Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

STUDI PERUBAHAN KINERJA PELAKU RITEL DAN POLA BELANJA KONSUMEN PADA PUSAT PERBELANJAAN SEKITAR PASCA OPERASIONALISASI MALL BINTARO XCHANGE (STUDI KASUS BINTARO PLAZA DAN LOTTE MALL) Girsang, Thyoria Mariska; Mahmud, Nasiruddin; Fahmi, Erwin
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v1i2.901

Abstract

Bintaro Xchange Mall yang beroperasi pada akhir tahun 2013, merupakan pusat perbelanjaan terbaru, terbesar, dan paling strategis di kawasan Bintaro Jaya. Sebelum ke Bintaro Xchange Mall, 2 pusat perbelanjaan serupa beroperasi di kawasan Bintaro Jaya, yaitu Bintaro Plaza dan Lotte Mall. Kehadiran Bintaro Xchange Mall diindikasikan berimbas pada perubahan kinerja ritel di pusat perbelanjaan yang ada serta perilaku belanja konsumen. Studi teoritis menjelaskan bahwa ada 12 faktor yang menentukan keberhasilan pusat perbelanjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi perubahan kinerja ritel dan perilaku belanja konsumen, dan bagaimana hal ini berkaitan dengan persepsi konsumen terhadap faktor-faktor keberhasilan pusat perbelanjaan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan teknik analisis komparatif dan korelasi. Hasil penelitian membuktikan bahwa telah terjadi perubahan kinerja pengecer dan perilaku belanja konsumen di Bintaro Plaza dan Lotte Mall pasca operasionalisasi Bintaro Xchange Mall. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa perubahan kinerja ritel berpengaruh signifikan terhadap perubahan perilaku belanja konsumen, sedangkan perubahan perilaku belanja konsumen berkorelasi signifikan dengan persepsi konsumen terhadap 12 aspek pusat perbelanjaan. Oleh karena itu disimpulkan bahwa perubahan kinerja ritel berhubungan secara tidak langsung dengan konsumen yang tanggap pada pusat perbelanjaan.
PERENCANAAN BERBASIS-KOMUNITAS DALAM REKONSTRUKSI ACEH PASCA-BENCANA: SEBUAH REFLEKSI TEORETIK Fahmi, Erwin
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v2i2.1557

Abstract

Dominant spatial planning theory and practice in the last half a century in Indonesia has been the rational comprehensive. This could be seen, among other, in the formal spatial planning works of the government and private sectors, and their underlying spatial planning laws, i.e. law 24/1992 and law 26/2007. This theory is based on the assumptions that the role of the state is central in the process of plan formulation and implementation; and, at the technical level, the availability of two main conditions to enable plan to be made, i.e.: necessary maps and statistical data, and relevant experts who interprete those data to meet the need of analysis. These assumptions, unfortunately, were not fully met in the specific case of post-conflict and post-disaster reconstruction of Aceh, especially during the first two years, 2005-2006. New approach, therefore, needed to be formulated, accepted by all reconstruction players and implemented to satisfy the immediate needs of the disaster’ victims.     Keywords: planning theory, perencanaan partisipatif, rekonstruksi AcehTeori dan praktik perencanaan tata ruang yang dominan dalam setengah abad terakhir di Indonesiatelah menjadi rasional komprehensif. Hal ini dapat dilihat, antara lain, dalam perencanaan tataruang formal sektor pemerintah dan sektor swasta, dan hukum tata ruang yang mendasarinya, yaituundang-undang 24/1992 dan undang-undang 26/2007. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwaperan negara adalah sentral dalam proses perumusan dan implementasi rencana; dan, pada tingkatteknis, ketersediaan dua kondisi utama untuk memungkinkan rencana dibuat, yaitu: peta yangdiperlukan dan data statistik, dan para ahli yang relevan yang menginterpretasi data tersebut untukmemenuhi kebutuhan analisis. Sayangnya, asumsi-asumsi ini tidak sepenuhnya terpenuhi dalamkasus khusus rekonstruksi Aceh pascakonflik dan pascabencana, terutama selama dua tahun pertama,2005-2006. Karena itu, pendekatan baru perlu dirumuskan, diterima oleh semua pihak rekonstruksidan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak para korban bencana.Kata kunci: teori perencanaan, perencanaan partisipatif, rekonstruksi Aceh
CO-PRODUCTION: STUDI TENTANG POLA-POLA PENYEDIAAN RUANG PUBLIK TERPADU RAMAH ANAK DI JAKARTA Ling, Loa Mei; Fahmi, Erwin
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 4, No 1 (2020): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v4i1.4999

