Claim Missing Document
Check
Articles

Found 21 Documents
Search

GAMBARAN REAKSI RADANG LUKA POSTMORTEM PADA HEWAN COBA Wijaya, Yoczhan A.; Kalangi, Sonny J. R.; Kaseke, Martha M.
e-Biomedik Vol 3, No 1 (2015): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v3i1.8301

Abstract

Abstract: Skin is the most outer organ of human body which is very vulnerable to be injured. Injuries or wounds are destruction of the unity/components of tissues with damaged or missing of specific tissues. Normally, the body will respond to any injury/wound with the occurence of inflammatory process. Albeit, this inflammatory process does not only occur in living body; it can be microscopically identified in postmortem state. This study aimed to identify the inflammatory process microscopically in experimental animal postmortem. This was a descriptive experimental study. One local pig weighing 15 kg was used as model. Incised wounds were made on the lateral side of its abdomen with an interval of 1 hour from 0 to 12 hours postmortem. Tissues of 0-11 hour postmortem wounds were taken with a transversal excision at 12 hours postmortem. Tissues of 3, 6, 9, and 12 hour postmortem wounds were taken at 24 hours postmortem. The results showed that inflammatory process with increased number of PMN leucocytes in the dermis could be identified until 3-5 hours postmortem. However, since 6 hours postmortem the PMNs’ number had decreased. Conclusion: Inflammatory process of wounds could be identified until 3-5 hours postmortem.Keywords: injury/wound, inflammatory processAbstrak: Kulit merupakan organ tubuh terluar yang paling rentan terhadap terjadinya luka dibandingkan organ lainnya. Luka merupakan rusaknya kesatuan/komponen jaringan dimana secara terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Secara normal tubuh akan berespon terhadap cedera melalui proses radang yang terjadi baik saat masih hidup maupun setelah kematian yang dapat diamati secara mikroskopik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran mikroskopik reaksi radang luka setelah kematian (postmortem) yang diamati pada beberapa interval waktu sampai 24 jam postmortem dengan menggunakan hewan coba. Penelitian ini bersifat deskriptif eksperimental. Sampel penelitian menggunakan 1 ekor babi domestik dengan berat 15 kg. Luka insisi dibuat pada sisi lateral abdomen setiap interval 1 jam dimulai dari 0 jam sampai 12 jam postmortem. Untuk luka 0-11 jam postmortem dilakukan pengambilan jaringan dengan potongan melintang terhadap garis luka setelah 12 jam postmortem. Untuk luka 3, 6, 9, 12 jam dilakukan pengambilan jaringan 24 jam postmortem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reaksi radang ditandai oleh bertambahnya populasi leukosit PMN pad dermis dapat diamati sampai 3-5 jam postmortem. Sejak 6 jam postmortem jumlah sel-sel radang terlihat berkurang. Simpulan: Reaksi radang pada luka postmortem masih ditemukan sampai 3-5 jam postmortem.Kata kunci: luka, reaksi radang
PERBANDINGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA OBES 1 DAN OBES 2 Oway, Inri A. H.; Kalangi, Sonny J. R.; Pasiak, Taufik
e-Biomedik Vol 1, No 1 (2013): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v1i1.4563

