p-Index From 2019 - 2024
0.702
P-Index
This Author published in this journals
All Journal Ilmu Hukum Prima
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

BATASAN DAN UKURAN ISTITHA’AHH DALAM BERHAJI MENURUT HUKUM FIQH KONTEMPORER Said Rizal; Yusriando Yusriando
Ilmu Hukum Prima (IHP) Vol. 3 No. 1 (2020): JURNAL ILMU HUKUM PRIMA
Publisher : jurnal.unprimdn.ac.id

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34012/jihap.v3i1.926

Abstract

BATASAN DAN UKURAN ISTITHA’AHH DALAM BERHAJI MENURUT HUKUM FIQH KONTEMPORER Oleh Said Rizal Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Prima Indonesia Jalan Skip, Simpang Sikmabing, Medan, Sumatera Utara Email : saidrizal@unprimdn.ac.id Abstrak Hajj is a worship that is meant for every Muslim, both men and women with certain conditions. One of these conditions is istitha’ah (able). Istitha'h is the ability to carry out the hajjis in terms of physical health and supplies sufficient to depart and return, as well as supportive security during the pilgrimage and implementation. This discussion aims to determine the boundaries of istitha’ah in the Hajj according to contemporary fiqh. To obtain data in this discussion, a literature study was carried out, namely by studying the Al-Quran, Al-Hadith and fiqh books relating to the chapter of the pilgrimage and other books that are related to the problems in this study. From the results of the discussion it can be seen that, someone who has a healthy body, able to hajj. Keywords: Hajj, Law, Fiqh, Istitha'h, boundary Intisari Ibadah haji merupakan ibadah yang difardhukan bagi setiap orang Islam, baik laki-laki maupun perempuan dengan syarat-syarat tertentu. Salah satu dari syarat-syarat tersebut adalah istitha’ah (mampu). Istitha’h adalah kemampuan untuk melaksanakan haji yang dilihat dari segi kesehatan fisik dan perbekalan yang cukup untuk berangkat dan kembalinya, serta keamanan yang mendukung selama perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui batasan istitha’ah dalam berhaji menurut fiqh kontemporer. Untuk memperoleh data dalam pembahasan ini, maka dilakukan kajian kepustakaan, yaitu dengan mempelajari Al-Quran, Al-Hadis dan kitab-kitab fiqh yang berkaitan dengan bab haji serta buku-buku lain yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini. Dari hasil pembahasan dapat diketahui bahwa, seseorang yang mempunyai sehat badan, sanggup berhaji.
KRITERIA ISTITHA’AH DALAM BERHAJI MENURUT HUKUM FIQH KONTEMPORER Said Rizal; Yusriando Yusriando
Ilmu Hukum Prima (IHP) Vol. 3 No. 1 (2020): JURNAL ILMU HUKUM PRIMA
Publisher : jurnal.unprimdn.ac.id

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34012/jihap.v3i1.927

Abstract

KRITERIA ISTITHA’AH DALAM BERHAJI MENURUT HUKUM FIQH KONTEMPORER Oleh Said Rizal Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Prima Indonesia Jalan Skip, Simpang Sikmabing, Medan, Sumatera Utara Email : saidrizal@unprimdn.ac.id Abstrak Hajj is a Worship by going to Baitullah in Mecca and Medina to carry out ritual worship according to the procedures governed by Islamic law. The command to perform the pilgrimage has been stated in the Qur'an and the Hadith. The order is addressed to Muslims who have met the criteria of istitha'ah (able), both in terms of physical-spiritual and cost. In this sophisticated era, the desire of the people in carrying out the pilgrimage is very high. Istitha'h is the ability to perform Hajj in terms of physical health and supplies sufficient to depart and return, as well as supportive security during the Hajj journey and implementation. This discussion aims to determine the boundaries of istitha'a in the Hajj according to contemporary fiqh. To obtain data in this discussion, a literature study was carried out, namely by studying the Al-Quran, Al-Hadith and fiqh books relating to the chapter of the pilgrimage and other books that are related to the problems in this study. From the results of the discussion it can be seen that, someone who has a healthy body, able to hajj. Intisari Haji adalah Ibadah dengan pergi ke Baitullah di Mekkah dan Madinah untuk melaksanakan ritual peribadatan sesuai dengan tata cara yang diatur oleh syariat Islam. Perintah melaksanakan ibadah haji telah tertuang di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Perintah tersebut ditujukan kepada orang-orang Islam yang telah memenuhi kriteria istitha’ah (mampu), baik dari segi jasmani-rohani maupun biaya. Era yang serba canggih ini, keinginan masyarakat dalam melaksanakan ibadah haji sangatlah tinggi. Istitha’h adalah kemampuan untuk melaksanakan haji yang dilihat dari segi kesehatan fisik dan perbekalan yang cukup untuk berangkat dan kembalinya, serta keamanan yang mendukung selama perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui batasan istitha’a dalam berhaji menurut fiqh kontemporer. Untuk memperoleh data dalam pembahasan ini, maka dilakukan kajian kepustakaan, yaitu dengan mempelajari Al-Quran, Al-Hadis dan kitab-kitab fiqh yang berkaitan dengan bab haji serta buku-buku lain yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini. Dari hasil pembahasan dapat diketahui bahwa, seseorang yang mempunyai sehat badan, sanggup berhaji
PENAHANAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI TINGKAT PENGADILAN TINGGI DI PENGADILAN TINGGI BANDA ACEH Said Rizal; Yusriando Yusriando; Mahyaya Mahyaya
Ilmu Hukum Prima (IHP) Vol. 3 No. 1 (2020): JURNAL ILMU HUKUM PRIMA
Publisher : jurnal.unprimdn.ac.id

