Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

SKEABSAHAN PINJAM MEMINJAM UANG SECARA LISAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA Gaol, Selamat Lumban
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 9, No 2 (2019): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (496.128 KB) | DOI: 10.35968/jh.v9i2.356

Abstract

Suatu pinjam meminjam uang pada awalnya diawali dengan hubungan yang baik dan harmonis serta sama-sama percaya, akan tetapi seiring berjalanya waktu terjadi perselisihan, kemudian dipertanyakan apakah pinjam meminjam secara lisan terdahulu yang mereka lakukan itu sah dan mengikat secara hukum bagi mereka. Untuk itu menarik dan perlu diteliti bagaimanakah pengaturan hukum pinjam peminjan uang dan apakah pinjam meminjam uang secara lisan sah dan mengikat menurut hukum? Untuk menjawab persoalan tersebut dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan menggunakan data sekunder dan pendekatan Undang-Undang (statute approach). Perjanjian pinjam meminjam uang merupakan bentuk khusus dari perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769, bab XII Buku III KUH Perdata yang bersifat mengatur (aanvullendrecht), dan tidak norma yang mengharuskannya dibuat secara tertulis dan suatu perjanjian pinjam meminjam uang secara lisan adalah sah dan berharga serta memiliki kekuatan hukum yang mengikat, apabila didahului adanya persesuaian kehendak antara pihak yang meminjamkan uang (kreditor) dan pihak yang meminjam (debitor), serta tidak bertentangan dengan atau tidak dilarang oleh Undang-Undang, kesusilaan yang baik, dan ketertiban umum. Untuk itu perlu adanya Undang-Undang tentang Perikatan termasuk di dalamnya mengatur hal-hal berkaitan tentang pinjam meminjam uang dan perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi Undang-Undang yang berkaitan dengan pinjam meminjam uang.
PENGATURAN HUKUM MEDIASI DI PENGADILAN OLEH MAHKAMAH AGUNG Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 7, No 1 (2016): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (771.847 KB) | DOI: 10.35968/jh.v7i1.361

Abstract

Mediasi para pihak bersengketa di pengadilan yang dilakukan oleh mediator baik mediator Hakim ataupun non Hakim dewasa ini cukup mendapat perhatian yang serius dari Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Pemberdayaan mediasi para pihak berperkara di dan oleh peradilan tingkat pertama baik di Peradilan umum maupun peradilan Agama sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman dibawah Mahkamah Agung yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) senantiasa dievaluasi oleh Tim Terpadu di Mahkamah Agung sehingga kelemahan-kelemahan dan kendala-kendala pelaksanaan mediasi tersebut dalam peraturan sebelumnya dievaluasi, diperbaiki dan disempurnakan dengan penerbitan Perma yang baru. Kelemahan-kelemahan dan kendala-kendala pelaksanaan mediasi di pengadilan yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008 dievaluasi dan diperbaiki serta disempurnakan dengan Perma No. 1 Tahun 2016.
PENYELESAIAN SENGKETA PEMAKAIAN NAMA BADAN HUKUM PERKUMPULAN YANG TERDAPAT PERSAMAAN PADA POKOKNYA ANTARA SATU PERKUMPULAN DENGAN PERKUMPULAN LAINNYA Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 10, No 2 (2020): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35968/jh.v10i2.464

