Abstract: The proclamation of Indonesian independence on August 17, 1945, was short-lived, as the Dutch subsequently reestablished their dominance. As such, the struggle for this nation's sovereignty continued, and the Indonesian people took up arms against the Dutch's attempt to reinstate their colonial rule. This study aims to investigate the role of the ulema in defending Indonesia's independence, focusing on the Hezbollah case in Surabaya and the Sabil Armed Forces in Yogyakarta. The ulema, in this context, provided not only fatwas but also led by example at the forefront of the battle against the Dutch's colonialism. The findings of this study revealed that in Surabaya and Yogyakarta, the ulama’s involvement in the fight against the Allies further fueled the Hezbollah members' enthusiasm as they witnessed the religious leaders directly participating in the battlefield. The presence of the clerics at the forefront, accompanied by the fatwa of jihād fī sabīlillāh and the slogan of living independently or dying as a martyr, effectively mobilized the students and youth to take up arms against the Dutch. Furthermore, the role of the clergy extended to the establishment of the Sabil War Force Ulama Headquarters (MUAPS) and its armed forces called the Sabil War Force (APS), which was responsible for defending the border area between Kedu and Semarang from Dutch attacks and was sent to Kebumen to block the Dutch's arrival.Abstrak: Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, tetapi kemerdekaan itu diusik kembali oleh Belanda. Perjuangan bangsa ini masih harus dilanjutkan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan mengangkat senjata melawan bangsa Belanda yang ingin meneruskan penjajahannya kembali. Kajian ini akan melihat peran ulama dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan melihat kasus Hisbullah di Surabaya dan Angkatan Perang Sabil di Yogyakarta. Ulama dalam konteks ini tidak hanya berfatwa saja, tetapi mereka memberi contoh memimpin di garis depan untuk melakukan perlawanan terhadap bangsa Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Surabaya dan Yogyakarta, bergabungnya para ulama dalam pertempuran melawan Sekutu, membuat semangat para anggota Hizbullah semakin berkobar dikarenakan para ulama ikut terjun langsung dalam medan peperangan. Dengan tampilnya ulama di garis depan disertai fatwa perang jihād fī sabīlillāh dan semboyan hidup merdeka atau mati syahid sangat efektif dalam memobilisasi para santri dan pemuda untuk mengangkat senjata melawan Belanda. APS (Angkatan Perang Sabil), yang ditugaskan untuk membantu mempertahankan wilayah di perbatasan antara daerah Kedu dan Semarang dari serangan Belanda dan dikirim ke Kebumen untuk menghadang kedatangan Belanda, juga atas peran ulama. Terbentuknya Markas Ulama Angkatan Perang Sabil (MUAPS) dan pasukan bersenjatanya yang bernama Angkatan Perang Sabil (APS) adalah berkat hasil musyawarah para ulama untuk ikut mempertahankan Indonesia.