Abstract

Public space has an important role for the development of city residents. Humans need a place to gather and interact with others. In DKI Jakarta, the reduced width and quality of public spaces, especially green open spaces, presents its own difficulties in creating adequate public space for various age groups and social classes of society. One step to get around this difficulty is to revitalize the function of the park into an interactive community park with a variety of functions called the Child Friendly Integrated Public Space (RPTRA). This program has been running for 4 years. To evaluate this policy, the thesis that forms the basis of this paper evaluates the provision of RPTRA in two regions, namely the Alfa Dahlia RPTRA and the Nias Nias III RPTRA, using the concept of co-production. With this concept, the RPTRA's 'production' process will be understood, the benefits and prospects for its sustainability after the role of regional governments is increasingly limited. This research uses a qualitative approach. Data is mainly collected and analyzed through field observations, interviews, and observations of artifacts, as well as secondary data studies. The research findings show that, despite having different degrees of co-production, the two RPTRA have the prospect of surviving and developing in the future. AbstrakRuang publik memiliki peran penting bagi perkembangan warga kota. Manusia memerlukan tempat berkumpul dan berinteraksi dengan sesama. Di DKI Jakarta, berkurangnya luas dan kualitas ruang publik, khususnya ruang terbuka hijau, memberikan kesulitan tersendiri untuk mewujudkan ruang publik yang memadai bagi berbagai kelompok umur dan kelas sosial masyarakat. Salah satu langkah untuk menyiasati kesulitan ini adalah dengan merevitalisasi fungsi taman menjadi taman komunitas interaktif ragam fungsi yang disebut dengan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Program ini telah berjalan 4 tahun. Untuk mengevaluasi kebijakan ini, tesis yang menjadi dasar makalah ini mengevaluasi penyediaan RPTRA di dua kawasan, yakni RPTRA Alur Dahlia dan RPTRA Kelapa Nias III, menggunakan konsep co-production. Dengan konsep tersebut, hendak dipahami bagaimana proses ‘produksi’ RPTRA tersebut, kemanfaatan dan prospek keberlanjutannya setelah peran pemerintah daerah semakin terbatas.  Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data terutama dikumpulkan dan dianalisis melalui observasi lapangan, wawancara, dan pengamatan artefak, serta kajian data sekunder. Temuan penelitian menunjukkan bahwa, meskipun memiliki derajat ko-produksi yang berbeda, kedua RPTRA memiliki prospek untuk tetap hidup dan berkembang di masa mendatang.
RENCANA SABUK HIJAU TIMUR KOTABARU KEBAYORAN: KEBIJAKAN SETENGAH HATI? STUDI TENTANG TRANSFORMASI KAWASAN Claudio, Glen; Fahmi, Erwin
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 4, No 2 (2020): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v4i2.7892

