Armedy Ronny Hasugian
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

PERBANDINGAN EFEKTIFITAS DOSIS SEKALI MINUM ARTEMISININ-NAFTOKUIN DENGAN DIHIDROARTEMISININ-PIPERAKUIN PADA PENGOBATAN PASIEN DEWASA MALARIA FALSIPARUM TANPA KOMPLIKASI Siswantoro, Hadjar; Hasugian, Armedy Ronny; Purnamasari, Telly; Laning, Sri; Yanuar, Lidwina; Dedang, Tersila; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 24, No 3 Sep (2014)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (564.468 KB)

Abstract

AbstrakKombinasi pengobatan berbasis artemisinin yang praktis dan sederhana dengan kepatuhan minum obat yang baik telah ditunjukkan dalam artikel utama: “Efficacy and Safety of Artemisinin-naphthoquine versus  dihydroartemisinin-piperaquine  in  adult  patients  with  uncomplicated  malaria:  a  multi-centre study in Indonesia” pada pasien dewasa dengan malaria apapun. Untuk melengkapi data terdahulu, disajikan  data  keamanan  dan  efikasi  obat  sekali  minum  artemisinin-naftokuin  (ANT)  dibandingkan dihidroartemisinin-piperakuin  (DHP)  pada  pengobatan  pasien  dewasa  dengan  malaria  falsiparum. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efikasi dan keamanan antara ANT dengan DHP pada pasien dewasa dengan malaria falsiparum. Studi dilakukan dengan uji klinik fase III, acak, terbuka menggunakan amplop terbuka, menggunakan protokol who untuk menilai efikasi obat antimalaria yang dipantau selama 42 hari. Hasil penelitian menunjukkan efikasi ANT dan DHP pada hari ke-42 berturutturut adalah 100% (74/74) dan 97,1% (66/68) dengan 2,9% (2/68) mengalami kegagalan pengobatan kasep.  Kejadian  sampingan  adalah  2,5%  batuk  setelah  pengobatan  ANT,  dan  1,4%  batuk  setelah pengobatan  DHP.  Kesimpulan  yang  diambil ANT  dosis  tunggal  aman  dan  efektif  seperti  DHP  dosis tunggal harian selama 3 hari untuk pengobatan malaria falsiparum dewasa tanpa komplikasi.Kata  kunci:  malaria,  dihidroartemisinin-piperakuin,  artemisinin-naftokuin,  Plasmodium  falciparum, Indonesia.AbstractA practical and simple Artemisinin based combination  therapy (ACT) with good compliance  in adult patients for all malaria species has been shown in the first article: “Efficacy and Safety of Artemisininnaphthoquine  versus  dihydroartemisinin-piperaquine  in  adult  patients  with  uncomplicated  malaria:  a multi-centre study in Indonesia”. It is worth to add data safety and efficacy of single dose artemisininnaphthoquine  (ANT)  compared  with  dihydroartemisinin-piperaquine  (DHP)  in  adult  patients  with P.falciparum malaria. The aims of this study is to compare safety and efficacy of ANT with DHP in adult patients  with  uncomplicated  P.falciparum  malaria. this  study  is  a  clinical  trial  phase  III,  randomized, open-label using unsealed envelopes, using WHO protocol to measure efficacy of antimalaria drug with 42 days of follow-up. The results show the efficacy of ANT and DHP at day 42 was 100% (74/74) and 97.1% (66/68), respectively with 2.9% (2/68) late treatment of failure for DHP. Adverse event was 2.5% cough after ANT treatment, and 1.4% cough after DHP treatment. The conclusion is that single dose of ANT is safe and very effective similar with DHP single daily dose for three days for treatment adult patients with uncomplicated P.falciparum malaria.Keywords : malaria, dihydroartemisinin-piperaquine, artemisinin-naphthoquine, Plasmodium falciparum, Indonesia.
ARTESUNAT-AMODIAKUIN DAN KLOROKUIN UNTUK PENGOBATAN MALARIA VIVAKS DI PUSKESMAS KOPETA, MAUMERE, NUSA TENGGARA TIMUR, 2007 Hasugian, Armedy Ronny; Tjitra, Emiliana
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 24, No 4 Des (2014)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (353.408 KB)

