Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Challenges for Indonesia in Case of Liberalization of Trade in Services in The ASEAN Economic Community Magdariza, Magdariza
Indonesian Journal of International Law
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.465 KB)

Abstract

Cooperation among ASEAN countries formed since 1967 through Bangkok Declaration. In development, ASEAN agreed to establish ASEAN Community in 2020. This relationship was upgraded within the ASEAN Summit in Singapore in 2007 which agreed on the ASEAN Charter to strengthen the position and legal status of ASEAN in realizing the cooperation among ASEAN countries, and as a guide in ASEAN Community formation, the Blueprint is prepared. One of the pillars of ASEAN Community is the establishment of ASEAN Economic Community, which talk about liberalization of trade in services. The implementation of the trade liberalization in ASEAN will increasing and provide convenience and also increased intra-ASEAN market access as well increasing transparency and speeding up the adjustment of regulations and standardization of domestic. Indonesia already ratified ASEAN Charter with Law No. 8 of 2008. Therefore, Indonesia is obliged to implement the provisions of ASEAN Charter. Treaty on liberalization of trade in sevices has been initiated in ASEAN Framework Agreement (AFAS) in 1995 and Indonesia also ratified by Presidential Decree No. 88 in 1995. Law No. 7/2014 on Trade, also regulates the trade in services as Indonesia’s commitment within the ASEAN Economic Community. The liberalization of trade in services within ASEAN framework is a challenge for Indonesia to prepare human resources or skilled menpower with competence to compete with menpower from other ASEAN countries. This situation can also be used as an opportunity for Indonesia to prepare and compete with other ASEAN members but on the other hand they can be vast potential market for ASEAN countries.
PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJASAMA PERDAGANGAN BEBAS ASEAN - CINA (ACFTA) TAHUN 2010 DAN IMPLIKASINYA BAGI INDONESIA Magdariza Magdariza; Delfiyanti Delfiyanti
Masalah-Masalah Hukum Vol 40, No 4 (2011): Masalah-Masalah Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2992.192 KB) | DOI: 10.14710/mmh.40.4.2011.494-501

Abstract

Nowadays, the development of free trade around A SEAN especially between ASEAN's nations and China through the "ASEAN - China Free Trade Agreement (ACFTA)" that started being effective on January 1, 2010. The establishment of a free trade area between ASEAN and China made rnconsidering China is a huge economic potency that the establishment of this cooperation is expected to drive economic growth in the Ase an region of countries member. Therefore, the greater opportunity for A SEAN and China is possible to expand the trade relations between the two countries. While in Indonesia the implementation of it is based on the Regulation of Financial Minister of Indonesia Republic No. 235/PMK.011/2008 about the determination of import tariffs to the framework of ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) in which the determination of 0% tariffs on goods have been targeted to 0% in 2010. As for there are some positive implications for the implementation of this in Indonesia is from the International standpoint, with theimplementation of ACFTAin Indonesia, providing great significance forgeostrategic and economic interests of Indonesia. From the national side, it is a challenge for Indonesia. where the fierce competition in terms of trade with other ASEAN countries and particularly with China, has made ffilndonesia to be more paid attention against the production quality and increase the creativity of the industry and entrepreneurs in producing and creating Indonesia's domestic-product that is ready to compete with other countries by providing international standard of production quality To be viewed in the long run of A CFTA implementation in Indonesia will bring benefits in the form of more smoothly investment flows, broader trade and economic scale so great that produce a rational allocation of resources and improve efficiency On the other hand, the negative implication is the application of import tax rates to zero percent has been made rnto the local industry in order to reduce the amount of production and it is caused by a flood of Chinese products and other ASEAN countries. with a cheaper price. It has also triggered the end many of the local industries including among SMEs and to "shut down" due not be able to compete with goods from China are cheaper than the local price. Actually, this happens due to the lack of human resources quality (HR) as well as the existing of Indonesian capital.
PRINSIP MOST-FAVOURED NATION DALAM PERDAGANGAN JASA MENUJU LIBERALISASI PERDAGANGAN Najmi Najmi; Magdariza Magdariza
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.302

