Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TURUT SERTA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BERDASARKAN PASAL 56 KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DAN UPAYA HUKUM UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN Faisal Ruslan; Dani Durahman
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 20 No 4 (2021): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XX:4:2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v20i4.127

Abstract

Pembunuhan dan pembunuhan direncanakan tentu memiliki actor utama dan actor pembantu dalam mensukseskan niat kejinya itu, hukuman bagi actor utama dengan actor pembantu tentu di bedakan dari segi hukumnya karna actor utama yang memiliki permasalahan dengan korban serta sudah di atur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Pasal 55 KUHP (turut melakukan) disini adalah actor utama yang memiliki permasalahan dengan korban, sedangkan Pasal 56 (membantu melakukan) disini adalah orang yang mengetahui dan di mintai bantuan untuk memberikan kesempatan suatu tindak kejahatan itu tanpa mencegah. Dalam hal ini yang membantu melakukan diberikan sepertiga hukuman dari yang turut melakukan jika yang membantu melakukan memenuhi unsur Pasal 56 KUHP. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sistematika penelitian hukum yuridis-normatif, dimana penelitian hukum yang dilakukan dengan cara pendekatan normative terhadap sumber hukum seperti Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang pembunuhan dan 340 Kitab UndangUndang Hukum Pidana tentang pembunuhan berencana. Data kasus diperoleh dari Putusan Pengadilan Negeri Banyumas Nomor 6/Pid.B/2020/PN.Bms tentang pembunuhan berencana, serta literature dan teori pendukung kajian tindak pidana pembunuhan berencana di Indonesia. Penelitian diarahkan terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi vertical dan horizontal untuk mencari berbagai hubungan hukum terhadap Penerapan pemidanaan delik Pembunuhan Berencana di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa pembunuhan berencana di Indonesia adalah tindak pidana yang dilakukan oleh banyak orang dan memiliki pelaku utama sebagai otak perenanaan serta pelaku pembantu, hukuman di bedakan sepertiga hukumanya jika sudah sesuai dengan unsr Pasal, jika pelaku utama dan pelaku pembantu di samakan hukuman nya jelas melanggar norma hukum yang berlaku di Indonesia dan bagi salah satu pihak merasa di rugikan. Mengacu pada Pasal 55 KUHP dan 56 KUHP, pada akhirnya perlu adanya kesadaran pada pihak yang dirugikan guna mempertahankan hukum yang adil dan damai sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di Indonesia
PENERAPAN SANKSI BAGI PENEGAK HUKUM PENERIMA SUAP DALAM PROSES PERADILAN PIDANA Dani Durahman
Jurnal LEX SPECIALIS No 24 (2016): Desember
Publisher : Jurnal LEX SPECIALIS

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (109.414 KB)