Abstract

Abstract. Background. Triglycerides are a type of fat that can be found in blood which are stored the most in human body. Triglycerides are used as an energy source for various metabolic processes. High levels of triglycerides can lead to various health problems. Elevated triglycerides levels can be caused by various things, such as obesity. Obesity results when fat accumulates in body. Obesity and elevated triglycerides levels can affect human health. Objective. The aim for this research was to compare triglyceride levels of obese 1 and obese 2 students of Faculty of Medicine Sam Ratulangi University. Method. An observational method with cross sectional design research was done to compare triglyceride levels in obese 1 and obese 2 students of Faculty of Medicine Sam Ratulangi University  academic year 2010 and 2011. In the number of 49 people, (30 people were obese 1 and 19 people were obese 2). The data were analyzed using SPSS, test of hypothesis used Mann Whitney.  Result. The mean values of triglyceride levels in obese 1 students were 69,00 mg/dL and in obese 2 students were 85,53 mg/dL. Conclusion. There were significant differences on triglyceride levels in obese 1 and obese 2. Keyword: fat, obesity, triglyceride.   Abstrak. Latar Belakang. Trigliserida merupakan jenis lemak yang paling banyak pada tubuh manusia dan dapat ditemukan dalam darah. Trigliserida berguna sebagai sumber energi untuk berbagai proses metabolik tubuh. Akan tetapi jika kadar trigliserida terlalu tinggi maka dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Peningkatan kadar trigliserida dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya karena obesitas. Obesitas terjadi karena peningkatan akumulasi lemak dalam tubuh. Obesitas dan peningkatan kadar trigliserida dapat mempengaruhi tingkat kesehatan seseorang. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kadar trigliserida pada mahasiswa obes 1 dan obes 2 Angkatan 2010 dan 2011 di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Metode. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasional dan desain studi cross sectional untuk membandingkan kadar trigliserida pada mahasiswa obes 1 dan obes 2 Angkatan 2010 dan 2011 di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 49 orang yang terdiri dari 30 orang obes 1 dan 19 orang obes 2. Analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS dan uji hipotesis menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil. Kadar trigliserida rata-rata pada obes 1 sebesar 69,00 mg/dL dan kadar trigliserida rata-rata pada obes 2 sebesar 85,53 mg/dL. Kesimpulan. Secara statistik terdapat perbedaan bermakna kadar trigliserida pada obes 1 dan obes 2. Kata Kunci: lemak, obesitas, trigliserida.
GAMBARAN REAKSI RADANG LUKA ANTEMORTEM YANG DIPERIKSA 1 JAM POSTMORTEM PADA HEWAN COBA Kawulusan, Fariz R; Kalangi, Sonny J. R.; Kaseke, Martha M.
eBiomedik Vol 2, No 1 (2014): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.2.1.2014.9448

Abstract

Abstract: The skin is a protective layer of bone and is the largest organ of the function as protection against a wide variety of disorders, the effect of both physical and chemical influences. So that the skin is very susceptible to trauma and injury. Determination or more accurately estimate the age of the wound, although difficult in doing sometimes need to be made by doctors and conclusions contained in the visum et repertum, for example in cases of reconstruction are encountering difficulties in its implementation which means hamper the investigation process. A medical personnel need to master the knowledge of the injury before death (antemortem) and after death ( Postmortem ), in this case to determine the time of death. The goal is to facilitate post mortem et repertum make good and true. This study aims to determine the description of the antemortem wound inflammation in check 1 hour postmortem. This was a descriptive experimental study. A domestic pig weighing 20 kg was used as sample. The pig was physically healthy, smooth skin, no injuries, and no skin defects. The study consisted of 3 stages. First, isolated and fed the test animal; second, making incisions; third, network retrieval and presentation of results. Based on the results, the dead animal tissues were still able to deliver an inflammatory reaction until 1 hour post mortem. This shows that the determination of the intravital signs in forensic medicine should also consider the possibility of injuries occured immediately after death.Keywords: Injury, Inflammation Reaction, antemortem injury process, postmortem wounds.Abstrak: Kulit merupakan lapisan pelindung tulang dan merupakan organ terbesar dengan fungsi sebagai proteksi terhadap berbagai macam gangguan, baik pengaruh fisik maupun pengaruh kimia. Sehingga kulit sangat rentan terhadap trauma dan terjadinya luka. Penentuan atau lebih tepatnya perkiraan umur luka, walaupun sukar di lakukan kadang-kadang perlu dibuat oleh dokter dan dimuat didalam kesimpulan visum et repertum, misalnya dalam kasus-kasus rekonstruksi yang menemui kesulitan didalam pelaksanaanya yang berarti menghambat proses penyelidikan. Seorang tenaga medis perlu menguasai pengetahuan tentang terjadinya luka sebelum meninggal (Antemortem) dan setelah meninggal (Postmortem), dalam hal ini untuk menentukan waktu kematian. Tujuannya untuk mempermudah membuat visum et repertum yang baik dan benar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Gambaran reaksi radang luka antemortem yang di periksa 1 jam postmortem. Penelitian ini bersifat deskriptif eksperimental. Sampel penelitian mengunakan satu ekor babi domestik dengan berat 20 kg, secara fisik babi sehat, kulit mulus, tidak luka, dan tidak cacat. Penelitian dimulai dengan melakukan 3 tahap. Pertama, isolasi dan pemeliharaan hewan uji, kedua pembuatan luka insisi, ketiga pengambilan jaringan dan penyajian hasil. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pada jaringan hewan coba yang telah mati, ternyata masih dapat memberikan reaksi radang sampai 1 jam setelah pemulihan. Ini menunjukan bahwa penentuan tanda intravital kedokteran forensik harus mempertimbangkan juga kemungkinan luka yang terjadi segera setelah kematian.Kata kunci: Luka, Reaksi Radang, Proses Luka Antemortem, Luka Postmortem.
HUBUNGAN TINGGI BADAN DENGAN UKURAN LEBAR PANGGUL PADA MAHASISWI ANGKATAN 2010 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI Laming, Cristie Y.; Tanudjaja, George N.; Kalangi, Sonny J. R.
e-Biomedik Vol 1, No 1 (2013): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v1i1.1613