Abstract

Kebayoran new city was the first satellite city planned on the outskirts of post-world war II Jakarta. By applying the garden city concept, Kebayoran new city was planned to have green belt elements in the west and east to limit its growth. Along with the rapid development of the main axis of the City of Jakarta (Jl. Thamrin - Jl. Sudirman) after the transfer of sovereignty (1949) and the expansion of the administrative boundaries of the City of Jakarta, the newcity of Kebayoran has undergone a transformation and changes / adjustments to plans. One of the consequences, Kebayoran new city is no longer a satellite city as originally planned. The idea of a green belt in the eastern part also did not materialize as it should. This study aims to identify the enforcing and enabling factors for not realizing the idea of the eastern green belt of Kebayoran new city. The method used is a qualitative method with a case study approach. The research findings indicate that the enforcing factor for this failure is mainly government (central and regional) development policies after the transfer of sovereignty. Enabling factors are the fact that some parts of the area have not been acquired, and local government policies that allow or develop parts of the area for other functions. By knowing the enforcing and enabling factors above, this research is expected to be a lesson for planners and policy makers for the development of new cities in the future. Keywords: government policies; green belt; Kebayoran Baru; urban transformation ABSTRAKKota baru Kebayoran merupakan kota satelit pertama yang direncanakan di pinggiran Jakarta pasca kemerdekaan. Dengan menerapkan konsep garden city, kota baru Kebayoran direncanakan memiliki elemen sabuk hijau di bagian Barat dan Timur untuk membatasi pertumbuhannya. Seiring dengan perkembangan pesat poros utama Kota Jakarta  (Jl. Thamrin – Jl. Sudirman) pasca penyerahan kedaulatan (1949) dan meluasnya batas administratif Kota Jakarta, kota baru Kebayoran mengalami transformasi dan perubahan/penyesuaian rencana. Salah satu akibatnya, kota baru Kebayoran tidak lagi menjadi kota satelit seperti rencana awal. Gagasan sabuk hijau pada bagian Timur juga tidak terwujud sebagaimana mestinya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor pendorong dan faktor pemungkin tidak terwujudnya gagasan sabuk hijau Timur kota baru Kebayoran. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Temuan penelitian menunjukkan bahwa faktor pendorong kegagalan tersebut terutama adalah kebijakan pembangunan pemerintah (Pusat dan Daerah) pasca penyerahan kedaulatan tersebut. Faktor pemungkin adalah kenyataan bahwa beberapa bagian kawasan belum diakuisisi, dan kebijakan pemerintah daerah yang mengijinkan atau mengembangkan bagian kawasan untuk fungsi lain. Dengan mengetahui faktor pendorong dan faktor pemungkin di atas, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi perencana dan pembuat kebijakan pembangunan kota baru di masa mendatang.
TANTANGAN PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH DARI SUDUT PANDANG INSTITUSIONAL: STUDI KASUS KOLEKTIF DI KEL. BINTARO DAN KEL. BANJAR KOTA MATARAM Amin, Saiful; Fahmi, Erwin
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 5, No 2 (2021): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v5i2.12133

Abstract

Slum settlement in Indonesia has been improved through various programs since before independence. The experiences of slum improvement programs show that there are still a number of challenges to perfecting them. The most critical issues have been, or related to, tenure security and the sustainability of the holistic slum management program. This research was conducted with a qualitative research approach using The Three Worlds of Action framework and a collective case study method conducted in Kel. Bintaro and Kel. Banjar of the City of Mataram. The results showed that the challenges faced at the constitutional choice level and the collective choice level, namely the policies that have been applied at the national level, have not been fully consistent and coherent with decisions at the operational choice level. This is because policies at the constitutional level are still sectoral in nature, and there is no special institution dealing with slum settlements. The second challenge is that the collective choice that has been prepared at the collective choice level has not been fully operationalized at the operational level. This is because community involvement has not been optimal from planning to implementation and the collective choice has not fully paid attention to aspects of security of residence and sustainability. Keywords: slum improvement program; The Three Worlds of Action; Kelurahan Bintaro dan Kelurahan Banjar Kota Mataram. AbstrakPemukiman kumuh di Indonesia telah ditangani melalui berbagai program sejak sebelum kemerdekaan. Pengalaman program penanganan permukiman kumuh menunjukkan bahwa masih terdapat sejumlah tantangan untuk menyempurnakan program-program dimaksud. Beberapa di antaranya terkait kepastian bermukim dan keberlanjutan program penanganan permukiman kumuh yang holistik. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan kerangka kerja The Three Worlds of Action dan metode studi kasus kolektif yang dilakukan di Kel. Bintaro dan Kel. Banjar Kota Mataram. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi pada tingkat pilihan konstitusional dan tingkat pilihan kolektif, yaitu kebijakan yang telah diterapkan di tingkat nasional, belum sepenuhnya konsisten dan koheren dengan keputusan di tingkat pilihan operasional. Hal ini disebabkan karena kebijakan di tingkat konstitusi masih bersifat sektoral, dan belum ada institusi khusus yang menangani permukiman kumuh. Tantangan kedua, pilihan kolektif yang telah disusun pada level pilihan kolektif belum sepenuhnya dioperasionalkan pada level operasional. Hal ini dikarenakan pelibatan masyarakat belum optimal dari perencanaan hingga pelaksanaan dan pilihan kolektif belum sepenuhnya memperhatikan aspek keamanan bertempat tinggal dan keberlanjutan.
PENDEKATAN SEMI-AUTONOMOUS SOCIAL FIELD DALAM STUDI DAN PERENCANAAN PERKOTAAN: TELAAH METODOLOGIS Fahmi, Erwin
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 5, No 2 (2021): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v5i2.8980