Abstract

Penyimpangan dalam menangani perkara di peradilan menjadi sebuah hal yang sebaiknya tidak terjadi dalam proses rekonstruksi hukum dan supremasi hukum di negara kita sehingga harus dtindak secara tegas. Penerapan sanksi pidana bagi pelaku penerima suap dalam proses persidangan belum efektif atau maksimal KUHP, dan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Belum dapat diterapkan secara maksimal, dalam praktek Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sering diterapkan kepada pelaku, padahal undang-undang yang lain juga dapat diterapkan sehingga hukuman yang diterima lebih ringan, berbeda bila semua undang-undang yang dapat menjerat pelaku diterapkan seluruhnya akan menimbulkan akumulasi sehingga dapat memperberat hukuman dan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku. 
KONFIGURASI POLITIK DALAM PENEGAKKAN HUKUM DI INDONESIA Dani Durahman
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 15 No 2 (2016): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XV:2:2016
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Produk peraturan perundang-undangan kolonial Belanda yang mengalami proses nasionalisasi diantaranya: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi dari Wetboek van Straafrechts, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan nasionalisasi dari Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan nasionalisasi dari Wetboek van Koophandel. Selain menggantikan nama, pasal-pasal yang tidak sesuai kebutuhan diganti dan ditambah dengan yang baru berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa. Pengaruh kebijakan politik di era demokrasi berpengaruh dalam tujuan penegakan hukum antara lain adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum yang juga merupakan salah satu asas umum penyelenggaraan negara. Setiap tindakan aparat hukum baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun upaya hukum, eksekusi dan eksaminasi harus selalu berpegang kepada aturan hukum yang juga merupakan ciri dari good governance. Penegakkan hukum tidak hanya dimaksudkan untuk menjatuhkan hukuman kepada setiap pelanggar hukum, penegakkan hukum juga dimaksudkan agar pelaksanaannya harus selalu berpedoman kepada tata cara atau prosedur yang telah digariskan oleh undang-undang dengan memperhatikan budaya hukum yang hidup di masyarakat terutama harus mampu menangkap rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Aparat penegak hukum yang juga merupakan bagian dari masyarakat luas dituntut untuk senantiasa memperhatikan Asas Kepentingan Umum. Aparat penegak hukum harus selalu peka dan aspiratif terhadap perkembangan masyarakat yang semakin sadar hukum dan kritis terhadap praktek hukum yang ada. Reformasi hukum sebagai salah satu dari agenda reformasi yang dituntut oleh masyarakat tidak hanya menghendaki adanya perbaikan pada materi atau peraturan hukum, melainkan juga peningkatan kinerja aparat penegak hukum.
Pemberantasan Praktek Penyimpangan Peradilan di Indonesia Dani Durahman
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 16 No 1 (2017): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XVI:1:2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Keterlibatan para penegak hukum yang melakukan rekayasa dalam menangani perkara di peradilan di lingkup tugasnya, tentu meresahkan masyarakat. Skeptisisme masyarakat terhadap moralitas para profesional hukum, merupakan masalah sangat serius yang perlu segera ditanggapi. Kepercayaan masyarakat yang semakin tipis kepada para penegak hukum, harus segera dipulihkan. Menanggapi hal tersebut, para pejabat di berbagai instansi-instansi hukum berjanji untuk melakukan pembenahan. Tindakan Mahkamah Agung yang langsung memberhentikan hakim yang terlibat dalam kasus penyuapan, dapat dilihat sebagai wujud nyata janji untuk memperbaiki kinerja para penegak hukum di lingkungan kehakiman. Selain itu, sangsi hukuman yang berat perlu dijatuhkan bagi para penegak hukum yang terlibat penyalahgunaan wewenang dalam menangani perkara di peradilan. Memberantas penyimpangan proses peradilan bukanlah perkara yang mudah karena sifat, jaringan, dan praktiknya yang terselubung. Untuk itu, diperlukan usaha ekstra keras untuk menyelesaikan persoalan mendasar ini yang diyakini telah menjadi faktor penyebab utama atas bobroknya penegakan hukum di Indonesia. Tak ayal berkembang perumpaman bahwa hukum tajam terhadap masyarakat lemah, namun tumpul terhadap mereka yang berkuasa. Bagaikan problema kemiskinan dan praktik korupsi, mafia hukum memang tak dapat ditumpas hingga titik nol. Namun demikian, optimisme, upaya, dan usaha pemberantasannya tidak pernah boleh berhenti sedikit pun. Satu hal yang perlu kita yakini bahwa setiap langkah penyelesaian apapun itu bentuk dan caranya, sudah pasti akan memiliki konsekuensi, keunggulan, dan kelemahannya masing-masing. Diperlukan upaya hukum luar biasa untuk memberantas kejahatan luar biasa, makelar kasus dan mafia peradilan. Reformasi aturan hukum yang ada, Harus disusun aturan mengenai peberantasan mafia peradilan, khususnya mengenai pembuktian dan alat bukti yang berkenaan dengan praktek makelar kasus dan mafia peradilan. Diberikan sanksi pidana berat bahkan ancaman hukuman mati bagi aparat penegak hukum yang melakukan praktek makelar kasus maupun mafia peradilan. Pembenahan Lembaga pengawasan penegakan hukum seperti komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan agar lebih independent, efektif dan akuntable. Hal ini sebagai upaya memberantas makelar kasus dan mafia peradilan guna mewujudkan mimpi bangsa untuk penegakan hukum yang adil dan berwibawa. Benahi Budaya Hukum masyarakat melalui pendidikan hukum.
EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI PIDANA KETENAGAKERJAAN TERHADAP PERUSAHAAN YANG MELAKUKAN PELANGGARAN ETIKA BISNIS Dani Durahman
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 19 No 2 (2020): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XIX:2:2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v19i2.89

