cover
Contact Name
Rizky Abdulah
Contact Email
r.abdulah@unpad.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
editorial@ijcp.or.id
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Farmasi Klinik Indonesia
ISSN : 23375701     EISSN : 2337 5701     DOI : -
Core Subject :
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy (IJCP) is a scientific publication on all aspect of clinical pharmacy. It published 4 times a year by Clinical Pharmacy Master Program Universitas Padjadjaran to provide a forum for clinicians, pharmacists, and other healthcare professionals to share best practice, encouraging networking and a more collaborative approach in patient care. Indonesian Journal of Clinical Pharmacy is intended to feature quality research articles in clinical pharmacy to become scientific guide in fields related to clinical pharmacy. It is a peer-reviewed journal and publishes original research articles, review articles, case reports, commentaries, and brief research communications on all aspects of Clinical Pharmacy. It is also a media for publicizing meetings and news relating to advances in Clinical Pharmacy in the regions.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue "Vol 10, No 2 (2021)" : 8 Documents clear
Hubungan Derajat Celah Langit-Langit dengan Keadaan Telinga Tengah Berdasarkan Timpanogram pada Pasien Celah Langit-Langit Shinta F. Boesoirie; Nur A. Aroeman; Dicki Nursyafri; Vesara A. Gatera
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2021.10.2.110

Abstract

Celah langit-langit dan bibir sering terjadi akibat kegagalan penyatuan langit-langit dan bibir selama masa perkembangan janin. Sekitar 90% penderita celah langit-langit akan mengalami gangguan telinga tengah dan menimbulkan gangguan pendengaran. Kelainan telinga tengah pada penderita celah langit-langit pada derajat 2 umumnya terjadi pada obstruksi fungsional pada tuba eustakius sehingga terjadi kegagalan otot palatal untuk membuka tuba eustakius. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan derajat celah langit-langit dengan keadaan telinga tengah pada pasien dengan celah langit-langit. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan potong lintang. Subjek penelitian adalah penderita celah langit-langit yang datang berobat ke poliklinik bedah mulut di YPPCBL Bandung dan poliklinik Telinga, Hidung, Tenggorok-Bedah Kepala dan Leher (THT-KL) pada tahun 2018 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung sebanyak 30 subjek. Data penelitian didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik THT-KL dan pemeriksaan timpanometri untuk mengetahui keadaan telinga tengah subjek penelitian. Data yang terkumpul dilakukan analisis data menggunakan uji regresi linear melalui nilai p≤0,05 untuk melihat derajat hubungannya. Keadaan telinga tengah di kedua sisi memberikan gambaran semakin bertambah derajat celah langit-langit maka timpanogram lebih banyak tipe B diikuti dengan jumlah penderita celah abnormalnya. Dari 30 subjek penelitian, didapatkan sebanyak 20% pada derajat 3 dan 66,7% pada derajat 4 memiliki timpanogram tipe B di telinga kanan, sedangkan pada telinga kiri, didapatkan 6,7% pada derajat 2 memiliki tipmanogram tipe As, 20% pada derajat 3 dan 66,7% pada derajat 4 memiliki timpanogram tipe B. Disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara derajat celah langit-langit dengan keadaan telinga tengah berdasarkan timpanogram.Kata kunci: Celah langit-langit, derajat celah langit-langit, keadaan telinga tengah, timpanogram The Correlation Between the Cleft Palate Severity and the Middle Ear Condition Based on the Tympanogram in Cleft Palate PatientsAbstractCleft lip and palate (CLP) are congenital anomalies caused by the failure of palate and lip fusion during fetal development which is influenced by numerous factors. Approximately 90% of CLP patients develop middle ear disorders leading to loss of hearing. Middle-ear disorders in cleft palate patients starting from grade 2, are bound to cause functional obstruction in the eustachian tube, due to the palatal muscle’s failure to open the eustachian tube. This study, therefore, aimed to investigate the association between the cleft palate severity and the middle ear condition in these patients, using an analytic-observational method with a cross-sectional design. The study subjects were 30 cleft palate patients admitted to the oral surgery polyclinic at YPPCBL Bandung and ORL-HNS Polyclinic Dr. Hasan Sadikin General Hospital. Data were collected retrospectively from medical records, while ORL-HNS physical examination and tympanometry examination were performed to determine the middle ear condition. Subsequently, a regression analysis was conducted to determine the degree of association. According to the results, an increase in the cleft palate severity increases the prevalence of type-B tympanogram, with an increasing number of CLP patients. Among the study subjects, about 20% of grade 3 and 66.7% of grade 4 had type-B tympanogram in the right ear, while in the left ear, 6.7% of grade 2 had type-As tympanogram, and 20% of grade 3, as well as 66.7% of grade 4, had type-B tympanogram. Therefore, the cleft palate severity is significantly correlated with the middle ear condition, based on the tympanogram.   Keywords: Cleft palate, cleft palate severity, middle ear condition, tympanogram
Evaluasi Kuantitatif Penggunaan Antibiotik di Ruang Perawatan Airlangga dan Peta Kuman RSUD Kanjuruhan Malang Periode Juli-Desember 2018 Wirda Anggraini; Hajar Sugihantoro; Firda Ludfiyah
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2021.10.2.90

