Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Proteksionisme Trump dan Masa Depan Supremasi Politik AS Ahmad Sahide
Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol. 17 No. 1 (2021): Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional
Publisher : Parahyangan Center for International Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/jihi.v17i1.3570.1-16

Abstract

Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, sudah menunjukkan arah kebijakan inward-looking atau proteksionisme sejak awal kampanyenya menuju White House. Sebagai presiden dengan latar belakang pengusaha, Trump melihat bahwa pasar bebas dengan membiarkan semua berjalan sesuai dengan mekanisme pasar lebih banyak merugikan Amerika Serikat. Oleh karena itu, bagi Trump, rakyat Amerika membutuhkan kehadiran negara untuk melindungi (proteksi) produk yang dihasilkan dalam menghadapi produk-produk yang datangnya dari luar (produk impor). Pandangan ‘America First’ Trump inilah yang memunculkan gejolak politik global. Tidak lama setelah menjadi Presiden AS, Trump akhirnya menepati janjinya dengan mengeluarkan peraturan tarif bagi produk impor, terutama yang datang dari China dan Meksiko. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa kebijakan proteksionisme yang diambil oleh Trump tersebut memicu terjadinya perang dagang karena China, sebagai salah satu negara super power, tidak berdiam diri. China membalas kebijakan Trump dengan tarif yang tinggi untuk produk impor yang datang dari Amerika Serikat. Perang Dagang pun menjadi tidak terhindarkan dan hal ini memengaruhi gejolak ekonomi global. Dampak dari perang dagang yang dipicu oleh kebijakan inward-looking Trump ini adalah sekutu AS di Eropa, yang menganut ekonomi liberal pun mulai tidak sejalan dengan langkah politik Trump sehingga hal ini mengancam supremasi politik AS dalam kancah politik global. Di satu sisi, China kini sedang bangkit dan diprediksi bahwa negara Tirai Bambu tersebut akan menggantikan supremasi politik global Amerika Serikat. Keberanian China dalam melayani AS di bawah Trump dalam perang dagang mengindikasikan bahwa AS bukan lagi negara yang memegang kendali dunia sepenuhnya. Maka, supremasi politik global Amerika dalam ancaman. China adalah salah satu negara yang menjadi ancaman nyata dan di depan mata.
Kepentingan Negara-Negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan Maroko) Melakukan Normalisasi Hubungan dengan Israel Yulia Rimapradesi; Ahmad Sahide
Mandala: Jurnal Ilmu Hubungan Internasional Vol 4, No 1 (2021): Vol 4, No 1 (2021): Mandala: Jurnal Ilmu Hubungan Internasional
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UPN"Veteran"Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33822/mjihi.v4i1.2673

Abstract

            Arab states and Israel has for decades had dividing wall for diplomatic relations. The existence of ideological differences between Islam and Judaism as well as a long history of colonialism and conflict makes it difficult to unravel the conflict between of them. However, this seems to change, towards the end of 2020 with the encouragement of Donald Trump as president of the United States. Arab countries seem to forgot the events of the past and break up the wall that previously served as a barrier between them and Israel. The United Arab Emirates, Bahrain, Sudan and Morocco has reasons what they thinks are rationality that their initial stance in favor of Palestinian independence seems to be waning. This paper discuss about the interests of the Arab states in the the normalization of their relationship with Israel. The research method in this paper is qualitative method with inductive analysis with the latest data from various document sources as material for analysis. This paper concludes the interests of the United Arab Emirates, Bahrain, Sudan and Morocco are dominated by security and the economy for their countries.
The Arab Spring and Democratization; Why is Syria Different? Ahmad Sahide
Sospol : Jurnal Sosial Politik Vol. 3 No. 2 (2017): Juli-Desember
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/sospol.v3i2.5064