Abstract

Perkembangan perdagangan jasa yang sangat cepat memerlukan suatu aturan yang dapat menjamin lancarnya pertumbuhan sektor jasa itu sendiri sehingga dapat berperan dalam menopang perekonomian. GATS adalah persetujuan dasar untuk masalah-masalah jasa yang bersifat multilateral yang berada dalam kerangka WTO. Persetujuan ini memuat dua hal pokok yaitu ketentuan tentang kerangka kerja dan komitmen liberalisasi atas sektor dan sub-sektor jasa yang ada dalam daftar skedul tiap anggota. Seperti halnya prinsip dasar GATT maka GATS juga mensyaratkan anggota untuk memberlakukan secara MFN (non diskriminasi) antara jasa produk dan penyedia jasa. Dalam hal ini, Most Favoured Nation (MFN) merupakan salah satu prinsip dasar GATS agar tidak membedakan perlakuan antara satu negara dengan negara lainnya. Penerapan prinsip MFN ini dalam bidang perdagangan jasa, disatu sisi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun disisi lainnya juga mendorong persaingan yang cukup tinggi antara negara-negara. Hal ini merupakan suatu tantangan yang cukup berat bagi negara-negara berkembang untuk bersaing dengan negara maju yang lebih siap untuk menghadapi kompetisi di bidang perdagangan jasa. Bagi Indonesia sendiri sebagai salah satu negara anggota WTO harus segera berbenah diri dan mempersiapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya dalam rangka menghadapi liberalisasi dibidang perdagangan jasa. Ketentuan GATS yang juga berlaku bagi Indonesia telah memuat sektor-sektor jasa yang akan diliberalisasi diantaranya jasa perhubungan udara, jasa finansial, perpindahan manusia serta jasa telekomunikasi. Pada akhirnya, dengan telah diberikannya pengaturan perdagangan di sektor jasa melalui GATS dalam kerangka WTO hendaknya juga mendorong mewujudkan suatu perdagangan yang adil, transparan, saling menguntungkan dan memperkuat hubungan antara negara-negara.
ASPEK HUKUM TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA-SINGAPURA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Magdariza Magdariza; Najmi Najmi; Zahara Zahara
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.301

Abstract

Perjanjian ekstradisi merupakan perjanjian internasional yang dilakukan antar negara dan isinya berkaitan dengan ekstradisi terhadap tersangka atau pelaku kejahatan termasuk kejahatan ekonomi. Sebagai perjanjian internasional maka perjanjian ekstradisi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sesuai dengan hukum internasional. Perjanjian ekstradisi pada umumnya dirafikasi oleh negara. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura jika akhirnya dapat terwujud dan diratifikasi oleh negara maka mempunyai kekuatan hukum kuat dan mengikat di tinjau dari hukum internasional. Sehingga kedua negara harus menjalankan dan melaksanakan isi perjanjian dengan itikad baik. Indonesia-Singapura saat ini sedang melakukan perundingan lebih lanjut untuk membahas perjanjian ekstradisi dalam rangka penanggulangan kejahatan ekonomi. Selama ini tersangka atau pelaku kejahatan ekonomi di Indonesia banyak yang melarikan diri ke Singapura beserta dengan sejumlah uang dan modal yang besar. Sedangkan hukum Indonesia tidak dapat menjangkau ke wilayah Singapura. Jika perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura dapat terwujud maka membawa prospek besar diantaranya tersangka atau pelaku kejahatan ekonomi tersebut dapat dibawa kembali ke Indonesia untuk dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, begitupun sebaliknya bagi Singapura.
Protection of Maritime Law on Fishery Zone at the Coast Border of West Sumatera Magdariza; Najmi
Andalas International Journal of Socio-Humanities Vol. 4 No. 2 (2022)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/aijosh.v4i2.43

Abstract

In the few months there is a high intensity of illegal fishing at Indonesian waters. The most potential area located in the coast border of West Sumatera facing the high seas and Indian Ocean that have long been a target from abroad fishing boats. Geographically, there are three areas located in strategic west coast of Sumatera such as Padang City, South Coast District, and Mentawai District. By the situation of opened-coast territorial geography, it is susceptible for illegal fishing of tuna by the local or abroad ships. The observed problems in this research are finding causing factors of illegal fishing in west coast of Sumatera to protect the waters environment under the local wisdom, how to implement the countermeasures of illegal fishing in the west coast of Sumatera. Moreover, there is a special attempt to find out the system and proper policy to cope with the potential happening often of illegal fishing that threatens the waters protection in west coast of Sumatera. The dominant method used in research is qualitative approach by implement two legal studies such as socio legal and normative legal study used in research on doctrines or useful principles of law. Moreover, characteristically this research categorized as the analytical descriptive.
ANALISA YURIDIS TERHADAP HAK EKONOMI DAN HAK MORAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG HAK CIPTA DALAM RANGKA LIBERALISASI PERDAGANGAN Magdariza Magdariza
UNES Law Review Vol. 5 No. 4 (2023): UNES LAW REVIEW (Juni 2023)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v5i4.590

