Muhyar Nugraha
Universitas Ibn Khaldun Bogor

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

PERANAN MAHASISWA DALAM MENGEMBANGKAN SUMBER DAYA MANUSIA YANG PRODUKTIF Muhyar Nugraha; Diki Rahsidin; Adhe Nur Fitriyanti
Abdi Dosen : Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat Vol 2 No 1 (2018): Maret 2018
Publisher : LPPM Univ. Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (723.967 KB)

Abstract

KKN merupakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat di daerah tertentu yang dilaksanakan secara kelompok yang terdiri dari berbagai Fakultas. Kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata) bertujuan untuk memberikan pengalaman kerja nyata di lapangan untuk membentuk sikap mandiri dan tanggung jawab dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Selain itu, KKN juga bertujuan untuk membantu masyarakat dalam meningkatkan taraf pengetahuan dan keterampilan sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pelaksanaan KKN ini dimulai dari tanggal 7 Agustus sampai dengan 7 September 2017 di Kampung Kabandungan 2, Desa Sirnagalih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Program kegiatan di Kampung Kabandungan 2, Desa Sirnagalih merupakan program yang lebih menekankan kepada bidang pendidikan, kesehatan, ekonom dan sosial. Program fisik kelompok 73, antara lain: Keaksaraan fungsional, Praktek Gosok Gigi dan Cuci Tangan yang Baik dan Benar, pemasangan plang gang RW 10, Mengajar PAUD, Mengajar Ngaji, Bimbingan Belajar, Edukasi Teknologi, Kampung Bersih, Olahraga Pagi, Pemeriksaan Kesehatan Gratis, Pelaksanaan Imunisasi Campak dan Rubella. Program nonfisik yang dilakukan yaitu Seminar Kewirausahaan, Penyuluhan Motivasi Kewirausahaan, Penyuluhan Menabung Sejak Dini, Ekonomi Kreatif. Pelaksanaan program-program KKN tersebut diharapkan dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang terkait.
ANALISIS PUTUSAN HAK ANAK ANGKAT ATAS WASIAT WAJIBAH MENURUT FATWA PENGADILAN AGAMA PALEMBANG NO. 058/Pdt.G/2010/PA.plg Muhyar Nugraha; Prihatini Purwaningsih; Desty Anggie Mustika
YUSTISI Vol 5, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v5i1.4406

Abstract

Hukum Islam mengijinkan seorang anak yang dibesarkan dalam batasan tertentu selama tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-pewaris mewali dan hubungan mewaris dari orang tua angkat. Dia tetap menjadi ahli waris orang tuanya dan anak itu tetap di bawah nama ayah kandungnya. Konsep filosofis yang terkandung dalam hukum Islam pada sisinya memperbolehkan adopsi tertentu namun disisi lain memberikan syarat yang tegas dan batasan pengertian adopsi adalah: Menjaga garis turun terlarang (genetik) seorang anak angkat sehingga jelas kepada siapa anak angkat tersebut. terkait garis keturunan mereka yang berdampak pada hubungan, sebab dan akibat hukum. menjaga agar garis-garis itu dilarang untuk anak-anaknya sendiri sehingga tetap jelas dari hubungan hukum dan konsekuensi hukum terhadapnya. Oleh karena itu, perlu adanya pembentukan pola pikir di masyarakat khususnya yang membesarkan anak bahwa anak angkat dalam Islam tidak sama statusnya dengan anak baik itu pemberian nama haram (keturunan) maupun nama belakang serta pemberian harta warisan. . Kompilasi hukum Islam menegaskan bahwa anak angkat atau orang tua angkat bukanlah warisan. Namun sebagai pengakuan atas kabar baik mengenai kelembagaan Pengangkatan, maka hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat diperkuat dengan perantara wasiat atau Wasiat adalah Wajibah. Kompilasi hukum Islam yang kini menjadi acuan Mahkamah Agama bahwa anak angkat berhak memperoleh “wasiat dan wasiat wajibah” dengan syarat tidak boleh lebih dari 1/3 harta benda menurut pasal 209 ayat 2 kompilasi hukum Islam. Untuk itu, disarankan kepada hakim di lingkungan peradilan Agama berani menerapkan undang-undang yang hidup di masyarakat sesuai dengan maksud pasal 5 ayat 1 undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tentang butir denda pidana. Kekuatan Keadilan yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH Muhyar Nugraha
YUSTISI Vol 3 No 1 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (543.319 KB) | DOI: 10.32832/yustisi.v3i1.1119

