cover
Contact Name
Nur Rohim Yunus
Contact Email
jurnal.citahukum@uinjkt.ac.id
Phone
+6281384795000
Journal Mail Official
jurnal.citahukum@uinjkt.ac.id
Editorial Address
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat 15411
Location
Kota tangerang selatan,
Banten
INDONESIA
Jurnal Cita Hukum
ISSN : 23561440     EISSN : 2502230X     DOI : 10.15408
Jurnal Cita Hukum is an international journal published by the Faculty of Sharia and Law, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia. The focus is to provide readers with a better understanding of legal studies and present developments through the publication of articles, research reports, and book reviews. Jurnal Cita Hukum specializes in legal studies, and is intended to communicate original researches and current issues on the subject. This journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines. It aims primarily to facilitate scholarly and professional discussions over current developments on legal issues in Indonesia as well as to publish innovative legal researches concerning Indonesian laws and legal system. Published exclusively in English, the Review seeks to expand the boundaries of Indonesian legal discourses to access English-speaking contributors and readers all over the world. The Review, hence, welcomes contributions from international legal scholars and professionals as well as from representatives of courts, executive authorities, and agencies of development cooperation. The review basically contains any topics concerning Indonesian laws and legal system. Novelty and recency of issues, however, is a priority in publishing. The range of contents covered by the Review spans from established legal scholarships and fields of law such as private laws and public laws which include constitutional and administrative law as well as criminal law, international laws concerning Indonesia, to various approaches to legal studies such as comparative law, law and economics, sociology of law and legal anthropology, and many others. Specialized legal studies concerning various aspects of life such as commercial and business laws, technology law, natural resources law and the like are also welcomed.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 6, No 2 (2018)" : 9 Documents clear
Model Setting of Political Party System and Electoral Systems to Prevent Political Corruption Agus Riwanto; Achmad Achmad
Jurnal Cita Hukum Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v6i2.6132

Abstract

Abstract. This study aims to analyze and examine the causes of political parties to systemic corruption and efforts to save them from corruption. Political parties are important actors in democracy in a country. Democracy manifests in the form of election, the main actor of the election is a political party. If the main actor of corruption is confirmed, democracy and elections will fall. The result is a bad stigma in political parties: democracy yes political party no. Based on the research result that the cause of political party of corruption: First, the placement of political party as an important agent in state structure of Indonesia Post-amendment of 1945 Constitution, but it is not balanced with recruitment model of political party cadre that meritokratic, integrity and, responsibility to the public. Secondly, financing for running the organization of political parties is very expensive, especially if the political parties are projected to win the seats of DPR / D, governor/regent/mayor and president. Third, the choice of model of legislative election system in 2009 and 2014 based on Law Number 10 Year 2008 and Law Number 12 the Year 2012 on General Election of DPR, DPD, and DPRD (Indonesian Legislative Election) members are the most open-based voting proportional system. The recommendations for reforms to save political parties from corruption through party system and election system aspects are (1) to improve the recruitment model of political party cadre; (2) making alternative for financing model of political party organization; (3) tightening the requirements of political parties into election participants; (4) eliciting election costs by returning to open proportional systems with sequence numbers, and (5) designing alternative mixed-model electoral systems.Keywords: Arrangements, models, political parties, general elections and political corruptionAbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengkaji tentang penyebab partai politik (parpol) melakukan korupsi sistemik dan upaya menyelamatkannya dari korupsi. Parpol adalah aktor penting dalam demokrasi di sebuah negara. Demokrasi terwujud dalam bentuk pemilu, aktor utama pemilu adalah parpol. Jika aktor utamanya korupsi dipastikan demokrasi dan pemilunya terpuruk. Akibatnya muncul stigma buruk pada parpol: demokrasi yes parpol no. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empirisis (sosiologis) yang bersifat diskriptif-eksplanatoris. Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka cara memperoleh data dilakukan dengan studi pustaka dan observasi. Teori yang digunakan adalah teori korupsi politik, teori sistem kepartaian dan teori sistem pemilu. Berdasarkan hasil penelitian bahwa penyebab parpol korupsi: Pertama, ditempatkannya parpol sebagai agen penting bernegara dalam struktur ketatanegaraan Indonesia Pascaamandemen UUD 1945, namun tidak diimbangi dengan model rekruitmen kader parpol yang meritokratis, berintegritas dan tanggungjawab pada publik. Kedua, pembiayaan menjalankan roda organisasi parpol sangat mahal, apalagi jika parpol diproyeksikan untuk meraih kursi DPR/D, gubernur/bupati/walikota dan presiden. Ketiga, pilihan model sistem pemilu legislatif tahun 2009 dan 2014 berdasarkan UU No.10/2008 dan UU No.12/2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah sistem proporsional terbuka berbasis suara terbanyak. Adapun rekomendasi untuk reformasi menyelamatkan parpol dari korupsi melalui aspek sistem kepartaian dan sistem pemilu adalah, (1) memperbaiki model rekruitmen kader parpol; (2) membuat alternatif model pembiayaan organisasi parpol; (3) memperketat syarat parpol menjadi peserta pemilu; (4) mempermurah biaya pemilu dengan kembali ke sistem proporsional terbuka dengan nomor urut, dan (5) merancang alternatif sistem pemilu model campuran.Kata Kunci: Pengaturan, model, parpol, pemilu dan korupsi politik
Pengaruh Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 Terhadap Wilayah Laut Indonesia Yoyon Mulyana Darusman
Jurnal Cita Hukum Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v6i2.8687

