cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Acta Pharmaceutica Indonesia
ISSN : 0216616X     EISSN : 27760219     DOI : -
Core Subject :
Acta Pharmaceutica Indonesia merupakan jurnal resmi yang dipublikasikan oleh Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung. Jurnal ini mencakup seluruh aspek ilmu farmasi sebagai berikut (namun tidak terbatas pada): farmasetika, kimia farmasi, biologi farmasi, bioteknologi farmasi, serta farmakologi dan farmasi klinik. Acta Pharmaceutica Indonesia is the official journal published by School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung. The journal covers all aspects of pharmaceutical issues which includes these following topics (but not limited to): pharmaceutics, pharmaceutical chemistry, biological pharmacy, pharmaceutical biotechnology, pharmacology and clinical pharmacy.
Arjuna Subject : -
Articles 8 Documents
Search results for , issue " Vol 37, No 4 (2012)" : 8 Documents clear
Optimasi Isolasi dan Karakterisasi Jakalin dari Biji Nangka Suciati, Tri; Widanengsih, Niknik; Riani, Catur; Gusdinar, Tutus
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (606.272 KB)

Abstract

Telah diisolasi jakalin dari biji nangka (Artocarpus heterophyllus) menggunakan metode kromatografi afinitas dengan matriks guar gum yang telah dipaut silang dengan epiklorohidrin, isolasi dilakukan dengan menggunakan pengelusi D-galaktosa. Hasil karakterisasi jakalin menggunakan SDS-PAGE menunjukkan bahwa jakalin memiliki dua pita dengan bobot molekul 14,1 dan 15,5 kDa, antar subunitnya tidak dihubungkan dengan ikatan disulfida. Jakalin yang diisolasi memiliki kemampuan mengaglutinasi eritrosit, kemampuan hemaglutinasi jakalin tidak berkurang setelah diinkubasi pada suhu 20oC dan 30oC, tetapi setelah inkubasi pada suhu 40oC, 50oC, 60oC, 70oC, aktivitasnya turun masing-masing 75%, 87,5%, 93,75% dan 98,4%. Kemampuan hemaglutinasi jakalin tidak berkurang setelah diinkubasi pada pH 5, 6, dan 7, tetapi aktivitasnya turun 75% setelah inkubasi pada pH 2, 3, 4, dan 8, serta turun 96,9% pada pH 9 dan 10. Kemampuan hemaglutinasi jakalin dihambat oleh D-galaktosa dengan kemampuan inhibisi hemaglutinasi sebesar 6,25 mM, aktivitas hemaglutinasi jakalin tidak dihambat oleh D-manosa, D-glukosa, fruktosa, laktosa, arabinosa, maltosa, dan manitol. Diperoleh jakalin dengan perolehan rata-rata sebesar 0,32% b/b dari serbuk kering biji nangka.Kata kunci: Jakalin, lektin, Artocarpus heterophyllus, D-galaktosa.Jacalin from jackfruit (Artocarpus heterophyllus) had been isolated using affinity chromatography method with epichlorohydrin crosslinked guar gum as the matrix, isolation carried out using D-galactose as the eluen. Characterizationjacalin using SDS-PAGE showed that jacalin has two bands with molecular weights 14.1 and 15.5 kDa, intersubunit not connected with disulfide bonds. Jacalin isolates have the ability to haemagglutination erythrocytes, haemagglutination activity of jacalin maintained after incubation at 20oC and 30oC, but the activity decreased at 40, 50, 60, and 70 oC of incubation, which were 75%, 87.5%, 93.75% and 98.4% , respectively. Jacalin hemagglutination ability is not reduced after incubation at pH 5, 6, and 7, but the activity down 75% after incubation at pH 2, 3, 4, and 8, and down 96.9% at pH 9 and 10. The haemagglutination activity of jacalin was inhibited by D-galactose with the capacity inhibition value was 6.25 mM, but it was not inhibited by D-manose, D-glucose, fructose, lactose, arabinose, maltose, and manitol. Average recovery of jacalin is 0.32% w/w of jackfruit dry powder.Keywords: Jacalin, lectin, Artocarpus heterophyllus, D-galactose.
Determination of Sugar Content in Fruit Juices Using High Performance Liquid Chromatography Damayanti, Sophi; Permana, Benny; Weng, Choong Chie
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (175.577 KB)

