Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

GAMBARAN FOTO TORAKS DAN GEJALA KLINIS PENDERITA TB PARU ANAK DI RSUP PROF. DR. I.G.N.G NGOERAH PERIODE JANUARI 2021 – JUNI 2022 Angelina, Vioreli; Ayusta, I Made Dwijaputra; Anandasari, Pande Putu Yuli; Patriawan, Putu
E-Jurnal Medika Udayana Vol 12 No 12 (2023): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2023.V12.i12.P01

Abstract

Tuberculosis (TB) is an infectious disease whose incidence is still quite high in Indonesia. The increasing incidence of pediatric pulmonary TB is still happening today. The diagnosis of pediatric pulmonary TB is still a hot topic because the chest radiograph and clinical symptoms are not typical and are often found in other diseases. The aim of the research is to know the overview of chest radiograph and clinical symptoms of pediatric pulmonary TB patients. This research was conducted at Prof. RSUP. Dr. I.G.N.G Ngoerah January 2021 – June 2022 using a cross-sectional descriptive method and medical record data as source with total sample is 30 people. Univariate analysis was performed using the Statistical Package for the Social Science (SPSS) version 26.0 for MacOS. The results of the study are majority of pediatric pulmonary TB patients at RSUP Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah January 2021 – June 2022 is female (60%), age group 11-16 years (50%), abnormal chest radiograph (96.7%), asymptomatic (63.3%), lymphadenopathy of hilar/paratracheal lymph nodes with/without parenchymal consolidation (96.7%), cough symptoms (30%). Children with pulmonary TB at RSUP Prof. Dr. I.G.N.G Ngoerah January 2021 – June 2022 is dominated by female gender, age group 11-16 years, abnormal chest radiograph, asymptomatic, lymphadenopathy of hilar/paratracheal lymph nodes with/without parenchymal consolidation and symptoms of cough.
HUBUNGAN ANTARA LEUKOARAIOSIS DAN ATROFI KORTIKAL GLOBAL PADA LANSIA Eveline, Ency; Sitanggang, Firman Parulian; Ayusta, I Made Dwijaputra; Putra, I Wayan Gede Artawan Eka; Anandasari, Pande Putu Yuli; Margiani, Ni Nyoman
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 6 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i06.P14

Abstract

ABSTRAK LATAR BELAKANG: Prevalens leukoaraiosis dan atrofi kortikal global (GCA) meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan apakah leukoaraiosis merupakan faktor risiko terjadinya GCA dan derajat leukoaraiosis berapakah yang berhubungan dengan kejadian GCA. METODE: Penelitian ini melibatkan 100 lansia yang berobat ke IGD RSUP Sanglah Denpasar yang melakukan CT-Scan kepala dengan indikasi apapun pada periode Juli 2021 hingga Januari 2022. Pemilihan sampel dilakukan secara simple random sampling menggunakan aplikasi random number generator. HASIL: Rerata usia subjek didapatkan 71,7 ± 7,7 tahun, 59% berjenis kelamin perempuan, 52% memiliki riwayat hipertensi, 29% riwayat dislipidemia, dan 13% merokok. Mayoritas yaitu 72% subjek menderita leukoaraiosis dan 67% menderita atrofi. Uji perbandingan kejadian atrofi berdasarkan leukoaraiosis menunjukkan 80,6% lansia dengan leukoaraiosis menderita atrofi dengan prevalence ratio 2,5 dan nilai P<0,001. Lalu dilakukan analisis perbandingan proporsi yang membandingkan derajat leukoaraiosis dan skala atrofi dengan membuat tabulasi silang. Hasil uji linear by linear association didapatkan koefisien korelasi Spearman sebesar r=0,535 dengan nilai P<0,001 yang menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi sedang antara derajat leukoaraiosis dan skala atrofi. Analisis multivariat menggunakan uji regresi Poisson menunjukkan adanya hubungan antara leukoaraiosis dan atrofi kortikal global setelah mengontrol variabel perancu by analysis dimana didapatkan hasil adjusted prevalence ratio sebesar 2,2 dengan nilai P=0,034. SIMPULAN: Leukoaraiosis secara independen memberikan peluang terjadinya atrofi sebanyak 2,2 kali pada lansia. Derajat leukoaraiosis yang mulai berhubungan dengan kejadian atrofi adalah sejak derajat ringan. Kata kunci: Leukoaraiosis, atrofi kortikal global, lansia
PREVALENSI SINUSITIS MAKSILARIS DITINJAU DARI GAMBARAN RADIOLOGIS PASIEN RINITIS DI RSUP SANGLAH Jelita, Kadek Intan; Sitanggang, Firman Parulian; Martadiani, Elysanti Dwi; Ayusta, I Made Dwijaputra
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 6 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/MU.2022.V11.i06.P06