Abstract

Abstract: Body weight is one of growth indicators. The result of previous research show that women with less than 145 centimeter body weight are potentially has a pelvic stricture. Pelvic stricture is able to cause a coccygeal presentation that can cause natal death. The purpose is to know the correlation of body height and pelvic width which are distansia spinarum and distansia tuberum. The method of this research is observational – analytic using cross – sectional design. The study was conducted for three weeks. The amount of the subject is 80 subjects. The measure of body height and pelvic width of the subjects was being analyzed by the Pearson Correlation Analysis with α = 0,05.  The result show that there was a significant correlation of body height and measure of distansia spinarum with correlation coefficient +0,479. In the other side, there was nothing significant correlation of body height and measure of distansia tuberum with correlation coefficient +0,088. Conclusion: There have significant correlation of body height and measure of distansia spinarum but there have no significant correlation of body height and measure of distansia tuberum. Keywords : Body height, Pelvic Width Measure, Pelvic Stricture   Abstrak: Tinggi badan merupakan salah satu indikator pertumbuhan yang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa wanita yang memiliki tinggi badan kurang dari 145 cm berpotensi memiliki panggul sempit yang dapat menyebabkan kelainan letak sungsang dan mengakibatkan kematian perinatal. Tujuan penelitian  yaitu mengetahui hubungan antara tinggi badan dengan ukuran lebar panggul yaitu hubungan antara tinggi badan dengan ukuran distansia spinarum dan distansia tuberum. Metode penelitian yakni observasional– analitik dengan rancangan penelitian cross sectional. Penelitian ini dilakukan selama tiga minggu. Subjek yang diambil adalah 80 orang mahasiswi angkatan 2010. Subjek diukur tinggi badannya, kemudian diukur ukuran lebar panggul yaitu distansia spinarum dan distansia tuberum, lalu dianalisis menggunakan analisis korelasi Pearson dengan nilai α = 0,05. Hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat hubungan bermakna (p=0,000) antara tinggi badan dengan ukuran distansia spinarum dengan koefisien korelasi +0,479 sedangkan hubungan tinggi badan dengan ukuran distansia tuberum kurang bermakna (p=0,436) dengan koefisien korelasi +0,088. Simpulan: Terdapat hubungan bermakna antara tinggi badan dengan ukuran distansia spinarum namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tinggi badan dengan ukuran distansia tuberum. Kata Kunci : Tinggi Badan, Ukuran Lebar Panggul, Panggul Sempit.
GAMBARAN HISTOLOGIK GINJAL HEWAN COBA POSTMORTEM Rahmadana, Baldatun; Wangko, Sunny; Kalangi, Sonny J. R.
e-Biomedik Vol 2, No 2 (2014): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v2i2.4555

