Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Respon Klinis dan Parasitologis Dihidroartemisinin - Piperakuin pada Subyek Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks pada Hari Ke-3 Kunjungan Ulang Risniati, Yenni; Hasugian, Armedy Ronny; Siswantoro, Hadjar; Avrina, Rossa; Tjitra, Emiliana; -, Delima
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 4 Des (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i4 Des.79.

Abstract

Background: Clinical and parasitological response of malaria treatment on day 3 follow-up (D3) is a crucial condition to predict the successful of treatment. D3 is a period time that Early Treatment Failure may happen which may cause severe or complicated malaria. Moreover, if the asexual parasitemia is still detected more than 10% study subjects, it is assumed parasites resistance against artemisinin. Methods: Analysis used data from Monitoring Drug Resistance In Subject With P.falciparum And P.vivax Malaria In  Kalimantan And Sulawesi. Clinical data was gotten from anamnesis to identify clinical symptoms and physical examination including vital and clinical signs that was notified in case report form (CRF). Parasitological data was cross check examination from NIHRD microscopist for parasite density, and PCR examination result for Plasmodium detection and speciation that were recorded in log book and/or CRF. Clinical and parasitological response of DHP was examined with compared the condition of falciparum and vivax malaria on D0 (before treatment) and D3 (after 3 days treatment with completed dose). Result: Total malaria subject that were analyzed 206 subject, that were 119 falciparum malaria and 87 vivax malaria. Proportion subject falciparum and vivax malaria with clinical symptoms deceased significantly on D3 (p<0.05), accepted diarrhea on subject with vivax malaria. Proportion clinical signs also decreased significantly on D3, accepted dyspneu on falciparum malaria subject. From 206 malaria subject, only 1 subject (0,8%) with falciparum malaria that still was found asexual parasite with low density (10/ul). Proportion subject with gametocyte also decreased significantly on falciparum malaria (p=0,000) and vivax malaria (p=0,000). Conclusion: Clinical and parasitological response of DHP in falciparum and vivax subjects was excellent by D3. Only one falciparum malaria subject (0,8%) was still detected asexual parasitemia with the density of 10/ul.   DHP has rapid action and no clear  signs artemisinin resistance.AbstrakLatar belakang: Respon klinis dan parasitologis pengobatan malaria pada hari ke 3 kunjungan ulang (H3), merupakan keadaan yang penting untuk memprediksi keberhasilan pengobatan. H3 merupakan kurun waktu yang memungkinkan terjadinya kegagalan pengobatan dini (Early Treatment Failure) yang dapat megakibatkan malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Selain itu apabila parasitemia masih terdeteksi pada H3 sebanyak ?10% dapat sebagai tanda sudah terjadi resisten parasit terhadap derivat artemisinin. Metode: Analisis menggunakan data Monitoring Pengobatan malaria dengan DHP di Kalimantan dan Sulawesi. Data klinis merupakan hasil anamnesis untuk mengidentifikasi gejala klinis, dan pemeriksaan fisik termasuk tanda vital dan tanda klinis yang tercatat di formulir rekam medis subyek. Sedangkan data parasitologis merupakan data hasil pemeriksaan cek silang mikroskopis untuk kepadatan parasit, dan hasil PCR untuk deteksi dan spesiasi Plasmodium yang tercatat di log book dan/atau di formulir rekam medis subyek. Respon klinis dan respon parasitologis DHP dinilai dengan membandingkan keadaan subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks pada H0 (sebelum pengobatan) dengan H3 (pada hari setelah pengobatan dengan dosis lengkap 3 hari). Hasil: Jumlah subyek malaria yang dianalisis adalah 206 yaitu 119 malaria falsiparum dan 87 malaria vivaks. Gejala klinis subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks yang mendapat pengobatan DHP berkurang proporsinya secara bermakna pada H3  (p<0,05),  kecuali diare pada subyek malaria vivaks. Demikian pula tanda klinis berkurang proporsinya secara bermakna pada H3  (p<0,05), kecuali  sesak nafas pada subyek malaria falsiparum. Dari total 206 subyek malaria, hanya satu kasus (0,8%) malaria falsiparum yang masih terdeteksi parasit aseksualnya dengan kepadatan rendah (10/ul).  Proporsi subyek dengan gametositemia juga menurun bermakna pada malaria falsiparum (p=0,000) dan malaria vivaks (p=0,000). Kesimpulan: Respon klinis dan parasitologis DHP pada subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks sangat baik di H3. Hanya satu subyek malaria falsiparum (0,8%) yang  masih terdeteksi aseksual parasitemia dengan kepadatan 10/ul. DHP cepat kerjanya dan belum ada tanda yang jelas parasit resisten artemisinin
LEUKOPENIA SEBAGAI PREDIKTOR TERJADINYA SINDROM SYOK DENGUE PADA ANAK DENGAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI RSPI. Prof. dr. SULIANTI SAROSO Risniati, Yenni; Tarigan, Lukman Hakim; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.85.