Abstract

Pasal 186 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dapat disimpulkan belum efektif dalam memaksa para majikan bersikap etis terhadap para karyawannya. Efektifitas Pasal 186 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut bisa ditinjau dari tiga tinjauan yaitu filisofis, sosiologis dan yuridis. Secara filisofis, pasal tersebut telah dapat menciptakan keadilan bagi para pihak yang bersengketa yaitu pihak pengusaha dan pihak pekerja. Secara sosiologis, Pasal 186 tersebut belum dirasakan kemanfaatannya dikarenakan masih banyak pengusaha yang melanggar tidak di karenakan sanksi pidana. Secara yuridis, Pasal 186 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan seharusnya dapat menciptakan kepastian hukum bagi para aktor hubungan industrial. Implementasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial lebih mengutamakan mediasi yaitu antara pengusaha dan pekerja, maupun tripartit yang melibatkan pemerintah di dalamnya yaitu Dinas Tenaga Kerja. Perselisihan terlebih dahulu dicarikan solusi melalui musyawarah untuk mufakat. Solusi selanjutnya dapat melalui pengadilan Hubungan Industrial yang kemudian dilanjutkan tuntutan melalui pengadilan negeri apabila keputusan PHI tidak dijalankan, setelah semua proses ditempuh baru proses secara pidana sehingga penerapan Pasal 168 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi upaya terakhir, yang berakibat susahnya pengusaha terkena sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 168 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Ketenagakerjaan
Upaya Pencegahan Anak dari Pengaruh Minuman Keras Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak: Tinjauan Dudu Duswara M; Dani Durahman
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 19, No 2 (2019): Juli
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (383.897 KB) | DOI: 10.33087/jiubj.v19i2.689

Abstract

The current rise in alcoholic trade, in small roadside stalls, even among them has been openly trading alcohol. This results in the ease with which people get liquor. Including the alcoholic trade which is not accompanied by knowledge of the type of alcoholic beverage itself. Many of them do not understand the type of alcohol they can drink or not. Circulation of liquor at this time has not been handled properly, due to the lack of law enforcement against liquor sellers, so that with the easy sale of liquor that is still running it results in children who participate in becoming consumers and consuming liquor so that it has a negative impact on child growth and development. The number of alcoholic parties is certainly not just happening, the ease of people getting liquor makes some people easily drink alcohol. If we look at a number of events, this alcoholic party is carried out by a group of elderly people to high school children who are only a dozen years old. This happens because people can buy liquor easily at convenience stores. The ease of access to liquor is then one of the factors supporting the many alcoholic party events in the community. Another supporting factor from the rise of alcoholic parties in the Cigending Village community is the circulation of illegal alcohol in the community. One of the behaviors of children who reach adolescence is to show their true identity to friends or the environment, with environmental behavior that is not good and is not well cared for by the family can be excessive. In general, teenagers want to be recognized and get special treatment. Negative relationships that influence the use of liquor among teenagers. Liquor can damage the development of child development so there is a need for efforts to protect children from the bad influence of hard miniman as an effort to implement Law No. 35 of 2014 concerning Child Protection. The task of controlling this is in accordance with what is mandated by the Food Law, where the National Police has the right and obligation to control illegal alcoholic drinks without permission in accordance with applicable laws and regulations. Efforts to control illegal alcoholic beverages will greatly affect the decline in the incidence of alcoholic drinks because according to several events, people who carry out alcoholic drinks are usually from the lower middle class
Aspek Hukum dalam Penyelenggaraan Bisnis Perhotelan Hernawati RAS; Dani Durahman
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 20, No 3 (2020): Oktober
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/jiubj.v20i3.1093

Abstract

The development of the law as part of a national development known as law reform is carried out thoroughly and integratedly. The hospitality business is growing rapidly as the economy develops, within the restrictions on the scope of the Hotel's business, there is a legal device that regulates the permit and protection of consumers. Hospitality businesses that do not have amdal permits Environmental law enforcement can be done by sanctioning administrative sanctions. Administrative sanctions, settlement of environmental issues outside the court and even criminal sanctions have been stipulated in Law No. 32 of 2009. The aspect of protection to Hospitality Consumers must be in accordance with the provisions of Law No. 8 of 1999, hospitality business must provide legal certainty in providing protection to consumers where currently there are still many hotels that do not provide information about consumer rights and obligations and the development of social responsibility (social responsebility). 
PENERAPAN SANKSI TERHADAP PENYIMPANGAN PENYIDIK POLRI DALAM MENANGANI PERKARA Dani Durahman
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol 16, No 2 (2016): Juli
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (217.048 KB) | DOI: 10.33087/jiubj.v16i2.9