Abstract

This study discusses an approach widely used in the study of legal anthropology, i.e., semi-autonomous social field, for its potential application in the fields of urban studies and planning. This approach is considered highly relevant as it explains what and why discrepancies take place between what is dictated by state policy (including spatial planning) and what is actually accepted and applied in a semi-autonomous social field, like community or organization/company. By understanding these discrepancies, we may be able to appreciate the existence of local norms, values, and habits and, therefore, also of legal pluralism. Once again, as a legal product, urban plan is also bound to such an understanding. Two examples are taken to illustrate the application of this approach. In both illustrations, processes of elaboration, adjustment, acceptance, and conflict were demonstrated. Keywords: semi autonomous social field, rules-in-use, urban studies and planning. AbstrakKajian ini membahas pendekatan yang lazim digunakan dalam kajian antropologi hukum, yaitu bidang sosial semi-otonom, dan potensi penerapannya dalam bidang studi dan perencanaan perkotaan. Pendekatan ini dipandang sangat relevan karena menjelaskan apa dan mengapa terjadi perbedaan antara apa yang ditetapkan oleh kebijakan negara (termasuk rencana tata ruang) dan apa yang sesungguhnya diterima dan diterapkan dalam bidang sosial semi-otonom, seperti komunitas atau organisasi/perusahaan. Dengan memahami ketidaksesuaian tersebut kita dapat mengapresiasi keberadaan norma, nilai dan kebiasaan lokal dan karenanya juga dapat menghargai pluralisme hukum. Sekali lagi, sebagai produk hukum, rencana kota juga terikat pada pemahaman semacam itu. Dua contoh digunakan untuk mengilustrasikan penerapan pendekatan ini. Dalam kedua contoh, proses-proses elaborasi, penyesuaian, penerimaan, dan konflik ditunjukkan.
MENG-EMPU-KAN PEREMPUAN: DESAIN RUANG PUBLIK YANG AMAN DAN NYAMAN BAGI PEKERJA PEREMPUAN DI SCBD - JAKARTA Melania, Melania; Fahmi, Erwin
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 5, No 2 (2021): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v5i2.12221