Abstract

The development of DHF patient usually assessed base on clinical condition, platelet count and haematocrit value as the DSS indicators. While leukocyte count is irrespective though leucopenia is common in  viral infection. Therefore, further analysis was run to determine whether leucopenia could be as a predictor of DSS  This study was a  retrospective study with a case control (1:2) design using hospitalized children medical records from January 2006 to April 2008 at Prof. Dr. Sulianti Saroso Infectious Diseases Hospital. DSS cases were purposive sampling, and DHF controls were selected using simple random sampling. There  were 43 children diagnosed as DSS, and 86 diagnosed as DHF. By multivariate analysis, DHF subjects  with leucopenia showed 2.9 times higher risk to develop DSS than DHF subjects without leucopenia. ( 95% CI: 1.2-6.6). Increasing hematocrite was  found as a confounding variable  with  (ORa: 4.0 ; 95% CI: 1.7-9.5). As conclusion, leucopenia could be  a predictor of  progression DHF to DSS.AbstrakPerkembangan penyakit DBD umumnya dinilai dari kondisi klinis pasien, jumlah trombosit dan nilai hematokrit sebagai indikator. Jumlah leukosit seringkali diabaikan walaupun pada  infeksi virus biasanya disertai dengan leukopenia. Oleh sebab itu dilakukan analisis mendalam terhadap leukopenia sebagai prediktor terjadinya Sindroma Syok Dengue (SSD). Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan rancangan kasus kontrol (1:2) menggunakan  rekam medis subyek anak yang dirawat dari bulan Januari 2006-April 2008 di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Sampel kasus (SSD)dipilih secara purposif, sedangkan kontrol (DBD) ditentukan secara acak sederhana. Sampel  terdiri dari 43 SSD kasus dan 86 DBD sebagai kontrol. Dengan analisis multivariat logistic regression didapatkan subyek DBD dengan leukopenia mempunyai risiko mengalami SSD 2,9 (95% CI: 1,23-6,62) kali lebih besar dibandingkan subyek DBD tanpa leukopenia. Variabel yang menjadi konfounding adalah peningkatan nilai hematokrit (OR: 4,0 ; 95% CI: 1,68-9,50). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa leukopenia bisa dipakai sebagai prediktor terjadinya SSD pada anak dengan DBD.
HUBUNGAN KEPADATAN PARASIT DENGAN MANIFESTASI KLINIS PADA MALARIA Plasmodium FALCIPARUM DAN Plasmodium VIVAX Avrina, Rossa; Risniati, Yenni; Siswantoro, Hadjar; Hasugian, Armedy Ronny; Tjitra, Emiliana; -, Delima
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.93.