Abstract

AbstrakIndonesia merupakan negara endemis malaria yang merekomendasi Artemisinin-based Combination Therapy (ACT) untuk malaria Plasmodium vivax. Konfirmasi resistensi P.vivax terhadap kloroquin dan efikasi ACT  perlu  diteliti  untuk  mendukung  kebijakan  pengobatan  malaria.  Provinsi  Papua  bersama Nusa Tenggara Timur (NTT) penyumbang utama kasus malaria di Indonesia. Tujuan penelitian untuk mengevaluasi  efikasi  dan  keamanan ACT  program  artesunat-amodiakuin  (AsAq)  dibandingkan  obat konvensional klorokuin (Cq) pada malaria vivaks di Puskesmas, Provinsi NTT. Penelitian ini merupakan penelitian klinis, prospektif, evaluasi efikasi dan keamanan AsAq dibandingkan Cq pada subyek P.vivax malaria dan diamati selama 28 hari, sesuai protokol WHO tahun 2003. Efikasi AsAq dan Cq dianalisis dan dibandingkan secara intention to treat (ITT) dan per protocol (PP). Keamanan obat dievaluasi berdasarkan timbulnya atau memberatnya gejala klinis dalam kurun waktu 28 hari. Total 100 subjek monoinfeksi P. Vivax yang memenuhi criteria diobati secara acak dengan AsAq atau Cq. Efikasi hari-28 AsAq dibandingkan Cq secara Intention to Treat (ITT) adalah 93,7% (95%CI: 83,8 – 97,9) versus 56,4% (95%CI: 50,1 – 75,9) dengan Log Rank (Mantel Cox)<0.001 dan Hazard Ratio 8,3 (95%CI: 2,4 – 28,2). Efikasi hari-28 AsAq per protocol (PP) adalah 93,6% (95%CI: 82,8 – 97,8) dibandingkan Cq51,4% (95%CI: 35,9– 66,6) dengan Log Rank (Mantel Cox)<0,001 dan HR 9,3 (95%CI: 2,7 – 31,7). Dua (4%) kasus dengan Cq mengalami kegagalan pengobatan dini (Early Treatment Failure) di hari-3. Kejadian sampingan  terbanyak AsAq  dan  Cq  adalah  muntah  (26%  vs 20,4%)dan  dua  kasus  pengobatan  Cq merupakan kasus kejadian sampingan serius karena muntah berulang yang memerlukan rawat inap. Efikasi AsAq  lebih  baik  secara  signifikan  dibandingkan  Cq  untuk  pengobatan  P.  Vivax  di  Maumere. Muntah  merupakan  kejadian  sampingan  AsAq  dan  Cq  yang  paling  sering  terjadi  dan  memerlukan pengobatan. ACT alternatif yang efektif dan aman dibutuhkan untuk pengobatan infeksi P. vivax.Kata kunci : artesunat, amodiakuin, klorokuin, P. vivax.AbstractIndonesia as a malaria endemic country is recommended to use Artemisinin-based Combination Therapy  (ACT)  for  P.  vivax  malaria.   Confirmation  of  Chloroquine  resistant  and ACT  efficacy  for  P. vivax need to be investigated for supporting malaria treatment policy. Papua and East Nusa Tenggara (NTT) contribute the main malaria cases in Indonesia. To evaluate efficacy and safety of ArtesunateAmodiaquine (AsAq) as an ACT programme compared to drug Klorokuin (Cq) as a conventional for vivax malaria at Public Health Care in NTT. This was a clinical study, prospective, efficacy and safety evaluation of AsAq compared to Cq for malaria P.vivax subject and followed by 28 days, based on WHO protocol 2003. Intention to treat (ITT) and per protocol (PP) was performed to compare AsAq and Cq efficacy. Safety was evaluated based on the incidance or severity of clinical symptoms by 28 days of follow up. Total of 100 P. vivax monoinfection suitable with the inclusion/exclusion criteria was randomized treated with AsAq or Cq. The 28 days efficacy of AsAq and Cq was 93.7% (95%CI: 83.8 – 97.9) versus 56.4% (95%CI: 50.1 – 75.9) with Log Rank (Mantel Cox)<0.001 and Hazard Ratio (HR) 8,3 (95%CI: 2,4 – 28,2) by intention to treat (ITT). Per protocol (PP) efficacy was 93.6% (95%CI: 82.8 – 97.8) compared toCq51.4% (95%CI: 35.9– 66.6), Log Rank (Mantel Cox) <0,001 and HR 9,3 (95%CI: 2,7 – 31,7). Two (4%) cases with Cq had early treatment failure (ETF) at day 3. The major adverse event was vomiting for both AsAq and Cq (26% vs 20,4%) and two cases with severe vomiting were hospitalized. The efficacy of AsAq was better significantly than Cq for P. vivax treatment in Maumere. Vomiting was the major adverse event for both drugs and needed a treatment. The alternative of effective and safety ACT is needed for P. vivax infection.Key word : artesunate, amodiaquine, choloquine, P. vivax.
Peran Standar Operasional Prosedur Penanganan Spesimen untuk Implementasi Keselamatan Biologik (Biosafety) di Laboratorium Klinik Mandiri Hasugian, Armedy Ronny; Lisdawati, Vivi
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 26, No 1 Mar (2016)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (384.868 KB)