Abstract

The SCBD area is a high class complex of office spaces and other uses, who has female workers with several levels and categories. The proportion of female to male workers in SCBD is reltively equal, around 47% and 53%. In supporting activities in the area, there has sharing public facilities and infrastructure. The facilities and infrastructure include pedestrians, public toilets, public open area, bus stop, zebra cross, and guardhouse. Women in general and female workers in particular have unique characteristics which made them feelings, they will be sensitive to certain things that can disturb their feelings of security and comfort. Those characteristics also make them vurnerable to crime, including sexual harassment. This especially true for female workers who come home late at night. Security systems, including the lighting system of the area, are among the most important conditions for female workers. Therefore, in the design of  public space at SCBD the need for secure and comfortable spaces for all categories and levels of female workers was also considered. The purpose of this study is to review the appropriate security system in the area, opinion of female workers toward the system, and to formulate future improvement directions.This research is a qualitative research with case study method. Due to the COVID-19 pandemic, part of the data collection process was conducted online. Finding of the study reveal that there are several things that are not fulfilled by the SCBD management  with respect to the needs for secure and comfortable public spaces for female workers. In the future, it is expected that SCBD management will be more sensitive to the specific collective needs and aspiration of female.Keywords: Public Spaces, Gender, SCBD Jakarta, Women WorkersAbstrakKawasan SCBD merupakan kawasan perkantoran kelas atas dan mixed-use di Jakarta. Di dalamnya juga bekerja kaum perempuan dengan berbagai kategori dan tingkatan. Proporsi pekerja perempuan terhadap pekerja laki-laki di kawasan SCBD relatif sama, yakni 47% berbanding 53%. Dalam menunjang kegiatan di dalam kawasan, terdapat sarana dan prasarana publik yang digunakan bersama. Sarana dan prasarana tersebut berupa pedestrian, toilet umum, ruang terbuka publik, halte transportasi publik, zebra cross, dan pos jaga. Perempuan secara umum, dan pekerja perempuan khusus, memiliki karakteristik khas, yang menjadikan mereka peka terhadap hal-hal tertentu yang dapat mengganggu rasa aman dan nyaman mereka. Sementara, karena karakteristiknya tersebut, mereka juga rentan menjadi korban tindak kejahatan dan pelecehan seksual. Para pekerja perempuan yang karena tuntutan pekerjaannya mengharuskan mereka pulang larut malam paling rentan terhadap tindakan kejahatan tersebut. Sistem keamanan, termasuk pencahayaan kawasan yang memadai, penting untuk menjaga para pekerja perempuan. Karena itu, desain ruang publik di kawasan SCBD juga memperhatikan kebutuhan akan keamanan dan kenyamanan bagi berbagai tingkatan pekerja perempuan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk me-review sistem keamanan yang berjalan saat ini di kawasan SCBD, pandangan pekerja perempuan terhadap sistem keamanan tersebut, dan merumuskan arah perbaikan ke depan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Karena penelitian dikerjakan pada masa pandemi COVID-19, sebagian proses pengumpulan data dilakukan secara online. Hasil penelitian menemukan bahwa masih ada beberapa hal yang belum dipenuhi pihak pengelola SCBD berkatian dengan kebutuhan rasa aman dan nyaman pada ruang publik. Ke depan, pengelola kawasan SCBD diharapkan dapat lebih peka terhadap kebutuhan khas dan aspirasi para pekerja perempuan secara kolektif.
KAMPUNG LEUSER: TANTANGAN DAN PROSPEK SEBUAH PERMUKIMAN INFORMAL DI KEBAYORAN BARU Roberto, Roberto; Fahmi, Erwin
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 5, No 2 (2021): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v5i2.8303

