Nur Akbar Aroeman
Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP Dr Hasan Sadikin Bandung

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Oto Rhino Laryngologica Indonesiana

Terapi necrobiotic xanthogranuloma dengan siklofosfamid-metilprednisolon Lesmono, Bayu; Dewi, Yussy Afriani; Ratunanda, Sinta Sari; Aroeman, Nur Akbar
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 46, No 2 (2016): Volume 46, No. 2 July - December 2016
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1439.852 KB) | DOI: 10.32637/orli.v46i2.168

Abstract

Latar belakang: Necrobiotic xanthogranuloma (NXG) merupakan suatu penyakit yang langka, kronis, dan progresif. NXG ditandai dengan lesi kulit ulseratif pada daerah indurasi, dan berwarna kuning, atau berupa nodul yang mengenai sel histiosit non Langerhans. Daerah predileksi tersering ialah pada wajah, orbita, dan ekstremitas. Etiologi belum diketahui, tetapi sering dikaitkan dengan monoclonal gammopathy. Gambaran histopatologi NXG yaitu ditemukan makrofag dan terdapat sel busa pada dermis, jaringan subkutan, nekrobiosis luas, sel datia Touton, dan folikel limfoid. Penderita memiliki lesi yang bersifat asimtomatik, parestesi, rasa terbakar, dan terkadang timbul rasa nyeri. Tata laksana NXG sampai saat ini masih sangat bervariasi. Tujuan: Memaparkan hasil penatalaksanaan dua pasien NXG. Laporan kasus: Dilaporkan pasien pertama, laki-laki 44 tahun dengan lesi pada kedua pipi dan dahi sejak 5 bulan sebelumnya. Terapi diberikan metilprednisolon dengan dosis 0,8 mg/kgBB tappering off selama 1 bulan dengan hasil perbaikan. Pasien kedua, wanita 29 tahun dengan lesi pada kedua pipi dan telinga sejak 5 bulan sebelumnya. Terapi diberikan siklofosfamid 750 mg/m2 per 3 minggu dengan hasil membaik. Metode: Pencarian dilakukan melalui PubMed dan Dermatol. Setelah menyaring judul dan abstrak yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan lima artikel utuh. Kemudian, tiga artikel terpilih untuk ditelaah secara konsensus, meliputi kesahihan (validity), kepentingan (importancy), dan aplikabilitas (applicability) pada pasien necrobiotic xanthogranuloma. Hasil: Telaah artikel-artikel tersebut menunjukkan bahwa semua artikel memiliki karakteristik yang serupa dalam hal kesahihan (validity), hasil atau kesimpulannya. Walau demikian, ada beberapa kekuatan dan kelemahan pada masing-masing artikel. Kesimpulan: Penatalaksanaan NXG masih diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang banyak untuk mengetahui keefektifitasan penatalaksanaan NXG.Kata kunci: Siklofosfamid, metilprednisolon, necrobiotic xanthogranulomaABSTRACT Background: Necrobiotic Xanthogranuloma (NXG) is a rare, chronic, and progressive disease that provokes skin lesions, such as damage of the histiocytes of non-Langerhans cell, skin lesions (yellowish or noduled ulcerative lesions) in the induration skin. The most common predilection areas of this are on the face, orbital, and extremities. The etiology is still unknown, but sometimes associates with monoclonal gammopathy. NXG histopathologic contained macrophages and foam cells in the dermis, subcutaneous tissue, extensive necrobiosis, touton giant cells, and lymphoid follicles. Some patients who had lesions are asymptomatic, sometimes they will feel paresthesias, burning pain. Nowadays, this management is still vary widely. Objective: Sets forth the results of two patients NXG. Case: There were two patients. Patient number one, a 44-years-old man, with some lesions on both cheeks and forehead since 5 months ago. He was treated with methylprednisolon 0.8 mg/kg body weight, and tappered off for a month with improved results. Patient number two, a 29-years-old woman, with some lesions on both cheeks and ears since 5 months ago. She was treated with Cyclosphosphamide 750 mg/m2 with improved results within three weeks. Method: Searching for literature was conducted in PubMed and Dermatol. After screening titles and abstracts with inclusion and exclusion criteria, five articles were available as full texts. Three articles were selected to be reviewed for their validity, importancy and applicability in patient with necrobiotic xanthogranuloma. Results: The review showed that all those articles had a similar characteristic in validity, result, and conclusion. Nevertheless, each articles had its own strong points and weaknesses. Conclusion: NXG treatment still required further research by the number of samples that much to find out the efficiency management NXG.Keywords: Cyclophosphamide, methylprednisolon, necrobiotic xanthogranuloma
Displasia Mondini sebagai faktor risiko terjadinya komplikasi meningitis berulang Arifianto, Aditya; Lasminingrum, Lina; Aroeman, Nurakbar; Boesoirie, Shinta Fitri
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 45, No 2 (2015): Volume 45, No. 2 July - December 2015
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.196 KB) | DOI: 10.32637/orli.v45i2.121

