Budhi Wibhawa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

INTERAKSI SOSIAL LANSIA DI BADAN PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA (BPSTW) CIPARAY DENGAN KELUARGA Ayu Martina; Budhi Wibhawa; Meilanny Budiarti S.
Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Vol 3, No 1 (2016): Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jppm.v3i1.13623

Abstract

Orang yang sudah lanjut usia mengalami penurunan kemampuan fisik, sosial, motorik dan psikologis, sehingga pelayanan dan dukungan pada Lansia perlu mendapatkan perhatian yang besar dari keluarga. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistika Jawa Barat jumlah penduduk lansia pada 2013 mencapai 3.434.909 jiwa dari jumlah penduduk Jawa Barat 45.430.799 jiwa (BPS, 2013). Dalam lingkungan panti jompo lansia dapat berinteraksi dengan sesama lansia, petugas, bahkan dengan keluarganya sekalipun.Adapun yang melatarbelakangi penelitian di BPSTW Pakutandang adalah interaksi sosial yang terjadi antara lansia denga keluarga di panti jompo ada yang berjalan dengan baik dan ada pula yang tidak berjalan dengan baik. Interaksi yang berjalan dengan baik membuat lansia itu masih merasakan rasa kasih sayang dari keluarganya meskipun lansia tersebut tinggal di panti jompo. Berbeda dengan lansia yang tidak dapat berinteraksi dengan keluarganya, akan merasakan kesepian dan kesehatannya pun menurun. Terdapat beberapa lansia di panti jompo merasakan kesepian akibat tidak adanya interaksi dengan keluarga, pihak panti pun menghubungi keluarga dari lansia tersebut agar keluarga dapat menjenguk atau berkomunikasi dengan lansianya.Fenomena interaksi sosial yang terjadi pada lansia dengan keluarganya dapat berjalan dengan baik untuk kebaikan lansia yang tinggal di panti jompo. Sehingga, lansia tidak merasakan kesepian dan lansia dapat tetap sehat dengan adanya interaksi sosial. Pihak panti tersebut akan terus berusaha menghubungi keluarga lansia apabila ada kasus lansia yang merasa kesepian atau lansia yang rindu akan keluarganya agar interaksi sosial dapat berjalan dengan baik baik itu komunikasi secara langsung atau pun tidak langsung.
KESEHATAN MENTAL MASYARAKAT INDONESIA (PENGETAHUAN, DAN KETERBUKAAN MASYARAKAT TERHADAP GANGGUAN KESEHATAN MENTAL) Adisty Wismani Putri; Budhi Wibhawa; Arie Surya Gutama
Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Vol 2, No 2 (2015): Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jppm.v2i2.13535

Abstract

Kesehatan mental merupakan sebuah kondisi dimana individu terbebas dari segala bentuk gejala-gejala gangguan mental. Individu yang sehat secara mental dapat berfungsi secara normal dalam menjalankan hidupnya khususnya saat menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang akan ditemui sepanjang hidup seseorang dengan menggunakan kemampuan pengolahan stres.Kesehatan mental merupakan hal penting yang harus diperhatikan selayaknya kesehatan fisik. Diketahui bahwa kondisi kestabilan kesehatan mental dan fisik saling mempengaruhi. Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah keluhan yang hanya diperoleh dari garis keturunan. Tuntutan hidup yang berdampak pada stress berlebih akan berdampak pada gangguan kesehatan mental yang lebih buruk.Di Indonesia, berdasarkan Data Riskesdas tahun 2007, diketahui bahwa prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa. Berarti dengan jumlah populasi orang dewasa Indonesia lebih kurang 150.000.000 ada 1.740.000 orang saat ini mengalami gangguan mental emosional (Depkes, 2007). Data yang ada mengatakan bahwa penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia tidaklah sedikit sehingga sudah seharusnya hal tersebut menjadi sebuah perhatian dengan tersedianya penanganan atau pengobatan yang tepat.Di berbagai pelosok Indonesia masih ditemui cara penanganan yang tidak tepat bagi para penderita gangguan kesehatan mental. Penderita dianggap sebagai makhluk aneh yang dapat mengancam keselamatan seseorang untuk itu penderita layak diasingkan oleh masyarakat. Hal ini sangat mengecawakan karena dapat mengurangi kemungkinan untuk seorang penderita pulih. Untuk itu pemberian informasi, mengedukasi masyarakat sangatlah penting terkait kesehatan mental agar stigma yang ada di masyarakat dapat dihilangkan dan penderita mendapatkan penanganan yang tepat.
BIMBINGAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM OLEH BALAI PEMASYARAKATAN BANDUNG DI TINJAU DARI RELASI PERTOLONGAN Fitri Nuryanti Sahlan; Budhi Wibhawa; Maulana Irfan
Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Vol 3, No 3 (2016): Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jppm.v3i3.13704

