Reza Widianto Sudjud
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Komplikasi dan Pemantauan Susunan Saraf Pusat pada Operasi Jantung Reza Widianto Sudjud; I Made Adi Parmana
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

TINJAUAN PUSTAKAPerkembangan tekhnologi dan jumlah operasi jantung di Indonesia semakin meningkat, perkembangan tersebut diikuti juga dengan semakin meningkatnya komplikasi pada susunan saraf pusat, seperti cedera otak. Banyak faktor dan kejadian selama pembedahan jantung yang dapat menyebabkan cedera otak. Kebanyakan cedera ini diakibatkan oleh hipoperfusi yang global atau fokal yang disebabkan oleh emboli  mikro ataupun makro. Insidensi cedera otak tinggi dan pencegahan terjadinya insidensi tersebut harus dipertimbangkan pada setiap prosedur. Alat pemantauan untuk susunan saraf pusat semakin berkembang dan membutuhkan keahlian seorang dokter anestesi untuk menguasai alat pemantauan tersebut. Pemahaman yang lebih lanjut terhadap pembedahan dan perfusi, perbaikan teknologi perfusi dan juga anestesi yang lebih teliti, diharapkan dapat menurunkan tingkat kejadian cedera otak setelah operasi jantung terbuka.Kata Kunci: Komplikasi SSP, anestesi, operasi jantung terbuka Complications and Monitoring of Central Nervous System on Cardiac SurgeryThe development of technology and numbers of heart operations in Indonesia has increased, but it is also followed with the ever increasing complications on the central nervous system, such as brain injury. Many factors and events during a heart surgery that cause brain injury. Most of these are due to a global or focal hypoperfusion caused by micro or macro emboli. The incidence rate of brain injury and prevention occurrence of the incident should be considered for each procedure. Tool monitoring for central nervous system has been growing and requires the expertise of an Anaesthesiologist for control these monitoring tools. Further understanding, improvement of the perfusion technology, and also a more meticulous anesthetic, surgical and perfusion is expected to reduce the incidence rate of brain injury after open heart surgery.Keywords : Complications CNS, anesthesia, open  heart surgery DOI: 10.15851/jap.v1n1.161
Angka Mortalitas dan Faktor Risiko pada Pasien Geriatri yang Menjalani Operasi Emergensi Akut Abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2014−2015 Donny Prasetyo Priyatmoko; Reza Widianto Sudjud; Rudi Kurniadi Kadarsah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (777.67 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1109

Abstract

Geriatri memiliki kekhususan yang perlu diperhatikan dalam bidang anestesi dan tindakan operasi karena terdapat kemunduran sistem fisiologis dan farmakologis sejalan dengan penambahan usia. Penelitian di Yunani tahun 2007 menjelaskan bahwa angka mortalitas akibat tindakan operasi setelah usia 65 tahun menjadi 3 kali lipat dibanding dengan usia 18−40 tahun. Angka mortalitas geriatri tahun 2007 pada operasi elektif sebesar 5%, sedangkan operasi emergensi sebesar 10%. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh angka mortalitas dan faktor risiko pada pasien geriatri yang menjalani operasi emergensi akut abdomen tahun 2014−2015. Tipe penelitian ini merupakan deskriptif dengan pendekatan retrospektif terhadap 180 subjek penelitian yang diambil di bagian rekam medis sejak Juli−Oktober 2016 pada pasien geriatri yang menjalani operasi emergensi akut abdomen di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung tahun 2014−2015. Hasil penelitian ini memperlihatkan angka mortalitas sebesar 9% dengan faktor penyebab mortalitas paling dominan adalah syok sepsis sebesar 50%. Faktor predisposisi disebabkan oleh indeks massa tubuh <18,5 kg/m2 sebesar 56,3%, diagnosis primer tumor intestinal sebesar 31,3%, penyakit penyerta diabetes melitus sebesar 31,3%, sepsis sebesar 93,8%, hipoalbumin sebesar 56,3% dan status fisik ASA 4E sebesar 62,5%. Simpulan, faktor presipitasi disebabkan oleh waktu respons penanganan >6 jam sebesar 93,8% dan komplikasi pascaoperasi severe sepsis disertai pneumonia sebesar 50%. Kata kunci: Akut abdomen, angka mortalitas, geriatri, operasi emergensi Mortality Rate and Risk Factor in Geriatric Patients Undergo Emergency Surgery for Acute Abdoment in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung in 2014−2015Geriatric has special anesthetic and surgical consideration because of reducing physiologic function and pharmacodynamic as the age increase. A study in Greece in 2007 shows that surgery in patient more than 65 year old has three times mortality rate than 18–40 years old patients. Geriatric mortality rate in 2007 undergo elective surgery is 5%, while the emergency surgery 10%. Purpose of this study was to obtain mortality rate and risk factor in geriatric patients underwent emergency surgery for acute abdomen in 2014−2015. This was a descriptive retrospective study of 180 subjects taken from the medical records in July to October, 2016 in geriatric patients underwent emergency surgery for acute abdomen at the Dr. Hasan Sadikin hospital in 2014−2015. Results of this study showed a mortality rate of 9%, with most dominant factors that cause mortality was septic shock (50%). Predisposing factors was the body mass index <18.5 kg/m2 (56.3%), the diagnosis of primary tumor intestinal amounted to 31.3%, comorbidities of diabetes mellitus at 31.3%, sepsis (93.8%), hipoalbumin (56.3%) and ASA physical status 4E (62.5%). In conclution, precipitation factors caused by response time >6 hours (93.8%) and postoperative complications of severe sepsis with pneumonia (50%).Key words: Acute abdomen, emergency surgery, geriatrics, mortality rate
Korelasi antara Lama Pintas Jantung Paru dan Lama Bantuan Ventilasi Mekanis pada Pasien Pascabedah Pintas Arteri Koroner di Unit Perawatan Intensif Jantung Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Tias Diah Setiari; Reza Widianto Sudjud; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (632.127 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1106

