Komang Andi Dwi Saputra
Bagian/SMF THT-KL RSUP Sanglah, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Published : 16 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Karakteristik penderita polip hidung di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018 I Made Surya Vedo Wirananda; Agus Rudi Asthuta; Komang Andi Dwi Saputra
Intisari Sains Medis Vol. 10 No. 3 (2019): (Available online: 1 December 2019)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (274.85 KB) | DOI: 10.15562/ism.v10i3.454

Abstract

Introduction: Nasal polyps might trigger physical disorders and disrupt the normal function of daily life, causing decreases in productivity. Prevention and good management of nasal polyp cases become important. Therefore, information related to socio-demographic information is necessary even though the data available were still lacking.Method: This descriptive research was done using a cross sectional design, which data were collected retrospectively. The research data were secondary data of patients’ medical records in ENT poly in RSUP Sanglah Denpasar. This research describes the data related to nasal polyp patients in Sanglah Depansar, 2018 based on age, sex, main symptoms, comorbidities, and therapy. Research samples were selected using total sampling technique, in which the whole population that matched the predetermined criteria were involved in this research as samples.Result: 27 data met the inclusion criteria. Nasal polyp mostly occurred in the group of 40-60 years old patients as many as 11 persons (40.7%), with the youngest patient aged 10 years old. The results also indicated that the number of Nasal polyp in males reached 20 patients (74.1%) than in females of 7 people (25.9%). Nasal congestion was the main symptoms experienced by 15 people (55.6%), while sinusitis was the highest risk factor that occurred to 16 patients (59.3%). It was also found that rhinitis allergy was experienced by 7 patients (25.9%). Furthermore, 4 patients (14.8%) patients had rhinitis & sinusitis risk factor. There were 9 patients (33.3%) who underwent medical therapy, while 18 patients (66.7%) had undergone medical therapy and surgery.Conclusion: The highest frequency of polyp patient in RSUP Sanglah Denpasar of 2018 was found in the group of patients aged between 46-50 years old (40.7%), The number of Nasal polyps was found higher in male patients (74.1%). Nasal congestion was the most common complaint (55,6%), while the most frequently-risk factor was sinusitis (59.3%). This research has confirmed that medicine and surgery were the most preferred nasal polyps therapy (66.7%).Latar Belakang: Polip hidung dapat menyebabkan gangguan fisik dan gangguan fungsi normal kehidupan sehari-hari sehingga menyebabkan penurunan produktivitas. Pencegahan dan penanganan yang tepat terhadap polip nasi sangat penting, sehingga informasi mengenai faktor sosio-demografi polip nasi sangat dibutuhkan walaupun data yang tersedia masih jarangMetode: Rancangan penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional dengan pengambilan data secara retrospektif. Data yang digunakan berupa data sekunder yang didapat dari rekam medis pasien poli THT RSUP Sanglah Denpasar. Rancangan penelitian ini bertujuan untuk dapat menggambarkan penderita Polip Nasi di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018 berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan utama, penyakit penyerta dan terapi. Teknik penentuan sampel yang digunakan adalah total sampling dimana seluruh populasi target yang memenuhi kriteria dimasukan sebagai sampel.Hasil: Sebanyak 27 data yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan kelompok usia angka kejadian terbanyak terjadi pada kelompok usia 46-60 tahun (40,7%) dengan usia termuda yaitu 10 tahun. Angka kejadian pada laki-laki lebih banyak dari pada perempuan yaitu jumlah angka kejadian pada laki-laki sebanyak 20 orang (74,1%), perempuan 7 orang (25,9%). Hidung tersumbat merupakan keluhan utama yang paling banyak terjadi yaitu pada 15 orang (55,6%) dengan sinusitis sebagai faktor resiko tertinggi yang terjadi pada 16 orang (59,3%), sedangkan faktor resiko berupa rhinitis allergi didapatkan data sebanyak 7 orang (25,9%) dan pada faktor resiko rhinitis & sinusitis didapatkan 4 orang (14,8%). Pasien yang melakukan terapi medikamentosa didapatkan sebanyak 9 orang (33,3%), pada terapi medikamentosa & pembedahan didapatkan sebanyak 18 orang (66,7%).Simpulan: Distribusi frekuensi penderita polip nasi di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2018 terbanyak berdasarkan kelompok usia yaitu kelompok usia 46-60 tahun (40,7%), angka kejadian pada laki-laki lebih banyak (74,1%), hidung tersumbat merupakan keluhan utama yang paling sering terjadi (55,6%) dengan sinusitis sebagai faktor resiko yang paling sering ditemukan (59,3%) dan terapi polip nasi berupa medikamentosa & pembedahan (66,7%).
Kualitas hidup anak usia 12-15 tahun yang menderita tonsilitis kronis Sang Ayu Putu Novi Krisna Dewi KN; Komang Andi Dwi Saputra; Agus Rudi Asthuta; Sari Wulan Dwi Sutanegara
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 2 (2020): (Available online: 1 August 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (279.753 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i2.650