Abstract

Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling banyak dikonsumsi secara luas di tempat layanan kesehatan. Tingginya jumlah penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat mengakibatkan terjadinya resistensi, efek samping dan biaya rumah sakit yang meningkat. Salah satu upaya untuk mengendalikan resistensi antibiotik di rumah sakit adalah pelaksanaan evaluasi penggunaan antiobiotik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil penggunaan antibiotik dan peta kuman, serta melakukan evaluasi kuantitatif. Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif menggunakan desain cross-sectional melalui data rekam medik pasien Ruang Perawatan Airlangga bulan Juli–Desember 2018 dan data peta kuman tahun 2018 RSUD Kanjuruhan Malang yang diambil secara retrospektif. Didapatkan 75 sampel rekam medis yang kemudian dianalisis secara kuantitatif menggunakan metode ATC/DDD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa golongan antibiotik terbanyak yang digunakan adalah golongan Cephalosporin (86%) dengan tiga antibiotik tertinggi adalah Cefoperazone (43,90%), Ceftriaxone (18,29%), dan Cefotaxime (13,41%). Dari hasil analisis kuantitatif penggunaan antibiotik dengan metode ATC/DDD, didapatkan nilai total DDD/100 patient days sebesar 66,44 dengan antibiotik tertinggi adalah Cefoperazone (20,72), dan Ceftriaxone (20,18). Antibiotik yang masuk dalam segmen 90% antara lain Cefoperazone (parenteral) 31,19%, Ceftriaxone (parenteral) 30,37%, Cefotaxime (parenteral) 12,45%, Levofloxacin (parenteral) 5,19%, Levofloxacin (oral) 4,88%, dan Metronidazole (parenteral) 4,73%. Isolat bakteri yang diperoleh dari laboratorium mikrobiologi berjumlah 120 isolat dengan distribusi bakteri gram positif (49,17%) dan bakteri gram negatif (50,83%). Isolat bakteri gram positif terbanyak adalah Staphylococcus aureus (30%) dan bakteri gram negatif terbanyak adalah Escherichia coli (15%) dengan sensitivitas antibiotik terbaik untuk bakteri gram positif adalah Clarithomicyn (81,8%) dan untuk bakteri gram negatif adalah Amikacin (77,8%).Kata kunci: Antibiotik, DDD/100 patient days, DU 90%, peta kuman  A Quantitative Evaluation of the Antibiotic Use in Airlangga Ward and Microorganism Pattern in Kanjuruhan Regional General Hospital Malang, between July and December 2018AbstractAntibiotics are the most widely used class of drugs in health care, however, the abuse of these drugs leads to resistance, side effects, and increased hospital costs. The evaluation of antibiotics use is a possible attempt to control antibiotic resistance in hospitals. Therefore, this study aimed to determine the profile of antibiotic use, microorganism pattern, and perform a quantitative evaluation. Using an observational descriptive method study with a cross-sectional design, data were retrospectively retrieved from medical records of patients admitted in Airlangga Ward between July and December 2018, as well as the microorganism pattern in Kanjuruhan Region General Hospital Malang 2018. A total of 75 medical record samples were obtained and these were further analyzed using the ATC/DDD method. According to the results, the most used antibiotics group was Cephalosporin (86%), particularly Cefoperazone (43.90%), Ceftriaxone (18.29%), and Cefotaxime (13.41%). In addition, the quantitative analysis of antibiotics use showed the total DDD/100 patient days was 66.44 with Cefoperazone (20.72) and Ceftriaxone (20.18). The antibiotics included in the 90% segment were Cefoperazone (parenteral) 31.19%, Ceftriaxone (parenteral) 30.37%, Cefotaxime (parenteral) 12.45%, Levofloxacin (parenteral) 5.19%, Levofloxacin (oral) 4.88%, and Metronidazole (parenteral) 4.73%. Meanwhile, a total of 120 bacterial isolates (49.17% gram-positive and 50.83% gram-negative) were obtained from the microbiology laboratory, with the most prevalent gram-positive and negative isolates being Staphylococcus aureus (30%) and Escherichia coli (15%), respectively. Also, the best antibiotic sensitivity for gram-positive and negative bacteria was recorded for Clarithomicyn (81.8%) and Amikacin (77.8%), respectively.    Keywords: Antibiotics, DDD/100 patient days, DU 90%, microorganism pattern
Reaksi Obat yang Tidak Diharapkan dari Penggunaan Teofilin akibat Interaksi dengan Obat Penghambat Enzim Sitokrom P450 1A2: Laporan Kasus Ulvi N. Rista; Astria Y. Permana
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2021.10.2.127