Abstract

Dilihat dari perkembangannya, partisipasi masyarakat merupakan konsep yangberkembang dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang publik atau adanya mekanisme untuk mewujudkan partisipasi adalah suatu tuntutan yang mutlak sebagai demokratisasi sejak pertengahan abad ke-20. Masyarakat sudah semakin sadar akan hak-hak politiknya. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya di atas kertas, tidak lagi sematamata menjadi wilayah kekuasaan mutlak birokrat dan parlemen. Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, secara aktif dalam penentuan kebijakan publik atau peraturan. Asas keterbukaan dan peran serta masyarakat merupakan suatu hal yang amat esensial dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi di dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sudah diakomodasi dalam hukum positif. Penegasan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menganut asas keterbukaan Meskipun demikian, peraturan partisipasi masyarakat dalam ketentuan tersebut belum memberikan gambaran yang jelas. Adapun tahapan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) sama dengan tahapan penyusunan peraturan perundang-undangan yang lain, meliputi perencanaan, perancangan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Ruang partisipasi bagi masyarakat harus ada di setiap tahapan tersebut. Dengan demikian, diharapkan akan lahir Perda yang partisipatif, masyarakat yang kritis, dan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan sosial (society need).
POLA PEMBINAAN NARAPIDANA DI LAPAS PALEDANG BOGOR SEBAGAI PELAKSANAAN SISTEM PEMASYARAKATAN Muhyar Nugraha
YUSTISI Vol 4, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (710.725 KB) | DOI: 10.32832/yustisi.v4i2.1075

Abstract

Pola Pembinaan Narapidana Di Lapas Paledang Bogor Sebagai Pelaksanaan SistemPemasyarakatan.Menyelenggarakan sistem pemasyarakatan di Indonesia dilandasi oleh kejelasan tentang fungsi dari lembaga pemasyarakatan di masyarakat, atau secara lebih khusus dalam sistem peradilan pidana. Selain itu pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang baik harus pula didasari oleh adanya pemahaman terhadap realitas pelaku pelanggar hukum. Kemudian dalam rangka melakukan revisi penyelenggaraan sistem pemasyarakatan harus dilandasai oleh adanyaevaluasi terhadap efektivitas penyelenggaraan sistem pemasyarakatan, agar dapat diketahui halhal kondusif bagi fungsi pemasyarakatan dan hal-hal yang menghambatnya. Pembinaan narapidana yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan merupakan akibat perubahan sistemhukuman di Indonesia, yaitu dari sistem penjara ke sistem pemasyarakatan. Perubahan sistem hukuman ini didasarkan pada upaya meningkatkan perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights), kepribadian bangsa Indonesia yang berjiwa pancasila, dan perkembangan ilmu sosial dan psikologi. Perubahan sistem hukuman dari penjara ke pemasyarakatan ini dipertegas dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang menjadi dasar dan acuan pelaksanaan pembinaan narapidana di Indonesia. Pembinaan Narapidana yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bogortelah didasarkan pada Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana yang dibagi ke dalam 2 (dua) bidang yakni: a) Pembinaan Kepribadian dan b) Pembinaan Kemandirian. Namun dalam kenyataannya masih belum membawa hasil yang optimal, karena masih minimnya latar belakang pendidikan serta kemauan dari dalam diri para narapidana untuk merubah sikap menjadi lebih baik. Begitu pun upaya dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam hal pembinaan, antara lain: a) Bekerja sama denganlembaga sosial b) Memberikan bekal keterampilan. c) Memberikan ceramah kerohanian. d) Meningkatkan tingkat pendidikan narapidana e) Mengikutsertakan narapidana dalam berbagaikegiatan. f) Memberikan bekal keterampilan IT. g) Mengajarkan latihan baris-berbaris dankegiatan pramuka.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PELANGGARAN ETIKA BISNIS. muhyar nugraha
YUSTISI Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (888.95 KB) | DOI: 10.32832/yustisi.v2i1.192

Abstract

Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju serta laju perekonomian dunia yang semakin cepat dan diberlakukannya sistem perdagangan bebas membuat semua kegiatan dalam sektor bisnis saling berpacu untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan, keadaan demikian akan membuat para pelaku usaha untuk menghalalkan segala cara tanpa manghiraukan akibat yang ditimbulkan bagi masyarakat/ para konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa , hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Selain hak konsumen, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 1999 juga mengatur mengenai pertanggungjawban pelaku usaha. Pertanggungjawaban tersebut disamping berlaku secara perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha secara pidana. Pelanggaran terhadap etika dapat diancam dengan sanksi pidana, oleh karena itu bagi para pelaku usaha diharapkan agar senantiasa berpegang pada etika dan moral dalam menjalankan bisnisnya.
ANALISIS PUTUSAN HAK ANAK ANGKAT ATAS WASIAT WAJIBAH MENURUT FATWA PENGADILAN AGAMA PALEMBANG NO. 058/Pdt.G/2010/PA.plg Muhyar Nugraha; Prihatini Purwaningsih; Desty Anggie Mustika
YUSTISI Vol 5, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v5i1.4406

Abstract

Hukum Islam mengijinkan seorang anak yang dibesarkan dalam batasan tertentu selama tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-pewaris mewali dan hubungan mewaris dari orang tua angkat. Dia tetap menjadi ahli waris orang tuanya dan anak itu tetap di bawah nama ayah kandungnya. Konsep filosofis yang terkandung dalam hukum Islam pada sisinya memperbolehkan adopsi tertentu namun disisi lain memberikan syarat yang tegas dan batasan pengertian adopsi adalah: Menjaga garis turun terlarang (genetik) seorang anak angkat sehingga jelas kepada siapa anak angkat tersebut. terkait garis keturunan mereka yang berdampak pada hubungan, sebab dan akibat hukum. menjaga agar garis-garis itu dilarang untuk anak-anaknya sendiri sehingga tetap jelas dari hubungan hukum dan konsekuensi hukum terhadapnya. Oleh karena itu, perlu adanya pembentukan pola pikir di masyarakat khususnya yang membesarkan anak bahwa anak angkat dalam Islam tidak sama statusnya dengan anak baik itu pemberian nama haram (keturunan) maupun nama belakang serta pemberian harta warisan. . Kompilasi hukum Islam menegaskan bahwa anak angkat atau orang tua angkat bukanlah warisan. Namun sebagai pengakuan atas kabar baik mengenai kelembagaan Pengangkatan, maka hubungan antara anak angkat dengan orang tua angkat diperkuat dengan perantara wasiat atau Wasiat adalah Wajibah. Kompilasi hukum Islam yang kini menjadi acuan Mahkamah Agama bahwa anak angkat berhak memperoleh “wasiat dan wasiat wajibah” dengan syarat tidak boleh lebih dari 1/3 harta benda menurut pasal 209 ayat 2 kompilasi hukum Islam. Untuk itu, disarankan kepada hakim di lingkungan peradilan Agama berani menerapkan undang-undang yang hidup di masyarakat sesuai dengan maksud pasal 5 ayat 1 undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tentang butir denda pidana. Kekuatan Keadilan yang berbunyi: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH Muhyar Nugraha
YUSTISI Vol 3 No 1 (2016)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v3i1.1119