Abstract

AbstractThe Arab Spring is the momentum of the rise of the political power in the Middle East. It brought hope to have political power, namely democracy. So the people power demanded democracy for their life. Syria is one of the states impacted by the Arab Spring where the regime is shaken by this political turbulence.In this paper, it’s said that the democratization in Syria failed before the successfulness of the people in overthrowing Assad’s regime. Syria is different from Tunisia which succeeded in consolidating democracy. Syria is also different from Egypt which succeeded in consolidating democracy and passing background condition, even though failed in the prefatory fase (second step of the democratization). Here, it’s found that one of the factors why the democratization in Syria failed is the foreign intervention. Two biggest states are contesting in having influence and control in Syria, those are United States of America and Russia.Keywords: Arab Spring, Democracy, failure, foreign intervention, Syria, AbstrakArab Spring merupakan momentum kebangkitan kekuatan politik di Timur Tengah. Momentum tersebut membawa harapan berupa munculnya demokrasi. Dengan demikian, selama berlangsungnya Arab Spring, rakyat terus berupaya mendesak pemerintah agar demokrasi diterapkan. Suriah merupakan salah satu negara yang terkena  dampak  Arab Spring. Tulisan ini menyebutkan bahwa proses demokratisasi di Suriah telah gagal sebelum jatuhnya rezim Assad. Suriah berbeda dengan Tunisia yang berhasil dalam konsolidasi demokrasi. Suriah juga berbeda dengan Mesir yang berhasil dalam konsolidasi demokrasi dan melewati kondisi latar belakang, meskipun gagal dalam fase Pendahuluan (langkah kedua dari demokratisasi). Dari sini, telah ditemukan bahwa salah satu faktor kegagalan demokratisasi di Suriah ialah adanya intervensi asing. Terdapat dua terbesar negara besar yang bertarung dalam mendapatkan pengaruh dan kontrol di Suriah, yaitu Amerika Serikat dan Rusia.Kata Kunci:Arab Spring, Demokrasi, Intervensi Asing, Kegagalan, Suriah.
Indonesian Democracy as A Model for Egypt after The Arab Spring Ahmad Sahide; Rezki Satris
Sospol : Jurnal Sosial Politik Vol. 7 No. 2 (2021): Juli-Desember
Publisher : Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Muhammadiyah Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22219/sospol.v7i2.16222

Abstract

The Arab Spring in 2011 opened the way for democratization in some Arab countries, including Egypt. Egypt succeeded in overthrowing Hosni Mubarak as the president, but Egypt failed in consolidating democracy after holding a general election in 2012. The main factors of the failure in consolidating democracy in Egypt come from internal and external factors. The internal factor was that Egypt had not been ready for democracy , whereas the external factor was  foreign intervention due to national interest. This article analyzes the failure of democratization in Egypt by using Jack Snyder and Georg Sorensen’s theory. In the last part of this article, the writer suggested that Egypt should have learned how to consolidate democracy from Indonesia. Indonesia is the best model of democracy for Egypt due to some reasons. The first one is Indonesia and Egypt near a culturally (religious approach), and the second one is Indonesia's success, as the majority Muslim state, in consolidating democracy since 1998.
The Concept of Peace in Islam and Its Relevance to International Relations Rizki Dian nursita; Ahmad Sahide
Al-Albab Vol 8, No 2 (2019)
Publisher : Graduate Program of Pontianak Institute of Islamic Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/alalbab.v8i2.1218

Abstract

Islam is often described as a religion that emphasizes the use of violence in its da'wah method. The stereotype is formed by a number of literature and media that depicted Islam as a religion of violence. This paper aims to analyze the causes of stereotype against Islam, and provides an overview of the concept of peace in Islamic perspective, and seek the relevance of the concept of peace in Islam to the study of conflict and peace in international relations. Through some literature research, the author finds that the stereotype is caused by the gap in the discourse on war and peace in Islam, thus the discourse related to the peace in Islam needs to be buzzed. Unlike the two mainstreams in International Relation Studies (Realism and Idealism), al-Quran, as the primary source of Islamic teaching, describes that a human is basically both keen to cooperate and prone to conflict, and favoring to managing the conflict through peaceful settlement. Three terms-as-silmu, as-shulhu, and al-amanu are used to conceptualize the three levels of peace in the Quranic perspective.
The Comparison of The United States Foreign Policy Against The Islamic World Under President Barack Obama and President Donald Trump Administration Diana Mutiara Bahari; Ahmad Sahide
Journal of Islamic World and Politics Vol 6, No 2 (2022): December
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (235.595 KB) | DOI: 10.18196/jiwp.v6i2.13060