Abstract

Abstract: Estimation of postmortem interval plays some significant roles in medicolegal investigation. This was a descriptive experimental study using one local pig as model. Samples were taken from the right and left kidneys at several time intervals: 0 minute, 15 minutes, 30 minutes, 45 minutes, 60 minutes, 12 hours, and 24 hours postmortem. The results showed several histological changes, as follows: hydrophic degeneration in a small part of proximal tubules 30 minutes postmortem that increased after 45 minutes associated with narrowing of Bowman cavities; necrosis of glomeruli and proximal tubules associated with irregular distal tubular lumen and widening of Bowman cavities 60 minutes postmortem; necrosis of distal tubuli 12 hours postmortem; and necrosis of most kidney structures 24 hours postmortem. Conclusion: Hydrophic degeneration of proximal tubuli is the earliest histological change 30 minutes postmortem, followed by necrosis of glomeruli as well as proximal and distal tubuli that worsened after 24 hours postmortem. It is expected that this study can provide valuable contribution to medicolegal investigation, especially in early postmortem interval estimation.Keywords: postmortem interval, histological changes, postmortem, kidneyAbstrak: Penentuan saat kematian sangat penting dalam penyelidikan medikolegal. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-eksperimental dengan menggunakan satu ekor babi lokal sebagai obyek penelitian. Sampel diambil dari ginjal kanan dan kiri pada beberapa interval waktu; 0 menit; 15 menit; 30 menit; 45 menit; 60 menit; 12 jam; dan 24 jam postmortem. Hasil penelitian memperlihatkan degenerasi hidropik pada sebagian kecil tubuli proksimal 30 menit postmortem yang meluas setelah 45 menit disertai penyempitan kavum Bowman; pelebaran kavum Bowman, nekrosis glomeruli dan tubuli proksimal, lumen sebagian kecil tubuli distal ireguler 60 menit postmortem; nekrosis tubuli distal 12 jam postmortem; dan nekrosis hampir seluruh struktur-struktur tersebut 24 jam postmortem. Simpulan: Degenerasi hidropik tubuli proksimal merupakan perubahan histologik yang paling dini yaitu 30 menit postmortem, disusul oleh tanda-tanda nekrosis pada sebagian kecil glomeruli dan tubuli proksimal serta nekrosis tubuli distal yang meluas setelah 24 jam postmortem. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang bermakna untuk kepentingan medikolegal, terutama dalam perkiraan saat kematian dini.Kata kunci: saat kematian, perubahan histologik, ginjal
PERBANDINGAN KADAR HEMOGLOBIN DARAH PADA PRIA PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK Makawekes, Melkior T.; Kalangi, Sonny J. R.; Pasiak, Taufiq F.
eBiomedik Vol 4, No 1 (2016): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.4.1.2016.11250

