Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Paramita: Historical Studies Journal

The Tomb of Teungku Di Anjong: From History, Art Artifacts and Revitalization Motive for the Development of Aceh Creative Batik Design Herwandi, Herwandi; Ibrahim, Husaini; Yusdi, Muhammad
Paramita: Historical Studies Journal Vol 29, No 2 (2019): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v29i2.18888

Abstract

Teungku Di Anjong is a great ‘pries’ who lived during his reign of Sultan Alaudin Mahmud Shah in the kingdom of Aceh Darussalam (1760 - 1781 AD). He is buried in Gampong Peulanggahan, Kutaraja Sub-district, Banda Aceh City. His tomb is in an old mosque complex, which the people named by the Teungku Di Anjong Mosque. The tomb of Teungku Di Anjong along with his wife's grave named Syarifah, which is in a construct (cungkub), has a jirat and two beautifully decorated tombstones. The decorations are generally in harmony with Islamic art, filled with Arabic flower and calligraphic ornaments. Teungku Di Anjong Tomb is an art artifact, an art product of the creative industry in the 18th century ago in Aceh, which is a continuation of the tradition of decorating the tomb from earlier times. This article will discuss the history of Teungku Di Anjong, in dynamics and its role in the development of history in the kingdom of Aceh Darussalam. Then, it will see the artifacts of the tomb of Tengku Di Anjong, which is associated with the revitalization of the ornament on the tomb, which can produce a new patented "motif" design that is registered to IPR (Intellectual Property Rights). The design of the new motif can be part of the enhancement of creativity for the development of batik motifs in Aceh Darussalam. Batik produced can have the character of Aceh and Islamic character. Teungku Di Anjong adalah tokoh besar yang hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Mahmud Shah di kerajaan Aceh Darussalam (1760 - 1781 M). Ia dimakamkan di Gampong Peulanggahan, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh. Makamnya berada di kompleks masjid tua, yang oleh orang-orang dinamai Masjid Teungku Di Anjong. Makam Teungku Di Anjong bersama dengan kuburan istrinya bernama Syarifah, memiliki jirat dan dua batu nisan yang didekorasi dengan indah. Dekorasi umumnya selaras dengan seni Islam, diisi dengan bunga Arab dan ornamen kaligrafi. Makam Teungku Di Anjong adalah artefak seni, produk seni dari industri kreatif pada abad ke-18 yang lalu di Aceh. Seni tersebut merupakan kelanjutan dari tradisi mendekorasi makam dari zaman sebelumnya. Artikel ini membahas sejarah Teungku Di Anjong, dalam dinamika dan perannya dalam pengembangan sejarah di kerajaan Aceh Darussalam. Kemudian, melihat artefak dari makam Tengku Di Anjong, yang terkait dengan revitalisasi ornamen di makam, yang dapat menghasilkan desain "motif" baru yang dipatenkan yang terdaftar pada HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Desain motif baru dapat menjadi bagian dari peningkatan kreativitas untuk pengembangan motif batik di Aceh Darussalam. Batik yang dihasilkan dapat memiliki karakter Aceh dan karakter Islam. 
Batik Incung Industry in Kerinci 1995-2017 Pitri, Nandia; Herwandi, Herwandi; Lindayanti, Lindayanti
Paramita: Historical Studies Journal Vol 31, No 1 (2021): Maritime and Socio-Economic History of Indonesia
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v31i1.18887

Abstract

Abstract: Kerinci has batik called incung developed from the beauty of incung letters (ancient Kerinci's letters). This letter was used to be used by Kerinci's ancestors to write literary works, incantation, and customary law. The medium used to write the incung letters was wood bark, bamboo, coconut leaf, and the buffalo horn. However, this research tries to discuss the development of the batik industry in Kerinci: History Perspective. The method applied in this research is one of historical research to collect, select, and test the sources of history critically so that it results in the fact of history in line with what happened in the field. The results showed that the industry's oh Incung batik started in 1995 due to the Administration of Kerinci Regency's policy as to hold a training. Meanwhile, an independent training was held by  Jaya and Iryani in Jambi, speaking of which working for three years at Batik Mas in the City of Jambi. After 3 years, they went home to develop batik with particular Kerinci. The early stage of incung batik development was not eye-catching for the local people. They still focus on agricultural matters, though, following the issuance of a leaflet of the Mayor of Sungaipenuh ordering to develop the specific motif of Kerinci, triggering the public enthusiasm in developing batik. The incung batik marketing does not only cover the area of Kerinci Regency and City of Sungaipenuh, but also it has already reached the City of Jambi, West Sumatra, Jakarta, Bandung, and Solo. Abstrak: Kerinci memiliki batik yang disebut incung yang dikembangkan dari keindahan huruf incung (huruf Kerinci kuno). Huruf ini dulunya digunakan nenek moyang Kerinci untuk menulis karya sastra, mantera, dan hukum adat. Media yang digunakan untuk menulis huruf incung adalah kulit kayu, bambu, daun kelapa, dan tanduk kerbau. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba membahas perkembangan industri batik di Kerinci dalam Perspektif Sejarah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu metode penelitian sejarah untuk mengumpulkan, menyeleksi, dan menguji secara kritis sumber-sumber sejarah, sehingga menghasilkan fakta sejarah yang sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri batik oh incung dimulai pada tahun 1995 karena adanya kebijakan Pemerintah Kabupaten Kerinci untuk mengadakan pelatihan. Sedangkan pelatihan mandiri diadakan oleh Jaya dan Iryani di Jambi yang  bekerja selama tiga tahun di Batik Mas di Kota Jambi. Setelah 3 tahun, mereka pulang untuk mengembangkan batik khas Kerinci. Perkembangan awal pembatikan incung ternyata tidak begitu menarik perhatian warga sekitar. Meski begitu, mereka tetap fokus pada pertanian, menyusul keluarnya edaran dari Walikota Sungaipenuh yang memerintahkan untuk mengembangkan motif khas Kerinci sehingga memicu antusias masyarakat untuk mengembangkan batik. Pemasaran batik incung tidak hanya mencakup wilayah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, tetapi juga sudah menjangkau Kota Jambi, Sumatera Barat, Jakarta, Bandung, dan Solo.ÂÂ