Abstract

The functionsand tasks ofthe national policeset upby article13of law No.2of 2002onthe police forcethat iskeeping thesecurityand orderof society,enforce the law,and provide protection,shelter, and serviceto the community.Froma series of tasksthat isone of the tasksthe policeenforce the law,police andlaw enforcement agenciesasauthorizedin the processof investigationthatiscentralor "Gates" in terms oflawenforcement,investigatorshavespecialauthoritycomparedto othermembers ofthe national policeasa law enforcementand may becategorizedas organizerof the Statein accordance withthe provisions of article27figuresand explanations oflawNo. 28of 1999about theorganizers ofa country thatis clean and freeofCorruption,CollusionandNepotism, soagainstinvestigatorswho commitperversion andiniquitycan be applied tospecificcriminal sanctionsoutside ofthe Criminal Code (LexSpecialists)i.e.criminal sanctionsfor corruption.In terms ofenforcement of thelawaninvestigatorsuedprofessional andhasa very highdue tointegrityin performingthe task ofinvestigatorsprone/ susceptibleof occurrenceofirregularitiesin the form ofpracticesof corruption,CollusionandNepotism.The condition ofhuman resourcesInvestigatorscurrentlyare stillmany who have notfollowed thevocational educationReserse, actingbased onexperience orhabitis notbased on thelegislationin force, andthe presence ofinterventionsupervisor/ leadershipso thather independencewas stillunquestionable.Irregularitiesare stillcarried out byinvestigatorsinclude:changing thearticle orevidencethatthere has been,to use theevidencetoprivateinterests,favorsin the casewhich is beingdealt with, abuse ofauthority,andwoulddo violence toimposerecognition, directingorinterventionagainst thewitnesses andexpert witnessesin givinginformationand stillthe presence ofthe personinvestigatorswho receivedbribes.Investigatorswho commitperversion andiniquitycan besubject toappropriatedisciplinary actionPPRINo. 2of 2003about disciplinary rulesmembers ofthe national police,the code of ethicsof the professionofsanctionsbased onRegulationNoAssistant.Pol7in 2006 aboutthe code of ethicsof the professionofPolicedansanksicriminalcorruptionin accordance witharticle 1paragraph (1)subc,and article5,article 6,article 11andarticle 12of law No.20of 2001aboutthe eradication ofcriminal acts ofcorruption.Keyword : sanctions,diversion
PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM TAHAP PENYIDIKAN wawan alowi; Dani Durahman
Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum Vol 21 No 1 (2022): Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum XXI:1:2022
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32816/paramarta.v21i1.169

Abstract

Setiap yang telah berkeluarga selalu ada saja permasalahan yang terjadi, Adapun untuk penyelesaiannya Unit PPA Polresta Bandung menggunakan Restorative Justice sebagai bentuk usaha agar pihak yang bermasalah mendapatkan hasil putusan yang sama-sama bisa diterima. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif dan spesifikasi penelitian yuridis normatif. Sedangkan analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif. Penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan aturan tersebut, secara empiris lebih menekankan pada pemidanaannya, sehingga terlihat tujuan preventif, protektif, dan konsolidatif tidak efektif. musyawarah merupakan salah satu instrumen dari konsep keadilan restoratif. Para pihaklah yang menentukan nilai keadilan yang mereka inginkan, bukan lembaga peradilan.
Authority To Determine A Person To Become A Justice Collaborator In The Criminal Justice Process Dani - Durahman; Fangky Christina Indraguna
Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol 20, No 1 (2021): PENA JUSTISIA
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31941/pj.v20i1.3353

Abstract

The Investigation is the initial series of the criminal justice process. In practice, the examination process requires witness statements in finding a bright spot in the case. Justice collaborators are a means to facilitate investigators in uncovering cases. Technically, protection in the form of awards for justice collaborators is carried out in accordance with the provisions of the Joint Regulations. Applications are submitted by the perpetrators themselves to the Attorney General. Furthermore, in the event that the Attorney General grants the request for an award, the Public Prosecutor must state in his lawsuit the role played by the justice collaborator in assisting the law enforcement process so that it can be considered by the judge in making a decision. The purpose of this study resulted in the determination of investigators who have the authority to determine the Justice collaborator. Results of the study The presence of a justice collaborator in disclosing a case, especially one that is organized crime is urgently needed considering that its role is very central and urgent. The cooperation of justice collaborators with law enforcement officials can facilitate the task of disclosing a crime, especially those related to the public interest (openbare order) or the state. The logical consequence is that one of the instruments that can be used to encourage disclosure or reporting of a crime is by providing guarantees and protection to justice collaborators because without this role it is very difficult to disclose organized crime, usually these difficulties arise due to weak support. evidence/evidence obtained due to the limitations of law enforcement officials in obtaining evidence that is significant enough to reveal the crime. Problematic and overlapping aspects of who can determine a person to become a justice collaborator, whether the LPSK, Investigator, Prosecutor, or Judge. In order to create legal certainty, the authority to determine someone to become a justice collaborator is the authority of the investigator as the first institution to carry out legal proceedings.