Abstract

Teofilin merupakan bronkodilator dengan rentang konsentrasi terapetik sempit dan memiliki variabilitas antarindividu secara farmakokinetik. Klirens teofilin dipengaruhi oleh usia, fungsi hati, dan interaksi obat. Kami laporkan sebuah kasus anak usia 2 tahun 8 bulan dengan sepsis disertai gangguan fungsi ginjal dan hati, mengalami reaksi obat yang tidak diharapkan yang diduga efek toksisitas teofilin akibat interaksi obat, yaitu tremor, kejang, gelisah, dan takikardia. Dilakukan pengecekan interaksi obat dengan menggunakan Micromedex® dan penilaian hubungan kausalitas menggunakan Drug Interaction Probability Scale (DIPS). Dari penilaian DIPS, paling mungkin disebabkan oleh interaksi obat teofilin dan siprofloksasin, didukung dengan tanda dan gejala toksisitas hilang setelah teofilin dihentikan. Efek tersebut terjadi karena peningkatan dosis teofilin yang tidak diikuti dengan peningkatan klirens teofilin pada anak. Penyesuaian dosis dan pemantauan kadar teofilin dalam darah diperlukan untuk mencegah efek toksisitas.Kata kunci: Interaksi obat, siprofloksasin, teofilin, toksisitas obat  Adverse Drug Reaction due to the Drug Interaction between Theophylline and a CYP1A2 Drug Inhibitor: Case Report AbstractTheophylline is a bronchodilator with narrow therapeutic concentration, as well as inter-individual pharmacokinetic variability, and the clearance of this drug is influenced by age, liver function, and drug interactions. This study, therefore, reports the case of a 32 month-old child diagnosed with sepsis as well as renal and liver impairment and exhibiting theophylline toxicity symptoms of tremor, seizure, agitation, as well as tachycardia. The drug interaction and causality relationship were assayed using Micromedex® and a Drug Interaction Probability Scale (DIPS), respectively. Based on the DIPS, the most probable cause is the drug interaction of theophylline and ciprofloxacin. Furthermore, all the symptoms disappeared after theophylline was continued. Also, an increase in the theophylline dose did not lead to an increase in the drug’s clearance, therefore, to prevent toxicity, the dosage ought to be adjusted and the drug concentration must be monitored. Keywords: Ciprofloxacin, drug interaction, drug toxicity, theophylline
Sacubitril/Valsartan: The Role of Neprilysin Pathway in Heart Failure Sidhi L. Purwowiyoto; Ferina Angelia; Ananta S. Prawara
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2021.10.2.133

