Paradigma rasional telah lama menguasai alam berfikir umat manusia dalam memahami hukum, tidak terkeculi pakar dan ahli hukum indonesia. Dengan mendasarkan suatu kebenaran kepada rasio, paradigma rasional menganggap akal adalah sarana untuk sampai kepada maksud dan tujuan dalam berhukum. Sehingga tidak heran paradigma rasional melahirkan corak pemikiran sekularisme, pluralisme, liberalisme, dan bahkan sampai kepada atheisme jauh dari nilai-nilai moral dan etika,karena dengan semangat rasio mencoba untuk menembus dinding kesakralan (suatu yang sudah bersifat tetap, suci, dan permanen) dalam agama dengan dalih bersikap kritis. Selain itu sesutu itu dianggap diakui sebagai hukum ketika aturan itu dibentuk oleh lembaga yang berwenang (dalam bentuk peraturan perundang-undangan). Oleh karenanya diperlukan paradigma baru untuk mengimbangi paradigma rasional ini dengan megembangkan paradigma profetik atau transendental. Paradigma profetik sebagai paradigma yang baru masih sangat memungkinkan untuk dikaji dan didalami, maka dalam tulisan ini akan mencoba membangun paradigma profetik perspektif Arkanul Bai’ah. Adapun permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah bentuk paradigma ilmu hukum profetik perspektif Arkanul Bai’ah?. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif bersifat Deskriptif analitis, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan konseptual, sedangkan teknik pengumpulan datanya berasal dari literatur atau disebut juga penelitian ini dengan library research. Hasil penelitian ini: secara ontologi ilmu hukum profetik perspektif Arkanul Baiahadalah makna hukum itu menunjuk kepada zat Allah SWT (Allah itu sendiri), allah adalah sebagai hakim yang memutuskan hukum, sementara hukum allah telah dijelaskan melalui wahyu (al quran dan sunnah) maka dalam memahami persoalan hukum wajib berpedoman kepada al quran dan sunnah dan menjadikanya sebagai tolak ukur dalam menimbang kebenaran. Secara epistemologi ilmu hukum profetik memandang antara ilmu dan wahyu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan (terintegrasi), ketika terjadi pertentangan antara wahyu dengan akal maka wahyu wajib diutamakan. Kemudian dalam pengembangan keilmuan haruslah memperhatikan kerangka yang bersifat tsawabit dan mutaghayirat sehingga syariat dan akal bekerja sesuai peruntukan wilayah kerjanya masing-masing. Dan secara aksiologi ilmu hukum profetik bermanfaat dalam menghadirkan kemashlahatan, keadilan, rahmat dan kebijaksanaan (hikmah).Kata Kunci: Paradigma, Ilmu hukum profetik, Ushulul ‘Isyrin