Abstract

AbstrakStandar Operasional Prosedur (SOP) merupakan acuan laboratorium dalam berkegiatan dan harusmemenuhi kriteria Good Laboratory Practice (GLP) serta peraturan perundang-undangan yangberlaku. SOP berkaitan dengan penilaian risiko keselamatan biologik (biosafety), terutama terkaittindakan pencegahan (safety precaution) di laboratorium. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasikepemilikan/ada tidaknya SOP dan evaluasi terhadap SOP yang dimiliki di Laboratorium Klinik Mandiri(LKM) di Indonesia dikaitkan dengan implementasi keselamatan biologik (biosafety), yang dalam tulisanini dihubungkan dengan kejadian dan komplikasi saat pengambilan darah. Desain penelitian mengikutiRiset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) 2011 yaitu potong lintang. Metodologi dengan cara mendatangisecara langsung setiap LKM sesuai kriteria inklusi, melakukan wawancara menggunakan kuisionerterstruktur, observasi dan pencatatan data sekunder yang diperlukan. Variabel SOP yang dianalisisberjumlah 15 buah sesuai pertanyaan pada Rifaskes 2011. Total 782 LKM direkrut pada Rifaskes 2011.Sejumlah 695 LKM dianalisis untuk kepemilikan/ada tidaknya SOP dan 504 LKM untuk evaluasi SOP.Hasil menunjukkan hanya 49,3% LKM memiliki SOP dan 51,8%-nya yang melakukan evaluasi SOP.LKM yang memiliki dan mengevaluasi ≥ 75% SOP lebih banyak ditemukan di Pulau Jawa dan Sumatera.Kejadian tertusuk benda tajam, terkena limbah infeksius, dan tertumpah limbah lebih sering terjadi padakelompok kepemilikan/ada tidaknya SOP dan evaluasi SOP < 75%. Komplikasi hematoma, pingsandan perdarahan lebih banyak dilaporkan oleh kelompok kepemilikan/ada tidaknya SOP dan evaluasiSOP ≥ 75%. Analisis multivariat menunjukkan kepemilikan/ada tidaknya SOP dan evaluasi SOP ≥ 75%berhubungan dengan perlindungan dari komplikasi perdarahan di laboratorium. Kesimpulan dari studiini bahwa < 75% LKM di Indonesia yang memiliki SOP dan evaluasi SOP, sehingga perlu ditingkatkanuntuk dapat menerapkan prinsip keselamatan biologik secara luas.Kata Kunci: biosafety, Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes), laboratorium, Standar Operasional Prosedur AbstractStandard Operating Procedure (SOP) is a reference laboratory guideline in daily laboratory activity andmust meet criteria one Good Laboratory Practice (GLP) as well as the laws and regulation. SOPs is alsorelated to risk assessment of biological safety (biosafety), mainly related to preventive measures (safetyprecaution) in the laboratory. This paper aims to identify the ownership/presence or absence of SOP andevaluation of the SOP owned in the private clinical laboratory (PCL) in Indonesia associated with theimplementation of the safety of biologics (biosafety), which in this paper is associated with the incidenceand complications when taking blood.The study design followed the Research Health Facility (Rifaskes)2011 which was a cross sectional. The methodology by approaching directly each PCL which fits theinclusion criteria, and conduct interviews using structured questionnaire, observation and recording ofsecondary data is required. In total, 15 SOP variables were analyzed according to Rifaskes questionin 2011. Total 782 PCL were recruited in 2011 Rifaskes, only 695 of PCL were analyzed for ownership/presence of absence SOP and 504 PCLs for evaluation of SOP. The analysis showed that only 49.3%PCL have SOP and 51.8% of them are evaluating the SOP. The PCLs have and evaluate the SOP ≥ 75%more common in Java and Sumatera. The punctured needle accident, spilled chemicals and infectedmaterials infectious were recorded frequently in the group ownership/presence or absence of SOPand evaluation of SOP < 75%. Complications hematoma, unconscious, and bleeding more reported by the group ownership/presence or absence of SOP and evaluation of SOP ≥ 75%. The analysis ofmultivariate show ownership/presence or absence SOP and evaluation of SOP ≥ 75% protection fromcomplications related to bleeding in the laboratory. The conclusion of the study is the ownership SOPand evaluation SOP on PCL in Indonesia < 75%, so it needs to be improved to be able to apply theprinciples of biological safety at large.Keywords: biosafety, Research Health Facilities (Rifaskes), laboratory, Standard Operating Procedure
Perilaku Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Tenaga Kerja Indonesia di Kansashi, Zambia: Analisis Kualitatif Hasugian, Armedy Ronny
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 27, No 2 (2017)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (0.001 KB) | DOI: 10.22435/mpk.v27i2.5805.111-124