Abstract

Abstract.Indonesia is a country that has a wider sea area (two thirds) than the land area (one third). The land area of Indonesia consists of thousands of islands which include: inland waters, straits and bays which serve as a link between the existing islands. Determination of the Geneva convention in 1958-1960 concerning the law of the sea has not given satisfaction to the state of Indonesia in providing national security regarding the unintegrated national territory. This can be seen as a mistake in the decision of the Geneva convention of 1958-1960 on the Law of the International Sea, which has not guaranteed the protection of all marine areas, especially marine areas in inland waters. Therefore, the Indonesian government pioneered the 1957 Djuanda Declaration, followed by the struggle of Foreign Minister Mochtar Kusumaatmadja and Indonesian diplomats such as Hasyim Djalal to try to accommodate Indonesia's interests as an archipelagic state. In the end, the above struggles can be fulfilled in the provisions of the Third Law of the Sea Convention in 1982, recognizing that all marine areas including Indonesia's inland waters constitute an Indonesian territory (insight of the archipelago).Keywords: Law of the Sea 1958, Law of the Sea of 1982, Sea Area, Archipelago Insight Abstrak. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah laut lebih luas (dua pertiga) dari wilayah daratan (satu pertiga). Wilayah daratan Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang di dalamnya meliputi: perairan pedalaman, selat maupun teluk yang menjadi penghubung antar pulau-pulau yang ada. Penetapan konvensi Jenewa tahun 1958-1960 tentang hukum laut belum memberikan kepuasan kepada negara Indonesia dalam memberikan pengamanan secara nasional berkenaan dengan belum terintegrasinya wilayah nasional. Hal ini dapat dilihat salah keputusan konvensi Jenewa Tahun 1958-1960 tentang Hukum Laut Internasional belum memberikan jaminan perlindungan terhadap seluruh wilayah laut terutama wilayah laut di perairan pedalaman. Karena itu, pemerintah Indonesia yang pelopori dengan Deklarasi Djuanda 1957, dilanjutkan perjuangan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja serta para Diplomat Indonesia seperti Hasyim Djalal berupaya agar kepentingan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) dapat diakomodir. Pada akhirnya perjuangan-perjuangan di atas dapat dipenuhi pada ketetapan Konvensi Hukum Laut Ke III tahun 1982 mengakui bahwa seluruh wilayah laut termasuk perairan pedalaman Indonesia merupakan suatu kesatuan wilayah Indonesia (wawasan nusantara).Kata Kunci: Hukum Laut 1958, Hukum Laut 1982, Wilayah Laut, Wawasan Nusantara.
Politik Hukum Dalam Kebijakan Hukum Pidana LGBT Iqbal Kamalludin; Hirda Rahma; Aldila Arumita Sari; Pujiyono Pujiyono
Jurnal Cita Hukum Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v6i2.7805