Abstract

Sugar is a sweet, water-soluble, crystallizable material which is obtained commercially from sugarcane or sugar beet. As an important source of dietary carbohydrate, a sweetener, preservative in foods and a cause factor for Diabetic disease, analysis of sugar content is needed. The objective of this study was to verify the suitability and determination of sugar content in fruit juices using HPLC. The fresh fruits except strawberries were peeled, cut and blended using homogenizer. After filtration, 12.5mL of each fresh juices and packed juices were diluted with acetonitrile and distilled water (50:50). The diluted fresh juices and packed juices were loaded onto C18 Sep-Pak cartridge. Fructose, glucose, and sucrose of each fresh juices and packed juices were analyzed in HPLC with Refractive Index detector, NH2 polar bonded phase column, 10μm (250mm ×4.6mm I.D.), temperature of 43.5°C, mobile phase of acetonitrile and 10mM sodium phosphate (monobasic) (78:22) and flow rate of 1.0mL/min. The method validation showed good linearity of equations for fructose, glucose and sucrose were y = 3833208.4806x – 94721.0361, y = 3782886.4708x – 101683.4708, y = 3770593.9638x – 82870.9083 with regression coefficients, r2 of 0.9995, 0.9997 and 0.9996 respectively. The calculated regression function coefficients (Vx0) for fructose, glucose and sucrose were 0.0152, 0.0112 and 0.0132% respectively. The percentage recovery of fructose, glucose, and sucrose was found to be in a range of each 86.681 – 89.888, 86.898 – 90.029, and 94.541 – 97.885%. Sugar contents in fruit juices can be determined using verified HPLC method with Refractive Index Detektor. Fructose, glucose and sucrose of fresh juices contained 0.469 – 1.431, 0.454 – 1.286, 0.544 – 1.861%, whereas that of packed juices contained 0.309 – 1.587, 0.261 – 0.762,0.063 – 0.898%, respectively.Keywords: Fructose, glucose, sucrose, fruit juice, HPLC.Gula merupakan zat yang berasa manis, larut dalam air, berbentuk kristal yang dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain bit gula dan tebu. Sebagai sumber karbohidrat, pemanis dan pengawet dari makanan, dan penyebab diabetes, maka kandungan gula perlu ditentukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk verifikasi kesesuaian penentuan kadar gula dalam jus buah menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Buah segar kecuali stroberi dikupas kemudian dipotong dan dicampur dengan menggunakan homogenizer. Setelah disaring, 12.5mL jus segar dan 12.5mL jus kemasan diencerkan dengan asetonitril dan air suling (50:50). Jus segar dan jus kemasan kemudian dilewatkan melalui tabung C18 Sep-Pak. Fruktosa, glukosa dan sukrosa kemudian dianalisis menggunakan KCKT detektor Indeks bias, kolom NH2, 10μm (250μm × ID 4.6mm) dan suhu kolom 43.5ºC, fase gerak asetonitril dan larutan natrium fosfat 10mM (78:22) dan laju aliran adalah 1.0mL/min. Metode validasi menunjukkan linearitas persamaan yang baik untuk fruktosa, glukosa dan sukrosa yaitu y = 3833208,4806x – 94721,0361, y = 3782886,4708x – 101683,4708, y = 3770593,9638x – 82870,9083 dengan koefisien korelasi, r2 adalah 0,9995, 0,9997 and 0,9996 masing-masing. Koefisien fungsi regresi yang dihitung (Vx0) untuk fruktosa, glukosa dan sukrosa adalah 0,0152, 0,0112 dan 0,0132 %. Persentase perolehan kembali untuk fruktose, glukosa dan sukrosa berada dalam rentang masing-masing 86,681 – 89,888, 86,898 – 90,029, dan 94,541 – 97,885%. Kandungan fruktosa, glukosa dan sukrosa dapatditentukan dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi dengan detektor indek bias. Fruktosa, glukosa dan sukrosa jus segar mengandung 0,469 – 1,431, 0,454 – 1,286, 0,544 – 1,861% sementara pada jus kemasan mengandung masing-masing 0,309 – 1,587, 0,261 – 0,762, 0,063 – 0,898%.Kata kunci: Fruktosa, glukosa, sukrosa, jus buah, HPLC.
Formulasi dan Evaluasi Mikroemulsi Minyak dalam Air Betametason 17-Valerat Pamudji, Jessie Sofia; Darijanto, Sasanti Tarini; Rosa, Selvy
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.425 KB)