Abstract

Kondisi rinitis dapat diperburuk dengan adanya komorbiditas dengan sinusitis yang dapat juga menjadi satu istilah rinosinusitis. Sinusitis maksilaris merupakan jenis sinusitis yang paling banyak dijumpai. Saat ini, Foto Waters dan MSCT (Multisliced Computerized Tomography) Scan merupakan modalitas radiologis yang umum digunakan untuk mendiagnosis sinusitis maksilaris. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi sinusitis maksilaris pada pasien rinitis dengan menggunakan Foto Waters dan MSCT scan sebagai alat diagnosis. Pasien rinitis yang diperiksa di RSUP Sanglah dari bulan Januari 2018 hingga bulan Agustus 2019 digunakan sebagai sampel penelitian. Kemudian dilakukan pengumpulan data sekunder tentang jumlah pasien rinitis yang melakukan pemeriksaan radiologis, jenis kelamin, usia, dan gambaran radiologis yang didapatkan. Gambaran radiologis yang didata adalah penebalan mukosa, perselubungan dan air-fluid level. Dari 50 sampel pasien rinitis yang diteliti, didapatkan 17 pasien rinitis (34%) mengalami deviasi septum, dan 18 pasien (36%) mengalami hipertrofi konka. Sebanyak 16 pasien (32%) melakukan pemeriksaan radiologis, dan sebanyak 34 pasien (68%) tidak melakukan pemeriksaan radiologis. Sebanyak 13 pasien (26%) menderita sinusitis maksilaris dan 37 pasien (74%) tidak mengalami kelainan. Didapatkan juga adanya perbedaan hasil pada pasien yang melakukan kedua pemeriksaan (Foto Waters dan MSCT Scan). Sinusitis maksilaris diderita lebih banyak pada perempuan sebanyak 7 orang (53,85%) dan pada laki-laki sebanyak 6 orang (46,15%). Penderita terbanyak didapatkan pada kelompok usia 15-29 tahun sebanyak 5 pasien (38,46%). Gambaran terbanyak pada Foto Waters adalah perselubungan sebanyak 3 penderita (75%), dan pada MSCT Scan adalah penebalan mukosa sebanyak 8 penderita (80%). Terdapat 2 sampel (4%) menderita sinusitis etmoidalis dan 1 pasien (2%) menderita pansinusitis. Kata Kunci: Rinitis, Sinusitis Maksilaris, Foto Waters, MSCT Scan
Peran Skor Brixia sebagai Prediktor Kejadian Coronavirus Disease-19 (COVID-19)-associated Hemostatic Abnormalities (CAHA) Berdasarkan Kadar D-dimer Fiona, Fiona; Margiani, Ni Nyoman; Sitanggang, Firman Parulian; Eka Putra, I Wayan Gede Artawan; Anandasari, Pande Putu Yuli; Ayusta, I Made Dwijaputra
Majalah Kedokteran Indonesia Vol 73 No 3 (2023): Journal of The Indonesian Medical Association - Majalah Kedokteran Indonesia, Vo
Publisher : PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA (PB IDI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47830/jinma-vol.73.3-2023-954

Abstract

Introduction: Coronavirus Disease-19 (COVID-19) is a systemic disease that causes complications in respiratory system and coagulopathy, which is called COVID-19-associated hemostatic abnormalities (CAHA). The Brixia chest X-ray scoring system may benefit in detecting CAHA. This study aims to investigate the role of the Brixia score as a predictor of CAHA based on D-dimer levels. Methods: This was a cross-sectional study that used medical records from Radiology Installation, Sanglah General Hospital, Bali, during August 2020 until August 2021. Subjects were confirmed and hospitalized COVID-19 patients with mild to critical degree and aged 18-59 years old. Any other pulmonary diseases than COVID-19 in X-ray was excluded. Brixia score was determined independently and blindly determined by two radiologists. The incidence of CAHA was defined as an elevation of D-dimer in pulmonary COVID-19. We conducted interobserver Bland-Altman, followed by correlation test, receiver operating characteristic (ROC) analysis, and multiple logistic regression test to control for confounding factors. Result: This study included 70 subjects selected through random sampling. We found a positive correlation between the Brixia score and D-dimer levels (r=0.329, p less than 0.05). The ROC analysis indicated that a Brixia score cut-off ≥10 is the best predictor of CAHA, with a positive predictive value of 95.8% and a negative predictive value of 40.9%. Subjects with a Brixia score ≥10 were found to have a higher risk of developing CAHA (aOR 14.78, p less than 0.05) after controlling for age, gender, nutritional status, and comorbidities. Conclusion: There was a statistically significant association between Brixia score and CAHA in COVID-19 patients based on D-dimer levels. The Brixia score could be used as a predictor of CAHA with the cut-off value ≥10.