Abstract

Abstract.The development of the times turned out not to always be able to achieve goals in improving the moral of society. Evidenced by the increasing number of crimes of morality, especially in terms of sexual orientation deviations. Even though it is true that LGBT people are not to be shunned, their sexual orientation is deviant, directly or indirectly can have a negative effect on the wider community. This is a job for all aspects of society in overcoming LGBT. Deviations from noble values must be overcome by returning them to the legal ideals of the nation, Pancasila. In order not to conflict with human rights, regulation of LGBT is required to be a reflection of the legal ideals contained in each of the precepts in Pancasila.Keywords: Legal Politics, LGBT, PancasilaAbstrak. Perkembangan zaman ternyata tidak selalu dapat mencapai tujuan dalam perbaikan moral masyarakat. Terbukti dengan makin banyaknya kejahatan moralitas, terutama dalam hal peyimpangan orientasi seksual. Sekalipun memang benar bahwa kaum LGBT tidak untuk dijauhi, namun orientasi seksualnya yang menyimpang, secara langsung maupun tidak dapat berpengaruh negatif bagi masyarakat luas. Hal ini merupakan pekerjaan bagi seluruh aspek masyarakat dalam menanggulangi LGBT. Penyimpangan nilai-nilai luhur harus disiasati dengan mengembalikannya kembali kepada cita hukum bangsa yaitu Pancasila. Agar tidak bertentangan dengan HAM, pengaturan tentang LGBT diharuskan merupakan cerminan dari nilai-nilai cita hukum yang terkandung didalamnya setiap sila dalam Pancasila.Kata Kunci : Politik Hukum, LGBT, Pancasila.
The Rebellion Indication Towards Sovereign Government In Acts of Terrorism in Indonesia In Transcendental Dimension Irfan Hielmy; Nur Rohim Yunus
Jurnal Cita Hukum Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v6i2.8689

Abstract

Abstract:Every individual is certainly needing a peace and safety on their life. A terror or an intimidation need to be avoided, and becomes a government’s obligation to protect them. Terror is still occurred in various parts of the world including Indonesia, and a kind of organized crime. This crime is usually called by terrorism. A view which committing acts of violence and threat to create an atmosphere of terror or fear to the people extensively and cause victims spreadly, by snatching independence or loosing life and property, and causing a damage and destruction of life and property of another person. This crime also causes a disruption of national stability. So, the government has an obligation to eradicate and eliminate this criminal group. Unfortunately, terrorism is identifically referred to a specific Islamic group. Whereas Islam is never taught any violence through this humanity, but a religion which taught to keep and protect life. This paper is aim to analyze is terrorism belonging to rebellion as a kind of criminal, or a basic criminal. By using statute approach and transendental approach, the writer makes serious effort to find a conclusion of this problem.Keywords: Rebellion, Terrorism, Sovereign GovernmentAbstrak: Setiap orang pasti menginginkan kedamaian dan keamanan dalam hidupnya. Teror ataupun intimidasi merupakan hal yang harus dihindari, dan menjadi kewajiban negara untuk melindunginya. Terjadinya tindakan kejahatan teror masih terjadi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, dan merupakan bentuk kejahatan terorganisir. Kejahatan ini biasa disebut dengan terorisme. Sebuah paham yang melakukan tindakan kekerasan dan ancaman guna menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat masal, dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, serta mengakibatkan kerusakan dan kehancuran terhadap nyawa dan harta benda orang lain. Kejahatan ini mengakibatkan gangguan stabilitas nasional. Sehingga pemerintah yang berdaulat berkewajiban membasmi dan menumpas tuntas kelompok pelaku kejahatan ini. Mirisnya, kejahatan terorisme ini kerap diindentikkan kepada kelompok Islam tertentu. Padahal Islam tidak mengajarkan kejahatan terhadap kemanusiaan ini, tetapi agama yang menjaga dan melindungi kehidupan. Penelitian ini mencoba menganalisis apakah terorisme termasuk ke dalam perbuatan kejahatan pemberontakan atau hanya kriminal biasa. Dengan melakukan pendekatan hukum (statute approach) dan pendekatan transendental akhirnya penulis berupaya mencari titik akhir sebagai hasil kesimpulan dari permasalahan ini.  Kata Kunci: Pemberontakan, Terorisme, Pemerintahan Berdaulat 
A Patient’s Legal Protection as a Victim of Sexual Harassment on Medical Services in Indonesia Siska Elvandari; Mey Lin Chan
Jurnal Cita Hukum Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v6i2.8684

