Luh Made Ratnawati
Departemen Telinga, Hidung, Dan Tenggorokan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, RSUP Sanglah, Bali, Indonesia

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius Yudianto, Sony; Ratnawati, Luh Made; Setiawan, Eka Putra; Sutanegara, Sari Wulan Dwi
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 44, No 1 (2014): Volume 44, No. 1 January - June 2014
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.316 KB) | DOI: 10.32637/orli.v44i1.79

Abstract

Latar belakang: Deviasi septum diduga sebagai salah satu predisposisi terjadinya disfungsi tuba Eustachius, terutama di telinga ipsilateral pada sisi hidung yang tersumbat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum nasi dengan disfungsi tuba Eustachius. Metode: Diskriptif dan analitik pada penelitian yang kami lakukan di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar, diikuti 58 orang yang terbagi dalam kelompok disfungsi tuba Eustachius sebanyak 29 responden dan kelompok fungsi tuba Eustachius normal sebesar 29 responden. Hasil: Analisis penelitian didapatkan hubungan yang bermakna yaitu derajat obstruksi hidung kanan pada pasien deviasi septum meningkatkan risiko kejadian 2,85 kali lebih tinggi dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kanan. Pada sisi kiri juga didapatkan hubungan yang bermakna yaitu derajat obstruksi hidung kiri pada pasien deviasi septum meningkatkan risiko kejadian 2,17 kali lebih tinggi dengan dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kiri. Pada derajat sumbatan hidung diketahui pada sisi kanan dan pada sisi kiri dengan hasil responden yang mengalami sumbatan hidung derajat berat secara bermakna meningkatkan risiko terjadinya disfungsi tuba Eustachius pada sisi yang sama dengan nilai (p< 0,05). Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antaraderajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum yang meningkatkan risiko terjadinya disfungsi tuba Eustachius pada sisi yang sama.Kata kunci: Disfungsi tuba Eustachius, obstruksi hidung, deviasi septum nasi. ABSTRACTBackground: Septal deviation is suspected as one of the predisposing factor in Eustachian tube dysfunction, especially in the ipsilateral ear on the side of the obstructed nose. Purpose: To find out the relationship between the degree of nasal obstruction in septal deviation patient with Eustachian tube dysfunction. Method: Descriptive analytic studies that we conducted in ENT clinic Sanglah Hospital that divided 58 people into 29 respondents as the Eustachian tube dysfunction group and 29 others as the normal Eustachian tube function group. Result: We found prevalence of right Eustachian tube dysfunction in 21 respondents and the prevalence on the left Eustachian tube dysfunction in 8 respondents, which was on the same side with the obstructed nose in the case group as measured byPNIF. Bivariate analysis found a significant relationship that increased the risk of occurence was 2,85 times higher in septal deviation patients with right obstructed nose with the right Eustachian tube dysfunction. The left side also showed a significant association 2,17 times. Degree of nasal obstruction performed analysis known on the right side and on the left side showed that respondents with severe degrees of nasal obstruction significantly increased the risk of Eustachian tube dysfunction on the ipsilateral side (p<0,05). Conclusion: In this study we have significant association between the degree of nasal obstruction in septal deviation patients which increased the risk of Eustachian tube dysfunction incidence on the ipsilateral side.Keywords: Eustachian tube dysfunction, nasal obstruction, nasal septal deviation.
ABSES SEPTUM NASI PADA SEORANG ANAK USIA SEMBILAN TAHUN Rikakaya, Putu Vira; Ratnawati, Luh Made; Wulan, Sari
Medicina Vol 46 No 3 (2015): September 2015
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (149.33 KB)