Abstract

Abstrak :Perkumpulan berupa badan hukum yang pada mulanya didirikan oleh sekumpulan orang yang didasarkan kesamaan idealisme untuk mewujudkan kesamaan maksud dan tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, serta tidak membagikan keuntungan kepada anggota maupun pendirinya, seiring dengan berjalannya waktu terjadi dinamika, bahkan terjadi perpecahan perkumpulan dengan mendirikan perkumpulan baru yang sejenis, sehingga berpotensi nama badan hukum perkumpulan yang baru tersebut terdapat persamaan pada pokoknya dengan perkumpulan lama. Lahir dan munculnya perkumpulan baru yang sejenis ini, akan memunculkan lahirnya sengketa nama badan hukum perkumpulan yang terdapat persamaan pada pokoknya antara satu Perkumpulan dengan perkumpulan lainnya, apabila tidak dapat diselesaikan secara musyawarah dan mufakat, akan bermuara kepada penyelesaian ke Pengadilan. Lalu pengadilan manakah yang berwenang memeriksa dan mengadili serta memutus sengketa nama badan hukum perkumpulan yang terdapat persamaan pada pokoknya antara satu Perkumpulan dengan perkumpulan lainnya tersebut, Pengadilan Negerikah ataukah Pengadilan Tata Usaha Negarakah ataukah Pengadilan Niaga yang berwenang. Permasalahan yang timbul bagaimanakah keabsahan pemakaian nama badan hukum perkumpulan?, dan Pengadilan manakah yang berwenang menyelesaikan sengketa pemakaian nama badan hukum perkumpulan yang terdapat persamaan pada pokoknya antara satu Perkumpulan dengan perkumpulan lainnya ?. Untuk menjawab persoalan tersebut dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) serta pendekatan kasus (case approach), menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pemakaian nama badan hukum perkumpulan hanya sah untuk satu badan hukum perkumpulan yang sah dan oleh perkumpulan yang bersangkutan, dan Pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa pemakaian nama badan hukum perkumpulan yang terdapat persamaan pada pokoknya antara satu Perkumpulan dengan perkumpulan lainnya adalah Pengadilan Niaga.  Kata Kunci: Badan Hukum, Perkumpulan, nama, penyelesaian sengketa
TINJAUAN HUKUM PEMILIKAN APARTEMEN (SATUAN RUMAH SUSUN) OLEH ORANG ASING / WARGA NEGARA ASING DI INDONESIA Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 9, No 1 (2018): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (406.987 KB) | DOI: 10.35968/jh.v9i1.298

Abstract

Kepadatan penduduk di kota-kota besar selain pertumbuhan dan pertambahan penduduk lokal (WNI), juga dikarenakan adanya pekerja asing (orang/WNA) yang berkerja di Indonesia, sehingga membutuhkan tempat tinggal baik yang horizontal maupun yang vertikal (rumah susun), baik karena didasarkan hubungan sewa menyewa ataupun didasarkan kepemilikan yang tunduk kepada ketentuan hukum nasional Indonesia sesuai dengan asas nasionalitas. Permasalahan hukum yang timbul bagaimanakah pengaturan hukum pemilikan satuan rumah susun (apartemen, kondominium) oleh orang Asing / WNA di Indonesia dan apakah orang Asing / WNA dapat memiliki satuan rumah susun di Indonesia ?. Untuk menjawab persoalan tersebut dalam penelitian ini metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan Undang-Undang (statute approach), serta menggunakan data sekunder. Pengaturan hukum pemilikan apartemen oleh orang asing / WNA di Indonesia telah cukup memadai, karena telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2011, PP No. 103 Tahun 2015 maupun Permen ATR/Ka.BPN No. 29 Tahun 2016, dan Orang Asing/WNA dapat memiliki satuan rumah susun yang dibangun dan berdiri hanya di atas bidang tanah hak pakai atas tanah negara 
PERKEMBANGAN RUANG LINGKUP PRAPERADILAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI R.I. NOMOR 21/PUU-XII/2014 Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 7, No 2 (2017): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35968/jh.v7i2.362

Abstract

Praperadilan yang diatur secara limitatif dalam KUHAP mengadopsi konsep dan mekanisme hakim komisaris (rechter commisarris) negara-negara Eropa Konstinental ataupun habeas corpus di negara-negara Anglo Saxon sebagai sarana kontrol atas perlindungan dan pelaksanaan hak asasi Tersangka terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau Penuntut Umum, ternyata tidak berjalan efektif, dalam prakteknya praperadilan lebih banyak menguji keabsahan administratif atas upaya paksa tersebut. Pengujian terhadap upaya paksa lainya berupa penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan belum menjadi objek atau ruang lingkup praperadilan. Pada tanggal 28 April 2015, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 21/PUU-XII/2014 yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) telah bertindak sebagai positive legislator dengan menciptakan norma baru, penetapan Tersangka, penggeledahan dan penyitaan termasuk objek atau ruang lingkup praperadilan dalam Pasal 77 huruf a KUHAP Kata kunci: Praperadilan, Penetapan Tersangka, Penggeledahan, Penyitaan, Putusan Mahkamah Konstitusi
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP PASCA BERLAKUNYA UU NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 11, No 2 (2021): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35968/jihd.v11i2.771

