuan yang sama, hanya karena mereka berasal dari kelompok yang berbeda. Dalam hal ini, itu bisa berarti perbedaan dalam budaya, jenis kelamin, agama, dan banyak lagi. menurut Saifuddin Azwar, empat faktor yang diduga sebagai penyebab kesenjangan kinerja antara laki-laki dan perempuan dalam kaitannya dengan tanggapan untuk menguji pertanyaan, yaitu 1). pertanyaan tes bias, 2). format pilihan ganda, 3). kesempatan untuk menebak, dan 4) kendala waktu. Regarding to the evaluation of learning, until now there are still a lot of learning outcomes instruments, whether used by teachers for daily test or by schools for general test , have not met the requirements of an ideal yet i.e.,non biased and scalable standard. Learning outcomes instrumentcontaining bias items would be detrimental to the students who has the same abilities with studentswho answered correctly simply becauseof different groups. In other words, the instrumentscontaining bias items, do not give the same opportunity to answer correctly on the person taking the test with the same abilities, just because they come from different groups. In this case, it could mean the difference in cultures, gender, religion, and more. According to Saifuddin Azwar, four factors suspected as the causes of the performance gapbetween men and women in relation to responses to test questions, namely 1). Bias test questions , 2). multiple-choice format, 3). opportunity toguess, and 4) time constraints. 
PENDIDIKAN SENSITIF GENDER DALAM ISLAM : TELAAH PARADIGMATIS DALAM SEJARAH INTELEKTUALISME ISLAM INDONESIA Zumrodi, Zumrodi
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pendidikan Islam adalah proses untuk membangun seseorang secara holistik, baik dari sisi kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Pendidikan Islam tidak mendiskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Diskriminasi dan bias gender sebenarnya terbentuk oleh budaya. Namun kesalahan penafsiran Al-Quran juga mempunyai peran dalam pemahaman konsep gender. Hal ini tidak terlepas dari tradisi sebagian orang yang menginterpretasi Al-Qur’an secara parsial dan tidak komprehensif, disamping pemahaman yang menekankan unsur tekstual ketimbang kontekstual. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi bias gender dalam proses pendidikan dan juga cara untuk mengatasinya. Melalui metode kualitatif artikel ini menemukan bahwa pendidikan Islam sebenarnya memberikan pria dan wanita posisi yang proporsional tidak hanya dalam peran domestik, melainkan juga di masyarakat.kata kunci: Pendidikan, Islam, Gender.Islamic education is a process to build some person holistically, i.e. cognitive, affective, and psychomotor field. It does not discriminate men and women. The discrimination and gender bias merely constructed by culture. However the missinterpretation of Quran also takes a part of the gender issue. It comes from the tradition of some Moslem that interprete the Qur’an not in a comprehensive way. Moreover, it is understood textually and not contextually. This article aimed to explore the gender bias in terms of education process and also the way to solve it. Through the qualitative method this article finds that Islamic education actually gives both men and women a proportional position not only in domestic role but also in public one.Keywords:Education, Islam, Gender.