Abstract

Pintas jantung paru (PJP) diperlukan untuk sebagian besar prosedur bedah pintas arteri koroner (BPAK). Fungsi paru dan oksigenasi menurun sekitar 2–90% pada pasien pascabedah jantung dengan PJP. Ketergantungan terhadap ventilator setelah BPAK secara signifikan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas. Tujuan penelitian ini adalah mengorelasikan waktu PJP dengan lama bantuan ventilasi mekanis pada pasien BPAK. Penelitian ini merupakan analisis kohort retorospektif pada 43 pasien yang menjalani BPAK dengan PJP yang dirawat di Unit Perawatan Intensif Jantung Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari 2014 sampai Juni 2015. Lama PJP dibagi menjadi ≤90 menit dan >90. Lama bantuan ventilasi mekanis terbagi menjadi ≤12 jam dan >12 jam. Parameter yang dicatat pada penelitian ini adalah usia, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, lama PJP, waktu klem aorta, dan lama bantuan ventilasi mekanis. Analisis stastistik menggunakan uji korelasi Lambda, signifikan jika nilai p<0,05. Penelitian ini menunjukkan korelasi yang cukup kuat antara waktu PJP dan lama bantuan ventilasi mekanis setelah BPAK dengan korelasi positif (0,545) dan signifikan (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah semakin lama waktu PJP berkorelasi dengan memanjangnya lama bantuan ventilasi mekanis. Kata kunci: Bedah pintas arteri koroner, pintas jantung paru, ventilasi mekanis Correlation between Cardiopulmonary Bypass Time and Duration of Mechanical Ventilation after Coronary Artery Bypass Graft at Cardiac Intensive Care Unit of Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungCardiopulmonary bypass (CPB) is necessary for majority of procedures in coronary artery bypass grafting (CABG) surgery. Lung function and oxygenation are impaired in 20% to 90% of CPB cardiac surgery patients. Ventilator dependency following CABG is often associated with significant morbidity and mortality. This study aims to correlate the CPB time and duration of mechanical ventilation after coronary artery bypass graft. This was a retrospective analysis cohort study on 43 consecutive patients undergoing CABG on CPB who admitted to cardiac intensive care unit between January 2014 and June 2015 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. The CPB time divided into <90 minutes and ≥90 minutes. Duration of mechanical ventilation was defined as ≤12 hours and ≥12 hours ventilation. Parameters recorded in this study were age, weight, height, body mass index, CPB time, aortic cross-clamp time and duration of mechanical ventilation. Statistical analysis was performed using Lambda correlation, significanti if p value <0.05. This study showed moderate correlation between CPB time and duration of mechanical ventilation after CABG surgery with a positive (0.545) and significant correlation (p<0.05). Conclusion of this research is longer CPB timed correlated with prolonged mechanical ventilationKey words: Cardiopulmonary bypass time, coronary artery bypass grafting, mechanical ventilation