Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN UMUR PANEN TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI, DAN KUALITAS HASIL TEMULAWAK DI ANTARA TANAMAN KELAPA Yulius Ferry; Bambang E. T; Enny Randriani
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 20, No 2 (2009): BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bullittro.v20n2.2009.%p

Abstract

Penelitian ini dilakukan di kebun Percobaan Pakuwon pada tahun 2005-2006  dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh intensitas cahaya dan umur panen terhadap pertumbuhan dan hasil temulawak. Rancangan percobaan yang digunakan adalah petak terpisah dengan 3 ulangan dan ukuran petak 64 m2. Sebagai Petak Utama adalah tingkat intensitas cahaya matahari, terdiri atas 4 taraf yaitu; 1). Intensitas cahaya 55%, 2) Intensitas cahaya 70%, 3) Intensitas cahaya 85%, dan 4) Intensitas cahaya 100%. Sedangkan anak petak (sub plot) adalah umur panen yang terdiri atas 6 taraf yaitu: 1) umur panen 5 bulan, 2) umur panen 7 bulan, 3) umur panen 9 bulan, 4) umur panen 11 bulan, 5) umur panen 13 bulan, dan 6) umur panen 15 bulan. Temulawak di tanam diantara tanaman kelapa pada jarak 1,5 m dari tanaman kelapa. Parameter pengamatan meliputi jumlah daun, panjang daun, jumlah tunas, bobot rimpang basah, bobot rimpang kering, kadar minyak atsiri, kadar pati, dan kadar serat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman temulawak yang ditanam di bawah tegakan kelapa mempunyai pertum-buhan vegetatif, generatif, dan mutu hasil yang sama pada semua intensitas cahaya kecuali pada bobot basah rimpang. Bobot basah, bobot kering, dan kadar minyak rimpang temulawak berbeda nyata bila panen dilakukan pada umur yang berbeda. Kadar pati tertinggi terdapat pada umur panen 11 (BST) dengan intensitas cahaya 100%. Kadar serat tertinggi pada umur panen 5 BST dengan intensitas cahaya 100%. Sedangkan kadar minyak atsiri tertinggi pada umur panen 15 BST dengan intensitas cahaya 70%. 
Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa ZAINAL MAHMUD; YULIUS FERRY
Perspektif Vol 4, No 2 (2005): Desember 2005
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v4n2.2005.%p

Abstract

ABSTRAKDaging buah adalah komponen utama dari buah kelapa; sedangkan sabut, tempurung, dan air buah merupakan  hasil samping (by-product). Dengan produksi buah kelapa di Indonesia rata-rata 15,5 milyar butir/tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3,75 juta ton air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut sebagai hasil samping. Kelayakan usaha pengolahan hasil samping  buah kelapa sangat menjanjikan bila direncanakan dan dikelola dengan baik. Berdasarkan analisis finansial tahun 2004, B/C dan IRR pengolahan sabut menjadi serat dan debu sabut selama 10 tahun adalah 3,58 dan 76%; tempurung menjadi arang selama 5 tahun 1,11 dan 23%; dan air kelapa menjadi nata de coco selama 5 tahun 1,32 dan 32%. Pengembangan industri pengolahan hasil samping harus ditunjang oleh kelayakan teknis terutama ketersediaan pasokan bahan baku dan pemasaran, serta alat pengolahan yang sesuai untuk pengolahan sabut. Untuk mendapatkan bahan baku yang cukup bagi pengolahan sabut diperlukan areal kelapa seluas 300 ha. Pengolahan sabut ini harus dipadukan dengan pengolahan debu sabut menjadi kompos sehingga diperoleh pendapatan tambahan. Untuk memproduksi 1 ton serat sabut diperoleh sekitar 5 ton debu sabut. Lokasi pengolahan hasil samping sebaiknya di sekitar sumber bahan baku dan untuk menjamin kontinuitas pengadaan dan pemasaran produk disarankan usaha-usaha tersebut dalam bentuk usaha bersama.Kata kunci: Kelapa, Cocos nucifera L., pengolahan, hasil samping ABSTRACTProspect of Coconut By-Product ProcessingCoconut meat is the main component of coconut, while the coconut husk, shell, and water are considered as by-product. With the coconut production in Indonesia at average of 15.5 billion coconuts per year, the total by-product is accumulated to 3.75 million tons coconut water, 0.75 million tons shell charcoal, 1.8 million tons coconut fiber, and 3.3 million tons coir dust. Business in coconut by-product processing is condidered to be prospective as long as it is planned and managed properly. Based on the financial analysis in 2004, the B/C and IRR of coconut husk processing into coconut fiber and coir dust for 10 years were 3.58 and 76%, coconut shell into shell charcoal for 5 years was 1.11  and 23%; and coconut water into nata de coco for 5 years was 1.32 and 32%. The industry of coconut by-product processing should be supported by technical feasibilty, mainly the raw material availability, market, and appropriate coconut husk machinery. To provide sufficient raw material for coconut husk processing, it needs about 300 ha of coconut plantation. Furthermore, to abtain additional farmer’s income the coconut husk processing should be integrated with coir dust processing into compost, so that it can earn additional income. To produce one ton  of coconut fiber will produce  5  tons  of  coir dust.  It  suggested  that  the location of coconut by-product processing is better closed to the raw material source, and to secure the continuity of rawmaterial supply and product marketing the business should be run in the form of cooperation.Key words: Coconut, Cocos nucifera L., processing, by product
Prospek Pengolahan Hasil Samping Buah Kelapa ZAINAL MAHMUD; YULIUS FERRY
Perspektif Vol 4, No 2 (2005): Desember 2005
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.68 KB) | DOI: 10.21082/p.v4n2.2005.%p