Abstract

Abstract. A medical service’s effort, the real profession is living call for dedicating self on humanity based on 3 (three) standard which must be obedient, including job’s standard, service’s standard, and standard operational procedure (SOP). These three standards are wishes become characteristic of medical workers and other profession to do a special medical action. The special can be seen by the correction given by law which a permission to do medical step for human body. Furthermore, it is proper while attending profession’s duty to respect and always respect of patient’s right based on glorious value, mind and glory. Yet, in practice many abusement are often found in order to taking care of quality  of profession and to straighten up the quality of staff, such as: an abusement received by patient on their recovery time after surgery, due to losing an awareness of patient after given by medical procedure, likes any sexual harassment by medical force environment, so that’s why it is necessary to have an effort of a legal protection to the patient as a victim on a criminal law of sexual harassment.Keywords: Legal protection, Sexual Harassment, Medical ServiceAbstrak: Dalam upaya pemberian pelayanan kesehatan, hakikat profesi merupakan panggilan hidup yang mengabdikan diri pada kemanusiaan yang didasarkan pada 3 (tiga) standard yang harus dipenuhi, meliputi Standard Profesi, Standard Pelayanan,  dan  Standard Operational Procedure (SOP). Ketiga standard inilah yang diharapkan menjadi ciri khusus dari tenaga kesehatan dan profesi lainnya untuk melakukan suatu tindakan medis tertentu yang mempunyai karakteristik yang khas. Dimana kekhasannya terlihat dari adanya suatu pembenaran yang diberikan oleh hukum yakni diperkenankannya melakukan tindakan medis tertentu terhadap tubuh manusia. Selain itu, sudah selayaknya dalam melaksanakan tugas profesi harus  menghormati selalu menghormati hak-hak pasien yang didasari nilai-nilai luhur, keluruhan budi dan kemuliaan demi kepentingan pasien. Namun, dalam prakteknya justru sering terjadi berbagai penyalahgunaan dalam upaya  memelihara mutu profesi serta menertibkan mutu para anggotanya, seperti; penyimpangan yang diterima oleh pasien dalam masa pemulihan pasca dilakukannya tindakan medis, dikarenakan hilangnya kesadaran pasien setelah dilakukan tindakan medis, seperti  terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan kalangan profesi kesehatan, sehingga diperlukan suatu upaya perlindungan hukum terhadap pasien sebagai korban dalam tindak pidana pelecehan seksualKata Kunci:  Perlindungan Hukum, Pelecehan Seksual, Pelayanan Kesehatan
Filling the Position of Constitutional Court Judge and its Corraletion With the Independence of Judges (Comparative Study of Some Countries) M Beni Kurniawan
Jurnal Cita Hukum Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v6i2.4739

Abstract

Abstract.This article explains how to fill the position of judges of the Constitutional Court in Indonesia by comparing the mechanism of filling the office of judges of the Constitutional Court in several countries in the world. This study also conducted a study on the correlation of filling the position of judges of the Constitutional Court with the independence of judges of the Constitutional Court in carrying out its functions and authority. This article concludes that there are three ways of recruitment of constitutional judges applicable in some countries. First mentioned, the single body mechanism, the appointment mechanism, the executive may determine all members of the Constitutional Court without further supervision by the legislative branch. Second, cooperative appointment mechanisms model; the appointment of this model calls for cooperation between institutions in determining the composition of a court or similar organ. Third is a representative reproduction model, this model involves a number of state institutions. For example, in Italy three of the nine constitutional justices are filed by the President, three by parliament, and three by the Supreme Court.Keywords: Filling the Position of Judge of the Constitutional Court, Independence, Comparison Abstrak. Artikel ini menjelaskan bagaimana pengisian jabatan hakim Mahkamah Konsitutisi di Indonesia dengan melakukan perbandingan terhadap mekanisme pengisian jabatan hakim Mahkamah Konsitutisi di beberapa negara di dunia. Penelitian ini juga melakukan studi terhadap korelasi pengisian jabatan hakim Mahkamah Konstitusi dengan Independensi hakim Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya. Artikel ini menyimpulkan bahwa ada tiga cara rekruitmen hakim konstitusi yang berlaku di beberapa negara. Pertama disebut, single body mechanism, mekanisme pengangkatan ini, eksekutif dapat menentukan seluruh anggota Mahkamah Konstitusi tanpa pengawasan lebih lanjut oleh cabang legislatif. Kedua, model cooperative appointment mechanisms; pengangkatan model ini menghendaki kerja sama di antara lembaga-lembaga dalam menentukan komposisi mahkamah atau organ sejenisnya.  Ketiga, adalah model pengankatan representative, model ini melibatkan sejumlah lembaga negara. Sebagai contoh di Italia tiga dari Sembilan hakim konstitusi diajukan oleh Presiden, tiga oleh parlemen, dan tiga oleh Mahkamah Agung.  Kata kunci: Pengisian Jabatan Hakim MK, Independensi, Perbandingan 
Pengawasan Pengurus Ikatan Notaris Indonesia Kota Padang Terhadap Pelaku Pelanggaran Kode Etik Nisaul Hasanah; Azmi Fendri; Neneng Oktarina
Jurnal Cita Hukum Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v6i2.8642