Abstract

AbstrakBerlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020) khususnya ketentuan Pasal 22 berpengaruh dan membawa konsekuensi hukum terhadap beberapa Pasal dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009), dimana terdapat beberapa ketentuan pasal dalam UU 32/2009 mengalami perubahan berupa ketentuan isi pasal diubah, ketentuan pasal yang dihapus dan terdapat juga penambahan pasal baru dalam UU 32/2009, termasuk juga perubahan ketentuan berkaitan dengan penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Oleh karenanya menarik dan perlu diteliti bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebelum dan sesudahberlakunya UU 11/2020 ?. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach), dengan mengkaji peraturan perundang-undangan dan regulasi serta asas-asas hukum dan doktrin-doktrin ilmu hukum berkaitan dengan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di Indonesia, dan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian memperlihatkan pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan hidup sebelum berlakunya UU 11/2020, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara APS berupa negosiasi ataupun mediasi serta melalui arbitrase, dan melalui pengadilan dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan keperdataan ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan atau pengajuan gugatan administratif ke Peradilan Administratif yang berwenang. Pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan hidup setelah berlakunya UU 11/2020 dapat dilakukan dengan cara pengajuan gugatan keperdataan ke Pengadilan Negeri yang berwenang, dan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara APS berupa negosiasi ataupun mediasi serta melalui arbitraseKata Kunci : Penyelesaian, Sengketa Lingkungan Hidup, UU Cipta Kerja. Abstract The enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation (Law 11/2020) in particular the provisions of Article 22 have an effect and bring legal consequences to several articles in Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management (Law 32/2009), where there are several provisions of the article in Law 32/2009 undergoing changes in the form of amended provisions of article contents, deleted article provisions and there is also the addition of new articles in Law 32/2009, including changes to provisions relating to the settlement of environmental disputes. Therefore, it is interesting and needs to be investigated how the arrangement of environmental dispute resolution before and after the enactment of Law 11/2020?. This research is a normative legal research using a conceptual approach and statutory approach, by examining laws and regulations as well as legal principles and legal science doctrines related to the settlement of environmental disputes in Indonesia. Indonesia, and using secondary data obtained from secondary and primary legal sources. The results of the study show that environmental dispute resolution arrangements prior to the enactment of Law 11/2020, settlement of environmental disputes outside the court can be carried out by means of ADR in the form of negotiation or mediation as well as through arbitration, and through the courts it can be done by filing a civil suit to the competent District Court and or filing an administrative lawsuit to the competent Administrative Court. Arrangements for the settlement of environmental disputes after the enactment of Law 11/2020 can be done by submitting a civil suit to the competent District Court, and the settlement of environmental disputes outside the court can be carried out by means of ADR in the form of negotiation or mediation as well as through arbitrationKeywords: Settlement, Environmental Dispute, Job Creation Act
KEABSAHAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SEBAGAI DASAR PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH DALAM RANGKA PERALIHAN HAK ATAS TANAH DAN PENYALAHGUNAAN KEADAAN (MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN) Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 11, No 1 (2020): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35968/jh.v11i1.653

Abstract

Abstrak :Dalam praktek kenotariatan dan pendaftaran tanah, penggunaan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tanah sebagai dasar pembuatan akta jual beli tanah (AJB) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam rangka peralihan hak atas tanah, seyogyanya dilakukan secara selektif oleh Notaris maupun PPAT. Permasalahan yang timbul bagaimanakah keabsahan akta PPJB beli tanah sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah dan bagaimanakah keabsahan akta PPJB tanah yang diperoleh karena penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah?. Untuk menjawab persoalan tersebut, digunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum, menggunakan pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach). Akta PPJB tanah lunas yang di dalamnya terdapat kuasa jual beli yang dibuat secara sah dan memenuhi syarat sahnya perjanjian pada umumnya dan juga pemberian kuasa pada khususnya (vide Pasal 1320 Jo. Pasal 1338 Jis. Pasal 1319, Pasal 1337 dan Pasal 1339 serta Pasal 1792, Pasal 1793 dan Pasal 1795 KUH Perdata serta UU Jabatan Notaris) dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan AJB tanah dihadapan PPAT yang berwenang sebagai bukti telah dilaksanakannya jual beli dan peralihan hak atas tanah atas bidang tanah yang menjadi objek akta PPJB dan AJB tersebut. Akta PPJB tanah belum lunas yang diperoleh karena atau di dalamnya terdapat penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) atau keadaan jual beli proforma (schijnhandeling) tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembuatan AJB tanah dalam rangka peralihan hak atas tanah. Kata kunci : Akta, Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Jual Beli Tanah, Penyalahgunaan keadaan, jual beli semu.
KEDUDUKAN AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA DI BAWAH TANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 8, No 2 (2018): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (465.877 KB) | DOI: 10.35968/jh.v8i2.257