Abstract

ABSTRAKDaging buah adalah komponen utama dari buah kelapa; sedangkan sabut, tempurung, dan air buah merupakan  hasil samping (by-product). Dengan produksi buah kelapa di Indonesia rata-rata 15,5 milyar butir/tahun, total bahan ikutan yang dapat diperoleh 3,75 juta ton air, 0,75 juta ton arang tempurung, 1,8 juta ton serat sabut, dan 3,3 juta ton debu sabut sebagai hasil samping. Kelayakan usaha pengolahan hasil samping  buah kelapa sangat menjanjikan bila direncanakan dan dikelola dengan baik. Berdasarkan analisis finansial tahun 2004, B/C dan IRR pengolahan sabut menjadi serat dan debu sabut selama 10 tahun adalah 3,58 dan 76%; tempurung menjadi arang selama 5 tahun 1,11 dan 23%; dan air kelapa menjadi nata de coco selama 5 tahun 1,32 dan 32%. Pengembangan industri pengolahan hasil samping harus ditunjang oleh kelayakan teknis terutama ketersediaan pasokan bahan baku dan pemasaran, serta alat pengolahan yang sesuai untuk pengolahan sabut. Untuk mendapatkan bahan baku yang cukup bagi pengolahan sabut diperlukan areal kelapa seluas 300 ha. Pengolahan sabut ini harus dipadukan dengan pengolahan debu sabut menjadi kompos sehingga diperoleh pendapatan tambahan. Untuk memproduksi 1 ton serat sabut diperoleh sekitar 5 ton debu sabut. Lokasi pengolahan hasil samping sebaiknya di sekitar sumber bahan baku dan untuk menjamin kontinuitas pengadaan dan pemasaran produk disarankan usaha-usaha tersebut dalam bentuk usaha bersama.Kata kunci: Kelapa, Cocos nucifera L., pengolahan, hasil samping ABSTRACTProspect of Coconut By-Product ProcessingCoconut meat is the main component of coconut, while the coconut husk, shell, and water are considered as by-product. With the coconut production in Indonesia at average of 15.5 billion coconuts per year, the total by-product is accumulated to 3.75 million tons coconut water, 0.75 million tons shell charcoal, 1.8 million tons coconut fiber, and 3.3 million tons coir dust. Business in coconut by-product processing is condidered to be prospective as long as it is planned and managed properly. Based on the financial analysis in 2004, the B/C and IRR of coconut husk processing into coconut fiber and coir dust for 10 years were 3.58 and 76%, coconut shell into shell charcoal for 5 years was 1.11  and 23%; and coconut water into nata de coco for 5 years was 1.32 and 32%. The industry of coconut by-product processing should be supported by technical feasibilty, mainly the raw material availability, market, and appropriate coconut husk machinery. To provide sufficient raw material for coconut husk processing, it needs about 300 ha of coconut plantation. Furthermore, to abtain additional farmer’s income the coconut husk processing should be integrated with coir dust processing into compost, so that it can earn additional income. To produce one ton  of coconut fiber will produce  5  tons  of  coir dust.  It  suggested  that  the location of coconut by-product processing is better closed to the raw material source, and to secure the continuity of rawmaterial supply and product marketing the business should be run in the form of cooperation.Key words: Coconut, Cocos nucifera L., processing, by product
PENGARUH INTENSITAS CAHAYA DAN UMUR PANEN TERHADAP PERTUMBUHAN, PRODUKSI, DAN KUALITAS HASIL TEMULAWAK DI ANTARA TANAMAN KELAPA Yulius Ferry; Bambang E. T; Enny Randriani
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 20, No 2 (2009): BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bullittro.v20n2.2009.%p