Abstract

Latar belakang: Displasia Mondini  adalah kasus yang jarang ditemukan namun merupakan penyebab penting terjadinya meningitis berulang pada anak dan membutuhkan indeks kecurigaan klinisyang tinggi sehingga dapat dilakukan diagnosis sedini mungkin. Displasia Mondini  adalah kelainankongenital berupa malformasi koklea yang terjadi akibat dari gangguan perkembangan embrio pada telingabagian dalam, di minggu ke tujuh. Anomali kongenital tulang temporal dapat menyebabkan  fistulisasiantara telinga tengah dan ruang subarakhnoid. Tujuan: Mempresentasikan kasus displasia Mondini dengan komplikasi meningitis berulang. Kasus: Satu kasus displasia Mondini  disertai hipertrofi adenoiddan meningitis berulang pada anak laki-laki usia enam tahun. Penatalaksanaan: Medikamentosa denganpemberian antibiotik dan adenoidektomi. Kesimpulan: Displasia Mondini  dengan faktor predisposisihipertrofi adenoid disertai meningitis berulang yang dilakukan adenoidektomi memberikan hasil yangbaik dengan tidak didapatkan kembali meningitis berulang pada pasien setelah tiga tahun. Kata kunci : displasia Mondini, hipertrofi adenoid, adenoidektomi, meningitis berulang  ABSTRACTBackground: Mondini dysplasia is a rare case but has an important role for recurrent pyogenic meningitis in children and requires a high index of clinical suspicion for early diagnosis. Mondinidysplasia is malformation of the cochlea due to impairment of the embryonic development of the innerear during the seventh week of fetal life. Congenital anomalies of temporal bone may cause fistulisation between the middle ear and subarachnoid space. Purpose: To present a case of Mondini dysplasia with recurrent meningitis complication. Case: A  case of Mondini dysplasia accompanied by hypertrophyadenoid and recurrent meningitis in a six year old boy. Management: Medical treatment with antibioticand adenoidectomy. Conclusion: Adenoidectomy for management of Mondini dysplasia with recurrentmeningitis accompanied by adenoid hypertrophy, gave a good result with no recurrent meningitis afterthree years. Key words: Mondini dysplasia, adenoid hypertrophy, adenoidectomy, recurrent meningitis
Non-Powder gunshot injury of the parapharynx space Raden Ayu Hardianti Saputri; Annika Famiasti; Nur Akbar Aroeman; Agung Dinasti Permana; Sinta Sari Ratunanda
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 51, No 2 (2021): VOLUME 51, NO. 2 JULY - DECEMBER 2021
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v51i2.402

Abstract

ABSTRACTBackground: Non-powder firearm is a weapon which used compressed air or CO2 gas to propel lead or steel ball pellets. Trauma caused by non-powder firearm has the potential for significant morbidity and mortality. Head and neck wounds account for 13.8%-30% of all non-powder firearm injuries. Bullets from gunshots often nest in the parapharyngeal space. Purpose: To present a case of non-powder firearm trauma in parapharyngeal space and its management. Case Report: A 13 years-old boy came with non-powder firearm trauma on the left cheek and bleeding from the left nostril. Upon physical examination there was a vulnus sclopetorum sized 0.5x0.5 cm without active bleeding in the left zygoma area. Three dimensional CTscan showed a hyperdense metal lesion in the left parapharyngeal space with 42.6 cm distance from penetrating site to the bullet location. The bullet was then extracted with transparotid approach surgery guided by C-arm imaging. Clinical Question: How is the management of trauma from a non-powder gunshot in the parapharyngeal space? Review method: Literature search through Pubmed, Cochrane Library, and Wiley using non-powder firearm injury in parapharyngeal space and its management as keywords. Result: The search obtained 11 articles. Based on inclusion and exclusion criteria, one article was found relevant with the topic i.e. one case report of non-powder firearm injury in parapharyngeal space and its surgical management. Conclusion: The safe procedure for retrieving bullets from the parapharyngeal space is in the form of surgery with the help of C-arm imaging to pinpoint the bullet’s location and to prevent further complication.Keywords: non-powder firearm, gunshot injury, parapharynx space, C-armABSTRAKLatar belakang: Senapan angin merupakan senjata yang menggunakan tenaga penggerak berjenis gas CO2 untuk melontarkan peluru. Trauma akibat senapan angin dapat berpotensi fatal. Sebanyak 13,8-30% luka tembak senapan angin terjadi pada daerah kepala dan leher. Salah satu ruang leher yang kerap menjadi tempat bersarangnya peluru adalah ruang parafaring. Tujuan: Melaporkan kasus dan penanganan trauma tembak senapan angin pada parafaring. Laporan kasus: Anak laki-laki berusia 13 tahun dengan riwayat tertembak senapan angin di pipi kiri dan perdarahan dari hidung kiri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan vulnus sklopetorum berukuran 0,5 x 0,5 cm tanpa perdarahan aktif di area zigoma kiri. Hasil CT scan 3D didapatkan lesi hiperdens dengan densitas metal pada parafaring kiri, berjarak 42,6 mm dari luka. Benda asing peluru kemudian diekstraksi melalui tindakan operatif menggunakan pendekatan transparotid dengan bantuan C-Arm. Pertanyaan klinis: Bagaimana penatalaksanaan trauma tembak senapan angin pada ruang parafaring? Telaah literatur: Penelusuran literatur melalui Pubmed, Cochrane Library, dan Wiley menggunakan kata kunci luka tembak senapan angin pada ruang parafaring dan penatalaksanaannya. Ditemukan 11 artikel, dan pemilihan artikel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat satu penelitian yang relevan. Hasil: Didapat satu laporan kasus tentang luka tembak senapan angin di ruang parafaring dengan tindakan bedah sebagai penanganannya. Kesimpulan: Tatalaksana pengambilan peluru yang aman adalah dengan pendekatan pembedahan dengan bantuan C-Arm untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.Kata kunci: senapan angin, luka tembak, trauma, ruang parapfaring, C-arm
Non-Powder gunshot injury of the parapharynx space Raden Ayu Hardianti Saputri; Annika Famiasti; Nur Akbar Aroeman; Agung Dinasti Permana; Sinta Sari Ratunanda
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol. 51 No. 2 (2021): VOLUME 51, NO. 2 JULY - DECEMBER 2021
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v51i2.402

