Anna Marita Gelgel
Departemen Neurologi, FK Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

PERANAN MAGNESIUM PADA EPILEPSI I Wayan Widyantara, Anna Marita Gelgel Sinardja
NEURONA Vol 30 No. 3 Juni 2013
Publisher : Neurona Majalah Kedokteran Neuro Sains

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

THERAPEUTIC ASPECT OF EPILEPSY IS GROWING FROM THE BEGINNING BY GIVING BROMIDE AS THE FIRSTLINE THERAPY TO THE LATEST GENERATION OF ANTIEPILEPTIC DRUGS THE PRINCIPLE MANAGEMENT OF EPILEPSY IS TO ACHIEVE A HIGH THERAPEUTIC PLASMA CONCENTRATIONS WITH MINIMAL TOXICITY MAGNESIUM IS AN ENDOGENOUS NMDA NMETHYL DASPARTATE RECEPTOR ANTAGONIST THAT IS REQUIRED TO PERFORM ITS NORMAL FUNCTION THE USE OF MAGNESIUM AS ANTICONVULSANTS HAVE LONG BEEN USED PRIMARILY TO PREVENT SEIZURES IN PATIENTS WITH ECLAMPSIA WHICH IS MAINLY USED THE FORM OF MAGNESIUM SULFATE
Penurunan Fraksi Ejeksi Ventrikel Kiri dalam Enam Bulan Meningkatkan Faktor Resiko Gangguan Kognitif Penderita Gagal Jantung Sistolik Risky Ilona Saputra; I Made Oka Adnyana; AAA Putri Laksmidewi; Anna Marita Gelgel; I Putu Eka Widyadharma
Jurnal Kesehatan Andalas Vol 9, No 1 (2020): Online March 2020
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jka.v9i1.1278

Abstract

AbstrakGangguan kognitif sering dijumpai pada penderita gagal jantung sistolik dan tidak terdeteksi sejak awal. Hal ini memperburuk kondisi dan luaran klinis penderita. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya peningkatan risiko terjadinya gangguan kognitif pada penderita gagal jantung sistolik dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri dalam enam bulan. Metode penelitian ini adalah kontrol kasus, di Poli Jantung dan Poli Saraf RSUP Sanglah, Denpasar, periode Oktober 2018 hingga Desember 2018. Analisis data dilakukan dengan SPSS versi 22. Penelitian ini menggunakan 76 subjek, dengan rerata usia 50,3 ± 4,5 tahun. Karakteristik yang lebih dominan dijumpai pada jenis kelamin laki-laki 44 orang (57,9%), pendidikan ≥ 12 tahun 40 orang (52,6%), dan pekerjaan formal 40 orang (52,6%) Dari hasil analisis statistik didapatkan persentase penurunan fungsi kognitif pada kelompok kasus sebesar 89,5% sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan 13,2%. Analisis bivariat dengan Chi-square, didapatkan nilai OR=56,1; IK 95% 13,844-227,338; p<0,001. Pada analisis multivariat didapatkan penurunan FEVK dalam enam bulan merupakan faktor risiko yang kuat, memiliki risiko mengalami gangguan kognitif pada penderita gagal jantung sistolik dengan adjusted OR=23,1, setelah mengendalikan jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan, OR=23,1; IK 95% 4,7-114,03; p<0,001. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penurunan FEVK dalam enam bulan sebagai faktor risiko gangguan kognitif penderita gagal jantung sistolik. Penulis menyarankan para klinisi perlu melakukan pemeriksaan fungsi kognitif pada penderita gagal jantung sistolik .Kata kunci: gangguan kognitif, penurunan FEVK, gagal jantung sistolik
PREVALENSI DAN KARAKTERISTIK KEJADIAN SLEEP PARALYSIS PADA REMAJA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) NEGERI DI DENPASAR Ni Kadek Dwita Hening Tias; Desak Ketut Indrasari Utami; Anna Marita Gelgel
E-Jurnal Medika Udayana Vol 8 No 10 (2019): Vol 8 No 10 (2019): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.843 KB)