Abstract

Neprilysin (NEP) is an enzyme present in several body cells and is involved in the degradation of natriuretic peptides (NPs), bradykinin (BK), and adrenomedullin (ADM). Furthermore, sacubitril/valsartan (LCZ696), the first agent of Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI), has been developed to inhibit both Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS) and NEP. This study, therefore, aimed to discuss the role of sacubitril/valsartan in inhibiting the progression of heart failure (HF) by influencing the RAAS and NEP pathways. Data on previous articles related to basic theory and clinical trials of ARNI were collected through multiple search engines using the inclusion criteria: articles published in the English language within 2010 to 2020, while additional information on HF guidelines, RAAS, NPs, and ADM were acquired separately. Subsequently, a total of 30 studies were selected and further discussed. According to the results, NEP inhibition leads to a rise in the level of vasodilator agents and is beneficial for HF patients previously prescribed solely RAAS inhibiting agent (Angiotensin Converting Enzyme, ACE-inhibitor and Angiotensin II Receptor Blockers, ARB). In addition, the RAAS, as well as the NEP pathways play a significant role in HF progression and are inhibited by sacubitril/valsartan. Also, clinical trials showed sacubitril/valsartan is superior to ACE-inhibitor and ARB in clinical trials in treating, as well as reducing the morbidity and mortality rates of patients suffering from HF with reduced ejection fraction (HFrEF). Keywords: ARNI, heart failure, neprilysin, sacubitril/valsartan Sacubitril/Valsartan: Peran dari Jalur Neprilisin dalam Gagal JantungAbstrakNeprilisin (NEP) merupakan sebuah enzim yang dapat ditemukan di berbagai sel pada tubuh dan terlibat dalam mendegradasi peptida natriuretik, bradykinin  (BK), dan adrenomedullin (ADM). Sacubitril/valsartan (LCZ696) merupakan agen pertama dari Angiotensin Receptor Neprilysin Inhibitor (ARNI) yang dikembangkan untuk menghambat jalur Renin Angiotensin Aldosterone System (RAAS) dan NEP. Review ini bertujuan untuk membahas peranan dari sacubitril/valsartan dalam menghambat progresi gagal jantung dengan memengaruhi jalur RAAS dan NEP. Pengumpulan data untuk teori dasar dan uji klinis ARNI dalam artikel review ini menggunakan beberapa mesin pencari. Informasi tambahan seperti pedoman-pedoman gagal jantung, RAAS, peptida natriuretik, dan ADM didapatkan secara terpisah. Kriteria inklusi yang digunakan adalah studi harus berbahasa Inggris dan dipublikasikan antara 2010 dan 2020. Sebanyak 30 studi diinklusi dan dibahas lebih lanjut dalam review ini. Hasilnya didapatkan bahwa inhibisi dari NEP menyebabkan terjadinya peningkatan agen-agen vasodilator yang berdampak positif bagi pasien gagal jantung yang sebelumnya direkomendasikan meminum obat yang hanya menghambat RAAS (penghambat Angiotensin Converting Enzyme/ACE dan Angiotensin II Receptor Blockers/ARB). Sacubitril/valsartan menghambat alur RAAS dan NEP yang mana keduanya memainkan peranan penting dalam progresi gagal jantung. Sacubitril/valsartan lebih superior dalam mencapai target pengobatan pasien yaitu mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi dibandingkan dengan penghambat ACE dan ARB pada uji-uji klinis.Kata kunci: ARNI, gagal jantung, neprilisin, sacubitril/valsartan
Efek Proteksi Profilaksis Isoniazid terhadap Infeksi Tuberkulosis pada Pasien HIV di Rumah Sakit Pengayoman Cipinang Nurfitri Bustamam; Indra Setiawan
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2021.10.2.100