Abstract

Abses septum nasi adalah terdapatnya atau terbentuknya nanah pada daerah di antara tulang rawanatau tulang septum nasi dengan mukoperikondrium atau mukoperiosteum yang melapisinya akibatdari trauma pada hidung. Kasus abses septum nasi ini jarang terjadi.  Jika terlambat ditanganimenyebabkan komplikasi perforasi septum nasi, hidung pelana atau disebut saddle nose, selain itubisa menyebabkan infeksi ke intrakranial. Dilaporkan satu kasus abses septum nasi pada anaklelaki umur 9 tahun dengan riwayat mengorek-ngorek hidung. Didapatkan pembengkakan septumnasi pada ke dua sisi yang berbentuk bulat, merah, dan teraba fluktuasi yang telah dilakukan aspirasiuntuk  pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas kemudian dilanjutkan insisi drainase lalu pemasangandrain dan tampon serta pemberian antibiotik parenteral. Setelah dilakukan insisi drainase absesserta pemberian antibiotik parenteral yang adekuat, septum nasi kembali normal dan tidak didapatkantanda-tanda perforasi septum. [MEDICINA 2015;46:201-4].Nasal septal abscess defined as a collection of pus between the cartilaginous or bony nasal septum andits overlying mucoperichondrium and/ or mucoperiosteum. Nasal septal abscess is an uncommoncondition. If left untreated, there are risks of nasal septal perforation which called by saddle nosedeformity and also intracranial complications. A case of nasal septal abscess on a child, male 9 yearsold with history of nose picking has been reported. On the physical examination there were bilateralnasal septal round swelling, reddish and fluctuation and already done with aspiration for the cultureand sensitivity test examination and then incision drainage, drain and nose packed and also parenteralantibiotic therapy. After incision drainage and an adequate parenteral antibiotic, the nasal septalback to normal condition and  there was no septal perforation. [MEDICINA 2015;46:201-4].
BALLOON CATHETER DILATION PADA RINOSINUSITIS KRONIS Tantana, Olivia; Ratnawati, Luh Made
Medicina Vol 44 No 2 (2013): Mei 2013
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.47 KB)

Abstract

Prevalensi rinosinusitis kronis cukup tinggi dan pengobatannya memerlukan biaya besar. Bilapengobatan tidak memuaskan maka tindakan pembedahan merupakan pilihan terbaik. Ballooncatheter dilation merupakan teknik baru untuk penanganan sinusitis. Alat ini dirancang untukmenghasilkan mikrofraktur dan membentuk ulang tulang di sekitar ostium sinus. Teknik ini dapatmengurangi risiko perdarahan dan telah diakui oleh The United Stated Food and Drugs Association.[MEDICINA 2013;44:93-96].
Abses septum nasi pada anak Rikakaya, Putu Vira; Ratnawati, Luh Made; Wulan, Sari
Medicina Vol 47 No 2 (2016): Mei 2016
Publisher : Medicina

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (178.063 KB)

Abstract

Abses septum nasi adalah terdapatnya atau terbentuknya nanah pada daerah di antara tulang rawan atau tulang septum nasi dengan mukoperikondrium atau mukoperiosteum yang melapisinya akibat dari trauma pada hidung. Kasus abses septum nasi jarang terjadi. Jika terlambat ditangani menyebabkan komplikasi perforasi septum nasi, hidung pelana atau disebut saddle nose, selain itu bisa menyebabkan infeksi intrakranial. Dilaporkan satu kasus abses septum nasi pada anak lelaki umur 9 tahun dengan riwayat mengorek-ngorek hidung. Pada pemeriksaan fisis didapatkan pembengkakan septum nasi pada kedua sisi yang berbentuk bulat, merah, dan teraba fluktuasi yang telah dilakukan aspirasi untuk pemeriksaan biakan dan tes sensitivitas kemudian dilanjutkan insisi drainase lalu pemasangan drain dan tampon serta pemberian antibiotik parenteral. Setelah dilakukan insisi drainase abses serta pemberian antibiotik parenteral yang adekuat, septum nasi kembali normal dan tidak didapatkan tanda-tanda perforasi septum. Abses septum nasi merupakan kondisi yang memerlukan tindakan pembedahan segera berupa insisi dan drainase untuk mencegah komplikasi yang berbahaya. Nasal septal abscess defined as a collection of pus between the cartilaginous or bony nasal septum and its overlying mucoperichondrium and/ or mucoperiosteum. Nasal septal abscess is an uncommon condition. If left untreated, there are risks of nasal septal perforation which called by saddle nose deformity and also intracranial complications. A case of nasal septal abscess on a child, male 9 years old with history of nose picking has been reported. On the physical examination there were bilateral nasal septal round swelling, reddish and fluctuation and already done with aspiration for the culture and sensitivity test examination and then incision drainage, drain and nose packed and also parenteral antibiotic therapy. After incision drainage and an adequate parenteral antibiotic, the nasal septal back to normal condition and there was no septal perforation. Nasal septal abscess is a serious condition that necessitates urgent surgical management in order to prevent potential life threatening complications.
Hubungan derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum dengan disfungsi tuba Eustachius Luh Made Ratnawati
E-Jurnal Medika Udayana vol 3 no 3 (2014):e-jurnal medika udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.316 KB)