Abstract

Kemajuan teknologi dan era globalisasi saat ini yang sudah semakin maju, dimana setiap orang dapat memanfaatkan teknologi dengan mudah untuk melakukan usaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi kemajuan teknologi juga menyebabkan setiap orang dapat melakukan tindakan yang salah seperti melakukan pembajakan terhadap hasil karya orang lain. Hasil karya sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual, yaitu berupa hak cipta yang diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional. Dalam konsep hak cipta terkandung adanya hak moral dan hak ekonomi yang dimiliki oleh pencipta. Hak moral merupakan hak yang melekat pada pencipta untuk mencantumkan namanya dan melarang orang lain mengubah ciptaannya, sedangan hak ekonomi merupakan hak yang melekat secara ekonomi pada pencipta untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis. Liberalisasi perdagangan yang terjadi saat ini memberikan jaminan untuk melindungi terhadap hak ekonomi dan hak moral secara internasional dan nasional.
AN INTERNATIONAL TREATY ACCORDING TO THE CONVENTION OF VIENNA 1969 AND CORRELATION WITH INTERNATIONAL TRADING COOPERATION IN INDONESIA Magdariza Magdariza
UNES Law Review Vol. 5 No. 4 (2023): UNES LAW REVIEW (Juni 2023)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v5i4.591

Abstract

The international cooperation is an important in interstate relation aspect. It is required an international agreement. The agreement in international law was established in Convention of Vienna 1969. The Convention 1969 is the regulation of internal law was agreed by the states including Indonesia. Even though have not ratifying yet the Convention of Vienna 1969, however, Indonesia persists oblige to the custom of international law. The national law of Indonesia is regulating how to implement the international agreement. It is described on Act No.24 of 2000 on International Agreement. Ironically, however, the regulation of international trading cooperation of the Act No.7 of 2014 contravene to the provision as was agreed by all the state, i.e. Convention of Vienna of 1969. One of article is No.85 the Act No.7 of 014. The national law of Indonesia has contravened the “pactasuntservanda”principle.Moreover, there is an inappropriate provision to the national law of Indonesia. There is must be a modification of international law in correlation of international trading.
Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual dalam Masyarakat Ekonomi Asean dan Implikasinya bagi Indonesia Magdariza Magdariza
UNES Law Review Vol. 6 No. 1 (2023): UNES LAW REVIEW (September 2023)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v6i1.1022

Abstract

Nowadays, the intellectual property rights (IPR) have received great attention from countries related to the utilization of IPR that can be of high economic value. In the blueprint of the ASEAN Economic Community 2015 also contains that ASEAN wants to realize a single market with free traffic flow, among other things, to the field of Intellectual Property Rights (IPR). The problems in this research are firstly, how is the system of intellectual property rights (IPR) protection in the framework of trade liberalization in ASEAN Economic Community ?; and secondly, what are the implications of the application of the intellectual property rights system within the framework of ASEAN to the regulation of intellectual property rights (IPR) in Indonesia?. This research is a legal research that is juridical normative with legal history and legal comparison approaches, emphasizing on secondary data obtained from literature study and supported by primary data in the form of interviews obtained from field research. The specification of this research is descriptive analytical. The data collected were analyzed by qualitative juridical. The results of this study are; Firstly, the legal protection system of Intellectual Property Rights in ASEAN in the framework of trade liberalization through the ASEAN Economic Community 2015 is based on the ASEAN Intellectual Property Rights Action Plan 2011-2015/ASEAN IPR and ASEAN Charter. Furthermore, the two legal instruments are within the content of ASEAN Intellectual Property Rights Action Plan 2011-2015 and the Preamble of ASEAN Charter and Article 1 (points 5, 6 and 11). The ASEAN Charter contains the concept of Welfare State law in which the purpose of the provisions of such law shall be one of them in the framework of the interests of the welfare of ASEAN society as existing in the concept of the welfare state; and Secondly, in the framework of the realization of the ASEAN IPR Action Plan 2011-2015 in the ASEAN Economic Community, then Indonesia has adjusted by amending several regulations of legislation which are within the scope of intellectual property rights such as the Law no. 19 of 2002 with the Law no. 28 of 2014 on Copyright and the Law no. 15 of 2001 with Law no. 20 of 2016 on Trademarks and Geographical Indications to deal with the era of global trade.
ASPEK HUKUM TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA-SINGAPURA DALAM HUKUM INTERNASIONAL Magdariza Magdariza; Najmi Najmi; Zahara Zahara
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): Unes Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.301

