Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Kedudukan Hak Waris Anak dari Pernikahan Incest dalam Perspektif Fiqih Maimunah Maimunah
Al Ahkam Vol 14 No 1 (2018): Januari - Juni 2018
Publisher : Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/ajh.v14i1.1480

Abstract

Tujuan dari penulisan artikel ini memberikan pengetahuan tentang kedudukan hak waris anak dari pernikahan incest dalam perspektif fiqh. Pernikahan Incest merupakan pernikahan sedarah yang dilarang dalam agama Islam sehingga perlu dibatalkan pernikahan tersebut sebagaimana diatur dalam surat an-Nisa ayat 23. Di dalam Undang-Undang Perkawinan, larangan perkawinan incest diatur pada pasal 8, sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada pasal 39. Akibat dari pernikahan incest itu, tentu memiliki akibat hukum terhadap status kewarisan anak dari perspektif fiqih. Anak yang dilahirkan pernikahan incest tidak memiliki kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sehingga perlu dilakukan perlindungan atas hak-haknya. Anak perlu mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam al-Qur’an dan perundang-undangan. Bila terjadi suatu sengketa dalam rumah tangga, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata demi kepentingan si anak meskipun anak tersebut anak yang lahir dari hasil hubungan incest. Hak waris anak incest tidak diatur dalam hukum Islam, karena hukum Islam hanya mengenal anak sah dan anak tidak sah (anak zina). Jika keduanya sama-sama tidak mengetahui hubungan sedarah mereka, maka hukum yang berlaku adalah seperti konsep hilangnya beban hukum atas tiga orang, orang yang khilaf (QS. Al Ahzab: 5), lupa dan orang yang dipaksa. Jika keduanya tidak mengetahui adanya cacat nikah dari aspek larangan pernikahan, maka hubungan suami-isteri yang lalu adalah sah dan tidak dianggap sebagai perbuatan zina. Dan anak hasil perkawinan mereka tetap bernasab kepada bapaknya dan juga berhak mewaris kepada bapak dan ibunya. Kata Kunci: hak waris, anak, pernikahan, Incest
PEMBELAJARAN FIQIH SEBAGAI MATA KULIAH WAJIB PADA PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM Maimunah Maimunah
Geneologi PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol 6 No 2 (2019): December 2019
Publisher : Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32678/geneologipai.v6i2.2338

Abstract

The existence of FIQH as the main subject at each PTAI both private and public taught to students has a good purpose for scientific understanding of Islamic law. Learning FIQH has a progressive urgency that is taught science to students so that students are able to understand the basic Islamic law relating to human actions that are categorized as adults. Learning in Islamic religious colleges can choose and implement one or several variants of the integration relationship. The learning is based on Permenristedikti 44/2015 related to SNPT / national standard of higher education. Learning also has an interactive specificity, which occurs between students and lecturers. In interaction, of course, focus on students (Student Centered Learning) so that changes occur experienced by students into the cognitive realm, namely the ability to relate to knowledge, thoughts, and then the ability to prioritize feelings or known as affective terms. Fiqh is defined as a knowledge of Islamic law formulated by Islamic jurists (mujtahid) through the process of reasoning on the verses of the Qur'an and the hadith texts relating to human actions that are intelligent and mature. In the context of fiqh discussion here, fiqh in question is one of the Islamic Religious Education (PAI) courses relating to law, rules and procedures of worship to Allah SWT taught in tertiary institutions. In this case, fiqh is also one part of Islamic Religious Education courses that is directed to prepare students to recognize, understand, live and practice Islamic law which then becomes the basis of their way of life through guidance, teaching, exercise of use, practice and habituation
PERLINDUNGAN NASABAH EKONOMI SYARIAH MELALUI TRANSAKSI GADAI DALAM PERSPEKTIF FIQH MUAMALAH Ika Atikah; Maimunah Maimunah
Hukum Islam Vol 21, No 2 (2021): PROBLEMATIKA HUKUM KELUARGA DAN EKONOMI SYARI'AH
Publisher : Fakultas Syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24014/jhi.v21i2.10774

Abstract

Rahn (pawning) is one of the sharia economic transactions that is currently increasing in development in Indonesia. The need for funds to meet the shortcomings in everyday life makes rahn (pawn) an alternative to getting fast money loans to sharia pawnshops by pledging valuable goods as a condition of the contract (contract). In this study, using normative research with a conceptual approach and analysis approach. Primary sources of law used in this study refer to journals, proceedings, scientific papers relevant to Islamic economic law (Fiqh Muamalah). Meanwhile, secondary sources of law refer to books related to fiqh muamalah. The urgency of customer protection according to fiqh muamalah, in rahn transactions, of course, it depends on the contents of the agreement clause which is mutually agreed upon by prioritizing the principle of goodwill and the principle of justice so that both debtors and creditors have equality and equality to fulfill their rights and obligations according to the agreed agreement to avoid things that can break the contract. 
Penguatan Merger Bank Syariah BUMN dan Dampaknya Dalam Stabilitas Perekonomian Negara Ika Atikah; Maimunah Maimunah; Fuad Zainuddin
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 8, No 2 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v8i2.19896