Abstract

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik yang menjadi penyebab utama kematian pada pasien human immunodeficiency virus (HIV). Oleh karenanya, perlu upaya pencegahan infeksi TB melalui pemberian profilaksis isoniazid (INH) kepada pasien HIV. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran karakteristik pasien yang mendapat profilaksis INH dan hasil pemberian profilaksis tersebut di RS Pengayoman Cipinang. Metode penelitian yang digunakan adalah desain kohort retrospektif pada pasien HIV yang mulai mendapat profilaksis INH pada tahun 2018–2019. Data diambil dari Ikhtisar Perawatan HIV. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 46 dari 57 (80,7%) subjek mendapat profilaksis INH lengkap, sementara subjek lainnya ada yang mengalami alergi, loss of follow up, pindah, atau meninggal. Subjek mulai mendapat profilaksis INH setelah 3 (0–13) tahun dikonfirmasi terinfeksi HIV.  Berdasarkan karakteristiknya, subjek yang mendapat profilaksis INH lengkap sebagian besar adalah laki-laki, berusia 36 (24–54) tahun, berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan belum menikah. Status kesehatan dan riwayat pengobatan subjek beragam. Sebanyak 71,1% subjek mendapat regimen antiretroviral fixed-dosed combination, 87% dengan adherence ≥95%, 39% stadium klinis III, 52,2%  dengan viral load detected, 15,2% mempunyai riwayat infeksi TB, dan 93,5% tidak mendapat profilaksis kotrimoksasol. Hasil observasi selama setahun menunjukkan tidak ada subjek dengan profilaksis INH lengkap yang terinfeksi TB. Dapat disimpulkan profilaksis INH efektif melindungi subjek dari infeksi TB.Kata kunci: Pasien human immunodeficiency virus, profilaksis isoniazid, tuberkulosis   The Protective Effect of Isoniazid Prophylactic Therapy against Tuberculosis Infection in HIV Patients at Pengayoman Cipinang Hospital AbstractTuberculosis (TB) is the most opportunistic infection and the leading cause of death in human immunodeficiency virus (HIV) patients. Consequently, TB infection must be prevented by providing these patients with isoniazid prophylactic therapy (IPT). This study, therefore, aimed to describe the characteristics of patients administered IPT and the results of this therapy at Pengayoman Cipinang Hospital, using a retrospective cohort design in HIV patients first administered IPT between 2018 and 2019. Data was collected through a review of medical records and a total of 57 participants were selected for the study. According to the results, 46 subjects (80.7%) received complete IPT, while others either experienced allergies, failed to follow-up, moved, or died. The subjects all began IPT after 3 (0 to 13) years of confirmed HIV infection, and based on the respondent characteristics, the majority of subjects administered complete IPT were unmarried men, aged 36 (24–54) years, and with high school education. However, the health status and treatment history of the subjects varied. A total of 71.1% of the subjects received a fixed-dose combination antiretroviral regimen, 87% received with adherence ≥95%, 39% with clinical stage III, 52.2% with viral load detected, 15.2% had a history of TB infection, while 93.5% did not receive cotrimoxazole prophylaxis. Observations for a year showed none of the subjects with complete IPT were infected with TB. Therefore, IPT was concluded to be effective in protecting HIV patients from TB infection.    Keywords: Isoniazid prophylactic therapy, human immunodeficiency virus patients, tuberculosis 
Profil Proteinuria dan Tekanan Darah pada Pasien Preeklampsia Berat yang menggunakan Antihipertensi Nurmainah Nurmainah; Firda M. Hadad; Mohamad Andrie
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2021.10.2.79

Abstract

Preeklampsia berat sering terjadi pada ibu hamil. Pengobatan preeklampsia berat dapat dilakukan dengan pemberian antihipertensi untuk mencegah penyakit serebrovaskular dan kematian. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil penurunan proteinuria, tekanan darah, dan penggunaan antihipertensi pada pasien preeklampsia berat di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Soedarso Pontianak. Metode penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan penelitian potong lintang. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif dari rekam medis pasien preeklampsia berat rawat inap selama periode Januari–Desember 2018. Penelitian ini dilakukan selama bulan Oktober–Desember 2019 di RSUD dr. Soedarso Pontianak. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini sebanyak 62 pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 32,27% pasien mengalami penurunan nilai proteinuria dengan rata-rata penurunan sebesar dipstik (+)1 sedangkan nilai proteinuria dipstik yang tetap terdapat pada 67,73% pasien dengan mayoritas pasien memiliki nilai proteinuria dipstik (+)3. Penurunan rata-rata tekanan darah sistolik/diastolik (TDS/TDD) pada pasien preeklampsia berat sebesar 28,58/17,69 mmHg. Antihipertensi yang digunakan yaitu nifedipin (14,52%), metildopa (8,06%), furosemid (1,61%). Penggunaan antihipertensi kombinasi paling banyak digunakan adalah kombinasi nifedipin dan metildopa sebanyak 40,32%. Simpulan penelitian ini adalah terdapat penurunan tekanan darah dan proteinuria pada pasien preeklampsia berat yang menggunakan antihipertensi.Walaupun demikian, beberapa pasien preeklampsia berat masih memiliki kadar proteinurianya dalam kondisi tetap. Antihipertensi yang paling banyak digunakan pada pasien preeklampsia berat di Instalasi Rawat Inap RSUD dr. Soedarso Pontianak yaitu kombinasi nifedipin dan metildopa.Kata kunci: Antihipertensi, preeklampsia berat, proteinuria, tekanan darah  Proteinuria and Blood Pressure Profiles in Severe Preeclampsia Patients using Antihypertensive MedicationAbstractPreeclampsia is a common occurrence among pregnant women, and in severe cases, the condition is treated using antihypertensive medication to prevent cerebrovascular disease, as well as death. This study, therefore, aimed to describe the proteinuria levels, blood pressure, and antihypertensive profile of patients with severe preeclampsia at Dr. Soedarso General Hospital, Pontianak, using a descriptive observation method with a cross-sectional design. The study was conducted from October–December 2019, however, data were collected retrospectively, based on inpatients with severe preeclampsia medical records from January to December 2018, and a total of 62 participants were selected based on the inclusion, as well as exclusion criteria. According to the results, 32,27% of the respondents experienced a reduction in proteinuria levels, with an average of proteinuria dipstick (+)1, while 67,73% experienced constant proteinuria levels, with most patients having proteinuria dipstick (+)3. Furthermore, the average systolic/diastolic blood pressure (SBP/DBP) reduction in patients with severe preeclampsia was 28,58/17,69 mmHg. The antihypertensive used were nifedipine (14,52%), methyldopa (8,06%), and furosemide (1,61%), alone or in combination, however combination medication, for instance, nifedipine + methyldopa (40,32%), was most prevalent. In conclusion, patients with severe preeclampsia experienced reductions in blood pressure and proteinuria levels after treatment with antihypertensive medication, however, several patients experienced constant proteinuria levels. Also, the most commonly used antihypertensive was discovered to be a combination of nifedipine and methyldopa.Keywords: Antihypertensive medication, blood pressure, proteinuria, severe preeclampsia 
Efek Ekstrak Angkak dalam Menghambat Proliferasi Sel Kanker Prostat dan Payudara Vesara A. Gatera; Tiana Milanda
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2021.10.2.119