Abstract

Latar belakang: Deviasi septum diduga sebagai salah satu predisposisi terjadinya disfungsi tubaEustachius, terutama di telinga ipsilateral pada sisi hidung yang tersumbat. Tujuan: Penelitian inibertujuan untuk mengetahui hubungan antara derajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septumnasi dengan disfungsi tuba Eustachius. Metode: Diskriptif dan analitik pada penelitian yang kamilakukan di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar, diikuti 58 orang yang terbagi dalam kelompokdisfungsi tuba Eustachius sebanyak 29 responden dan kelompok fungsi tuba Eustachius normal sebesar29 responden. Hasil: Analisis penelitian didapatkan hubungan yang bermakna yaitu derajat obstruksihidung kanan pada pasien deviasi septum meningkatkan risiko kejadian 2,85 kali lebih tinggi denganterjadinya disfungsi tuba Eustachius kanan. Pada sisi kiri juga didapatkan hubungan yang bermakna yaituderajat obstruksi hidung kiri pada pasien deviasi septum meningkatkan risiko kejadian 2,17 kali lebihtinggi dengan dengan terjadinya disfungsi tuba Eustachius kiri. Pada derajat sumbatan hidung diketahuipada sisi kanan dan pada sisi kiri dengan hasil responden yang mengalami sumbatan hidung derajatberat secara bermakna meningkatkan risiko terjadinya disfungsi tuba Eustachius pada sisi yang samadengan nilai (p< 0,05). Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antaraderajat obstruksi hidung pada pasien deviasi septum yang meningkatkan risiko terjadinya disfungsi tubaEustachius pada sisi yang sama.
HUBUNGAN RINITIS AKUT DAN OTITIS MEDIA AKUT PADA ANAK USIA 0-12 TAHUN Made Agastia Wicaksana; Luh Made Ratnawati; Komang Andi Dwi Saputra
E-Jurnal Medika Udayana Vol 8 No 6 (2019): Vol 8 No 6 (2019): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (192.294 KB)

Abstract

Otitis Media Akut (OMA) adalah suatu infeksi yang diakibatkan karena disfungsi tuba Eustachius menyebabkan perkembangan bakteri pada telinga tengah. Rinitis akut adalah salah satu pencetus terjadinya OMA. OMA dengan rinitis akut juga merupakan salah satu infeksi tersering pada anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan rinitis akut dan otitis media akut pada anak usia 0-12 tahun. Penelitian bersifat analitik dengan menggunakan desain rancangan cross sectional yang dilaksanakan di poli THT RSUP Sanglah Denpasar. Data dalam penelitian diperoleh dari buku registrasi pasien poli THT RSUP Sanglah Denpasar dengan cara consecutive sampling. Data dianalisis dengan menggunakan software komputer SPSS 16. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dari 63 subjek penelitian, didapatkan sebanyak 11 (17,5%) subjek penelitian positif rinitis akut dan 52 (82,5%) subjek penelitian negatif rinitis akut. Didapatkan sebanyak 15 (23,8%) subjek penelitian positif otitis media akut dan 48 (76,2%) subjek penelitian negatif otitis media akut. Simpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan antara rinitis akut dan otitis media akut pada anak usia 0-12 tahun. Kata kunci: Rinitis Akut, Otitis Media Akut, Anak
Larutan pencuci hidung salin isotonis tidak terbukti mempercepat waktu transpor mukosilia pada pasien dengan rinosinusitis akut di RSUP Sanglah, Bali, Indonesia Ni Putu Oktaviani Rinika Pranitasari; Luh Made Ratnawati; I Nyoman Adiputra
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 1 (2020): (Available online: 1 April 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (453.432 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i1.587