Abstract

Anak adalah generasi muda yang penting untuk di bangun potensinya demi terciptanya cita-cita bangsa. . Kenakalan anak sering disebut dengan “juvenile delinquency,” yang diartikan dengan anak cacat sosial. Kenakalan anak dapat berujung pada sebuah kondisi dimana anak berada dalam sebuah pelanggaran hukum negara. Anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) merupakan anak yang disangka atau dituduh telah melanggar undang-undang hukum pidana. Pidana adalah hukuman yang dijatuhkan seseorang yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum yang berusia 12 hingga 18 tahun, ada yang berujung pada hukuman penahanan. Anak memiliki hak sebagai manusia berupa hak asasi manusia. Banyak faktor yang memungkinkan anak melakukan tindak pidana dan berkahir dalam tahanan. Kondisi tersebut memungkinkan untuk anak mengalami tekanan baik fisik maupun mental. Selain itu stigma buruk yang tercipta dalam masyarakat akan menjadi hambatan anak untuk siap kembali menjalani hidup di masyarakat setelah menjalani tahanan. Masalah tersebut yang menyadarkan betapa pentingnya adanya pekerja sosial dalam sistem peradilan anak.Setelah adanya penahanan, anak yang melakukan tindak pidana akan di adili dengan sistem peradilan anak. Dalam proses peradilan anak, anak berkonflik dengan hukum (ABH ) akan di bina melalui bimbingan pemasyarakatan. Balai pemasyarakatan akan melakukan pendampingan dan pengawasan terhadap proses peradilan. Hubungan yang akan di bangun oleh balai pemasyarakatan tidak hanya dengan anak berkonflik dengan hukum (ABH) namun juga dengan keluarga dan masyarakat. Hubungan –hubungan yang dijalin merupakan relasi yang sengaja di bentuk oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Relasi tersebut diupayakan untuk terciptanya harapan anak berkonflik dengan hukum (ABH) dapat diterima kembali secara baik oleh masyarakat. Relasi yang bertujuan untuk keberlangsungan masa depan anak berkonflik dengan hukum dapat termasuk kedalam sebuah relasi yang dilakukan oleh pekerja sosial yakni relasi pertolongan.
PENANGGULANGAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS OLEH PANTI SOSIAL BINA KARYA “PANGUDI LUHUR” BEKASI Betha Dwidinanti Zefianningsih; Budhi Wibhawa; Hadiyanto A. Rachim
Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Vol 3, No 1 (2016): Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jppm.v3i1.13600

Abstract

Permasalahan gelandangan dan pengemis masih menjadi beban pembangunan nasional dewasa ini. Maka dari itu, peran pemerintah dan masyarakat untuk menanggulangi permasalahan ini tentunya harus dilakukan secara bersama-sama sehingga mampu mengurangi kesenjangan sosial yang ada. Gelandangan dan pengemis merupakan kantong kemiskinan yang hidup diperkotaan. Hal ini disebabkan karena faktor ekonomi dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Penertiban gelandangan dan pengemis (gepeng) memerlukan waktu yang cukup lama dalam penanganannya. Hal ini dikarenakan terkadang pada waktu tertentu populasi pengemis meningkat seperti yang terjadi dihari libur, hari raya keagamaan, maupun dipusat-pusat rekreasi dan perbelanjaan. Tentunya secara grafik digambarkan jumlah populasi pengemis mengalami kenaikan dan penurunan.Penyebab kesenjangan yang besar adalah faktor ekonomi yang tidak merata sehingga jurang sosial antara si kaya dan si miskin tinggi terutama dikota-kota besar. Oleh karena itu, pemecahan masalahnya harus mencakup dua aspek yaitu: (i) kondisi di daerah asal; (ii) kondisi daerah tujuan. Prinsipnya adalah upaya pencegahan dilakukan di daerah asal sehingga mereka tidak terdorong untuk meninggalkan desanya dan mencari penghasilan di kota dengan cara membuka pekerjaan di desa. Sedangkan di sisi lain, prinsipnya adalah penanggulangan yaitu di tempat tujuan “harus” ditanggulangi atau ditangani sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk menjadi Gepeng di kota, karena tidak akan memperoleh penghasilan lagi.
PENGEMBANGAN PENDIDIKAN NON FORMAL MELALUI PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT Endah Puspa Pratiwi; Budhi Wibhawa
Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Vol 2, No 2 (2015): Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jppm.v2i2.13274