Abstract

Betametason 17-valerat merupakan kortikosteroid topikal dengan efek anti-inflamasi yang banyak digunakan dalam pengobatan dermatitis. Senyawa ini memiliki kelarutan yang rendah dalam air dan mudah terurai menjadi betametason 21-valerat dalam suasana asam atau pun basa. Salah satu alternatif untuk meningkatkan stabilitas obat yang mudah terurai adalah membuatnya dalam bentuk mikroemulsi. Penelitian ini bertujuan untuk membuat formulasi mikroemulsi minyak dalam air yang mengandung betametason 17-valerat. Evaluasi mikroemulsi meliputi organoleptik, pH, viskositas, penentuan ukuran globul, uji stabilitas fisik menggunakan sentrifugasi dan metode freeze-thaw, dan penentuan kadar zat aktif yang disimpan pada suhu 40◦C dan kelembaban 75%. Formula mikroemulsi M/A yang stabil dihasilkan dari komposisi yang terdiri dari air, isopropil miristat, Tween 80, etanol, dan propilen glikol, PEG 6000 dengan perbandingan 33 : 10 : 36 : 9 : 10 : 2. Mikroemulsi yang dihasilkan berwarna kuning jernih, dengan viskositas sediaan adalah 1193,52 ± 23,42 cPs dan pH adalah 3-4. Tidak ada perubahan yang signifikan dari warna, bau, viskositas dan pH mikroemulsi setelah pengamatan selama 28 hari. Uji freeze-thaw menunjukkan bahwa mikroemulsi stabil selama 6 siklus dan uji sentrifugasi pada 3750 rpm selama 5 jam memperlihatkan tidak adanya pemisahan fasa. Diameter rata-rata dari globul mikroemulsi adalah 18,79 ±1,09 nm. Hasil uji stabilitas dipercepat menunjukkan tidak ada penurunan kadar yang berarti selama penyimpanan 28 hari pada suhu suhu 40◦C dan kelembaban 75%. Kadar betametason 17-valerat yang tersisa dalam mikroemulsi adalah 99,96 ± 0,16 μg/mL.Kata kunci : mikroemulsi, betametason 17-valerat, stabilitas.Betamethasone 17-valerate is a topical corticosteroid with anti-inflammatory effects that are widely used in the treatment of dermatitis. This compound has a low solubility in water and degradate into betamethasone 21-valerate in acid or alkaline condition. The aim of this study was to perform formulation of oil in water (o/w) microemulsion system that consist of betamethasone 17-valerate. The evaluations of microemulsion include of organoleptic, pH, viscosity, oil droplet size, physical stability test using centrifugation and freeze-thaw methods and content of active substance during storage at 40°C and RH 75%. The stable O/W microemulsion formula obtained from this study was the formula which consisted of water, isopropyl miristate, Tween 80, ethanol, propylen glycol, PEG 6000 with ratio of 35:10: 36:9:10:2 respectively. The microemulsion was clear and light yellow, the viscosity was 1193.52 ± 23.42 cPs and its pH was 3-4. There was no significant change in color, odor, viscosity and pH of this microemulsion after observation for 28 days. The freeze-thaw test showed that the microemulsion was stable until 6th cycles, and centrifugation test at 3750 rpm for 5 hours showed that there was no phase separation occured. The mean diameters of the microemulsions were 18.79 ± 1.09 nm. The result from accelerated stability test revealed that there was no descent of betametason content after observation for 28 days at 40°C and 75% RH The remaining concentration of betamethasone 17-valerate in microemulsion was 99.96 ± 0.16 μg/mL.Keywords: microemulsion, betametazone 17-valerate, stability.
Evaluasi Penggunaan Obat Tuberkulosis pada Pasien Rawat Inap di Ruang Perawatan Kelas III di Salah Satu Rumah Sakit di Bandung Sukandar, Elin Yulinah; Hartini, Sri; Hasna, Hasna
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (450.668 KB)