Abstract

Kebayoran Baru was a well-planned new town. However, over time, Kebayoran Baru has been transforming, whether it is planned or not. One form of transformation in Kebayoran Baru has been the presence of informal settlements, such as those on Jalan Leuser. The kampong, which is claimed by its residents has been inhabited since 1955, has faced various challenges along the way, one of which is the threat of land expropriation and eviction. The threat of eviction stems from a land dispute involving the residents of Kampung Leuser as the party occupying the land and PAM Jaya as the party who claims to have rights to the land. Equiped with an HGB certificate under its name, PAM Jaya in 2016 requested residents to leave the land immediately. Residents who claimed to have lived on the land for more than 60 years firmly rejected PAM Jaya's claim and fought back. This study uses a qualitative research approach and a semi-autonomous social field perspective, aiming to understand the challenges of effective citizen control over the land and the prospects for future settlements. The challenges are formulated based on the background of the people's control over the land, the process, and its development until now. Meanwhile, prospects are presented through possible scenarios, either pessimistic, moderate, or optimistic scenarios. The results show that until now (2019), four years after the eviction plan began, Kampung Leuser still survives. In fact, the residents have also sued BPN as the party that issued the HGB certificate for PAM Jaya. This proves that the survival of Kampung Leuser is not impossible. Of the three scenarios that can be pursued in the future, the moderate scenario can provide a sense of justice for various parties. Furthermore, this dispute is expected to provide a lesson for the field of regional and urban planning, both practically and theoretically, regarding solutions in the management of informal settlements, both in the new city of Kebayoran Baru, as well as in other new cities in Indonesia.Keywords: informal settlements; semi-autonomous social field; Kampung Leuser – Kebayoran Baru AbstrakKebayoran Baru merupakan kota baru yang direncanakan dengan baik. Namun, seiring berjalannya waktu, Kebayoran Baru mengalami transformasi, baik direncanakan maupun tidak. Salah satu bentuk transformasi di Kebayoran Baru adalah hadirnya permukiman informal, seperti yang antara lain berada di Jalan Leuser. Kampung yang diklaim oleh warga telah dihuni sejak 1955 ini, dalam perjalanannya mengalami berbagai tantangan, salah satunya adalah ancaman pengambil-alihan lahan dan penggusuran. Ancaman penggusuran ini bermula dari sengketa tanah yang melibatkan pihak warga Kampung Leuser selaku pihak yang menempati lahan dan PAM Jaya selaku pihak yang mengklaim memiliki hak atas lahan tersebut. Berbekal sertifikat HGB atas namanya, pihak PAM Jaya pada 2016 meminta warga untuk segera meninggalkan lahan tersebut. Warga yang mengaku sudah tinggal di lahan tersebut sejak lebih dari 60 tahun dengan tegas menolak klaim pihak PAM Jaya dan melakukan perlawanan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan perspeltif semi autonomous social field, bertujuan untuk memahami tantangan penguasaan efektif warga atas tanah tersebut, dan prospek permukimannya ke depan. Tantangan dirumuskan melalui latar belakang penguasaan warga atas lahan tersebut, proses, dan perkembangannya hingga saat ini. Sementara, prospek disajikan melalui skenario jalan keluar yang dapat ditempuh, baik skenario pesimis, moderat, maupun optimis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hingga saat ini (2019), empat tahun setelah rencana penggusuran bermula, Kampung Leuser masih bertahan. Bahkan, pihak warga juga sudah menggugat BPN selaku pihak yang mengeluarkan sertifikat HGB untuk PAM Jaya. Hal ini membuktikan bahwa bertahannya eksistensi Kampung Leuser bukanlah hal yang tidak mungkin. Dari tiga skenario yang dapat ditempuh ke depan, maka skenario moderat dapat memberikan rasa keadilan bagi berbagai pihak. Lebih jauh diharapkan sengketa ini dapat menjadi pembelajaran bagi bidang ilmu perencanaan wilayah dan kota baik secara praktis maupun teoritis mengenai solusi dalam pengelolaan permukiman informal, baik di kota baru Kebayoran Baru, maupun di kota-kota baru lainnya di Indonesia.
ALTERNATIF PENGEMBANGAN RUANG PUBLIK KOTA: TAMAN SPOT BUDAYA DUKUH ATAS - JAKARTA Gerry, Gerry; Fahmi, Erwin
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 5, No 2 (2021): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v5i2.11052