Abstract

The United States of America (USA) is an international concern, especially regarding the national election agenda. The presidential election of the world's leading superpower will impact the world's geopolitical order, such as the emergence of global political turmoil that has resulted in tensions in relations between the US and countries in the world, especially countries in the Islamic World. The 2016 US presidential election has captured international attention because it was won by a controversial figure, Donald Trump. The victory of Donald Trump to replace President Barack Obama marked a change in the style of US foreign policy towards the Islamic World. Therefore, the question arises of how the US foreign policy compares to the Islamic World in the era of President Obama and President Trump. This study uses a Foreign Policy Decision Making Theory. This study concludes that US foreign policy during the Obama administration was friendly to the Islamic World. On the other hand, US foreign policy during the Trump administration was not friendly to the Islamic World, which caused tension in relations between the US and the Islamic World.Keywords: US, Barack Obama, Donald Trump, Islamic World, Foreign Policy
MENEGUHKAN PAHAM MODERASI DI KALANGAN PEMUDA KLIDON MANTREN Hasse Jubba; Ahmad Sahide; Tohirin Tohirin; Akbar Nur Aziz
Prosiding Seminar Nasional Program Pengabdian Masyarakat 2022: 1. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Publik
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/ppm.51.999

Abstract

Meneguhkan paham moderat di semua kalangan penting menjadi gerakan bersama untuk menciptakan tatanan masyarakat dengan tingkat pemahaman agama yang lebih seimbang. Kalangan pemuda sebagai aset dan penerus bangsa perlu dibekali paham-paham yang berorientasi pada keterbukaan. Kegiatan pengabdian yang mengambil tema meneguhkan moderasi beragama adalah satu dari banyak cara untuk menghadirkan pemuda yang tidak hanya memiliki wawasan keagamaan yang komprehensif saja, tetapi juga toleran dan moderat seperti yang telah dilakukan di kalangan pemuda Kampung Klidon Mantren. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa pemahaman pemuda mengenai moderasi beragama sangat baik. Hal ini merupakan modal penting untuk pembentukan karakter pemuda yang lebih intensif di masa-masa mendatang. Oleh karena itu, keberlanjutan program perlu dilakukan untuk memperluas jangkauan peneguhan paham moderasi beragama ini. Kegiatan ini hanya menyasar kalangan pemuda sehingga dampaknya masih terbatas. Selanjutnya perlu dilakukan upaya masif dengan melibatkan elemen masyarakat yang lebih luas.
Inisiasi Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Majelis Taklim di Ranting Muhammadiyah Bangunjiwo Barat di Era New Normal Ali Maksum; Ahmad Sahide; Muhammad Afif
Prosiding Seminar Nasional Program Pengabdian Masyarakat 2022: 1. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Publik
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/ppm.51.1010