Abstract

This research was to gather information about behavior prevention of occupational disease (OD) by Indonesian workers while working in Zambia. This is a qualitative research study with Rapid Assessment Procedure (RAP). The research location is PT EMI, Cikarang, West Java. The selection of PT EMI is based on the information that the company has a job focus in the African continent in this case is in Zambia, Africa. The sample of this study is an informant who have worked at the workplace at least 1 time and work for at least 3 months in Zambia, Africa. Conducted in-depth interviews with informants and validated by key informants and observations at a workshop in Cikarang. Data analysis was performed by assessing Lawrence Green’s behavioral factors after transcripts and the matrix were completed. Based on predisposing factors of informants already have knowledge and attitude of prevention of OD due to routine information submitted. For the enabling factors of OD prevention policies and the  availability of appropriate health facilities are provided. Meanwhile, the support of leader and of health workers has been running. These all shape the OD prevention behavior of informants seen from various OD prevention and handling activities. However, the implementation of OD prevention is not fully run due to negligence, carelessness, lack of consciousness, lack of care, less of intention of the individual, and not to behave healthily. In addition, the policy is also often not updated, there are no sanctions and there is still a perceived lack of corporate support and communication problems with health professionals. Preventive behavior of OD behaviors in Zambia by Indonesian workers has followed the established procedures, but has not gone as expected.AbstrakPenelitian ini untuk menggali informasi perihal perilaku pencegahan penyakit akibat kerja (PAK) yang dilakukan para pekerja Indonesia selama berada di Zambia. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan jenis penelitian Rapid Assessment Procedure (RAP). Lokasi penelitian adalah PT EMI, Cikarang, Jawa Barat. Pemilihan PT EMI didasarkan adanya informasi bahwa perusahaan tersebut mempunyai fokus pekerjaan di wilayah Afrika dalam hal ini di Zambia. Sampel penelitian studi ini adalah informan yang berasal dari para pekerja yang sudah bekerja di lokasi kerja minimal 1 kali dan bekerja minimal selama 3 bulan di Zambia, Afrika. Dilakukan wawancara mendalam terhadap informan dan divalidasi oleh informan kunci serta observasi di workshop yang ada di Cikarang. Analisis data dilakukan dengan menilai faktor perilaku versi Lawrence Green setelah transkrip dan matriks diselesaikan. Berdasarkan faktor predisposisi para informan sudah mempunyai pengetahuan dan sikap pencegahan PAK karena rutinnya informasi yang disampaikan. Untuk faktor pemungkin kebijakan pencegahan PAK dan ketersediaan fasilitas kesehatan yang layak sudah disediakan. Sementara itu dukungan pimpinan dan petugas kesehatan sudah berjalan. Semuanya ini membentuk perilaku pencegahan PAK informan yang terlihat dari berbagai kegiatan pencegahan dan penanganan PAK. Namun demikian pelaksanaan pencegahan PAK tidak berjalan sepenuhnya karena faktor kelalaian, ceroboh, kurang sadar, kurang peduli, niat yang kurang dari individu, dan tidak berperilaku hidup sehat. Selain itu kebijakan juga sering tidak update, tidak ada sanksi, serta masih dirasakan kurangnya dukungan perusahaan dan masalah komunikasi bahasa dengan petugas kesehatan. Perilaku pencegahan terhadap PAK di Zambia oleh pekerja Indonesia sudah mengikuti prosedur yang ditetapkan, namun belum berjalan sesuai harapan.
Respon Klinis dan Parasitologis Dihidroartemisinin - Piperakuin pada Subyek Malaria Falsiparum dan Malaria Vivaks pada Hari Ke-3 Kunjungan Ulang Risniati, Yenni; Hasugian, Armedy Ronny; Siswantoro, Hadjar; Avrina, Rossa; Tjitra, Emiliana; -, Delima
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 4 Des (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i4 Des.79.