Abstract

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh infeksi. Ditemukan drug-related problems pada 86 pasien tuberkulosis rawat inap di ruang perawatan kelas III di salah satu rumah sakit di Bandung. Ketidaksesuaian dosis sebesar 19,82% dengan kejadian dosis yang berada di bawah rentang normal adalah 18,15% dan dosis yang berada di atas rentang normal 1,67%. Potensi kejadian interaksi obat sebesar 84,88% dengan tipe interaksi kuat (29%), sedang (63,92%), dan lemah (7,08%). Reaksi obat merugikan (ROM) yang dicantumkan sebagai diagnosis pasien yaitu sebesar 6,98% dengan ROM tipe A sebesar 4,65% dan ROM tipe B sebesar 2,33%. Indikasi tidak tertangani sebesar 13,96% dengan 2 kategori yaitu pasien dengan 1 indikasi tidak tertangani (10,47%) dan pasien dengan 2 indikasi tidak tertangani (3,49%). Medikasi tanpa indikasi sebesar 11,63%. Tidak ditemukan kegagalan menerima medikasi dan seleksi obat tidak sesuai.Kata kunci: tuberkulosis, evaluasi penggunaan obat, drug-related problems.Tuberculosis is one of infection disease which causes mortality. There were drug-related problems in 86 tuberculosis hospitalized patients in the third class ward in one of hospital in Bandung. Inappropriate doses incidence was 19.82% with dose under normal range was 18.15% and dose above normal range was 1.67%. Potential drug interactions incidence was 84.88% with each type of drug interactions are major (29%), moderate (63.92%), and minor (7.08%). Adverse drug reactions (ADR) incidence was 6.98% with ADR type A was 4.65% and ADR type B was 2.33%. Untreated indications incidence was 13.96% with 2 category that was patient with 1 untreated indication (10.47%) and patient with 2 untreated indications (3.49%). Medication use without indication incidence was 11.63%. This research didn’t find failure to receive medication incidence and improper drug selections incidence.Keywords: tuberculosis, drug use evaluation, drug-related problem.
Studi Dinamika Molekul Dendrimer Pamam G3 Terkonjugasi Ho(III) DTPA dan Asam Folat pada Suhu 25°C dan 37°C dalam Kondisi Vakum dan Berair sebagai Senyawa Pengontras Magnetic Resonance Imaging (MRI) Ramdhani, Danni; Miftah, Amir Musadad; Mutalib, Abdul
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (540.329 KB)

Abstract

Telah dilakukan pemodelan molekul dendrimer PAMAM G3 terkonjugasi Holmium(III)-asam dietilen triamin penta asetat (DTPA) dan asam folat dalam kondisi vakum dan berair pada suhu 25 °C dan 37 °C dengan menggunakan program ChemBio 3D 12.0. Senyawa ini diharapkan dapat digunakan sebagai senyawa pengontras MRI yang spesifik untuk diagnostik sel kanker dan juga dapat berperan sebagai terapi kanker. Sebelum dilakukan pemodelan molekul dan studi dinamika molekul, terlebih dahulu dilakukan parameterisasi untuk senyawa Holmium yang belum terdapat pada program Chem 3D. Parameterisasi, meliputi panjang ikatan, sudut ikatan, sudut dan konstanta gaya masing-masing. Selanjutnya dilakukan pemodelan molekul dengan program chem draw dan perhitungan dinamika molekul dengan melihat nilai dari kestabilan energi total dan energi potensial. Hasil simulasi dinamika molekul didapat nilai energi potensial dan energi total dari senyawa PAMAM G3 terkonjugasi Ho(III)DTPA dan asam folat yang paling stabil pada suhu 25 °C dalam kondisi berair.Kata kunci: PAMAM, DTPA, Holmium, dinamika molekul, energi total, energi potensial.Molecular modeling has been carried out G3 PAMAM dendrimer conjugated Holmium (III)-penta acetic acid diethylene triamin (DTPA) and folic acid in vacuum and aqueous conditions at 25 °C and 37 °C by using the program ChemBio 3D 12.0. These compounds are expected to be used as MRI contrast compounds that specific for diagnostic cancer cells and also serve as a cancer therapy. Prior to molecular modeling and molecular dynamics studies, first performed Holmium parameterization for compounds that have not been found on the Chem 3D program. Parameterization, including bond lengths, bond angles, angles and force constants respectively. Further molecular modeling performed with the program chem draw and molecular dynamics calculations to see the value of the stability of the total energy and potential energy. Molecular dynamics simulation results obtained value of the potential energy and total energy of the compound conjugated PAMAM G3 Ho (III) DTPA and folic acid is most stable at 25 ° C in aqueous conditions.Keywords: PAMAM, DTPA, Holmium, molecular dynamics, total energy, potential energy.
Antipsychotic Use Evaluation on First Episode Schizophrenic Patients at Jambi Psychiatric Hospital Natari, Rifani Bhakti; Sukandar, Elin Yulinah; Sigit, Joseph Iskendiarso
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.935 KB)