Abstract

Malaria is still a public health problem in Indonesia. The clinical manifestation of malaria is varied, and many factors may influence its clinical manifestation. Despite the species of malaria, density of parasitemia is known related to the severity or malignancy of malaria. It is worth to analyse the clinical and laboratory data of malaria cases in monitoring dihydroartemisinin-piperaquine (DHP) treatment. The extended analysed was done to assess the relationship between density of parasitemia and clinical manifestations. A subset data of monitoring DHP treatment in subjects with uncomplicated falciparum and vivax malaria in Kalimantan and Sulawesi which were consist of clinical and laboratory day-0 data was used in analysing. Clinical data were recorded through anamnesis and physical examination. Parasite density was counted by health centre microscopist and then cross-checked by certified microscopists of the Natiional Institute of Health Reseach and Development. Haemoglobin level was also measured  by health centre analyst using the existing Sahli hemoglobinmeter. For parasite density category, median is used for cut off point. In P.falciparum malaria, the cut off point is 5588/µl  and in P.vivax malaria is 3375/µl.  The relationship between parasite density and clinical manifestation in falciparum and vivax malaria was determined by bivariate and multivariate analysis with logistic regression using SPSS 17 software. The most of subject with P.falciparum and P.vivax malaria are children (<15 yeras old), male, and non indigenous. From analysis bivariate, variabels that can be analyzed by multivariate in P.falciparum malaria (p<0,25) are children under 15 years old (p=0,0 12) and Sulawesi island where subject live(p=0,163) and In P.vivax malaria is children under 15 years old (p=0,218). Because of other variables are considered biologicaly related to parasite density, therefore all variabel are analyzed with multivariate. From multivariate analysis, there is significant relationship between parasite density and chidren under 15 years old in P.falciparum malaria (OR = 0,4, CI95%= 0,2-1,0). In P.vivax malaria, parasite density is related to children under 15 years old (OR = 0,6, CI 95% =0,2-1,9), haemoglobin level under 11gr/dl (OR= 1,4, CI 95%= 0,5-3,8), non indigenous OR= 0,3, CI 95%= 0,1-1,2) and the sum of clinical symptom <7  (OR=0,7, CI 95%=0,3-1,9). Parasite density is not related with clinical manifestation in P.falciparum malaria.. Parasite density is related to children under 15 years old significantly in P.falciparum malaria. In P.vivax malaria, parasite density are related to children under 15 years old, anemia, non indigenous, and the sum of clinical symptom <7. But the relationship  isn?t significant. AbstrakMalaria merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Gejala/manifetasiklinis malaria bervariasi dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi beratnya manifestasi tersebut. Selain spesies dari malaria, kepadatan parasit diketahui berhubungan dengan berat atau keparahan malaria. Untuk itu penting menaganalisa data klinik dan laboratorium dari subyek malaria pada monitoring pengobatan DHP. Bagian Data dari Monitoring drug resistance in subject with P.falciparum and P.vivax malaria in  Kalimantan and Sulawesi, Indonesia yang terdiri dari klinis dan laboratorium hari 0 dianalisa. Data klinis diambil melaluli anamnesa dan pemeriksaan fisik. Kepadatan parasit diperiksa oleh petugas mikroskopis Puskesmas dan di cek silang oleh petugas mikroskopis bersertifikasi di Badan Litbangkes. Data laboratorium lain yaitu kadar hemoglobin diperiksa oleh analis di Puskesmas menggunakan hemogobinmeter Sahli. Untuk pengelompokkan variabel kepadatan parasit , nilai median diambil sebagai cut off. Pada  malaria P.falciparum cut off nya adalah 5588/µl, dan pada malaria P.vivax adalah 3375/µl.  Hubungan antara kepadatan parasit dan manifestasi klinis pada malaria P.falciparum dan P.vivax ditentukan dengan analisis bivariat dan multivariat menggunakan regresi logistik dengan program SPSS 17.Subyek terbanyak pada malaria P.falciparum dan P.vivax adalah anak-anak (<15tahun), berjenis kelamin laki-laki, dan merupakan pendatang. Pada analisis bivariat,  variabel yang dapat  dianalisis multivariat pada malaria P.falciparum (p<0,25) adalah anak-anak yang berusia kurang 15 tahun  (p=0,012) dan pulau Sulawesi sebagai tempat tinggal subyek (p=0,163), sedangkan pada malaria P.vivax adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun(p= 0,218). Namun karena variabel-variabel lainnya dianggap berpengaruh secara biologis terhadap kepadatan parasit, maka semua variabel masuk kedalam analisis multivariat. Hasil dari analisis multivariat terlihat bahwa kepadatan parasit pada malaria P.falciparum berhubungan signifikan dengan anak ?anak yang berusia kurang dari 15 tahun (OR = 0,4, CI95%= 0,2-1,0). Pada malaria P.vivax, kepadatan parasit berhubungan dengan anak ?anak yang berusia kurang dari 15 tahun (OR = 0,6, CI 95% =0,2-1,9), kadar hemoglobin kurang dari 11gr/dl (OR= 1,4, CI 95%= 0,5-3,8), pendatang (OR= 0,3, CI 95%= 0,1-1,2) dan jumlah gejala klinik sedikit (OR=0,7, CI 95%=0,3-1,9). Namun hubungannya tidak bermakna. Pada malaria P.falciparum, kepadatan parasit tidak berhubungan dengan manifestasi klinis. Kepadatan parasit behubungan bermakna dengan anak- anak yang berusia kurang dari 15 tahun pada malaria  P.falciparum.  Pada malaria P.vivax, kepadatan parasit berhubungan dengan anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun, anemia, pendatang, dan jumlah gejala klinik. Namun hubungan variabel-variabel tersebut tidak bermakna.
EFIKASI DAN KEAMANAN DIHIDROARTEMISININ-PIPERAKUIN (DHP) PADA PENDERITA MALARIA FALSIPARUM TANPA KOMPLIKASI DI KALIMANTAN DAN SULAWESI Avrina, Rossa; Risniati, Yenni; Tjitra, Emiliana; Siswantoro, Hadjar; Hasugian, Armedy Ronny
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.95.