Abstract

Background: Clinical and parasitological response of malaria treatment on day 3 follow-up (D3) is a crucial condition to predict the successful of treatment. D3 is a period time that Early Treatment Failure may happen which may cause severe or complicated malaria. Moreover, if the asexual parasitemia is still detected more than 10% study subjects, it is assumed parasites resistance against artemisinin. Methods: Analysis used data from Monitoring Drug Resistance In Subject With P.falciparum And P.vivax Malaria In  Kalimantan And Sulawesi. Clinical data was gotten from anamnesis to identify clinical symptoms and physical examination including vital and clinical signs that was notified in case report form (CRF). Parasitological data was cross check examination from NIHRD microscopist for parasite density, and PCR examination result for Plasmodium detection and speciation that were recorded in log book and/or CRF. Clinical and parasitological response of DHP was examined with compared the condition of falciparum and vivax malaria on D0 (before treatment) and D3 (after 3 days treatment with completed dose). Result: Total malaria subject that were analyzed 206 subject, that were 119 falciparum malaria and 87 vivax malaria. Proportion subject falciparum and vivax malaria with clinical symptoms deceased significantly on D3 (p<0.05), accepted diarrhea on subject with vivax malaria. Proportion clinical signs also decreased significantly on D3, accepted dyspneu on falciparum malaria subject. From 206 malaria subject, only 1 subject (0,8%) with falciparum malaria that still was found asexual parasite with low density (10/ul). Proportion subject with gametocyte also decreased significantly on falciparum malaria (p=0,000) and vivax malaria (p=0,000). Conclusion: Clinical and parasitological response of DHP in falciparum and vivax subjects was excellent by D3. Only one falciparum malaria subject (0,8%) was still detected asexual parasitemia with the density of 10/ul.   DHP has rapid action and no clear  signs artemisinin resistance.AbstrakLatar belakang: Respon klinis dan parasitologis pengobatan malaria pada hari ke 3 kunjungan ulang (H3), merupakan keadaan yang penting untuk memprediksi keberhasilan pengobatan. H3 merupakan kurun waktu yang memungkinkan terjadinya kegagalan pengobatan dini (Early Treatment Failure) yang dapat megakibatkan malaria berat atau malaria dengan komplikasi. Selain itu apabila parasitemia masih terdeteksi pada H3 sebanyak ?10% dapat sebagai tanda sudah terjadi resisten parasit terhadap derivat artemisinin. Metode: Analisis menggunakan data Monitoring Pengobatan malaria dengan DHP di Kalimantan dan Sulawesi. Data klinis merupakan hasil anamnesis untuk mengidentifikasi gejala klinis, dan pemeriksaan fisik termasuk tanda vital dan tanda klinis yang tercatat di formulir rekam medis subyek. Sedangkan data parasitologis merupakan data hasil pemeriksaan cek silang mikroskopis untuk kepadatan parasit, dan hasil PCR untuk deteksi dan spesiasi Plasmodium yang tercatat di log book dan/atau di formulir rekam medis subyek. Respon klinis dan respon parasitologis DHP dinilai dengan membandingkan keadaan subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks pada H0 (sebelum pengobatan) dengan H3 (pada hari setelah pengobatan dengan dosis lengkap 3 hari). Hasil: Jumlah subyek malaria yang dianalisis adalah 206 yaitu 119 malaria falsiparum dan 87 malaria vivaks. Gejala klinis subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks yang mendapat pengobatan DHP berkurang proporsinya secara bermakna pada H3  (p<0,05),  kecuali diare pada subyek malaria vivaks. Demikian pula tanda klinis berkurang proporsinya secara bermakna pada H3  (p<0,05), kecuali  sesak nafas pada subyek malaria falsiparum. Dari total 206 subyek malaria, hanya satu kasus (0,8%) malaria falsiparum yang masih terdeteksi parasit aseksualnya dengan kepadatan rendah (10/ul).  Proporsi subyek dengan gametositemia juga menurun bermakna pada malaria falsiparum (p=0,000) dan malaria vivaks (p=0,000). Kesimpulan: Respon klinis dan parasitologis DHP pada subyek malaria falsiparum dan malaria vivaks sangat baik di H3. Hanya satu subyek malaria falsiparum (0,8%) yang  masih terdeteksi aseksual parasitemia dengan kepadatan 10/ul. DHP cepat kerjanya dan belum ada tanda yang jelas parasit resisten artemisinin
HUBUNGAN KEPADATAN PARASIT DENGAN MANIFESTASI KLINIS PADA MALARIA Plasmodium FALCIPARUM DAN Plasmodium VIVAX Avrina, Rossa; Risniati, Yenni; Siswantoro, Hadjar; Hasugian, Armedy Ronny; Tjitra, Emiliana; -, Delima
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.93.