Abstract

Patients with first episode schizophrenia need relatively lower effective antipsychotic doses, had higher sensitivity toward side effects and symptoms free response were easier to achieve compared to multi episode schizophrenic patients. This episode is the critical stage that will affect further development of the disease. Antipsychotic use evaluation was needed to achieve an optimal therapy for first episode schizophrenic patients. Study was conducted using retrospective method. The data were taken from medical records, nurse monitoring forms and consultation with health care professionals. The study showed that the most prescribed antipsychotic was the combination of chlorpromazine and haloperidol (37.12%), risperidone was the most prescribed antipsychotic as single therapy (35.71%) and there were 34.29% therapeutic regiments that higher than recommended dose. The most prescribed drug that added to the antipsychotic therapy was trihexyphenidyl (69.29%). There were 97 drug interaction cases with six pharmacokinetic interaction cases which dosage adjustment was needed. There were seven patients (17.07%) that had continued therapy until 10 months and four cases of relapse ought to alcohol consumption (one case) and therapeutic non adherence (three cases). The pharmacotherapy guideline for first episode schizophrenia patients in Jambi Psychiatric Hospital is needed to be revised ought to some differences between prescribed antipsychotic and recommended guidelines.Keywords: Drug Use Evaluation, Antipsychotic, First-Episode SchizophreniaPasien dengan serangan skizofrenia pertama biasanya membutuhkan dosis antipsikotik yang lebih rendah, sensitifitas yang lebih tinggi dalam memperoleh efek samping dan lebih mudah mencapai respon bebas dari gejala dibandingkan dengan pasien dengan serangan skizofrenia yang berulang. Serangan ini merupakan tahapan kriitis yang dapat memengaruhi perkembahan penyakit pasien. Evaluasi penggunaan antipsikotik dibutuhkan untuk mencapai terapi yang optimal pada pasien dengan skizofrenia serangan pertama. Penelitian ini dibentuk menggunakan metode retrospektif. Data penelitian didapatkan dari rekam medik, formulir pemantauan suster dan konsultasi dengan tenaga kesehatan profesional. Penelitian ini menunjukkan bahwa antipsikotik yang paling banyak diresepkan yaitu kombinasi antara klorpromazin dan haloperidol (31,12%), risperidon merupakan antipsikotik yang paling banyak diresepkan pada terapi tunggal (35,71%), dan didapatkan 34,29% regimen terapi yang berada di atas rentang dosis yang direkomendasikan. Obat tambahan yang paling sering diresepkan pada terapi bersama dengan antipsikotik yaitu triheksifenidil (62,29%). Pada penelitian ini terdapat 97 kasus interaksi obat dengan 6 kasus interaksi farmakokinetik yang mana memerlukan penyesuaian dosis. Pada penelitian ini juga ditemukan 7 orang pasien (17,07%) yang melanjutkan terapi hingga 10 bulan dan 4 kasus kambuhan akibat pengonsumsian alcohol (satu kasus) dan ketidakpatuhan terapi (3 kasus). Algoritma terapi pada pasien skizofrenia serangan pertama di Rumah Sakit Psikiatrik jambi perlu ditinjau ulang karena adanya perbedaan peresepan antipsikotik yang dilakukan dengan algoritma yang disarankan.Kata kunci : Evaluasi Penggunaan Obat, Antipsikotik, Skizofrenia Serangan Pertama
Modifikasi Metode Penentuan Amina Aromatik Primer Tidak Tersulfonasi dalam Bahan Baku Zat Warna Tartrazin Dihitung sebagai Anilina secara Spektofotometri UV-Sinar Tampak Kartasasmita, Rahmana Emran; Inayah, Inayah
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (378.763 KB)