Abstract

Background: Inflammation that occurs in palatine tonsils is often called tonsillitis. The incidence of tonsillitis in Indonesia around 23% according to the Ministry of RI. In Bali, for oral health problems of 21.6% that occur in children aged 5-9 years and in children aged 10-14 years by 20.6% based on data from Riskesdas 2007.Aim: This study aims to determine the quality of life of children aged 12 -15 years old suffering from chronic tonsillitis in SMP Negeri 1 Kintamani.Methods: This descriptive study uses a cross sectional study design. This sample collection uses a descriptive conservative sample whose data is taken from a questionnaire taken at SMP Negeri 1 Kintamani with the conditions of inclusion and exclusion criteria.Results: Samples obtained 20 samples, as many as 11 people (55%) women were found to suffer the most from chronic tonsillitis, then the age group of 14 years 9 people (45%). Based on the type of tonsils most patients have T2 tonsil type as many as 16 people (80%). In terms of quality of life, almost all samples of 17 people (85%) had a normal quality of life. Based on the type of quality of life of a total of 17 samples with normal quality of life as many as 15 people (88.24%) had mild symptoms of tonsillitis while 2 people (11.76%) the rest had symptoms of moderate and severe tonsillitis.Conclusion: There was no significant difference was found in the proportion of tonsillitis symptoms in the sample group based on quality of life (p = 1.00) in SMP Negeri 1 Kintamani. Inflamasi yang terjadi pada tonsil palatina sering disebut dengan tonsilitis. Kejadian tonsilitis di Indonesia sekitar 23% berdasarkan Departemen RI. Di Bali, untuk masalah kesehatan mulut sebesar 21,6% yang terjadi pada anak berusia 5-9 tahun dan pada anak usia 10-14 tahun sebesar 20,6% berdasarkan data dari Riskesdas 2007.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui  kualitas hidup anak usia 12-15 tahun yang menderita tonsilitis kronis di SMP Negeri 1 Kintamani.Metode: Penelitian deskriptif ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional. Pengumpulan sampel ini menggunakan deskriptif conservative sampel yang datanya diambil dari kuesioner yang diambil di SMP Negeri 1 Kintamani dengan syarat kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.Hasil: Sampel yang didapatkan 20 sampel, sebanyak 11 orang (55%) perempuan ditemukan paling banyak menderita tonsilitis kronis, kemudian kelompok usia 14 tahun 9 orang (45%). Berdasarkan tipe tonsilnya paling banyak pasien memiliki tipe tonsil T2 sebanyak 16 orang (80%). Ditinjau dari kualitas hidupnya hampir seluruh sampel sebanyak 17 orang (85%) memiliki kualitas hidup yang normal. Berdasarkan jenis kualitas hidupnya dari total 17 orang sampel dengan kualitas hidup normal sebanyak 15 orang (88,24%) memiliki gejala tonsilitis yang ringan sementara 2 orang (11,76%) sisanya memiliki gejala tonsilitis yang sedang dan berat.Kesimpulan: Perbedaan bermakna tidak ditemukan dari proporsi gejala tonsilitis pada kelompok sampel berdasarkan kualitas hidupnya (p= 1,00) di SMP Negeri 1 Kintamani.
Cochlear implantation in a child with cystic cochleovestibular malformation: a case report Komang Andi Dwi Saputra; Adriyani Hartayanti
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 3 (2020): (Available online: 1 December 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (711.928 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i3.699

Abstract

Background: The inner ear and internal auditory canal (IAC) malformations account for 20% of congenital sensorineural hearing loss in children. The cystic cochleovestibular malformation is one of the congenital malformations in the cochlea, in which the cochlea is empty, unpartitioned, and cystic. The dimension of the cochlea is normal. This presents a significant challenge even to the most experienced clinicians because of difficulty in the surgery with facial nerve anomaly and gusher, choice and placement of electrode, and increased risk of meningitis after the procedure. This study aims to report the procedure of cochlear implantation in one case of cystic cochleovestibular (IP type I) malformation, which still became a challenge in the otology field.Case Presentation: We reported one case of 5 years old boy with bilateral cystic vestibular malformation who underwent cochlear implantation on the left ear. The patient was diagnosed with bilateral profound congenital sensorineural hearing loss. He already used hearing aids on both ears but gained limited improvements. Peri-operative perilymph gusher was happened and was stopped by plugging the cochleostomy hole using fascia. The patient showed good condition after the procedure. Although facial nerve lesion occurred after the operation, it was improved by giving steroids. There is no sign of cerebrospinal fluid leaks such as rhinorrhea, otorrhea, or meningitis.Conclusion: This report showed good outcomes following cochlear implantation in cystic cochleovestibular malformation.
PENGARUH KEBIASAAN PENGGUNAAN ALAT PIRANTI DENGAR TERHADAP GANGGUAN PENDENGARAN PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA Veren Febriana Claudya; Komang Andi Dwi Saputra; I Wayan Sucipta; Luh Made Ratnawati
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 8 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mendengarkan materi perkuliahan atau mendengarkan musik melalui alat piranti dengar sudah menjadi gaya hidup mahasiswa. Namun ternyata kebiasaan ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Menurut The National Health and Nutrition Examination Survey America pada tahun 1988, tercatat 15% remaja mengalami masalah pada pendengaran dan melonjak menjadi 19,5% pada tahun 2000. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kebiasaan penggunaan alat piranti dengar terhadap gangguan pendengaran pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian merupakan penelitian analitik korelasi dengan metode crosssectional menggunakan instrument berupa kuesioner untuk menilai kebiasaan penggunaan alat piranti dengar dan gangguan pendengaran terhadap 289 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Hasil pengujian Fisher’s Exact Test menunjukkan adanya pengaruh (p<0.05) antara kebiasaan penggunaan alat piranti dengar dengan gangguan pendengaran pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Kata Kunci: alat piranti dengar, gangguan pendengaran, mahasiswa, kebiasaan.
TINGKAT PENGETAHUAN DALAM MEMBERSIHKAN TELINGA PADA MAHASISWA PSSKPD FK UNUD ANGKATAN 2019 DAN 2020 Visakha Karuna Wijaya; Made Lely Rahayu; Komang Andi Dwi Saputra; I Ketut Suanda
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 10 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang: Serumen merupakan kombinasi dari sekresi kelenjar minyak dan kelenjar keringat yang melindungi liang telinga dari air, trauma, benda asing, serta infeksi. Kanalis akustikus eksterna memiliki mekanisme alami dalam mengeluarkan serumen dari liang telinga melalui gerakan rahang. Membersihkan telinga sendiri dengan memasukkan benda ke dalam liang telinga justru mengganggu mekanisme alami tersebut dan dapat menimbulkan gangguan telinga. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dalam membersihkan telinga pada mahasiswa PSSKPD FK Unud angkatan 2019 dan 2020. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang deskriptif. Stratified random sampling digunakan sebagai teknik pengambilan sampel. Subjek penelitian berjumlah 102 mahasiswa yang terdiri dari masing-masing 51 mahasiswa angkatan 2019 dan 2020. Kuesioner didistribusikan secara daring untuk menilai tingkat pengetahuan dan perilaku membersihkan telinga. Data dianalisis dengan SPSS versi 20. Hasil: Hanya 16 mahasiswa (15,7%) yang memiliki tingkat pengetahuan baik dan masing-masing 43 mahasiswa (42,2%) memiliki tingkat pengetahuan cukup dan kurang. Mayoritas mahasiswa angkatan 2019 memiliki tingkat pengetahuan cukup (23,5%) sedangkan mahasiswa angkatan 2020 memiliki tingkat pengetahuan kurang (23,5%). Cotton buds merupakan alat pembersih telinga yang paling banyak digunakan (79,4%). Frekuensi pembersihan terbanyak yaitu seminggu sekali (23,5%).
KARAKTERISTIK GEJALA MAYOR PASIEN RINOSINUSITIS KRONIS BERDASARKAN USIA DAN JENIS KELAMIN DI RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE JUNI 2018-JUNI 2019 Widia Danis Swari; Komang Andi Dwi Saputra; I Made Wiranadha
GEMA KESEHATAN Vol. 13 No. 1 (2021): Juni 2021
Publisher : POLTEKKES KEMENKES JAYAPURA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47539/gk.v13i1.146

Abstract

Rinosinusitis merupakan suatu penyakit peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasalis. Berdasarkan konsensus tahun 2004, rinosinusitis dibagi atas 3 kriteria, yaitu rinosinusitis akut yang berlangsung selama empat minggu, rinosinusitis sub akut yang berlangsung antara empat sampai dua belas minggu, dan rinosinusitis kronik yang berlangsung lebih dari dua belas minggu. rinosinusitis kronis dapat ditegakkan berdasarkan dua gejala mayor atau lebih, atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor, jenis kelamin, tanda dan gejala yang ditemukan, gejala klinik, pemeriksaan rinoskopi anterior, dan pemeriksaan nasoendoskopi. Penelitian ini merupakan deskriptif observasional dengan metode cross-sectional menggunakan buku registrasi rekam medis di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar dengan 98 total sampel yang didapatkan pada periode Juni 2018 – Juni 2019. Pengambilan sampel ilakukan pada bulan Februari-Maret 2020 di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dengan variabel bebas usia dan jenis kelamin serta variabel terikat gejala mayor pada pasien rinosinusitis kronis. Hasil pengujian Somers’ D dan Chi Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan (p>0,05) antara usia dan jenis kelamin dengan gejala mayor pada pasien rinosinusitis kronis. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko lain seperti pekerjaan, status sosial dan pola hidup dari pasien rinosinusitis kronis. Tidak terdapat hubungan antara gejala mayor pada pasien rinosinusitis kronis dengan usia dan jenis kelamin. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait faktor lainnya yang mempengaruhi risiko munculnya gejala mayor pada pasien rinsonusitis kronis.