Abstract

Malaria is still a public health problem in Indonesia. The clinical manifestation of malaria is varied, and many factors may influence its clinical manifestation. Despite the species of malaria, density of parasitemia is known related to the severity or malignancy of malaria. It is worth to analyse the clinical and laboratory data of malaria cases in monitoring dihydroartemisinin-piperaquine (DHP) treatment. The extended analysed was done to assess the relationship between density of parasitemia and clinical manifestations. A subset data of monitoring DHP treatment in subjects with uncomplicated falciparum and vivax malaria in Kalimantan and Sulawesi which were consist of clinical and laboratory day-0 data was used in analysing. Clinical data were recorded through anamnesis and physical examination. Parasite density was counted by health centre microscopist and then cross-checked by certified microscopists of the Natiional Institute of Health Reseach and Development. Haemoglobin level was also measured  by health centre analyst using the existing Sahli hemoglobinmeter. For parasite density category, median is used for cut off point. In P.falciparum malaria, the cut off point is 5588/µl  and in P.vivax malaria is 3375/µl.  The relationship between parasite density and clinical manifestation in falciparum and vivax malaria was determined by bivariate and multivariate analysis with logistic regression using SPSS 17 software. The most of subject with P.falciparum and P.vivax malaria are children (<15 yeras old), male, and non indigenous. From analysis bivariate, variabels that can be analyzed by multivariate in P.falciparum malaria (p<0,25) are children under 15 years old (p=0,0 12) and Sulawesi island where subject live(p=0,163) and In P.vivax malaria is children under 15 years old (p=0,218). Because of other variables are considered biologicaly related to parasite density, therefore all variabel are analyzed with multivariate. From multivariate analysis, there is significant relationship between parasite density and chidren under 15 years old in P.falciparum malaria (OR = 0,4, CI95%= 0,2-1,0). In P.vivax malaria, parasite density is related to children under 15 years old (OR = 0,6, CI 95% =0,2-1,9), haemoglobin level under 11gr/dl (OR= 1,4, CI 95%= 0,5-3,8), non indigenous OR= 0,3, CI 95%= 0,1-1,2) and the sum of clinical symptom <7  (OR=0,7, CI 95%=0,3-1,9). Parasite density is not related with clinical manifestation in P.falciparum malaria.. Parasite density is related to children under 15 years old significantly in P.falciparum malaria. In P.vivax malaria, parasite density are related to children under 15 years old, anemia, non indigenous, and the sum of clinical symptom <7. But the relationship  isn?t significant. AbstrakMalaria merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Gejala/manifetasiklinis malaria bervariasi dan banyak faktor yang dapat mempengaruhi beratnya manifestasi tersebut. Selain spesies dari malaria, kepadatan parasit