Abstract

Kecenderung umum suatu akta notaris merupakan akta otentik yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata maupun yang diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Permasalahan yang timbul apakah semua akta notaris sudah pasti akta otentik dan apakah akta notaris dapat berubah menjadi akta dibawah tangann?. Untuk menjawab persoalan tersebut dalam penelitian ini digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan menggunakan data sekunder, dengan pendekatan Undang-Undang (statute approach). Akta Notaris tetap akan menjadi akta otentik apabila dalam proses pembuatannya telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil yang diatur dalam UU Jabatan Notaris, dan suatu akta notaris dapat berubah karena terdegradasi menjadi akta dibawah tangan.. Kata kunci : Akta, Notaris, Akta Notaris, Akta Dibawah Tangan
ATURAN KEBIJAKAN BISNIS (BUSINESS JUDGMENT RULE) SEBAGAI ALASAN PENGHAPUS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PRIBADI DIREKSI PERSEROAN TERBATAS ATAS KERUGIAN PERSEROAN TERBATAS BERDASARKAN YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DI LUAR KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 12, No 1 (2021): Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35968/jihd.v12i1.897

Abstract

Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan (UU PT), Direktur perseroan terbatas berwenang melakukan pengurusan dan pewakilan dalam kegiatan usaha perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan, adakalanya kebijakan binis direktur menimbulkan kerugian, atas kerugian tersebut direktur perseroan dimintakan pertanggungjawaban pidana secara pribadi, berdasarkan business judgement rules (BJR) seyogyanya dilepaskan dari pertanggungjawaban pidana. Oleh karenanya menarik dan perlu diteliti bagaimana pengaturan BJR dalam hukum perseroan Indonesia dan apakah BJR dapat dikualifikasi sebagai alasan penghapus pertanggungjawaban pidana pribadi direksi perseroan atas kerugian perseroan di luar KUHP ?. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan konsep, menggunakan data sekunder yang diperoleh dari sumber bahan hukum primer, sekunder, tertier. Hasil penelitian memperlihatkan pengaturan BJR dalam hukum perseroan Indonesia hanya diatur dalam Pasal 97 Ayat (5) UU PT dan langkah-langkah yang dilakukan oleh Direktur Utama Perseroan tidak keluar dari ranah BJR, ditandai tiadanya unsur kecurangan (fraud), benturan kepentingan (conflict of interest), perbuatan melawan hukum dan kesalahan yang disengaja, dapat dikualifikasi sebagai alasan penghapus pertanggungjawaban pidana pribadi direksi perseroan atas kerugian perseroan tersebut di luar KUHP, oleh karenanya Direktur Perseroan dilepaskan dari segala tuntutan hukum sebagaimana Putusan MA Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 pekara Karen Agustiawan, Mantan Dirut PertaminaKata Kunci : Aturan Kebijakan Bisnis, Pertanggungjawaban Pidana, Perseroan Terbatas, Direksi, kerugian Perseroan.
KAJIAN HUKUM ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 90 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA TANPA AWAK DI RUANG WILAYAH UDARA YANG DILAYANI INDONESIA Selamat Lumban Gaol
JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA Vol 6, No 1 (2015): JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA
Publisher : UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (705.575 KB) | DOI: 10.35968/jh.v6i1.115

Abstract

Pesawat udara tanpa awak (drone) merupakan benda terbang sebagai wahana nir awak dengan kemampuan melakukan terbang otonom secara penuh dan wahana yang dikendalikan secara jarak jauh oleh manusia yang digunakan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan manusia. Untuk menjaga keselamatan penerbangan Pesawat udara tanpa awak (drone) di ruang udara yang dilayani Indonesia dari kemungkinan bahaya (hazard) yang ditimbulkan karena pengoperasiannya, Menteri Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri No. 90 Tahun 2015 Tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak Di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. Apabila dicermati secara seksama Undang-undang Penerbangan, belum menemukan pendelegasian dari Undang-undang Penerbangan kepada Menteri Perhubungan untuk mengatur pengendalian pengoperasian pesawat udara tanpa awak (drone). Akan tetapi apabila ketentuan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dihubungkan dengan ketentuan UU Kementerian Negara serta dihubungkan pula dengan UU Penerbangan, maka secara materiil melekat kewenangan pada menteri perhubungan untuk melakukan pengaturan pengendalian pengoperasian pesawat udara tanpa awak (drone), dalam bentuk suatu peraturan menteri perhubungan. Kata Kunci : Pesawat Udara, tanpa awak, ruang wilayah, Peraturan Menteri.