Abstract

Abstract: Smoking habits have a bad effect for health, especially for respiratory organs. Various lung diseases arising from smoking include lung cancer and chronic obstructive pulmonary disease. In Indonesia, the prevalence of smokers is increasing not only men but also women. This study was performed to compare the levels of hemoglobin blood of smokers and nonsmokers in male students semester seventh of Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi. This study was an observational study. The population in this study is male students semester seventh of Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi period January 2012. The total sample is 60 students, consisting of 30 smokers students and 30 nonsmokers students. Based on research data, average values of blood hemoglobin that is 16.263 (mg / dl), with a standard deviation of 0.9320 (mg / dl), whereas in the study sample 30 male nonsmokers had an average value of blood hemoglobin that is 15.723 (mg / dl), with a standard deviation of 0.8207 (mg / dl). Results of this study concluded that statistically there is comparison blood hemoglobin levels in student semester seventh period 2012 Faculty of Medicine, University of Sam Ratulangi both smokers and non smokers.Keywords: hemoglobin, male smokers and nonsmokers.Abstrak: Kebiasaan merokok mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan terutama pada organ pernafasan. Berbagai penyakit paru timbul akibat rokok antara lain kanker paru dan penyakit paru obstruktif kronik. Di Indonesia prevalensi perokok makin meningkat tidak saja laki-laki namun juga pada perempuan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan kadar hemoglobin darah perokok dan bukan perokok pada mahasiswa pria Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi semester tujuh. Adapun penelitian ini adalah penelitian observasional. Populasi dalam penelitian ini seluruh mahasiswa pria semester 7 Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado periode Januari 2012. Jumlah sampel 60 mahasiswa, yang terdiri dari 30 mahasiswa perokok dan 30 mahasiswa bukan perokok. Berdasarkan data hasil penelitian didapatkan nilai rata-rata hemoglobin darah yaitu 16,263 (mg/dl), dengan standar deviasi 0,9320 (mg/dl), sedangkan pada sampel penelitian 30 pria bukan perokok memiliki nilai rata-rata hemoglobin darah yaitu 15,723 (mg/dl), dengan standar deviasi 0,8207 (mg/dl). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara statistik ada perbandingan kadar hemoglobin darah mahasiswa semester tujuh tahun ajaran 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado yang perokok dan bukan perokokKata kunci: kadar hemoglobin, pria perokok dan bukan perokok.
Gambaran struktur kulit hewan coba pada beberapa interval waktu postmortem Abeng, Kartika A.; Kalangi, Sonny J. R.; Wangko, Sunny
e-Biomedik Vol 4, No 1 (2016): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v4i1.10820

Abstract

Abstract: This study aimed to obtain the postmortem histological changes of the skin. This was an experimental-descriptive study using one pig as model. Samples were taken at several time intervals during 24 hours postmortem: 0 hour; 1 hour; 2 hours; 3 hours; 4 hours; 5 hours; 6 hours; 7 hours; 8 hours; 9 hours; 10 hours; 11 hours; 11 hours; 12 hours; and 24 hours. The results showed that histological changes of the skin began to occur in 4 hours postmortem in the form of epidermal congestion. In 5 hours postmortem Meissner corpuscles could not be identified anymore. In 7 hours postmortem most cells of epidermis showed karyolysis. In 8 hours postmortem Langerhans cells could not be identified anymore. In 9 hours postmortem structure epidermal cells can not be identified. In 24 hours postmortem, borders of the epidermis and dermis could not be identified. Conclusion: Postmortem changes in the histological structure of the skin were consecutively: epidermal congestion, Meissner corpuscles and Langerhans cells could not be identified, and karyolysis of epidermal cells. In 24 hours postmortem, most of the skin architecture was unidentified. It is expected that these postmortem histological changes of the skin could be applied in the medicolegal investigation especially for death cases of less than 24 hours postmortem, therefore, further studies are needed.Keywords: structure, skin, postmortemAbstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan perubahan gambaran histologik kulit postmortem. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksperimental dengan babi sebagai hewan coba. Sampel jaringan kulit diambil pada interval waktu 0 jam; 1 jam; 2 jam; 3 jam; 4 jam; 5 jam; 6 jam; 7 jam; 8 jam; 9 jam; 10 jam; 11 jam; 12 jam; dan 24 jam postmortem. Hasil penelitian memperlihatkan perubahan struktur mulai tampak 4 jam postmortem berupa kongesti epidermis kulit. Pada 5 jam postmortem badan Meissner tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 7 jam postmortem sebagian sel-sel epidermis mulai kariolisis. Pada 8 jam postmortem sel Langerhans tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 9 jam postmortem struktur sel-sel epidermis tidak dapat diidentifikasi. Pada 24 jam postmortem batas epidermis dan dermis tidak dapat diidentifikasi. Simpulan: Perubahan struktur kulit postmortem yang dimulai pada 4 jam postmortem ialah sebagai berikut: kongesti epidermis, badan Meissner dan sel Langerhans tidak dapat diidentifikasi, dan kariolisis sel-sel epidermis. Pada 24 jam postmortem arsitektur kulit telah menjadi tidak tegas. Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk kepentingan medikolegal, terutama pada kematian ≤24 jam.Kata kunci: struktur histologik kulit, postmortem
HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS FISIK DENGAN LINGKAR PINGGANG PADA SISWA OBES SENTRAL Ra Pati Tiala, Maria Elisabeth Adeline; Tanudjaja, George N.; Kalangi, Sonny J. R.
e-Biomedik Vol 1, No 1 (2013): eBiomedik
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/ebm.v1i1.4581

Abstract

Abstract: Background. Obesity has become a worldwide problem. Obesity is caused by energy intake that is greater than energy expenditure. Physical activity is one of energy expenditure. Measuring waist circumference is a method that frequently done to determine obesity. Physical activity can reduce waist circumference regarding decreased body fat percentage especially in visceral fat. Objective. This research was aimed to know the relationship between physical activity and waist circumference in central obese students. Method. An observational method with cross sectional design research was done in November and December 2012 in Saint Ignatius Catholic High School Malalayang Manado. Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ) is used in measuring physical activity. Waist circumference was measured with OneMed tape. The analysis used Spearman correlation test. Result. The waist circumferences of 61 respondents were in central obesity. The lowest value of Metabolic Energy Turnover (MET) was 900 MET-minutes/week and the highest was 2,900 MET-minutes/week. In 10 men respondents, the smallest waist circumference was 90.2 cm and the biggest was 110.5 cm. In 51 women respondents, the smallest waist circumference was 80.3 cm and the biggest was 99.0 cm. Conclusion. There was no significant relationship between physical activity and waist circumference (p=0,077). Keyword: physical activity, waist cifcumference, obesity, central obese.   Abstrak: Latar Belakang. Obesitas menjadi masalah di seluruh dunia. Obesitas disebabkan karena masukan energi melebihi penggunaan energi. Aktivitas fisik ialah salah satu penggunaan energi. Cara yang sering digunakan untuk menentukan obesitas yaitu dengan mengukur lingkar pinggang. Aktivitas fisik mampu menurunkan ukuran lingkar pinggang karena berkaitan dengan penurunan persentase lemak tubuh terutama lemak viseral. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dengan lingkar pinggang pada siswa obes sentral. Metode. Penelitian observasional dengan desain cross sectional dilaksanakan pada Bulan November sampai Desember 2012 di SMA Katolik Santo Ignatius Malalayang Manado. Pengukuran aktivitas fisik menggunakan kuesioner Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ). Lingkar pinggang diukur dengan pita ukur OneMed. Analisis menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil. Sebanyak 61 responden mempunyai lingkar pinggang dengan obes sentral. Nilai Metabolic Energy Turnover (MET) terendah ialah 900 MET-menit/minggu dan tertinggi ialah 2.900 MET-menit/minggu. Pada 10 responden laki-laki, lingkar pinggang paling kecil yaitu 90,2 cm dan paling besar 110,5 cm. Pada 51 responden perempuan, lingkar pinggang paling kecil ialah 80,3 cm dan paling besar ialah 99,0 cm. Simpulan. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan lingkar pinggang (p=0,077). Kata kunci: aktivitas fisik, lingkar pinggang, obesitas, obes sentral.
PENENTUAN DERAJAT LUKA DALAM VISUM ET REPERTUM PADA KASUS LUKA BAKAR Kristanto, Erwin G.; Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4346

Abstract

Kebutuhan masyarakat atas berbagai dokumen medikolegal kian meningkat seiring peningkatan kesadaran masyarakat atas hak hukumnya. Setiap dokter, dalam berbagai tingkat pelayanan kesehatan, diwajibkan mampu untuk memberikan pelayanan forensik dan medikolegal, khususnya visum et repertum. Visum et repertum yang dibuat seorang dokter harus dapat membantu penegakan hukum melalui kesimpulan yang sesuai dengan ilmu kedokteran dan kebutuhan penegakan hukum. Pada kasus dugaan penganiayaan yang mengakibatkan korban menderita luka bakar, maka amat penting bagi para penegak hukum untuk memperoleh pendapat ilmiah dokter mengenai derajat keparahan atau derajat luka dari korban tersebut. Pendapat ilmiah mengenai derajat luka ini akan membantu aparat penegak hukum dalam menentukan beratnya hukuman yang diancamkan pada pelaku. Kesimpulan dokter akan membawa dampak besar bagi pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana tersebut, sehingga pengambilan kesimpulan yang tepat amatlah penting.
Gambaran Mikrokopik Serebelum pada Hewan Coba Postmortem Nangoy, Belinda V.; Kalangi, Sonny J. R.; Pasiak, Taufiq F.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 11, No 1 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.11.1.2019.23205

Abstract

Abstract: After death, there will be cellular changes that cause definite signs of death. These changes could be used to determine the time of death. This study was aimed to determine the microscopic changes of the cerebellum during 1 hour to 24 hours postmortem. This was a descriptive study. Four domestic pigs of more than 90 kg were used as animal models. After being killed, we made slices in the pig heads to expose and observe cerebellar microscopic changes in several time intervals, as follows: 90 minutes, 2 hours, 3 hours, 4 hours, 5 hours, 6 hours, 7 hours, 8 hours, 9 hours, 10 hours, 11 hours, 12 hours, 13 hours, 14 hours, 15 hours, 16 hours, 17 hours, 18 hours, 19 hours, 20 hours, 21 hours, 22 hours, 23 hours, and 24 hours postmortem. The results showed that the cerebellum became progressively pale and softened at 8 hours postmortem. Congestion in all tissues occured at 2 hours postmortem, however 69.2% of the Purkinje cells still had normal nuclei. At 7 hours postmortem, Purkinje cells began to enlarge associated with karyorrhexis, and at 21 hours postmortem most of the cells shrank. Albeit, at 24 hours postmortem the cerebellar layers could still be identified and some Purkinje cells with normal morphology could be found. Conclusion: Microscopic changes could be identified at 2 hours postmortem in the form of congestion of the cerebellar layers. Purkinje cells underwent karyorrhexis at 7 hours postmortem and shrank at 21 hours postmortem.Keywords: Purkinje cells, cerebellar layers, postmortemAbstrak: Setelah kematian, terjadi perubahan pada sel-sel yang menimbulkan tanda-tanda pasti kematian. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat membantu menentukan saat kematian dalam suatu kasus hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan mikroskopik serebelum selama interval waktu 1 jam hingga 24 jam postmortem. Jenis penelitian ialah deskriptif. pada hewan coba babi dengan rerata berat lebih dari 90 kg. Setelah hewan coba dimatikan, dibuat irisan di bagian kepala untuk menampakkan serebelum dan mengamati perubahan mikroskopiknya pada rentang waktu 90 menit, 2 jam, 3 jam, 4 jam, 5 jam, 6 jam, 7 jam, 8 jam, 9 jam, 10 jam, 11 jam, 12 jam, 13 jam, 14 jam, 15 jam, 16 jam, 17 jam, 18 jam, 19 jam, 20 jam, 21 jam, 22 jam, 23 jam, dan 24 jam postmortem. Hasil penelitian mendapatkan serebelum tampak pucat dan melunak secara progresif pada 8 jam postmortem. Kongesti di semua jaringan mulai terjadi pada 2 jam postmortem dan ditemukan 69,2% sel Purkinje berinti yang masih normal. Sel Purkinje mulai membesar dan inti mengalami karioreksis pada 7 jam postmortem tetapi pada 21 jam postmortem sel-sel tersebut tampak menyusut. Meskipun demikian hingga 24 jam postmortem struktur lapisan serebelum masih dapat diidentifikasi dan sel Purkinje dengan morfologi normal masih ditemukan. Simpulan: Perubahan mikroskopik serebelum sudah dapat diidentifikasi pada 2 jam postmortem yaitu berupa kongesti lapisan serebelum. Sel Purkinje mengalami karioreksis pada 7 jam postmortem dan menyusut pada 21 jam postmortem.Kata kunci: sel Purkinje, lapisan serebelum, postmortem