diketahui berhubungan dengan berat atau keparahan malaria. Untuk itu penting menaganalisa data klinik dan laboratorium dari subyek malaria pada monitoring pengobatan DHP. Bagian Data dari Monitoring drug resistance in subject with P.falciparum and P.vivax malaria in  Kalimantan and Sulawesi, Indonesia yang terdiri dari klinis dan laboratorium hari 0 dianalisa. Data klinis diambil melaluli anamnesa dan pemeriksaan fisik. Kepadatan parasit diperiksa oleh petugas mikroskopis Puskesmas dan di cek silang oleh petugas mikroskopis bersertifikasi di Badan Litbangkes. Data laboratorium lain yaitu kadar hemoglobin diperiksa oleh analis di Puskesmas menggunakan hemogobinmeter Sahli. Untuk pengelompokkan variabel kepadatan parasit , nilai median diambil sebagai cut off. Pada  malaria P.falciparum cut off nya adalah 5588/µl, dan pada malaria P.vivax adalah 3375/µl.  Hubungan antara kepadatan parasit dan manifestasi klinis pada malaria P.falciparum dan P.vivax ditentukan dengan analisis bivariat dan multivariat menggunakan regresi logistik dengan program SPSS 17.Subyek terbanyak pada malaria P.falciparum dan P.vivax adalah anak-anak (<15tahun), berjenis kelamin laki-laki, dan merupakan pendatang. Pada analisis bivariat,  variabel yang dapat  dianalisis multivariat pada malaria P.falciparum (p<0,25) adalah anak-anak yang berusia kurang 15 tahun  (p=0,012) dan pulau Sulawesi sebagai tempat tinggal subyek (p=0,163), sedangkan pada malaria P.vivax adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun(p= 0,218). Namun karena variabel-variabel lainnya dianggap berpengaruh secara biologis terhadap kepadatan parasit, maka semua variabel masuk kedalam analisis multivariat. Hasil dari analisis multivariat terlihat bahwa kepadatan parasit pada malaria P.falciparum berhubungan signifikan dengan anak ?anak yang berusia kurang dari 15 tahun (OR = 0,4, CI95%= 0,2-1,0). Pada malaria P.vivax, kepadatan parasit berhubungan dengan anak ?anak yang berusia kurang dari 15 tahun (OR = 0,6, CI 95% =0,2-1,9), kadar hemoglobin kurang dari 11gr/dl (OR= 1,4, CI 95%= 0,5-3,8), pendatang (OR= 0,3, CI 95%= 0,1-1,2) dan jumlah gejala klinik sedikit (OR=0,7, CI 95%=0,3-1,9). Namun hubungannya tidak bermakna. Pada malaria P.falciparum, kepadatan parasit tidak berhubungan dengan manifestasi klinis. Kepadatan parasit behubungan bermakna dengan anak- anak yang berusia kurang dari 15 tahun pada malaria  P.falciparum.  Pada malaria P.vivax, kepadatan parasit berhubungan dengan anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun, anemia, pendatang, dan jumlah gejala klinik. Namun hubungan variabel-variabel tersebut tidak bermakna.
EFIKASI DAN KEAMANAN DIHIDROARTEMISININ-PIPERAKUIN (DHP) PADA PENDERITA MALARIA FALSIPARUM TANPA KOMPLIKASI DI KALIMANTAN DAN SULAWESI Avrina, Rossa; Risniati, Yenni; Tjitra, Emiliana; Siswantoro, Hadjar; Hasugian, Armedy Ronny
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 21, No 3 Sept (2011)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22435/mpk.v21i3 Sept.95.