Abstract

Sleep paralysis adalah suatu kondisi yang biasanya terjadi ketika tidur atau bangun di mana individu sadar tapi tidak mampu bergerak atau berbicara dan sering disertai dengan halusinasi. Sleep paralysis membuat individu merasa kelelahan, mengalami kesulitan berkonsentrasi dan penurunan memori. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik sleep paralysis pada remaja Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di Denpasar. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross sectional. Responden adalah siswa SMA Negeri di Denpasar tahun 2017 yang dipilih dengan teknik multistage random sampling sejumlah 231 orang. Hasil menunjukkan prevalensi sleep paralysis sebesar 72,3%, dengan umur terbanyak 16 tahun, tidak ada banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan, paling banyak pada siswa yang tidur 5-6 jam di malam hari, pada siswa yang tidur siang selama 1-2 jam, paling sering terjadi pada posisi terlentang, pada siswa yang memulai tidur pukul 10-11 malam, lebih banyak terjadi pada siswa dengan kualitas tidur buruk, lebih banyak pada siswa yang stres, terdapat hanya beberapa siswa yang mengonsumsi alkohol dan tidak ada yang pernah mengonsumsi obat yang berhubungan dengan sleep paralysis. Pada penelitian ini ditemukan beberapa siswa mengalami hipertensi, gangguan kejang, gangguan panik, dan gangguan cemas serta tidak ada siswa yang mengalami PTSD Kata kunci : Prevalensi, Karakteristik, Sleep paralysis.
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU MASYARAKAT TENTANG EPILEPSI DI KECAMATAN KEWAPANTE, KABUPATEN SIKKA Nathasia Suryawijaya; Candida Isabel Lopes Sam; Anna Marita Gelgel
Callosum Neurology Vol 2 No 3 (2019): Callosum Neurology Journal
Publisher : The Indonesia Neurological Association Branch of Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (30.249 KB) | DOI: 10.29342/cnj.v2i3.73

Abstract

Latar belakang: Rendahnya pengetahuan masyarakat akan epilepsi berpengaruh buruk terhadap kualitas hidup penyandang epilepsi. Tujuan: Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan perilaku masyarakat Kecamatan Kewapante terhadap epilepsi. Metode Penelitian: Studi deskriptif terhadap 160 orang pada bulan September – November 2018 di Kecamatan Kewapante dengan teknik cluster random sampling dan menggunakan kuesioner. Hasil: Dari 160 responden, 70.6% berjenis kelamin perempuan, 38.1% berpendidikan terakhir tamat SD, 29% berada dalam kelompok usia 26 – 35 tahun, dan 30% bekerja sebagai ibu rumah tangga. Seluruh responden pernah mendengar atau mengetahui mengenai epilepsi, dan 68.1% pernah melihat serangan epilepsi. Sebanyak 60.6% mengatakan gangguan saraf sebagai penyebab epilepsi dan 66.3% percaya epilepsi dapat disembuhkan. Seluruh responden mengetahui serangan epilepsi sebagai kejang. Sekitar 61.9% responden keberatan jika anak mereka berinteraksi dengan penyandang epilepsi, 79.4% menolak anggota keluarga mereka menikah dengan penyandang epilepsi, 68.1% melarang penyandang epilepsi memiliki pekerjaan yang sama dengan orang lain, dan 71.9% menganggap penyandang epilepsi boleh memiliki anak. Simpulan Seluruh responden warga Kecamatan Kewapante mengetahui serangan epilepsi sebagai kejang, namun perilaku masyarakat terhadap penyandang epilepsi masih beragam. Diperlukan penyebaran edukasi lebih lanjut mengenai epilepsi. Kata kunci: Epilepsi; Pengetahuan; Perilaku
PEMERIKSAAN PET DAN SPECT SCAN PADA BEDAH EPILEPSI Anna Marita Gelgel; Tommy Sarongku
Callosum Neurology Vol 3 No 3 (2020): Callosum Neurology Journal
Publisher : The Indonesia Neurological Association Branch of Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29342/cnj.v3i3.128