Abstract

Pengabdian ini memiliki tujuan untuk melakukan inisiasi pemberdayaan ekonomi berbasis majelis taklim khususnya di Ranting Muhammadiyah Bangunjiwo Barat, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Di tengah situasi menuju era “new normal” dan ekonomi masyarakat yang masih lesu, pemberdayaan ekonomi sangat penting dilakukan. Muhammadiyah yang sejak awal sangat concern dengan pemberdayaan masyarakat, harus menjadi motor penggerak ekonomi menuju era pascapandemi. Majelis taklim adalah salah satu potensi yang perlu dikembangkan agar mampu menghasilkan kesejahteraan minimal bagi para anggotanya, dan masyarakat sekitar pada umumnya. Dalam hal ini peran Pimpinan Ranting Muhammadiyah Bangunjiwo Barat sangat strategis dalam menginisiasi pengembangan majelis taklim yang sudah digagas namun belum dilaksanakan. Metode pelaksanaan pengabdian ini menggunakan focus group discussion (FGD) dan internalisasi dalam bentuk ceramah bagi pengurus Pimpinan Ranting Muhammadiyah Bangunjiwo Barat. Dalam pengabdian ini, majelis taklim berhasil dilaksanakan dengan antusiasme yang sangat tinggi. Tentunya masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Namun, terlaksananya majelis taklim ini menjadi batu loncatan agenda majelis taklim yang akhirnya menjadi agenda rutin dan mulai menampakkan hasilnya bagi syi’ar Islam dan roda ekonomi di wilayah berkenaan.
Promoting a Better Image through Culture: The Case of Turkey’s Cultural Diplomacy towards Indonesia Rifkha Aulia Fazrianti Zaelani; Ahmad Sahide
Journal of Islamic World and Politics Vol 5, No 2 (2021): December
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (604.395 KB) | DOI: 10.18196/jiwp.v5i2.10890

Abstract

This study attempts to reveal cultural diplomacy, which Turkey implements towards Indonesia. The ‘golden period’ of Turkey is from 2007 until 2013. After that, the public diplomacy of Turkey was not effective as before, and it was fallen dramatically. The country’s instability caused by the political turmoil within the country also influences the growth of international isolation. With these based on the problem that influences its image, Turkey needs to prove a different and better image to promote itself abroad.  Public perceptions can be shaped and controlled by doing cultural diplomacy that acts as soft power. Having one thing in common as a country with a Muslim population as the majority, Turkey has a special place in the hearts of the Indonesian people. Based on the theory of cultural diplomacy by Milton C. Cummings, the authors drew two arguments. First, Turkey’s Cultural diplomacy towards Indonesia is done not only by state actors (officially by the government) but also by non-state actors such as individuals and companies. Second, cultural diplomacy carried out by Turkey towards Indonesia is through all aspects of the needs of the Indonesian people, such as films, fashion, news, music, food, and education.
Kebangkitan Tiongkok Dalam Membendung Hegemoni Amerika Serikat: Studi Kasus Sengketa Laut China Selatan Emil Hikmawan; Fahriza Muhammad; Ahmad Sahide
Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hummaniora Vol 7, No 2 (2023): Agustus 2023
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jim.v7i2.2023.549-559

Abstract

Sengketa Laut China Selatan merupakan salah satu konflik yang memperebutkan wilayah perairan di Asia Tenggara. Dalam perkembangannya pihak yang terlibat di dalamnya tidak hanya berasal dari negara anggota Asia Tenggara akan tetapi juga melibatkan Amerika Serikat dan Tiongkok. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kontestasi antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam sengketa Laut China Selatan. Melalui penelusuran dari berita, dokumen dan pernyataan pejabat yang diperoleh dari media online dan teori realisme dari Hans Morgenthau mengenai pola hubungan antara kekuatan, pengaruh dan kewenangan. Di samping itu, wilayah Laut China Selatan memiliki potensi secara ekonomi dan politik. Maka artikel menemukan bahwa kebangkitan Tiongkok dalam hal ekonomi, politik dan militer sebagai bentuk dalam meningkatkan kekuatan negara. Selain itu, Tiongkok memiliki sikap yang agresif dalam sengketa Laut China Seletan bertujuan untuk menggeser pengaruh Amerika Serikat sebagai negara hegemoni khususnya di kawasan Asia-Pasifik. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya mega proyek Belt Road Initiative (BRI) sebagai jalur perdagangan yang menghubungkan Asia, Eropa dan Afrika. Di samping itu, Amerika Serika memandang kebangkitan Tiongkok saat ini menjadi ancaman yaitu meruntuhkan supremasi Amerika Serikat. Sehingga Amerika Serikat harus juga meningkatkan kekuatan militernya dengan alasan kebebasan bernavigasi dan berpartisipasi dalam menjaga keamanan serta perdamaian dunia.