Abstract

Since 2008, Dihydroartemisinin-Piperaquine (DHP) has been used as the first-line drug for treatment of falciparum malaria in Papua, which gradually will also be used in other endemic areas. The objective of the study was  to determine the safety and efficacy of DHP. Patients with uncomplicated malaria due to Plasmodium falciparum were enrolled and treated with supervised DHP (arterakin ®, no. batch 010 909) daily dose for three days. Patients were followed for 42 days. Patients during follow up did physical examination and checked for microscopic parasites, measurement of hemoglobin levels (day 0, 14, 28 and 42), making the blood spot PCR (day 0 and day relapse), pregnancy test for women of childbearing age (Day 0 and 28). 119 patients were enrolled in the study. Therapeutic efficacy of DHP by day 42 in ITT and PP population were 98.3% (95% CI: 94.1-99.5%) and 100% (95% CI: 96.9-100%). The means of parasite clearance and fever clearance were 1.0 day and 1.6 days, and clinical symptoms was reduced by over 50% by day-7 follow up. All patients with gametocytes on day 0, generally were cleared on day 28 . There were an increasing number of patients with recovery hemoglobin at day 14, 28 and 42: 61%, 78% and 84%. Adverse events were mild, ie cough (31%) and abdominal pain (10%). Dihydroartemisinin-piperaquine was safe and effective for the treatment of uncomplicated P. falciparum malaria. AbstrakSejak 2008, program telah menggunakan dihidroartemisinin-piperakuin (DHP) sebagai pilihan pertama pengobatan malaria falsiparum di Papua, yang secara bertahap juga akan digunakan di wilayah endemis lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai keamanan  dan efikasi obat DHP. Pasien malaria falsiparum tanpa komplikasi diikutkan dalam studi dan diobati DHP (arterakin ®, no. batch 010 909) dengan pengawasan minum obat dosis satu kali sehari selama tiga hari. Selanjutnya pasien dipantau selama 42 hari. Pasien selama kunjungan ulang dilakukan pemeriksaan fisik dan cek parasit mikroskopis, diukur kadar hemoglobin (hari 0, 14, 28 dan 42), dibuat spot darah PCR (hari 0 dan hari kambuh), tes kehamilan pada wanita usia subur. Sebanyak 119 pasien direkruit pada penelitian ini. Efikasi terapeutik obat DHP pada hari ke 42 per populasi ITT dan PP adalah 98.3% (95% CI: 94.1-99.5%) dan 100% (95% CI: 96.8-100%). Rerata bebas parasit dan bebas demam adalah 1.0 hari dan 1.6 hari, dan gejala klinis berkurang hingga di atas 50% pada hari ke-7 kunjungan ulang. Pasien dengan karier gametosit pada saat rekruitmen, umumnya pada hari ke-28 sudah bebas gametosit. Terdapat peningkatan jumlah pasien dengan perbaikan hemoglobin pada hari ke 14, 28 dan 42: 61%, 78% dan  84%.  Kejadian sampingan adalah ringan, yaitu batuk (31%) dan sakit perut (10%).Dihidroartemisinin-piperakuin adalah aman dan efektif pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi.