Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Journal of Islamic and Law Studies (JILS)

Penegakan Hukum Mengenai Hak Asasi Manusia Menurut Hukum Yang Ada Di Indonesia Wahyu Wibowo; Yusuf Setyadi; Surajiman Surajiman
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.835 KB) | DOI: 10.18592/jils.v5i2.5791

Abstract

Abstract: This journal discussing enforcement of law regarding human rights in Indonesia according to UU Number 39 in 1999. Reason of choosing this title is condition of law enforcement until now related to human right in Indonesia has not been fully applied. Main problems in this article are: the way judicial applicating of the law to human rights violations in Indonesia; the institutions that presecutes human rights violators; meaning of settlement used for variation of human right violations in Indonesia that was indicated by law number 26 in 2006, containing human right courts and mentioning ad hoc courts used to judge human right violators. To resolve human rights cases that occurred in the territory of Indonesia, namely through the ad hoc court when the occurrence of human rights beore law number 26 in 2000. It law concern human rights court and the process of resolving. These human rights could also be resolved by alternative settlements through Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi that has been established before. In this article, author use normative research which used descriptive methodology with normatif judicial approach based on valid law and regulations in Indonesia. Abstrak:Kajian mengenai penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia sebagian menggunakan undang-undang nomor 39 tahun 1999. Sejak Indonesia secara hukum berdiri dengan pelbagai perubahan perundang-undangan, beberapa pelanggaran Hak Asasi Manusia belum dilaksanakan secara maksimal. Penulis akan mengelaborasi lebih jauh mengenai penegakan hukum Hak Asasi Manusia berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia dengan beberapa subjek permasalahan, yaitu cara penerapan hukum dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia, Kelembagaan dan wewenangnya dalam penegakan pelanggaannya, serta sarana yang digunakan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran Hak Asasi Mnusia di Indonesia. Penulis menyimpulkan bahwa penerapan hukum teradap pelanggar HAM di Indonesia mengikuti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengenai pengadilan HAM, yang berisi ihwal pengadilan ad hoc yang digunakan untuk mengadili pelanggar Hak Asasi Manusia di wilayah Indonesia. Sebelum undang-undang ini, pelanggaran Hak Asasi Manusia diselesaikan melalui peradilan HAM atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam artikel ini, penulis menggunakan metodologi penelitian normatif, yaitu melalui penjelasan deskritptif dengan pendekatan yuridis melalui peraturan dan regulasi yang berlaku. 
Penegakan Hukum Hak Asasi Manusia Di Indonesia Dalam Kasus Pelanggaran Ham Berat: Studi Kasus Tanjung Priok, Timor Timur, Dan Abepura Wahyu Wibowo; Yusuf Setyadi
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (584.315 KB) | DOI: 10.18592/jils.v5i2.5793