Abstract

Penelitian ini dilakukan di kebun Percobaan Pakuwon pada tahun 2005-2006  dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh intensitas cahaya dan umur panen terhadap pertumbuhan dan hasil temulawak. Rancangan percobaan yang digunakan adalah petak terpisah dengan 3 ulangan dan ukuran petak 64 m2. Sebagai Petak Utama adalah tingkat intensitas cahaya matahari, terdiri atas 4 taraf yaitu; 1). Intensitas cahaya 55%, 2) Intensitas cahaya 70%, 3) Intensitas cahaya 85%, dan 4) Intensitas cahaya 100%. Sedangkan anak petak (sub plot) adalah umur panen yang terdiri atas 6 taraf yaitu: 1) umur panen 5 bulan, 2) umur panen 7 bulan, 3) umur panen 9 bulan, 4) umur panen 11 bulan, 5) umur panen 13 bulan, dan 6) umur panen 15 bulan. Temulawak di tanam diantara tanaman kelapa pada jarak 1,5 m dari tanaman kelapa. Parameter pengamatan meliputi jumlah daun, panjang daun, jumlah tunas, bobot rimpang basah, bobot rimpang kering, kadar minyak atsiri, kadar pati, dan kadar serat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman temulawak yang ditanam di bawah tegakan kelapa mempunyai pertum-buhan vegetatif, generatif, dan mutu hasil yang sama pada semua intensitas cahaya kecuali pada bobot basah rimpang. Bobot basah, bobot kering, dan kadar minyak rimpang temulawak berbeda nyata bila panen dilakukan pada umur yang berbeda. Kadar pati tertinggi terdapat pada umur panen 11 (BST) dengan intensitas cahaya 100%. Kadar serat tertinggi pada umur panen 5 BST dengan intensitas cahaya 100%. Sedangkan kadar minyak atsiri tertinggi pada umur panen 15 BST dengan intensitas cahaya 70%. 
Pengendalian penyakit busuk buah kakao menggunakan Trichoderma dan pupuk Kalium Sunjaya Putra; Yulius Ferry; Rita Harni
Kultivasi Vol 21, No 2 (2022): Jurnal Kultivasi
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/kultivasi.v21i2.36807

Abstract

AbstrakKerugian akibat serangan penyakit busuk buah kakao (BBK) mencapai 40-100%, produktivitas hanya 669,9 kg/ha/tahun. Upaya pengendalian dapat dilakukan melalui penggunaan cendawan antagonis Trichoderma dan peningkatan dosis pupuk Kalium. Penelitian bertujuan menguji efektivitas Trichoderma viride dan pupuk K dalam mengendalikan penyakit BBK. Penelitian dilakukan pada Januari sampai Desember 2019 di kebun kakao rakyat (Klon CSA 6) berumur 10 tahun dengan tanaman pelindung Gliricidia sp.  Desa Suka Bandung, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 12 perlakuan dan 3 ulangan. Macam perlakuan yaitu fungisida Trichoderma viride, fungisida kimia (mancozeb), pupuk KCl 100 g/phn, dosis KCl 110 g/phn, dosis KCl 125 g/phn, Trichoderma + KCl 100 g/phn,  Trichoderma + KCl 110 g/phn, Trichoderma + KCl 125 g/phn, fungisida kimia + KCl 100 g/phn,  fungisida kimia + KCl 110 g/phn,  fungisida kimia + KCl 125 g/phn, dan  cara petani (tanpa fungisida + KCl 50 g/phn). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan terendah (7,79%), daya hambat penyakit tertinggi (68,84%), dan produksi biji kering mencapai 1.327,86 kg/ha/tahun (166,86%) diperoleh pada penggunaan Trichoderma viride dan pupuk KCl 125 g/pohon. Efektivitas fungisida Trichoderma viride tidak berbeda dibandingkan dengan fungisida  kimia dalam mengendalikan penyakit BBK, dan makin tinggi dosis pupuk K, makin tinggi pula daya hambat terhadap penyakit.Kata Kunci: Busuk buah kakao, pengendalian, pupuk kalium, Trichoderma virideAbstractLosses due to cacao pod rot disease is varied from 40 to 100% leaving the productivity into 669.9 kg per ha per year. To control the disease, Trichoderma and potassium (K) fertilizer are used. The study aimed to test the effectiveness of Trichoderma viride and K fertilizer in controlling cocoa pod rot disease. The study was conducted from January to December 2019 in South Lampung Regency, by using cocoa clone of CSA 6 aged 10 years as plant material. The study used a randomized block design with 12 treatments and 3 replications. The treatment were Trichoderma viride fungicide, chemical fungicide (mancozeb), KCl fertilizer 100 g plant-1, KCl 110 g plant-1, KCl 125 g plant-1, Trichoderma + KCl 100 g plant-1, Trichoderma + KCl 110 g plant-1, Trichoderma + KCl 125 g plant-1, chemical fungicide + KCl 100 g plant-1, chemical fungicide + KCl 110 g plant-1, chemical fungicide + KCl 125 g plant-1, and farmer's method (no fungicide + KCl 50 g plant-1). The results showed that the lowest attack intensity (7.79%), the highest disease inhibition (68.84%), and production reached 1,327.86 kg per haper year (166.86%) was obtained in the combination treatment of Trichoderma viride + KCl 125 g plant-1. The effectiveness to control the disease on the treatment of Trichoderma viride was not different compared to chemical fungicides, and the higher applied dose of K fertilizer, the higher the inhibition against cacao pod rot disease.Keywords: Cocoa pod rot, control, Trichoderma viride, potassium fertilizer