Abstract

Since the end of the 1980s Indonesia’s property business has been growing rapidly, especially in Jakarta. The growth has transformed green open space gradually to commercial uses. Along with that, there has also been a social shift in Jakarta and its satellite cities. Citizen maximizes their earnings from working at the office and trading in order to maintain (and upgrade) their welfare. As a result, their leisure time (including enjoying the park) worn off. Taman Spot Budaya Dukuh Atas (TDA) has been a Jakarta provincial government’s solution to such issues, i.e decreasing number of parks and open spaces, and the limited time available to enjoy them. A review in user appreciation, adaptation to current and upcoming trends, and its compatibility as public space and third space will be a benchmark for modern public space development. This study applies a qualitative research approach with a case study method. TDA proves to be one of the people’s option to hang out at public space, especially in a crowded city district. TDA also fulfilled public space, third space, and Jakarta government’s goals. But better maintenance and improvement are needed to ensure its sustainability. The concept of public space that can be enjoyed in a short time are expected to be replicated to several other crowd points in Jakarta and other major cities in the future. Keywords: Dukuh Atas; green open space; user appreciation; modern public space AbstrakSejak akhir 1980-an bisnis properti berkembang pesat di Indonesia, khususnya di Jakarta. Perkembangan ini mengkonversi lahan-lahan terbuka hijau menjadi lahan dengan fungsi komersil. Seiring perkembangan tersebut, terjadi pula pergeseran sosial di Jakarta dan di kota-kota penyangganya. Masyarakat memaksimalkan perolehannya dari bekerja di kantor atau berdagang demi menjaga (dan meningkatkan) kesejahteraannya. Akibatnya, waktu luang untuk rekreasi (termasuk menikmati taman) menjadi berkurang. Taman Spot Budaya Dukuh Atas (TDA) adalah salah satu solusi Pemda DKI Jakarta dalam memberikan fasilitas ruang terbuka, sekaligus melayani kategori warga kota tersebut. Peninjauan apresiasi pengguna, adaptasi dengan kecenderungan yang ada, dan kesesuaiannya sebagai ruang publik serta ruang ketiga menjadi tolok ukur bagi alternatif pengembangan ruang publik modern. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan metode studi kasus. TDA dapat menjadi pilihan masyarakat untuk menikmati ruang publik, khususnya di pusat kota. TDA sendiri sudah memenuhi kriteria sebagai ruang publik dan ruang ketiga, serta sudah sesuai dengan tujuan awal Pemda DKI. Namun diperlukan pemeliharaan dan pengembangan dari pengelola taman yang lebih baik, agar ruang publik dapat berkelanjutan. Konsep penyediaan ruang publik yang dapat dinikmati secara singkat ini diharapkan dapat direplikasi di beberapa titik keramaian di Jakarta dan kota besar lainnya ke depan.
TABUNGAN PERUMAHAN RAKYAT (TAPERA) DAN PENERAPANNYA DI DKI JAKARTA Putra, Henriko Ganesha; Fahmi, Erwin; Taruc, Kemal
Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Vol 3, No 2 (2019): Jurnal Muara Sains, Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Publisher : Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmstkik.v3i2.5630

Abstract

Occupancy is a basic need of every human being. As mandated by the 1945 Constitution, the State guarantees the fulfillment of citizens' needs for decent and affordable dwellings in the framework of developing Indonesian people who are wholly, self-conscious, independent and productive. The Public Housing Savings (Tapera) in accordance with Law of the Republic of Indonesia number 4 of 2016, is a long-term fund storage program that is used for housing finance, especially for Low-Income Communities (MBR). BAPERTARUM-PNS is an important lesson on how the goals of the housing savings are not utilized as retirement savings by most participants. The problem with this study is whether Tapera can be a solution for MBR in reaching funding for housing or repeating the failure of the BAPERTARUM-PNS program. Data collection from the Central Government, BP Tapera, and the Provincial Government of DKI Jakarta will be analyzed in the form of modeling of potential national and regional participation in and utilization of Tapera in DKI Jakarta Province. The results of the modeling analysis indicate a gap between Tapera's policies and people's expectations of a housing finance affordability solution for the MBR. AbstrakHunian merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Sebagaimana amanat UUD 1945, Negara menjamin pemenuhan kebutuhan warga negara atas tempat tinggal yang layak dan terjangkau dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sesuai Undang-Undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 2016, merupakan program penyimpanan dana jangka panjang yang dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). BAPERTARUM-PNS menjadi pelajaran penting bagaimana ketidakberhasilan tujuan dari tabungan perumahan yang dimanfaatkan sebagai tabungan pensiun oleh sebagian besar peserta. Permasalahan dari studi ini adalah apakah Tapera dapat menjadi solusi bagi MBR dalam menjangkau pembiayaan untuk memperoleh hunian atau mengulangi ketidakberhasilan program BAPERTARUM-PNS. Pengumpulan data dari Pemerintah Pusat, BP Tapera, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan dianalisis dalam bentuk Pemodelan potensi kepesertaan dan dana pemanfaatan Tapera secara nasional maupun regional di Provinsi DKI Jakarta. Hasil dari analisis pemodelan tersebut mengindikasikan adanya celah (gap) antara kebijakan Tapera dan harapan masyarakat akan hadirnya solusi keterjangkauan pembiayaan hunian bagi MBR.