PERBANDINGAN PROKRASTINASI AKADEMIK MENURUT PILAHAN JENIS KELAMIN DI UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA Huda, Muhammad Johan Nasrul
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu topik penelitian yang paling sering tentang prokrastinasi adalah prokrastinasi akademik. Prokrastinasi adalah perilaku sukarela untuk menunda tindakan, meskipun ia telah mampu memprediksi bahwa penundaan akan membuat hal-hal buruk. Artikel ini membahas perilaku siswa yang menunda sejumlah tugas akademik sampai di dekat batas waktu untuk pengajuan tugas, atau sampai mereka mendapatkan peringatan yang berhubungan dengan mereka dalam tindakan. Berdasarkan survei tahun 2010 pada mahasiswa Universitas Islam Negeri. ditemukan ada perbedaan persentase antara mahasiswa laki-laki dan perempuan dari kelas 2004/2005. Persentase prokrastinasi siswa laki-laki sebanyak 78,5% sedangkan siswa perempuan yang menunda studinya sebanyak 21,5%. Hal ini kemudian dapat disimpulkan bahwa untuk siswa kelas 2004/2005, siswa laki-laki sering menunda studi mereka dibandingkan dengan yang perempuan. fenomena di UIN Sunan Kalijaga adalah bukti prestasi siswa perempuan dalam pendidikan ditandai kemampuan siswa perempuan ‘untuk menyelesaikan studi lebih cepat dibandingkan laki-laki. One of the most frequent research topic of procrastination is academic procrastination. Procrastination is a voluntary behavior to delay an action, though she/he has been able to predict that the delay will make things Worse. This article examines the behavior of students who put off a number of academic duties until near the deadline for submission of assignments, or until they get a warning related to their in action. Based on the survey in 2010 at the State Islamic University student. it is found there is a difference in the percentage between male and female students of class 2004/2005. Percentage of male students of procrastination as much as 78.5% while the female students who put off her studies as much as 21.5%. It can then be concluded that for the students of class Z004/2005, male students often postpone their studies compared with the female ones. the phenomenon at UIN Sunan Kalijaga is evidence of the achievements of female students in education characterized female students’ ability to complete the study more quickly than male ones.
MENGGAGAS PENDIDIKAN KARAKTER RESPONSIF GENDER Hadi, Sofiyan
PALASTREN Vol 8, No 2 (2015): PALASTREN
Publisher : STAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Baru-baru ini muncul fenomena krisis karakter bangsa yang menyebabkan krisis nasional dalam berbagai dimensi. Berbagai aspek kehidupan juga bertanggung jawab atas rapuhnya kepribadian bangsa ini. Termasuk sekolah sebagai lembaga yang secara esensial sebagai media pembangun karakter. Pendidikan meminjam istilah dari Shapiro (2006) sudah kehilangan hati, karena dimensi moral dan spiritual telah terpinggirkan. Jadi jika momentum “Hari Pendidikan” (2 Mei 2010), pemerintah menyatakan “gerakan nasional di negara pendidikan karakter,” maka perlu diterima dengan baik, meskipun masih dalam pencarian model. Tulisan singkat ini mencoba untuk meninjau bagaimana esensi dari pendidikan karakter dan desain kurikulum seperti itu harus disiapkan dalam perspektif keadilan gender. Makalah ini menyimpulkan bahwa pendidikan karakter berbeda dengan pendidikan moral. Jika pendidikan moral cenderung mengajarkan dimensi etika, baik dan buruk di tingkat kognitif, maka pendidikan karakter memerlukan pendekatan holistik. pendidikan karakter sebagai dikonfirmasi (Lickona, 1991) harus mencakup tiga aspek mengetahui, merasakan dan bertindak dari kebaikan.Oleh karena itu, dalam merancang kurikulum perlu mempertimbangkan tiga-lingkungan yang didukung oleh upaya intervensi dan habituasi, mulai dari kelas, sekolah, dan lingkungan keluarga. Agar pembangunan kurikulum tidak bias gender, perlu mengedepankan perspektif gender dalam mengembangkan kurikulum pendidikan karakter di semua tingkat.ABSTRACT Problems of character education already started sticking in various aspects of life involving men and women. Efforts are needed breakthrough in the design of character educational that can transform the moral values into action and real personality with gender responsive. This brief paper tries to review how the essence of character education and curriculum design as it should be prepared in the perspective of gender justice. This paper concludes that character education is different from the of moral education. If moral education tends to teach the ethical dimensions, good and bad in cognitive level, then character education requires a holistic approach. Character education should include three aspects of knowing, feeling and acting of the good. Therefore, in designing the curriculum needs to consider the three-sphere which is supported by intervention efforts and habituation, starting at the class, school, and family environment. In order for the construction of curricula is not gender-biased, the need to put forward a gender perspective in developing a character education curriculum especiallya in Islamic education in all level in Indonesia.

Page 1 of 1 | Total Record : 10