Abstract

Senyawa amina aromatik primer tidak tersulfonasi merupakan suatu cemaran yang dapat ditemukan di dalam zat warna. Disebabkan toksisitasnya, kadar cemaran ini dibatasi pada tingkat maksimum tertentu, secara khusus ditetapkan sebagai anilina dengan batas maksimum sebesar 100 ppm. Pada kompendial resmi yang dikeluarkan oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) penentuan senyawa amina aromatik primer tidak tersulfonasi dilakukan melalui reaksi diazotisasi dan kopling diazo dengan menggunakan senyawa garam natrium 2-naftol-3,6 disulfonat sebagai pereaksi pengkopling. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode alternatif pada penentuan kadar amina aromatik primer tidak tersulfonasi dalam tartrazin, sebagai zat warna yang paling banyak digunakan di Indonesia, menggunakan 2-naftol sebagai pereaksi pengkopling. Anilina diekstraksi dari tartrazin dengan menggunakan toluen pada pH 12,3 dan kemudian diekstraksi kembali dari fasa organik dengan menggunakan larutan asam hidroklorida 3 N. Anilina yang terlarut dalam bentuk garam klorida mengalami reaksi dengan asam nitrit, yang diperoleh secara in situ dengan mereaksikan natrium nitrit dan asam hidroklorida, membentuk suatu garam diazonium. Untuk menghilangkan kelebihan asam nitrit dilakukan penambahan urea ke dalam campuran reaksi. Garam diazonium kemudian dikopling dengan 2-naftol pada pH 9,0. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang 540 nm. Metode ini memberikan kurva kalibrasi linier pada rentang konsentrasi 2-10 ppm dengan persamaan garis regresi Y = 0,0952X – 0,0005 dan r2 = 0,9997. Batas deteksi dan batas kuantisasi metode ini dihitung secara statistik sebesar 0,16 dan 0,54 ppm. Perolehan kembali kadar anilina dalam tartrazin dengan menggunakan metode penambahan baku pada konsentrasi 0,6; 0,8 dan 0,9 ppm adalah 82,7; 86,7 dan 85,6% dengan nilai simpangan baku relatif (RSD) pada semua penetapan kurang dari 5%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode ini dapat digunakan sebagai metode alternatif dari metode resmi yang terdapat dalam compendium JECFA untuk penentuan amina aromatik primer tidak tersulfonasi dalam tartrazin.Kata kunci: amina aromatik primer tidak tersulfonasi, anilina, tartrazin, 2- naftol, diazotisasi, kopling, spektrofotometri.Unsulfonated primary aromatic amines are impurities which could be present in food colours. Due to their toxicities, the concentration of these impurities is limited to a certain maximum level, typically stated as aniline with the maximum level of 100 ppm. The official compendium of Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) describes the determination of unsulfonated primary aromatic amines applying diazotation reaction in which 2-naphthol-3,6 disulfonic acid disodium salt is used as coupling reagent. The aim of this research was to obtain alternative method for the determination of unsulfonated primary aromatic amines in tartrazine as the most applied food colours in Indonesia using 2-naphthol as coupling reagent. Aniline was extracted from tartrazine using toluene under pH value of 12.3 and then re-extracted from organic phase using a 3 N hydrochloric acid solution. Aniline dissolved as hydrochloric acid salt was reacted with nitrous acid produced in situ from sodium nitrite and hidrochloric acid to form a diazonium salt. To remove excess nitrous acid urea was added to reaction mixture. The diazonium salt was then coupled with 2-naphthol under pH value of 9.0. The Absorbance of the solution was then measured at 540 nm. This method gave a linear calibration curve in the concentration range of 2.0 to 10 ppm with a regression equation of Y = 0.0952X – 0.0005 and r2 = 0.9997. The limit of detection and limit of quantification of this method were statistically calculated to be 0.16 and 0.54 ppm, respectively. The recovery of tartrazine at the concentration levels of 0.6, 0.8 and 0.9 were respectively determined using standard addition method and found to be 82.7, 86.7 and 85.6%. The relative standard deviations of all the determinations were less than 5%. Based on these results, it was concluded that this method was suitable to applied as alternative method to official method described in the official compendium of JECFA for the determination of unsulfonated primary aromatic amines in tartrazine.Keywords: unsulfonated primary aromatic amine, aniline, tartrazine, 2-naphtol, diazotization, coupling, spectrophotometry
Front Matter Vol 37 No 4 (2012) Indonesia, Acta Pharmaceutica
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol 37, No 4 (2012)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (77.508 KB)

Abstract

Page 1 of 1 | Total Record : 8