Abstract

Latar Belakang: Epilepsi merupakan penyakit sistem saraf pusat yang ditandai dengan bangkitan berulang karena terganggunya aktivitas sel di otak. Sekitar 1% populasi didunia menderita epilepsi. Penderita epilepsi yang masih mengalami suatu bangkitan, meski sudah mendapatkan 2 jenis obat anti epilepsi, perlu dipertimbangkan untuk dilakukan suatu tindakan bedah epilepsi. Tujuan: Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pemeriksaan PET dan SPECT Scan pada bedah epilepsi. Diskusi: PET Scan merupakan suatu alat pencitraan yang dapat membantu menentukan lokasi fokal epileptogenik berdasarkan area yang mengalami hipometabolisme sementara SPECT pada fase iktal mampu melokalisir area epileptogenik. Kesimpulan: PET dan SPECT Scan merupakan salah satu pencitraan yang perlu dilakukan untuk mengevaluasi lokasi fokus epileptogenik pada pasien sebelum dilakukan tindakan bedah epilepsi. Kata Kunci: PET, SPECT Scan, Bedah Epilepsi
Kehamilan dengan miastenia gravis: laporan kasus Anthonyus Gracius Bima Pakasi; Made Bagus Dwi Aryana; Anna Marita Gelgel
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 3 (2020): (Available online: 1 December 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.694 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i3.838

Abstract

Introduction: Myasthenia gravis (MG) is an autoimmune disorder of neuromuscular transmission characterized by weakness of the skeletal muscles. Pregnancy with myasthenia gravis must have particular concern because of changes in body physiology and potential myastenic attack which can be dangerous if it is not recognized quickly and received adequate treatment. The aim of this case report is to provide an overview of the treatment of pregnancies with myasthenia gravis.Case: A case report of a 32 year old woman who came with complaints of dyspnoea, and was known to have a history of myasthenia gravis that had been experienced for seven years and received pyridostigmine therapy 4x60 mg orally. Severe tightness was accompanied by coughing and caused the saturation to fall below 95%, and it was decided to give intravenous neostigmine, and the tightness dramatically improved. Ultrasound evaluation of pregnancy showed, gestational age 33 weeks and estimated fetal weight 2525 grams and decided for monitoring and conservative therapy and administration of 12 grams of dexamethasone intra-muscular for maturation of fetal lungs. At 36 weeks of gestation the patient came back because of vaginal discharge and an examination was carried out so that non-reactive non-stress test results were found and it was decided to do a caesarian section immediately, until finally a baby boy weighing 3000 grams APGAR 8-9 was born, without any abnormalities. The mother was discharged in good condition and was still receiving pyridostigmine 4x60 mg orally.Conclusion: Myasthenia gravis in pregnancy is something that is rarely found, but it requires special attention to mothers and babies because it can cause mortality if not handled properly. Precautions and proper handling during myastenic attacks will give a better clinical outcome. Pendahuluan: Miastenia gravis (MG) adalah gangguan autoimun dari transmisi neuromuskuler yang ditandai dengan kelemahan otot skeletal. Kehamilan dengan miastenia gravis menjadi perhatian khusus oleh karena perubahan fisiologi tubuh dan adanya ancaman serangan miastenik yang dapat membahayakan apabila tidak diketahui secara cepat dan mendapatkan penanganan yang adekuat. Tujuan dari laporan kasus ini adalah memberikan gambaran penangnan terhadap kehamilan dengan miastenia gravis.Kasus: Laporan kasus perempuan usia 32 tahun yang datang dengan keluhan sesak, dan diketahui memiliki riwayat miastenia gravis yang sudah dialami semenjak tujug tahun dan mendapat terapi piridostigmin 4x60 mg per oral. Sesak yang berat disertai dengan batuk dan menyababkan saturasi turun hingga dibawah 95%, dan diputuskan untuk memberikan neostigmine intravena, dan secara dramatis sesak membaik. Evaluasi ultrasonografi kehamilan menunjukkan, usia kehamilan 33 minggu dan tafsiran berat janin 2525 gram dan diputuskan untuk monitoring dan terapi konservatif dan pemberian deksamethason 12 gram intra muskular untuk pematangan paru janin. Pada usia kehamilan 36 minggu pasien kembali datang oleh karena keluar air pervaginam dan dilakukan pemeriksaan sehingga ditemukan hasil non stress test non reaktif dan diputuskan untuk melakukan tindakan caesarian section segera, hingga akhirnya lahir bayi laki-laki berat 3000 gram APGAR 8-9, tanpa kelainan kongenital. Kondisi ibu dipulangkan dengan keadaan baik dan tetap mendapat terapi piridostigmin 4x60 mg per oral.Simpulan: Miastenia gravis pada kehamilan merupakan suatu hal yang jarang ditemukan, namun memerlukan perhatian khusus pada ibu juga pada bayi karena dapat menimbulkan mortalitas bila tidak tertangani dengan baik. Kewaspadaan dan penanganan yang tepat saat serangan miastenik akan meberikan luaran klinis yang lebih baik.