Abstract

Perjanjian ekstradisi merupakan perjanjian internasional yang dilakukan antar negara dan isinya berkaitan dengan ekstradisi terhadap tersangka atau pelaku kejahatan termasuk kejahatan ekonomi. Sebagai perjanjian internasional maka perjanjian ekstradisi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sesuai dengan hukum internasional. Perjanjian ekstradisi pada umumnya dirafikasi oleh negara. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura jika akhirnya dapat terwujud dan diratifikasi oleh negara maka mempunyai kekuatan hukum kuat dan mengikat di tinjau dari hukum internasional. Sehingga kedua negara harus menjalankan dan melaksanakan isi perjanjian dengan itikad baik. Indonesia-Singapura saat ini sedang melakukan perundingan lebih lanjut untuk membahas perjanjian ekstradisi dalam rangka penanggulangan kejahatan ekonomi. Selama ini tersangka atau pelaku kejahatan ekonomi di Indonesia banyak yang melarikan diri ke Singapura beserta dengan sejumlah uang dan modal yang besar. Sedangkan hukum Indonesia tidak dapat menjangkau ke wilayah Singapura. Jika perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura dapat terwujud maka membawa prospek besar diantaranya tersangka atau pelaku kejahatan ekonomi tersebut dapat dibawa kembali ke Indonesia untuk dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, begitupun sebaliknya bagi Singapura.
PRINSIP MOST-FAVOURED NATION DALAM PERDAGANGAN JASA MENUJU LIBERALISASI PERDAGANGAN Najmi Najmi; Magdariza Magdariza
UNES Journal of Swara Justisia Vol 6 No 4 (2023): Unes Journal of Swara Justisia (Januari 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v6i4.302

Abstract

Perkembangan perdagangan jasa yang sangat cepat memerlukan suatu aturan yang dapat menjamin lancarnya pertumbuhan sektor jasa itu sendiri sehingga dapat berperan dalam menopang perekonomian. GATS adalah persetujuan dasar untuk masalah-masalah jasa yang bersifat multilateral yang berada dalam kerangka WTO. Persetujuan ini memuat dua hal pokok yaitu ketentuan tentang kerangka kerja dan komitmen liberalisasi atas sektor dan sub-sektor jasa yang ada dalam daftar skedul tiap anggota. Seperti halnya prinsip dasar GATT maka GATS juga mensyaratkan anggota untuk memberlakukan secara MFN (non diskriminasi) antara jasa produk dan penyedia jasa. Dalam hal ini, Most Favoured Nation (MFN) merupakan salah satu prinsip dasar GATS agar tidak membedakan perlakuan antara satu negara dengan negara lainnya. Penerapan prinsip MFN ini dalam bidang perdagangan jasa, disatu sisi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun disisi lainnya juga mendorong persaingan yang cukup tinggi antara negara-negara. Hal ini merupakan suatu tantangan yang cukup berat bagi negara-negara berkembang untuk bersaing dengan negara maju yang lebih siap untuk menghadapi kompetisi di bidang perdagangan jasa. Bagi Indonesia sendiri sebagai salah satu negara anggota WTO harus segera berbenah diri dan mempersiapkan ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya dalam rangka menghadapi liberalisasi dibidang perdagangan jasa. Ketentuan GATS yang juga berlaku bagi Indonesia telah memuat sektor-sektor jasa yang akan diliberalisasi diantaranya jasa perhubungan udara, jasa finansial, perpindahan manusia serta jasa telekomunikasi. Pada akhirnya, dengan telah diberikannya pengaturan perdagangan di sektor jasa melalui GATS dalam kerangka WTO hendaknya juga mendorong mewujudkan suatu perdagangan yang adil, transparan, saling menguntungkan dan memperkuat hubungan antara negara-negara.