Abstract

This study provides an overview of strengthening the merger of state-owned sharia banks, namely BNI Syariah, BSM, BRI Syariah which merged into Bank Syariah Indonesia (BSI). The purpose of the study was to determine the legal arrangements for strengthening the merger of Islamic banks to become BSI and its impact on the stability of state finances during the COVID-19 pandemic. The research method used in this study uses normative research with a statutory approach and a conceptual approach. Primary sources of law use legal regulations related to mergers of banking institutions and secondary sources of law from several kinds of literature such as journals and books relating to the issues being discussed. Meanwhile, legal material analysis techniques are used descriptively. The result of the research is the strengthening of the merger of BUMN Islamic banks starting with the existence of an agreement that is outlined in the written form of an Islamic commercial bank merger agreement as regulated in several applicable legal regulations. The merger of Islamic commercial banks during a pandemic is the right step to maintain the country’s economic stability, as stated in Perpu No.1 / 2020 and POJK No.18 / POJK.03 / 2020. The impact of the merger of Islamic commercial banks, of course, has a positive impact, Indonesian Islamic banks can compete globally by prioritizing more complete services, wider coverage, and better capitalization. For the state, it is certainly a good thing that can be done by the Ministry of BUMN, by initiating the merger of 3 sharia-based state-owned subsidiaries (BNI Syariah, BSM, BRI Syariah) merging into PT. Bank Syariah Indonesia, Tbk. Keywords : Merger, Sharia Banks, Finance
Kedudukan Hak Waris Anak dari Pernikahan Incest dalam Perspektif Fiqih Maimunah Maimunah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 19 No 2 (2018): Juli - Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v19i2.3317

Abstract

Tujuan dari penulisan artikel ini memberikan pengetahuan tentang kedudukan hak waris anak dari pernikahan incest dalam perspektif fiqh. Pernikahan Incest merupakan pernikahan sedarah yang dilarang dalam agama Islam sehingga perlu dibatalkan pernikahan tersebut sebagaimana diatur dalam surat an-Nisa ayat 23. Di dalam Undang – Undang Perkawinan, larangan perkawinan incest diatur pada pasal 8, sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada pasal 39. Akibat dari pernikahan incest itu, tentu memiliki akibat hukum terhadap status kewarisan anak dari perspektif fiqih. Anak yang dilahirkan pernikahan incest tidak memiliki kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sehingga perlu dilakukan perlindungan atas hak – haknya. Anak perlu mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam al-Qur’an dan perundang - undangan. Bila terjadi suatu sengketa dalam rumah tangga, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata demi kepentingan si anak meskipun anak tersebut anak yang lahir dari hasil hubungan incest. Hak waris anak incest tidak diatur dalam hukum Islam, karena hukum Islam hanya mengenal anak sah dan anak tidak sah (anak zina). Jika keduanya sama-sama tidak mengetahui hubungan sedarah mereka, maka hukum yang berlaku adalah seperti konsep hilangnya beban hukum atas tiga orang, orang yang khilaf (QS. Al Ahzab: 5), lupa dan orang yang dipaksa. Jika keduanya tidak mengetahui adanya cacat nikah dari aspek larangan pernikahan, maka hubungan suami-isteri yang lalu adalah sah dan tidak dianggap sebagai perbuatan zina. Dan anak hasil perkawinan mereka tetap bernasab kepada bapaknya dan juga berhak mewaris kepada bapak dan ibunya.
Dispensasi Nikah Anak Perempuan: Suatu Fenomena Masyarakat Modern dalam Konteks Agama dan Negara Maimunah Maimunah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 2 (2020): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v21i2.3843

Abstract

Pernikahan menjadi penunjang dan landasan bagi berkembangnya masyarakat yang berperadaban. Pernikahan di usia muda sangat berkaitan dengan hak daripada orang tua atau wali untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai dari keinginan anak itu sendiri. Dispensasi nikah anak perempuan sangat dimungkinkan menurut agama dan negara. Sebenarnya, tidak dijumpai tentang batasan usia menikah untuk seseorang baik dalam al-Qur’an dan fiqih, Selain dalam al-Qur’an, tidak dijumpai adanya batasan usia menikah bagi seseorang perempuan dan/atau laki-laki dalam fiqih. Namun, bukan berarti negara muslim tidak membuat dan menerapkan ketentuan terhadap batasan usia nikah. Bila merujuk pada historis Rasulullah SAW menikahi Aisyah saat ia berusia kurang dari 7 tahun. Ini menjadi perdebatan cukup serius di kalangan ulama, bagaimana status menikahi anak kecil atau di bawah umur dalam pandangan agama Islam. Sebagaimana al-Marwazi dalam Ikhtilaf al-Ulama, terutama Ahl al-‘Ilm, sepakat bahwa hukum seorang ayah menikahkan anaknya yang masih kecil adalah boleh, dan tanpa harus adanya khiyar atau pilihan ketika dewasa. Alasannya bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah ketika ia berumur enam tahun, dan hidup bersama pada umur 9 tahun. Hal inipun dibolehkan oleh para Sahabat, seperti Umar Ibn Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibn Umar, Zubayr, Ibn Qudamah, Ibn Maz’un, dan Ammarah, namun negara mengatur pembatasan usia menikah bagi perempuan dan memberikan dispensasi nikah anak perempuan disertai alasan mendesak dengan mengajukan ke lembaga peradilan guna mendapatkan persetujuan dengan mengabulkan perkara permohonan dispensasi kawin tersebut.