Abstract

ABSTRAKKeniscayaan negara menyangkut Hak Asasi manusia (HAM) diaktualkan dengan melindung HAM setiap orang dari penyalahgunaan kekuasaan negara, menjamin keberadannya dalam ketentuan hukum, hak asasi manusia pada setiap individu. Di zaman orde baru, presiden serta bagian pemerintahan yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak tercatat melakukan pelbagai pelanggaran-pelanggaran HAM, terdapat 3 kasus yang telah diselesaikan dalam proses peradilan, yaitu; kasus Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, dan Abepura 2000. Tulisan ini bertujuan untuk membahas kronologi serta putusan peradilan dari peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diadili, khususnya paka 2 kasus tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif, yaitu menggunakan penelitian deskripif dengan pendekatan yuridis normatif. Dalam kesimpulan penelitian ini, terdapat beberapa keputusan pengadilan yang menjadi kontroversi, diantaranya; pertamaKompensasi atau ganti rugi tidak diberikan kepada korban peristiwa tanjung priok. Kedua, Pengadilan HAM timor-timur hanya memutuskan satu orang yang menjalani hukuman penjeara, sedangkan yang lainnya dinyatakan bebas. Ketiga, Pelanggar HAM di abepura dibebaskan karena abepura diindikasikan bukan merupakan bagian pelanggaran HAM berat.Kata Kunci: Pelanggaran HAM Berat, Penegakan HAM ABSTRACTThe inevitability of the state regarding human rights (HAM) is actualized by protecting the human rights of everyone from abuse of state power, ensuring their existence in legal provisions, human rights for each individual. In the New Order era, the president and the government who ruled for 33 years (1965-1998) had many recorded human rights violations, there are 3 cases that have been resolved in the judicial process, namely; Tanjung Priok cases 1984, East Timor 1999, and Abepura 2000. This paper aims to discuss the chronology and judicial decisions of the incidents of gross human rights violations that have been tried, particularly in these 2 cases. The method used in this research is normative research, which uses descriptive research with a normative juridical approach. In the conclusion of this study, there are several court decisions that have become controversial, including; first Compensation or compensation is not given to victims of the Tanjung Priok incident. Second, the East Timor Human Rights Court only decided that one person was serving a prison sentence, while the others were declared acquitted. Third, human rights violators in abepura were released because abepura was indicated not to be part of a serious human rights violation.Keywords: Serious Human Rights Violations, Human Rights Enforcement
ANALISA YURIDIS KASUS PELANGGARAN HAM BERAT TIMOR-TIMUR DAN UPAYA PENYELESAIAN OLEH KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Hendrikson Siahaan; Yusuf Setyadi; Rumainur Rumainur
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (541.97 KB) | DOI: 10.18592/jils.v5i2.5795

Abstract

Abstract: The protection and promotion of human rights is essentially a continuous effort that must be carried out as a guideline for a modern, democratic and civilized society. The problem is, when the above commitment is about to be implemented, it is greatly influenced by the situation, politics and culture as well as the law in which human rights are enforced. A normative approach to the protection and promotion of human rights will not be adequately realized if it is not supported by a political process that has an understanding and willingness to respect human dignity.Law enforcement through the criminal justice system in Indonesia here and there is still full of improvements. The ideal of law enforcement contained in the Criminal Procedure Code, which highly respects human dignity, can not be fully implemented by law enforcement officials. On the one hand, law enforcement officers are given the authority and power to take actions deemed necessary according to law, but power is considered necessary but that power and authority is often misused. As a result, the court should be called the last bastion of law enforcement in Indonesia, but in practice it is often only a porous bulwark. Abstrak: Proteksi dan promosi hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan upaya terus menerus yang harus dilakukan sebagai sebuah tuntunan dari masyarakat modern, demokratis dan beradab. Problemanya, ketika komitmen diatas hendak diimplementasikan maka hal tersebut sangat dipengaruhi oleh situasi, politik dan budaya serta hukum dimana hak asasi manusia itu ditegakkan. Pendekatan normatis didalam proteksi dan promosi hak asasi manusia tidak akan terwujud secara memadai bila tidak didukung proses politik yang memiliki pemahaman dan kemauan menghormati martabat manusia.Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana di Indonesia disana sini masih penuh pembenahan. Idealitas penegakan hukum yang terkandung di dalam KUHAP yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia ternyata tidak dapat dilaksanakan sepnnuhnya oleh aparat penegak hukum. Di satu pihak aparat penegak hukum diberi wewenang dan kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang yang dianggap perlu menurut hukum, namun kekuasaan dan wewenang itu sering disalah gunakan. Akibatnya, seharusnya pengadilan dinamakan benteng terakhir penegakan hukum di Indonesia, tetapi dalam prakteknya sering hanya sebagai benteng yang keropos
Problematika Proses Peradilan Perkara Pelanggaran Ham Di Indonesia Kumbul Kusdwidjanto Sudjadi; Yusuf Setyadi
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 6 No. 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.833 KB) | DOI: 10.18592/jils.v5i2.5790