Abstract

Background: Mucociliary clearance is a significant element of the defence system of the entire respiratory tract. Impairment of the mucociliary clearance serves as a medium for sinonasal infections. Saline nasal irrigation is believed to alleviated rhinosinusitis symptoms by clearing excess mucus, reducing congestion and remove infectious materials from the inspired air. This study aimed to determine the efficacy of mucociliary transport time of isotonic saline nasal solutions in patients with acute rhinosinusitis.Methods: An experimental study using pre- and post-test with control group design was conducted in this study. Mucociliary transport time was measured by the saccharine test on 20 acute rhinosinusitis patients before and after 7 days’ treatment with intranasal isotonic saline solutions and standard therapy (ciprofloxacin, pseudoephedrine/ triprolidine, ambroxol) for the case group and standard treatment for the control group. Data were analysed using SPSS version 20 for Windows.Result: The average mucociliary transport time before therapy was 35.5±10.7 minutes and 29.2±7.7 minutes for the case group and control group, respectively. The average mucociliary transport time after therapy was 22.9±8.7 minutes and 18.0 ± 5.6 minutes for case group and control group, respectively. The mean difference mucociliary transport time before and after therapy was 11.0±7.5 minutes and 9.4±5.3 minutes for the case and control group, respectively (p=0.499).Conclusions: The addition of intranasal isotonic saline solutions in acute rhinosinusitis patients has the same effect of mucociliary transport time with oral medication with the antibiotic, decongestant, and mucolytic without intranasal isotonic saline solutions. Latar Belakang: Transpor mukosilia merupakan salah satu mekanisme pertahanan saluran pernapasan. Adanya gangguan pada sistem tersebut menjadi predisposisi terjadinya infeksi sinonasal. Larutan pencuci hidung dengan salin isotonis dipercaya dapat mengurangi gejala akibat rinosinusitis dengan cara membersihkan sekret, mengurangi odema dan mengeluarkan bahan-bahan berbahaya yang masuk bersama udara pernapasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas waktu transpor mukosilia larutan pencuci hidung salin isotonis pada pasien rinosinusitis akut.Metode: Uji eksperimental dengan desai pre-post test dengan kontrol dilakukan pada penelitian ini. Waktu transpor mukosilia diukur menggunakan uji sakarin terhadap 20 pasien rinosinusitis akut sebelum dan 7 hari sesudah pemberian larutan pencuci hidung salin isotonis dan terapi standar (ciprofloxacine, pseudoephedrine/triprolidine, ambroxol) pada Kelompok Perlakuan dan terapi standar pada Kelompok Kontrol. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 20 untuk Windows.Hasil: Rerata waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan adalah 35,5 ± 10,7 menit dan 29,2 ± 7,7 menit pada Kelompok Kontrol. Rerata waktu transpor mukosilia sesudah terapi adalah 22,9 ± 8,7 menit dan 18,0±5,6 menit berturut-turut pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol. Median selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah terapi adalah 11,0±7,5 menit pada Kelompok Perlakuan dan 9,4 ± 5,3 menit pada Kelompok Kontrol (p=0,499).Kesimpulan: Penambahan larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut memiliki efek waktu transpor mukosilia yang sama dengan pemberian antibiotika, dekongestan dan mukolitik tanpa larutan cuci hidung salin isotonis.
Exogenous Rinolith: a case report I Putu Santhi Dewantara; Luh Made Ratnawati
Intisari Sains Medis Vol. 11 No. 3 (2020): (Available online: 1 December 2020)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (539.949 KB) | DOI: 10.15562/ism.v11i3.822

Abstract

Background: Rhinolith results from mineralized nasal foreign bodies. The time required for rhinolith formation is around 15 years and is usually diagnosed in the third decade of life. Most rhinoliths are asymptomatic or present with unspecific minimal symptoms. Symptoms of rhinolith include unilateral or bilateral foul nasal discharge, epistaxis, nasal obstruction, and halitosis. This case study aims to evaluate the recent management of exogenous rhinolith.Case Presentation: We present a case of unilateral rhinolith in an 11 years old boy with a history of inserting eraser fragment into the left nostril at the age of 5. The patient complained of recurrent epistaxis with foul nasal discharge from the left nasal cavity. Rhinolith was extracted under general anesthesia. The extraction performed using raspatorium and headlight. The rhinolith was firmly attached to the floor of the nasal cavity but can be removed in toto. The specimen was sent to the Pathology Department for histopathological examination. The result showed respiratory epithelium covering edematous stroma with a proliferative vessel and lymphoplasmacytic inflammatory cell infiltrationConclusion: Rhinolith is a rare condition with no or minimal symptoms. Management of rhinolith is extraction that can be performed under local or general anesthesia.
PENGARUH KEBIASAAN PENGGUNAAN ALAT PIRANTI DENGAR TERHADAP GANGGUAN PENDENGARAN PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA Veren Febriana Claudya; Komang Andi Dwi Saputra; I Wayan Sucipta; Luh Made Ratnawati
E-Jurnal Medika Udayana Vol 11 No 8 (2022): E-Jurnal Medika Udayana
Publisher : Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mendengarkan materi perkuliahan atau mendengarkan musik melalui alat piranti dengar sudah menjadi gaya hidup mahasiswa. Namun ternyata kebiasaan ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran. Menurut The National Health and Nutrition Examination Survey America pada tahun 1988, tercatat 15% remaja mengalami masalah pada pendengaran dan melonjak menjadi 19,5% pada tahun 2000. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kebiasaan penggunaan alat piranti dengar terhadap gangguan pendengaran pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian merupakan penelitian analitik korelasi dengan metode crosssectional menggunakan instrument berupa kuesioner untuk menilai kebiasaan penggunaan alat piranti dengar dan gangguan pendengaran terhadap 289 mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Hasil pengujian Fisher’s Exact Test menunjukkan adanya pengaruh (p<0.05) antara kebiasaan penggunaan alat piranti dengar dengan gangguan pendengaran pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Kata Kunci: alat piranti dengar, gangguan pendengaran, mahasiswa, kebiasaan.