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34012/jihp.v3i1.928

Abstract

PENAHANAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DI TINGKAT PENGADILAN TINGGI DI PENGADILAN TINGGI BANDA ACEH Said Rizal1, Mahyaya2 Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Prima Indonesia1, Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Aceh2 Jalan Skip, Simpang Sikmabing, Medan, Sumatera Utara Email : saidrizal@unprimdn.ac.id ABSTRAK Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 21 KUHAP, penegak hukum seperti Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan, dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini. Terhadap anak, berdasarkan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Dalam prakteknya masih banyak kasus-kasus anak yang melakukan tindak pidana yang ditahan oleh Hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan tentang pertimbangan Hakim untuk melakukan penahanan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum di tingkat Pengadilan Tinggi Banda Aceh, dan dampak penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana yang bermasalah dengan hukum. Data dalam penulisan skripsi ini diperoleh melalui penelaahan kepustakaan dengan cara mempelajari buku-buku teks, peraturan perundang-undangan, jurnal dan hasil-hasil penelitian, penelitian lapangan dengan cara mewawancarai responden dan imforman yang terkait dalam penanganan masalah anak terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Hasil penelitian di Pengadilan Tinggi Banda Aceh menunjukkan, maka pertimbangan Hakim melakukan penahanan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, yaitu menimbulkan adanya kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana, dan kepentingan anak atau kepentingan masyarakat. Namun dampak penahanan, staf lembaga bantuan hukum dan Akademisi anak mengatakan, penahanan kepada anak pelanggar hukum berdampak buruk, anak akan mendapat ancaman kekerasan di tahanan baik oleh petugas atau tahanan lain. Si anak akan rentan terhadap pelecehan seksual oleh tahanan lain. ABSTRACT Based on the provisions of Article 1 number 21 of the Criminal Procedure Code, law enforcers such as Investigators, Public Prosecutors, or Judges at the District Court or High Court level have the authority to make detention, in terms of and according to the method regulated in this law. Against children, based on Article 16 paragraph (3) of Law Number 23 of 2002 concerning Protection of Children, arrest, detention, or a criminal offense for juvenile prisons is only carried out in accordance with applicable law and can only be done as a last resort. In practice there are still many cases of children who commit crimes held by the Banda Aceh High Court Judge. The purpose of writing this thesis is to explain the Judge's consideration to detain a child who is in trouble with the law at the Banda Aceh High Court level, and the impact of detention on a child who has a criminal offense who has problems with the law. The data in writing this thesis was obtained through a literature review by studying text books, legislation, journals and research results, field research by interviewing respondents and informants related to handling children's problems with children in conflict with the law. The results of the research in the Banda Aceh High Court showed that the Judges considered detaining children who had problems with the law, which caused the fear of a suspect or defendant fleeing, damaging or eliminating evidence or repeating a crime, and the interests of children or the interests of the community. However, the impact of detention, staff of legal aid agencies and child academics said that detention of lawbreakers had a bad impact, children would be threatened with violence in detention by officers or other detainees. The child will be vulnerable to sexual harassment by other prisoners.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN JUMLAH TAGIHAN UANG KEPADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) Sonya Airini Batubara; Mazmur Septian Rumapea; Yusriando Yusriando
Ilmu Hukum Prima (IHP) Vol. 3 No. 1 (2020): JURNAL ILMU HUKUM PRIMA
Publisher : jurnal.unprimdn.ac.id

