Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Syaksia : Jurnal Hukum Perdata Islam

Kedudukan Hak Waris Anak dari Pernikahan Incest dalam Perspektif Fiqih Maimunah Maimunah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 19 No 2 (2018): Juli - Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v19i2.3317

Abstract

Tujuan dari penulisan artikel ini memberikan pengetahuan tentang kedudukan hak waris anak dari pernikahan incest dalam perspektif fiqh. Pernikahan Incest merupakan pernikahan sedarah yang dilarang dalam agama Islam sehingga perlu dibatalkan pernikahan tersebut sebagaimana diatur dalam surat an-Nisa ayat 23. Di dalam Undang – Undang Perkawinan, larangan perkawinan incest diatur pada pasal 8, sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada pasal 39. Akibat dari pernikahan incest itu, tentu memiliki akibat hukum terhadap status kewarisan anak dari perspektif fiqih. Anak yang dilahirkan pernikahan incest tidak memiliki kesalahan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, sehingga perlu dilakukan perlindungan atas hak – haknya. Anak perlu mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam al-Qur’an dan perundang - undangan. Bila terjadi suatu sengketa dalam rumah tangga, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata demi kepentingan si anak meskipun anak tersebut anak yang lahir dari hasil hubungan incest. Hak waris anak incest tidak diatur dalam hukum Islam, karena hukum Islam hanya mengenal anak sah dan anak tidak sah (anak zina). Jika keduanya sama-sama tidak mengetahui hubungan sedarah mereka, maka hukum yang berlaku adalah seperti konsep hilangnya beban hukum atas tiga orang, orang yang khilaf (QS. Al Ahzab: 5), lupa dan orang yang dipaksa. Jika keduanya tidak mengetahui adanya cacat nikah dari aspek larangan pernikahan, maka hubungan suami-isteri yang lalu adalah sah dan tidak dianggap sebagai perbuatan zina. Dan anak hasil perkawinan mereka tetap bernasab kepada bapaknya dan juga berhak mewaris kepada bapak dan ibunya.
Dispensasi Nikah Anak Perempuan: Suatu Fenomena Masyarakat Modern dalam Konteks Agama dan Negara Maimunah Maimunah
Syakhsia Jurnal Hukum Perdata Islam Vol 21 No 2 (2020): Juli-Desember
Publisher : Islamic Civil Law Departement of Shari'a Faculty at Islamic State University of Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37035/syakhsia.v21i2.3843

Abstract

Pernikahan menjadi penunjang dan landasan bagi berkembangnya masyarakat yang berperadaban. Pernikahan di usia muda sangat berkaitan dengan hak daripada orang tua atau wali untuk menikahkan anaknya, tanpa disertai dari keinginan anak itu sendiri. Dispensasi nikah anak perempuan sangat dimungkinkan menurut agama dan negara. Sebenarnya, tidak dijumpai tentang batasan usia menikah untuk seseorang baik dalam al-Qur’an dan fiqih, Selain dalam al-Qur’an, tidak dijumpai adanya batasan usia menikah bagi seseorang perempuan dan/atau laki-laki dalam fiqih. Namun, bukan berarti negara muslim tidak membuat dan menerapkan ketentuan terhadap batasan usia nikah. Bila merujuk pada historis Rasulullah SAW menikahi Aisyah saat ia berusia kurang dari 7 tahun. Ini menjadi perdebatan cukup serius di kalangan ulama, bagaimana status menikahi anak kecil atau di bawah umur dalam pandangan agama Islam. Sebagaimana al-Marwazi dalam Ikhtilaf al-Ulama, terutama Ahl al-‘Ilm, sepakat bahwa hukum seorang ayah menikahkan anaknya yang masih kecil adalah boleh, dan tanpa harus adanya khiyar atau pilihan ketika dewasa. Alasannya bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah ketika ia berumur enam tahun, dan hidup bersama pada umur 9 tahun. Hal inipun dibolehkan oleh para Sahabat, seperti Umar Ibn Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibn Umar, Zubayr, Ibn Qudamah, Ibn Maz’un, dan Ammarah, namun negara mengatur pembatasan usia menikah bagi perempuan dan memberikan dispensasi nikah anak perempuan disertai alasan mendesak dengan mengajukan ke lembaga peradilan guna mendapatkan persetujuan dengan mengabulkan perkara permohonan dispensasi kawin tersebut.