Abstract

Dilihat dari perkembangannya, partisipasi masyarakat merupakan konsep yangberkembang dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang publik atau adanya mekanisme untuk mewujudkan partisipasi adalah suatu tuntutan yang mutlak sebagai demokratisasi sejak pertengahan abad ke-20. Masyarakat sudah semakin sadar akan hak-hak politiknya. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan, setidak-tidaknya di atas kertas, tidak lagi sematamata menjadi wilayah kekuasaan mutlak birokrat dan parlemen. Partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok, secara aktif dalam penentuan kebijakan publik atau peraturan. Asas keterbukaan dan peran serta masyarakat merupakan suatu hal yang amat esensial dalam pembuatan peraturan perundang-undangan. Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi di dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan sudah diakomodasi dalam hukum positif. Penegasan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menganut asas keterbukaan Meskipun demikian, peraturan partisipasi masyarakat dalam ketentuan tersebut belum memberikan gambaran yang jelas. Adapun tahapan pembentukan Peraturan Daerah (Perda) sama dengan tahapan penyusunan peraturan perundang-undangan yang lain, meliputi perencanaan, perancangan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Ruang partisipasi bagi masyarakat harus ada di setiap tahapan tersebut. Dengan demikian, diharapkan akan lahir Perda yang partisipatif, masyarakat yang kritis, dan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan sosial (society need).
POLA PEMBINAAN NARAPIDANA DI LAPAS PALEDANG BOGOR SEBAGAI PELAKSANAAN SISTEM PEMASYARAKATAN Muhyar Nugraha
YUSTISI Vol 4, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v4i2.1075

Abstract

Pola Pembinaan Narapidana Di Lapas Paledang Bogor Sebagai Pelaksanaan SistemPemasyarakatan.Menyelenggarakan sistem pemasyarakatan di Indonesia dilandasi oleh kejelasan tentang fungsi dari lembaga pemasyarakatan di masyarakat, atau secara lebih khusus dalam sistem peradilan pidana. Selain itu pelaksanaan sistem pemasyarakatan yang baik harus pula didasari oleh adanya pemahaman terhadap realitas pelaku pelanggar hukum. Kemudian dalam rangka melakukan revisi penyelenggaraan sistem pemasyarakatan harus dilandasai oleh adanyaevaluasi terhadap efektivitas penyelenggaraan sistem pemasyarakatan, agar dapat diketahui halhal kondusif bagi fungsi pemasyarakatan dan hal-hal yang menghambatnya. Pembinaan narapidana yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan merupakan akibat perubahan sistemhukuman di Indonesia, yaitu dari sistem penjara ke sistem pemasyarakatan. Perubahan sistem hukuman ini didasarkan pada upaya meningkatkan perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights), kepribadian bangsa Indonesia yang berjiwa pancasila, dan perkembangan ilmu sosial dan psikologi. Perubahan sistem hukuman dari penjara ke pemasyarakatan ini dipertegas dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan yang menjadi dasar dan acuan pelaksanaan pembinaan narapidana di Indonesia. Pembinaan Narapidana yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Bogortelah didasarkan pada Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana yang dibagi ke dalam 2 (dua) bidang yakni: a) Pembinaan Kepribadian dan b) Pembinaan Kemandirian. Namun dalam kenyataannya masih belum membawa hasil yang optimal, karena masih minimnya latar belakang pendidikan serta kemauan dari dalam diri para narapidana untuk merubah sikap menjadi lebih baik. Begitu pun upaya dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam hal pembinaan, antara lain: a) Bekerja sama denganlembaga sosial b) Memberikan bekal keterampilan. c) Memberikan ceramah kerohanian. d) Meningkatkan tingkat pendidikan narapidana e) Mengikutsertakan narapidana dalam berbagaikegiatan. f) Memberikan bekal keterampilan IT. g) Mengajarkan latihan baris-berbaris dankegiatan pramuka.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PELANGGARAN ETIKA BISNIS. muhyar nugraha
YUSTISI Vol 2, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v2i1.192

Abstract

Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju serta laju perekonomian dunia yang semakin cepat dan diberlakukannya sistem perdagangan bebas membuat semua kegiatan dalam sektor bisnis saling berpacu untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan, keadaan demikian akan membuat para pelaku usaha untuk menghalalkan segala cara tanpa manghiraukan akibat yang ditimbulkan bagi masyarakat/ para konsumen. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa , hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Selain hak konsumen, di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun Tahun 1999 juga mengatur mengenai pertanggungjawban pelaku usaha. Pertanggungjawaban tersebut disamping berlaku secara perdata, Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha secara pidana. Pelanggaran terhadap etika dapat diancam dengan sanksi pidana, oleh karena itu bagi para pelaku usaha diharapkan agar senantiasa berpegang pada etika dan moral dalam menjalankan bisnisnya.