Abstract

ABSTRACTBackground: Non-powder firearm is a weapon which used compressed air or CO2 gas to propel lead or steel ball pellets. Trauma caused by non-powder firearm has the potential for significant morbidity and mortality. Head and neck wounds account for 13.8%-30% of all non-powder firearm injuries. Bullets from gunshots often nest in the parapharyngeal space. Purpose: To present a case of non-powder firearm trauma in parapharyngeal space and its management. Case Report: A 13 years-old boy came with non-powder firearm trauma on the left cheek and bleeding from the left nostril. Upon physical examination there was a vulnus sclopetorum sized 0.5x0.5 cm without active bleeding in the left zygoma area. Three dimensional CTscan showed a hyperdense metal lesion in the left parapharyngeal space with 42.6 cm distance from penetrating site to the bullet location. The bullet was then extracted with transparotid approach surgery guided by C-arm imaging. Clinical Question: How is the management of trauma from a non-powder gunshot in the parapharyngeal space? Review method: Literature search through Pubmed, Cochrane Library, and Wiley using non-powder firearm injury in parapharyngeal space and its management as keywords. Result: The search obtained 11 articles. Based on inclusion and exclusion criteria, one article was found relevant with the topic i.e. one case report of non-powder firearm injury in parapharyngeal space and its surgical management. Conclusion: The safe procedure for retrieving bullets from the parapharyngeal space is in the form of surgery with the help of C-arm imaging to pinpoint the bullet’s location and to prevent further complication.Keywords: non-powder firearm, gunshot injury, parapharynx space, C-armABSTRAKLatar belakang: Senapan angin merupakan senjata yang menggunakan tenaga penggerak berjenis gas CO2 untuk melontarkan peluru. Trauma akibat senapan angin dapat berpotensi fatal. Sebanyak 13,8-30% luka tembak senapan angin terjadi pada daerah kepala dan leher. Salah satu ruang leher yang kerap menjadi tempat bersarangnya peluru adalah ruang parafaring. Tujuan: Melaporkan kasus dan penanganan trauma tembak senapan angin pada parafaring. Laporan kasus: Anak laki-laki berusia 13 tahun dengan riwayat tertembak senapan angin di pipi kiri dan perdarahan dari hidung kiri. Pada pemeriksaan fisis didapatkan vulnus sklopetorum berukuran 0,5 x 0,5 cm tanpa perdarahan aktif di area zigoma kiri. Hasil CT scan 3D didapatkan lesi hiperdens dengan densitas metal pada parafaring kiri, berjarak 42,6 mm dari luka. Benda asing peluru kemudian diekstraksi melalui tindakan operatif menggunakan pendekatan transparotid dengan bantuan C-Arm. Pertanyaan klinis: Bagaimana penatalaksanaan trauma tembak senapan angin pada ruang parafaring? Telaah literatur: Penelusuran literatur melalui Pubmed, Cochrane Library, dan Wiley menggunakan kata kunci luka tembak senapan angin pada ruang parafaring dan penatalaksanaannya. Ditemukan 11 artikel, dan pemilihan artikel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat satu penelitian yang relevan. Hasil: Didapat satu laporan kasus tentang luka tembak senapan angin di ruang parafaring dengan tindakan bedah sebagai penanganannya. Kesimpulan: Tatalaksana pengambilan peluru yang aman adalah dengan pendekatan pembedahan dengan bantuan C-Arm untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.Kata kunci: senapan angin, luka tembak, trauma, ruang parapfaring, C-arm