Abstract

Abstract.Notary is a profession that demands office holders and the profession has scientific competence and moral competence. Based on the code of ethics, the results of the changes are interesting to see the supervision and enforcement of a code of ethics for notaries who violate the code of ethics by the board of the Indonesian Notary Association (INI). Supervision and enforcement of a notary code of ethics by the Management of the Indonesian Notary Association in the city of Padang is carried out by the Regional Honorary Council. Supervision and enforcement of the code of ethics is carried out in a multilevel manner, if a suspected violation of the code of ethics is not satisfied with the decision of the regional or regional council of honor, then an appeal can be made against the Central Honorary Council. If it has not been satisfied with the decision of the Central Honorary Board, it can be appealed to Congress. While legal issues that arise related to supervision of a Notary who violates the code of ethics by the Management of the Indonesian Notary Association in the City of Padang, namely the inadequacy of rules related to the notary examination event by the Honorary Board of the Notary Association of Indonesian Notaries.Keywords: Supervision, Violation, Code of EthicsAbstrak. Notaris merupakan sebuah profesi yang menuntut pemangku jabatan dan profesi tersebut memiliki kompetensi keilmuan dan kompetensi moral. Berdasarkan kode etik hasil perubahan terlihat pengawasan dan penegakan kode etik terhadap notaris yang melakukan pelanggaran kode etik oleh pengurus Ikatan Notaris Indonesia (INI). Pengawasan dan penegakan kode etik notaris oleh Pengurus Ikatan Notaris Indonesia kota Padang dilaksanakan oleh Dewan Kehormatan Daerah. Pengawasan dan penegakan kode etik dilaksanakan secara bertingkat. Apabila terduga pelanggaran kode etik tidak puas dengan keputusan dewan kehormatan daerah, maupun wilayah, maka dapat mengajukan banding terhadap Dewan Kehormatan Pusat. Jika belum terpuaskan dengan putusan Dewan Kehormatan Pusat, maka bisa diajukan banding ke Kongres. Permasalahan hukum yang timbul terkait pengawasan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik oleh Pengurus Ikatan Notaris Indonesia di Kota Padang yaitu belum memadainya aturan-aturan terkait acara pemeriksaan notaris oleh Dewan Kehormatan Notaris Ikatan Notaris Indonesia.Kata Kunci: Pengawasan, Pelanggaran, Kode Etik
The Institutional Renewal in Settlement of Disputes of Local Election Results Heru Widodo
Jurnal Cita Hukum Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v6i2.8690