Abstract

Kanker payudara dan prostat masih menjadi kasus prevalensi tertinggi hingga saat ini, untuk itu diperlukan beberapa alternatif terapi yang berasal dari bahan alam dengan efek samping yang relatif rendah. Salah satu bahan alam yang memiliki aktivitas sitotoksisitas adalah angkak yang merupakan hasil fermentasi dari jamur Monascus pada medium beras, namun potensinya belum optimal diteliti terutama pada kanker payudara dan prostat. Penelitian ini bertujuan untuk menguji sitotoksisitas ekstrak etanol, etil asetat, dan n-heksan dari angkak terhadap lini sel kanker prostat DU145, lini sel kanker payudara MDA-MB-231 dan menentukan golongan senyawa yang diduga memiliki aktivitas sitotoksik. Penelitian ini menggunakan metode 3-4,5-di-methylthiazol-2-y1-5-(3-carboxymethoxyphenyl)-2-(sulfophenyl)-2H-tetrazolium (MTS). Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ekstrak n-heksan memiliki sitotoksisitas terbaik dengan nilai IC50 138,900 μg/mL pada lini sel DU145 dan 192,623 μg/mL pada lini sel MDA-MB-231, sedangkan pada ekstrak etanol dan etil asetat memiliki tingkat sitotoksik yang rendah dengan masing-masing nilai IC50 yaitu 649,426 μg/mL pada lini sel DU145, di luar rentang konsentrasi uji pada sel lini MDA-MB-231 dan 207,916 μg/mL pada lini sel DU145 dan 259,408 μg/mL pada lini sel MDA-MB-231. Disimpulkan bahwa ekstrak n-heksan angkak memiliki aktivitas sitotoksisitas terbaik, kemampuan tersebut diduga berasal dari senyawa flavonoid dan kuinon.Kata kunci: Angkak, kanker prostat, Monascus, sitotoksisitas The Effect of Angkak Extract in Inhibiting Cell Proliferation of Prostate and Breast CancerAbstractProstate cancer attacks the prostate gland in the male reproductive system. However, angkak, a product of fermentation from Monascus mushrooms on rice medium, exhibits potent anticancer activity. This study, therefore, aims to examine the cytotoxicity of ethanol, ethyl, and n-hexane extracts from angkak against DU145 prostate, as well as MDA-MB-231 breast cancer cells line, and determine the class of compounds with cytotoxic activity. The cytotoxic assay was performed using the 3-4,5-di-methylthiazol-2-y1)-5-(3-carboxymethoxyphenyl)-2-(4-sulfophenyl)-2H-tetrazolium (MTS) method. According to the results,  the n-hexane extract of angkak exhibited the most impressive cytotoxicity at IC50 138,900 μg/mL in DU145 cell, and 192,623 μg/mL, in MDA-MB-231 cell line. Meanwhile, the ethanol and ethyl acetate extracts exhibited low cytotoxic levels with  IC50 649,426 μg/mL and 207,916 μg/mL, respectively, in DU145 cell line, as well as unidentified results and 259,408 μg/mL, respectively, in MDA-MB-231 cell line. Therefore, angkak n-hexane extract was concluded to exhibit the best cytotoxicity activity, with the potential compounds having this activity derived from flavonoid and quinone compounds.      Keywords: Angkak, prostate cancer, Monascus, cytotoxicity
Potensi Tanaman Herbal Antidiabetes untuk Minuman Obat: Sebuah Literatur Review Yulin Prisdiany; Irma M. Puspitasari; Norisca A. Putriana; Mas Rizky A. A. Syamsunarno
Indonesian Journal of Clinical Pharmacy Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15416/ijcp.2021.10.2.144