Abstract

Abstract: The settlement of human rights violations in Indonesia is based on the Law on the Human Rights Court, that any person and/or group who has a strong reason that their human rights have been violated can submit reports and complaints verbally or in writing to Komnas HAM. . The law also contains provisions on the establishment of a special (ad-hoc) human rights court to try past human rights violations that occurred before the law was enacted, while a permanent human rights court only deals with crimes that occurred after the law was passed. . However, these ad-hoc courts are only established to hear special cases and are established through special procedures. The president can only establish an ad hoc court like this if there is a firm recommendation from the DPR. The process of resolving human rights violations begins with the arrest of alleged human rights violations by the investigators of the Attorney General's Office and the Public Prosecutor who are authorized to conduct detention and prosecution for the purposes of investigation and prosecution. there will be a prosecution by the attorney general or public prosecutor and an examination will be carried out in a human rights court. The weakness of the settlement of human rights violations in Indonesia based on the Law on the Human Rights Court, that the settlement of human rights violations in Indonesia is carried out in court, is by no means intended to reveal the facts of the violations that occurred, let alone to rectify history. These trials are only designed to prove whether those suspected of being most responsible for crimes against humanity or genocide are really most responsible or not. The truth that the court wants to prove is the material truth which is limited by the evidentiary procedure as regulated in the Criminal Procedure Code. Weaknesses in resolving human rights violations in Indonesia based on the Law on Human Rights Courts in the general court environment make them very dependent on the bureaucracy and administration of the general justice they occupy, there are articles that are misinterpreted so as to allow the perpetrators to be free, and there is also an age limit for both investigators and prosecutors. general public, as well as ad hoc judges, thereby preventing the entry of competent persons Abstrak: Penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Pengadilan HAM, bahwa setiap orang dan/atau kelompok yang mempunyai alasan kuat bahwa hak asasinya dilanggar dapat menyampaikan laporan dan pengaduan secara lisan atau tertulis kepada Komnas HAM. Undang-undang tersebut juga memuat ketentuan tentang pembentukan pengadilan HAM khusus (ad-hoc) untuk mengadili pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi sebelum undang-undang tersebut diundangkan, sedangkan pengadilan HAM permanen hanya menangani kejahatan yang terjadi setelah undang-undang tersebut disahkan. Namun, pengadilan ad-hoc ini hanya dibentuk untuk mengadili kasus-kasus khusus dan dibentuk melalui prosedur-prosedur khusus. Presiden hanya bisa membentuk pengadilan ad hoc seperti ini jika ada rekomendasi tegas dari DPR. Proses penyelesaian pelanggaran HAM diawali dengan penangkapan terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh penyidik Kejaksaan Agung dan Kejaksaan yang berwenang melakukan penahanan dan penuntutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. akan ada penuntutan oleh jaksa agung atau penuntut umum dan pemeriksaan akan dilakukan di pengadilan hak asasi manusia. Lemahnya penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia berdasarkan UU Pengadilan HAM, bahwa penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia dilakukan di pengadilan, sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengungkap fakta pelanggaran yang terjadi. , apalagi untuk meluruskan sejarah. Pengadilan ini hanya dirancang untuk membuktikan apakah mereka yang diduga paling bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida benar-benar paling bertanggung jawab atau tidak. Kebenaran yang ingin dibuktikan oleh pengadilan adalah kebenaran materiil yang dibatasi oleh acara pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP. Kelemahan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di Indonesia berdasarkan UU Pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum membuat mereka sangat bergantung pada birokrasi dan administrasi peradilan umum yang mereka tempati, ada pasal-pasal yang disalahartikan sehingga memungkinkan pelakunya untuk bebas, dan juga ada batasan usia bagi penyidik dan jaksa. masyarakat umum, serta hakim ad hoc, sehingga mencegah masuknya orang-orang yang berkompeten