Abstract

Pendidikan menjadi salah satu aspek yang cukup memegang peranan penting di masyarakat, dengan di satu sisi pendidikan mengalami problem yang semakin meningkat, membangun suatu komunitas dalam menciptakan perubahan yang diharapkan menjadi satu langkah yang harus terus dilakukan (keberlanjutan), peran stakeholder dibutuhkan dalam setiap proses pendidikan. Salah satunya dapat melalui program keaksaraan fungsional, program ini mempunyai tujuan menciptakan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat mengenyam pendidikan tanpa harus mengelurkan biaya yang lebih tinggi. Pengembangan pendidikan non formal ini pada dasarnya merupakan sarana substansial untuk membantu masyarakat yang mengalami buta aksara supaya dapat mengenal angka dan huruf tanpa terhalang oleh biaya, tempat, usia, dan lain sebagainya. Ditambah degan ada sekitar 300.000 – 400.000 anak yang potensial buta aksara akibat putus sekolah di kelas 1-3 SD. Sehingga tingginya masalah buta aksara pada penduduk usia produktif dan usia sekolah perlu penanganan secara khusus. Dalam program ini pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan partisipatif dengan prinsip bahwa setiap individu berhak mendapatkan pendidikan, tidak terkecuali bagi mereka yang mengalami buta aksara.
INTERAKSI DI DALAM KELUARGA DENGAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI PANTI SOSIAL MASURDI PUTRA BAMBU APUS JAKARTA Febry Hizba Ahshaina Hizba Ahshaina; Budhi Wibhawa; Eva Nuriyah Hidayat
Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Vol 3, No 3 (2016): Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/jppm.v3i3.13777

Abstract

Keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk pertama kalinya, dan untuk seterusnya anak banyak belajar di dalam kehidupan keluarga. Oleh karena itu peran, sikap dan perilaku orangtua dalam proses pengasuhan anak, sangat besar pengaruhnya dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian anak. Dengan kehadiran seorang anak dalam keluarga, komunikasi dalam keluarga menjadi lebih penting dan intensitasnya harus semakin meningkat, artinya dalam keluarga perlu ada komunikasi yang baik dan sesering mungkin antara orang tua dengan anak. Cukup banyak persoalan yang timbul di masyarakat karena atau tidak adanya komunikasi yang baik dalam keluarga. Dalam kenyataannya, proses interaksi anak dengan orangtua tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan dan tidaklah sesederhana yang kita bayangkan dan katakan. Pengasuhan sering dibumbui oleh berbagai hal yang tidak mendukung bagi kemandirian anak, antara lain: sikap dan perilaku orangtua yang tidak dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya, suasana emosi anggota rumah tangga sehari-hari yang tidak kondusif, serta interaksi anggota keluarga lainnya yang tidak baik. Dengan situasi seperti itu, maka tidak semua interaksi keluarga terhadap anak efektif, akibatnya, perilaku dan kemandirian anak, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Faktor lingkungan, seperti kemajuan teknologi informasi dan globalisasi yang berkembang pesat dewasa ini sangat mempengaruhi nilai dan norma yang berlaku dalam individu, keluarga, dan masyarakat. Hal ini dapat berakibat terjadinya berbagai permasalahan sosial pada anak diantaranya; penyimpangan perilaku baik pada anak maupun pada orang dewasa, seperti tindak kekerasan, pencurian, pelecehan seksual, tawuran dan lain- lain yang menyebabkan anak berhadapan dengan hukum (ABH).