Abstract

Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2012, diabetes menyebabkan 1,5 juta kematian. Seiring berkembangnya pengetahuan, saat ini tanaman herbal lebih banyak digunakan sebagai bahan obat. Salah satu sediaan yang saat ini sedang banyak dikembangkan adalah sediaan minuman herbal. Minuman herbal kaya akan senyawa bioaktif alami. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa bioaktif ini memberikan banyak efek biologis, seperti antioksidan, antibakteri, antidiabetes, dan lain-lain. Salah satu permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan tanaman herbal adalah kurangnya penelitian atau pengujian secara ilmiah yang menunjukkan khasiat dari tanaman obat yang digunakan. Artikel ini memberikan gambaran secara ilmiah tentang tanaman herbal yang sudah terbukti memiliki khasiat antidiabetes yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan minuman obat herbal. Pencarian literatur melalui basis data elektronik PubMed pada bulan April 2020 dengan kata kunci “herbal tea” dan “antidiabetic” memperoleh total 30 artikel yang dapat ditelaah lebih lanjut. Sebanyak 12 artikel tentang uji in vitro, 16 artikel tentang uji in vivo, dan 2 artikel tentang uji klinik. Terdapat 35 jenis tanaman herbal di seluruh dunia yang terbukti dapat memberikan aktivitas antidiabetes. Bagian morfologi tanaman yang paling sering digunakan yaitu bagian daun. Mekanisme in vitro dari tanaman herbal dalam memberikan aktivitas antidiabetes adalah dengan menghambat aktivitas enzim α-Amylase dan α-Glucosidase. Pada uji in vivo dan uji klinik, semua tanaman herbal yang digunakan pada penelitian mempunyai aktivitas dalam membantu menurunkan kadar glukosa darah dan dapat dimanfaatkan sebagai minuman obat herbal.Kata kunci: Antidiabetes, minuman herbal, tanaman herbal The Potential of Antidiabetic Herbal Plants for Medicinal Drinks: A Literature ReviewAbstractOver the past few decades, an increase has occurred in the occurrence and prevalence of diabetes, with 1.5 million deaths recorded in 2012 alone. Currently, more herbal plants are being used as medicines including medicinal drinks, and these are rich in natural bioactive compounds. According to scientific evidence, these bioactive compounds provide many biological effects, for instance, antioxidant, antibacterial, and antidiabetic activities. However, one problem related to the use of herbal medicine is the inadequate research or scientific evidence of the plants’ efficacy. This article, therefore, provides a scientific description of medicinal plants proven to exhibit antidiabetic properties and suitable for developing medicinal drinks. A literature search conducted across the PubMed electronic database in April 2020, using the keywords “herbal tea” and “antidiabetic” obtained a total of 30 articles, and of these publications, 12 were in vitro studies, 16 were pre-clinical studies, while 2 clinical trials. Across the world, 35 types of herbal plants have been proven to exhibit antidiabetic activity, with the leaves being the most commonly used part. The in vitro mechanism of herbal plants in exhibiting this antidiabetic activity is through inhibition of α-Amylase and α-Glucosidase enzyme activity. In addition, pre-clinical and clinical trials showed each plant in this study was able to reduce blood glucose levels and were suitable for developing medicinal drinks.Keywords: Antidiabetic, herbal plants, medicinal drinks

Page 1 of 1 | Total Record : 8