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.34012/jihp.v3i1.935

Abstract

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN JUMLAH TAGIHAN UANG KEPADA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL (BPJS) sonyaairinibatubara@unprimdn.ac.id mazmursrumapea@unprimdn.ac.id Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Prima Indonesia Jl. Sekip Simpang Sikambing, Medan, Sumatera Utara, 20112 Abstract Hospital is an institution that provides comprehensive health services that are preventive, promotive, curative and rehabilitative for the general public as stipulated in Article 1 paragraph (3) of Law Number 44 Year 2009 concerning Hospitals, which says "Comprehensive health services including promotive health services , preventive, curative, and rehabilitative services In addition, hospitals are institutions that are capital, technology and human resource intensive, so that they have the potential to cause problems both internal and external.The hospital was previously considered a social institution that provides medical assistance to the public, but At present the position of the hospital has undergone a change, which has shaped a social institution into an institution in the form of a corporation established under the law that has rights and obligations as a legal entity that leads to a dominant profit - the search for health services. in the present, in the case of k In hospitals, patients file a doctor's case, especially criminal law, and never ask the hospital for responsibility for corporate crime that its establishment has a legal entity (rechts persoon). That the authors are interested in reviewing whether a hospital as a corporation can be held liable for criminal liability. This study aims (1) To find out the sanctions imposed on hospitals for criminal acts of counterfeiting the amount of money bills to the Social Security Organizing Agency (BPJS) (2) To determine the responsibility of hospitals for criminal acts of counterfeiting the amount of money bills to the Social Security Administering Board (BPJS). The method used in this research is analytical descriptive using a normative juridical approach supported by an empirical juridical approach. The data used are (1) primary data in the form of interviews with Sari Mutiara Hospital, (2) secondary data through a literature study on various laws and regulations / books / journals to obtain expert opinions. The results of this study are expected to be published through (1) scientific articles in the Accredited National Journal and (2) teaching materials in Criminal Law courses at the Faculty of Law, University of Prima Indonesia. The results of this study indicate that hospitals are criminally responsible because hospitals as corporations are legal entities (rechts persoon) that have rights and obligations. Through this publication it is hoped that sanctions and accountability by hospitals for falsification of the amount of bills given to BPJS are clearer so that they do not incur losses in large costs that must be borne by the state. Keywords: Criminal Liability, Hospital, Counterfeiting Intisari Rumah sakit adalah lembaga yang menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif di preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif untuk masyarakat pada umumnya diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, yang mengatakan "Kesehatan menyeluruh layanan layanan kesehatan yang termasuk promotif, preventif, kuratif , dan layanan rehabilitatif. Selain itu, rumah sakit adalah institusi yang padat modal, teknologi dan sumber daya manusia, sehingga berpotensi menimbulkan masalah baik internal dan eksternal. Rumah sakit sebelumnya dianggap sebagai lembaga sosial yang memberikan bantuan medis kepada publik, tetapi saat ini posisi rumah sakit telah mengalami perubahan, yang sudah berbentuk sebuah sosial lembaga menjadi sebuah institusi di bentuk dari sebuah korporasi yang didirikan di bawah hukum yang memiliki hak dan kewajiban sebagai badan hukum yang mengarah ke sebuah dominan keuntungan - pencarian kesehatan jasa . Masalah yang muncul di masa sekarang, dalam kasus kesalahan rumah sakit, pasien mengajukan perkara dokter, khususnya hukum pidana, dan tidak pernah menanyakan tanggungjawab rumah sakit terhadap kejahatan korporasi bahwa pendiriannya memiliki badan hukum (rechts persoon). Bahwa penulis tertarik untuk meninjau apakah rumah sakit sebagai sebuah korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Penelitian ini bertujuan (1) Untuk mengetahui sanksi yang diberikan kepada rumah sakit terhadap tindak pidana pemalsuan jumlah tagihan uang kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) (2) Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap tindak pidana pemalsuan jumlah tagihan uang kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif yang didukung oleh pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah (1) data primer berupa hasil wawancara terhadap Rumah Sakit Sari Mutiara, (2) data sekunder melalui studi pustaka terhadap berbagai peraturan perundangan serta buku/jurnal untuk memperoleh pendapat para ahli. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipublikasikan melalui (1) artikel ilmiah pada Jurnal Nasional Terakreditasi dan (2) bahan ajar pada mata kuliah Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia. Dari hasil penelitian ini menunjukkan rumah sakit bertanggung jawab secara pidana karena rumah sakit sebagai korporasi merupakan badan hukum (rechts persoon) yang memiliki hak dan kewajiban. Melalui publikasi tersebut diharapkan agar sanksi dan pertanggunggjawaban oleh rumah sakit atas perbuatan pemalsuan jumlah tagihan yang diberikan kepada BPJS lebih jelas sehingga tidak menimbulkan kerugian beban biaya besar yang harus ditanggung oleh negara.