Abstract

Abstract. Since the first step of local election in 2015, the authority of adjudicating a dispute of local election’s result has been run by The Constitutional Court (MK) until a special judicial board before the national election held. An ideal design of the institutional renewal to adjudicate a controversy of local election’s result, could be a part of judicial environment under The Supreme Court (MA) supervision, or may becomes a new institution or replaces another institution by attaching to the authorized institution, named: Bawaslu, PT TUN or MK. Bawaslu was become the one of the institution which fulfills the requirements. Started from a legislative election on 2014, Bawaslu has an authority of resolving a dispute among the candidates of general election or between the candidates and the committee. And since the national election in the year 2017, Bawaslu has given the authorization to settle up an administrative violation, a conflict of local election and to handle a money politics through TSM. The authority of the dispute court of election results is proposed not only on the controversy over the calculation result, but also including unreachable legal phenomenon with law enforcement on criminal system and stage of election dispute, as an inseparable part.Keywords: institutional renewal, dispute result, national election.Abstrak. Sejak pemilihan serentak tahap pertama tahun 2015, wewenang mengadili sengketa hasil pemilukada dijalankan Mahkamah Konstitusi sampai dibentuk badan peradilan khusus sebelum pelaksanaan pemilihan serentak nasional. Disain pembaharuan kelembagaan yang ideal untuk mengadili sengketa hasil pemilukada serentak, dapat menjadi bagian dari lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung, dapat pula menjadi lembaga baru ataupun mereposisi lembaga dengan cara melekatkan pada lembaga yang saat ini berwenang menyelesaikan sengketa pemilihan, yakni : Bawaslu, PT TUN atau MK. Bawaslu menjadi salah satu pilihan lembaga yang memenuhi persyaratan. Sejak Pemilu Legislatif 2014, Bawaslu berwenang menyelesaikan sengketa antarpeserta pemilu maupun antara peserta dengan penyelenggara, dan sejak Pemilukada Serentak 2017, bahkan diberi wewenang memutuskan pelanggaran administrasi, sengketa pemilukada sampai penanganan politik uang (money politics) secara TSM. Kewenangan peradilan sengketa hasil pemilihan diusulkan tidak hanya atas perselisihan atas hasil perhitungan, tetapi memasukkan peristiwa hukum yang tidak terjangkau dengan penegakan hukum dalam sistem pidana dan tahap sengketa pemilihan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Kata kunci : pembaharuan kelembagaan, sengketa hasil, pemilukada serentak
Urgency Application Of Proof Decisoir Eed Related With Judicial Conditions In The Civil Case Evidence In The Court (Case Study of Decision No. 47 / Pdt.G / 2012 / PN Lsk and Decision No. 16/Pdt.G/2012/PN Stb) Efa Laela Fakhriah; Yustika Tatar Fauzi Harahap
Jurnal Cita Hukum Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/jch.v6i2.8686

Abstract

Abstract:Implementation of the law that related civil law to the procedure of settlement of the legal dispute in court is regulated by formal law that named law of civil procedure. The aim of this study to determine how the application of proof decisoir eed in Civil Case Evidence in Court? and how the factors that affect the consideration of the judge in deciding decisoir eed as evidence?. There are some references for this research, court decisions, both decisoir eed application by either party in order to convince the judge and decisoir eed as the only evidence of the evidentiary process. The results showed that contradictory opinions: 1. In practice there are judicial decisions that apply oath breaker even if the parties have filed written evidence and witnesses and 2. decisoir eed can be applied if one of the parties did not submit evidence. The next discussion is the existence of subjective factors and objective factors for the judge to consider the granting of the decisoir eed by the parties. The conclusion of this research is the application of the decisoir eed of the civil event is irrelevant because of the low sense of legal certainty.Keywords: Proof, Decisoir Eed, Judge Abstrak:Implementasi hukum yang berhubungan di bidang keperdataan terhadap tata cara penyelesaian sengketa hukum di pengadilan diatur oleh hukum formil yang disebut dengan hukum acara perdata. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana penerapan alat bukti sumpah pemutus dalam pembuktian perkara perdata di Pengadilan dan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap keyakinan Hakim dalam memutuskan sumpah pemutus. Materi pembahasan penelitian ini adalah permohonan sumpah pemutus oleh salah satu pihak dengan tujuan untuk meyakinkan Hakim dalam menilai kebenaran alat bukti dan permohonan sumpah pemutus sebagai alat bukti satu-satunya dalam proses pembuktian. Hasil analisis menunjukan 2 (dua) pendapat saling kontradiktif yaitu dalam Putusan No. 47/Pdt.G/2012/PN Lsk Majelis Hakim yang mengabulkan permohonan sumpah pemutus oleh Penggugat meskipun Penggugat telah memiliki alat bukti lain dan dalam Putusan No. 16/Pdt.G/2012/PN Stb Majelis Hakim tidak mengabulkan permohonan sumpah pemutus dalam perkara tersebut karena Pihak Lawan memiliki bukti surat dan saksi. Pembahasan berikutnya sehubugan dengan faktor subyektif dan faktor obyektif dari Hakim dalam mempertimbangkan permohonan sumpah pemutus oleh para pihak. Kesimpulan yang didapat adalah penerapan alat bukti sumpah pemutus dalam acara perdata sudah tidak relevan karena jauh dari rasa kepastian hukum dan paradigma hukum yang berkembang dalam penanganan perkara perdata di samping mencari kebenaran formal mulai mengarah kepada terwujudnya kebenaran materiil terbatas. Hakim harus melakukan pencarian kebenaran terhadap fakta yang dipersengketakan demi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum.Kata kunci: Alat Bukti, Sumpah Pemutus, Hakim

Page 1 of 1 | Total Record : 9