Abstract

Since 2008, Dihydroartemisinin-Piperaquine (DHP) has been used as the first-line drug for treatment of falciparum malaria in Papua, which gradually will also be used in other endemic areas. The objective of the study was  to determine the safety and efficacy of DHP. Patients with uncomplicated malaria due to Plasmodium falciparum were enrolled and treated with supervised DHP (arterakin ®, no. batch 010 909) daily dose for three days. Patients were followed for 42 days. Patients during follow up did physical examination and checked for microscopic parasites, measurement of hemoglobin levels (day 0, 14, 28 and 42), making the blood spot PCR (day 0 and day relapse), pregnancy test for women of childbearing age (Day 0 and 28). 119 patients were enrolled in the study. Therapeutic efficacy of DHP by day 42 in ITT and PP population were 98.3% (95% CI: 94.1-99.5%) and 100% (95% CI: 96.9-100%). The means of parasite clearance and fever clearance were 1.0 day and 1.6 days, and clinical symptoms was reduced by over 50% by day-7 follow up. All patients with gametocytes on day 0, generally were cleared on day 28 . There were an increasing number of patients with recovery hemoglobin at day 14, 28 and 42: 61%, 78% and 84%. Adverse events were mild, ie cough (31%) and abdominal pain (10%). Dihydroartemisinin-piperaquine was safe and effective for the treatment of uncomplicated P. falciparum malaria. AbstrakSejak 2008, program telah menggunakan dihidroartemisinin-piperakuin (DHP) sebagai pilihan pertama pengobatan malaria falsiparum di Papua, yang secara bertahap juga akan digunakan di wilayah endemis lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai keamanan  dan efikasi obat DHP. Pasien malaria falsiparum tanpa komplikasi diikutkan dalam studi dan diobati DHP (arterakin ®, no. batch 010 909) dengan pengawasan minum obat dosis satu kali sehari selama tiga hari. Selanjutnya pasien dipantau selama 42 hari. Pasien selama kunjungan ulang dilakukan pemeriksaan fisik dan cek parasit mikroskopis, diukur kadar hemoglobin (hari 0, 14, 28 dan 42), dibuat spot darah PCR (hari 0 dan hari kambuh), tes kehamilan pada wanita usia subur. Sebanyak 119 pasien direkruit pada penelitian ini. Efikasi terapeutik obat DHP pada hari ke 42 per populasi ITT dan PP adalah 98.3% (95% CI: 94.1-99.5%) dan 100% (95% CI: 96.8-100%). Rerata bebas parasit dan bebas demam adalah 1.0 hari dan 1.6 hari, dan gejala klinis berkurang hingga di atas 50% pada hari ke-7 kunjungan ulang. Pasien dengan karier gametosit pada saat rekruitmen, umumnya pada hari ke-28 sudah bebas gametosit. Terdapat peningkatan jumlah pasien dengan perbaikan hemoglobin pada hari ke 14, 28 dan 42: 61%, 78% dan  84%.  Kejadian sampingan adalah ringan, yaitu batuk (31%) dan sakit perut (10%).Dihidroartemisinin-piperakuin adalah aman dan efektif pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi.