Joevarian Joevarian
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Kampus Baru UI - Depok 16424, Indonesia

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Extended Intergroup Contact and Outgroup Attitude of Students in Public and Religious Homogeneous Schools: Understanding the Mediating Role of Ingroup Norms, Outgroup Norms, and Intergroup Anxiety Yustisia, Whinda; Hudiyana, Joevarian; Muluk, Hamdi
Jurnal Psikologi Vol 48, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Psychology, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jpsi.42419

Abstract

Previous studies had shown the benefits of extended intergroup contact for outgroup attitude, mainly when direct intergroup contact is blocked. However, there have not studies that attempt to directly compare the role of extended contact in outgroup attitude across different contexts. The present study aimed to fill the gap by examining the relationship of extended intergroup contact and outgroup attitude in three different contexts: public schools, moderate Islamic Boarding School, and fundamentalist Islamic Boarding School. These schools differ in the level of group heterogeneity. Possible mechanisms that could explain the relationship were also examined: ingroup norms, outgroup norms, and intergroup anxiety. Two correlational studies were conducted to test the hypotheses—study 1 employed 126 Muslim public high school students employed as participants, study 2 employed 112 participants from a more fundamentalist Islamic Boarding School and 230 participants from a more moderate Islamic Boarding Schools. Across studies, we found evidence that extended intergroup contact indirectly predicted outgroup attitude. However, different social contexts involve different mechanisms. This difference is attributed to direct intergroup contact.
PENGARUHGROUP SIZE TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN KELOMPOK Diah Diah Nurayu Kusumawardani; Joevarian Joevarian; Nezza Nehemiah; Pramwidya Mazmur Novia; Putu Widiastiti Giri
HUMANITAS: Indonesian Psychological Journal Vol 10, No 2: Agustus 2013
Publisher : Universitas Ahmad Dahlan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (320.778 KB) | DOI: 10.26555/humanitas.v10i2.338

Abstract

AbstractPeople have to deal with problems on a daily basis. Problems mayappear both at the individual level and at the group level. Effective methods to deal with problems become essential. This paper questons ‘Does the number of people in a single group matter in effective problem solving? Previous studies have shown inconsistencies of results. This paper aims to find a cause-effect relationship between group size and the effectivity of problem solving wthin the group. There are two types of experimentalgroups with the total of 16 groups. The first eight consists of 4 people and the latter consists of 8 people within a group. One-tailed hypothesis stated that groups of 4 will perform better than groups of 8. Every group was given a same case to be solved. While the observed group dynamics differences existed, the results showed that the group of 4 is no better than the groups of 8 in terms of decision making effectivity. The results, will befurther discussed.Key word: Group Dynamic, Group Size, Decision Making Effectiveness
Pesan dari Managing Editor Joevarian Hudiyana
Jurnal Psikologi Sosial Vol 17 No 2 (2019): August
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (70.289 KB) | DOI: 10.7454/jps.2019.8

Abstract

Salam sejahtera, Untuk volume 17 edisi 2 tahun 2019, Jurnal Psikologi Sosial (JPS) menerbitkan tujuh naskah dengan topik yang menyentuh berbagai fenomena di masyarakat Indonesia. Tiga naskah mendemon-strasikan perspektif dan temuan baru yang sangat relevan untuk memahami masalah sosial Indonesia seperti kemiskinan (Andayani, Hardjono, & Anggarani, 2019), kebersihan lingkungan (Afifah & Djuwita, 2019), dan sikap terhadap pajak (Susilawati & Hidayat, 2019). Dua naskah lainnya memeriksa determinan dibalik penggunaan teknologi baru yang maladaptif seperti cyberbullying (Safaria & Rizal, 2019) dan phubbing (Vetsera & Sekarasih, 2019). Terdapat pula naskah yang secara kualitatif men-jawab inkonsistensi temuan sebelumnya terkait bagaimana individu melalui keretakan keluarga (Savitri, Takwin, Ariyanto, & Noviyanti, 2019). Terakhir namun tidak kalah pentingnya, naskah oleh Rachmanputra dan Milla (2019) menemukan pola menarik terkait pemberian donasi dalam konteks relasi keagamaan di Indonesia. Pada kesempatan ini, saya akan mendeskripsikan sekilas mengenai temuan dari naskah-naskah pada volume 17 edisi 2 tahun 2019. Namun sebelumnya, izinkan saya untuk mem-berikan catatan tentang perkembangan JPS sampai pertengahan tahun 2019. Pada pertengahan tahun 2019 ini, Jurnal Psikologi Sosial (JPS) mengalami dua perkembangan yang substansial. Pertama, JPS dengan bangga mengumumkan bahwa empat akademisi bereputasi di bidang Psikologi Sosial telah bergabung dalam jajaran dewan editor. Dari Universitas Brawijaya Malang, JPS kedatangan Bapak Ali Mashuri, Ph.D yang banyak berkecimpung di riset-riset relasi inter-grup. Kita juga kedatangan Bapak Indra Yohanes Kiling dari Universitas Nusa Cendana, Nusa Tenggara Timur dengan kepakaran di bidang psikologi komunitas dan perkembangan anak dalam konteks sosial. Ada juga Bapak Mohammad Abdul Hakim, Ph.D (cand) dari Universitas Sebelas Maret, Solo yang banyak me-lakukan penelitian di bidang psikologi ulayat dan kebudayaan. Dari Universitas Airlangga, JPS keda-tangan Bapak Dr. Rahkman Ardi yang melakukan banyak penelitian di bidang perilaku online dan pengukuran psikologi. Riset-riset keempat editor JPS ini telah dipublikasikan di jurnal bereputasi seperti British Journal of Social Psychology, Group Processes & Intergroup Relations, Social Psychological and Personality Science, Disability and Rehabilitation, International Journal of Psychology, Asian Journal of Social Psychology, Journal of Happiness Studies, Journal of Information, Communication and Ethics in Society, dan masih banyak lagi. Kedua, meski baru kembali aktif dalam dua tahun, JPS telah berhasil memperoleh akreditasi dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (RISTEKDIKTI). Tidak tanggung-tanggung, JPS berhasil memegang peringkat SINTA 2 sehingga sudah bisa dianggap setara dengan beberapa jurnal-jurnal psi-kologi bereputasi di tingkat nasional lainnya. Tentu ini adalah capaian yang sangat monumental bagi JPS dan tidak bisa dipisahkan dari kerja keras yang dilakukan oleh seluruh tim manajemen JPS selama dua tahun terakhir. Meski demikian, JPS masih harus berkembang lebih jauh agar mampu meraih status sebagai jurnal bereputasi yang diakui dalam indeksasi internasional. Dalam keluaran kedua di tahun 2019 ini, terdapat naskah-naskah di JPS yang memeriksa bagaimana konsep kemiskinan dan pajak direp-resentasikan dalam bahasa masyarakat Indonesia sehari-hari. Dalam risetnya, Andayani, Hardjono dan Anggarani berusaha memberikan perspektif baru tentang kemiskinan khususnya dalam benak mas-yarakat di Indonesia. Sebelumnya, kemiskinan seringkali hanya dipandang dalam kerangka materi. Namun dalam benak masyarakat Indonesia, kemiskinan tidak hanya direpresentasikan dalam bentuk material, melainkan juga dalam bentuk spiritual. Sementara itu Susilawati dan Hidayat berusaha menunjukkan bukti empiris tentang bagaimana Pegawai Negeri Sipil (PNS) merepre-sentasikan konsep pajak, lewat pendekatan teori representasi sosial. Usaha tersebut dilakukan karena ditemukan adanya konsistensi pada temuan-temuan sebelumnya. Dua naskah lainnya mencoba untuk melihat determinan dibalik perilaku harmful dalam penggunaan teknologi baru seperti cyberbullying (perundungan di dunia maya) dan phubbing (mengacuhkan orang lain atau lingkungan dengan memainkan ponsel). Riset Safaria dan Rizal menemukan bahwa rendahnya skor perilaku cyberbullying diprediksi oleh tingginya skor extraversion dan tingginya skor secure attachment. Ini kontradiktif dengan temuan-temuan sebelumnya. Sementara itu riset Vetsera dan Sekarasih meng-eksplorasi kenapa phubbing dilakukan dan riset ini menghasilkan temuan yang menarik. Ada tiga tema yang muncul sebagai alasan individu melakukan phubbing yaitu obsesi terhadap ponsel, rasa takut tertinggal atau fear of missing out, dan candu terhadap permainan video dalam ponsel. Tiga naskah berikutnya mencoba memahami proses mendasar di psikologi, yaitu persepsi. Dari riset-riset ini, persepsi masih bisa dikatakan berperan penting dalam menjelaskan perilaku pemilahan sam-pah, refleksi dalam krisis, serta bias kelompok. Riset Afifah dan Djuwita mengeksplorasi tema apa yang muncul sebagai alasan penjual kantin dalam memilah sampah. Ditemukan bahwa persepsi akan kontrol perilaku memprediksi perilaku pemilahan sampah. Sementara itu Savitri, Takwin, Ariyanto, dan Noviyanti berusaha menjawab inkonsistensi dari temuan sebelumnya terkait perspektif (orang pertama vs. orang ketiga) dalam refleksi pengalaman negatif, khususnya pengalaman retaknya rumah tangga. Dite-mukan bahwa refleksi dengan penggunaan kata ganti pelaku dan kata ganti pengamat sama-sama adaptif, namun tidak bekerja dengan mekanisme yang sama. Terakhir, eksperimen Rachmanputra dan Milla meli-hat apakah ada perbedaan skor bias kelompok saat aktivasi sudut pandang Tuhan (vs. diri sendiri) dimani-pulasi. Tidak ditemukan adanya perbedaan skor pada variabel bias kelompok. Sehingga, riset ini mem-falsifikasi temuan sebelumnya yang justru menemukan pola sebaliknya. Naskah-naskah yang kami publikasikan dalam edisi ini merefleksikan semangat untuk mengem-bangkan ilmu psikologi sosial di Indonesia. JPS mema-hami bahwa seringkali kita tidak bisa mengaplikasikan begitu saja teori-teori yang dikembangkan di negara-negara maju. Maka dari itu, dua naskah kami mengeksplorasi konsep kemiskinan dan pajak dari bahasa yang direpresentasikan dalam kebudayaan Indonesia. Kami juga tidak lupa bahwa perkembangan zaman berdampak pada fenomena-fenomena baru yang perlu pemahaman lebih lanjut. JPS dengan bangga mempublikasikan dua naskah yang mencoba mema-hami fenomena perilaku penggunaan teknologi baru (cyberbullying dan phubbing). Akan tetapi, JPS juga terus senantiasa mempublikasikan temuan-temuan baru terkait proses mendasar di bidang pikologi sosial, seperti persepsi. Agustus 2019 Managing Editor Jurnal Psikologi Sosial Joevarian Hudiyana*
Catatan dari Managing Editor Joevarian Hudiyana
Jurnal Psikologi Sosial Vol 18 No 1 (2020): February
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.512 KB) | DOI: 10.7454/jps.2020.01

Abstract

Salam sejahtera, Tahun 2020 ini menandakan awal dari akhir sebuah dekade dimana terjadi berbagai perubahan sosial dan teknologi. Pertama, diketahui bahwa teknologi internet dan media sosial ternyata memang mempengaruhi perilaku manusia di berbagai konteks. Dalam perilaku politik, misalnya, data-data yang diberikan oleh individu di berbagai platform media sosial ternyata dimanfaatkan untuk kepentingan politisi – sebagaimana tercatat dalam skandal Facebook – Cambridge Analytica pada 2015 silam (Davies dalam The Guardian, 11 Desember 2015). Berbagai berita palsu atau fake news dan hoax juga menjadi masalah yang berdampak pada masalah sosial dan stabilitas ekonomi di beberapa negara. Belum lagi jika kita perhitungkan masalah adiksi internet dan media sosial di level individu. Namun, tidak selamanya perkembangan teknologi seperti internet dan media sosial memicu dampak negatif. Dari sisi lain, teknologi membantu kita untuk mempermudah hidup juga. Komunikasi antar individu, antar identitas, dan antar kelompok terjadi lebih mudah dan cepat. Terjadi juga transformasi yang cukup substansial pada perilaku konsumen, seiring dengan pemanfaatan platform-platform media sosial dan aplikasi di smartphone untuk memperdagangkan produk dan jasa. Dalam berbagai domain, riset-riset tentang perilaku siber masih sangat diperlukan di Indonesia. Kedua, satu dekade terakhir ini juga ditandai dengan eskalasi konflik antar identitas yang terjadi di seluruh dunia. Mulai dari polarisasi politik di beberapa negara, konflik berkaitan dengan imigrasi di Eropa dan Amerika Serikat, sampai pada kasus-kasus ekstremisme dan terorisme. Permasalahan global ini memicu pertanyaan, “bagaimana seharusnya kita hidup secara bersama-sama?” Riset-riset tentang intergrup dan multikulturalisme baik dari segi konlik antar kelompok, kontak dan relasi antar kelompok, sampai pada riset-riset tentang kepemimpinan dalam kelompok multikultural. Tidak hanya itu, eksplorasi tentang nilai-nilai budaya dari masyarakat non-WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich, dan Democratic) juga masih dibutuhkan (Henrich, Heine, & Norenzayan, 2010) untuk memberikan informasi mengenai budaya-budaya yang belum banyak diteliti sebelumnya; sehingga kita bisa memahami dinamika psikologis dan sosial yang terjadi pada budaya selain Eropa Barat dan Amerika Utara. Ini penting agar psikologi sosial tidak berusaha menggeneralisasi teori tanpa memahami terlebih dulu konteks-konteks emic. Ketiga, organisasi, industri, dan workforce juga terus dituntut untuk beradaptasi seiring dengan cepatnya arus informasi dan laju perkembangan teknologi. Penting bagi individu untuk beradaptasi mengikuti perkembangan-perkembangan itu. Di level individual, para pekerja perlu memiliki kesiapan untuk berubah agar bisa beradaptasi dengan perubahan organisasi. Mereka juga perlu untuk senantiasa mengevaluasi apakah kompetensi mereka memang masih sesuai dengan kebutuhan di organisasi. Keempat, isu perubahan iklim dan penyelamatan lingkungan semakin mendesak tindakan dari berbagai elemen masyarakat. Usaha menyelamatkan lingkungan juga menuntut peranan dari psikologi sosial, karena melibatkan perilaku-perilaku yang masuk dalam kajian psikologi sosial selama ini seperti aksi kolektif, perilaku berkelanjutan (sustainable behavior), aktivisme, dan perilaku mengorbankan diri demi suatu identitas atau kelompok. Sesuai dengan perkembangan kondisi global yang terjadi, Jurnal Psikologi Sosial (JPS) berusaha mempublikasikan naskah-naskah yang relevan dengan perubahan sosial dan teknologi pada dekade terakhir ini. Sehingga, JPS senantiasa berusaha berkontribusi dengan memberikan wawasan-wawasan teoretis yang sesuai dengan perkembangan zaman. Meski begitu, JPS tetap mengutamakan aspek kebaruan teoretis dari setiap naskah. Tiga naskah mendemonstrasikan temuan terkait penggunaan teknologi siber dan kaitannya dengan adiksi (Rahardjo, Qomariyah, Andriani, Hermita, & Zanah, 2020), penyesuaian diri secara sosial (Malay & Nataningsih, 2020), dan perilaku konsumen (Amalia & Sekarasih, 2020). Dua naskah berikutnya membicarakan topik budaya dan kaitannya dengan kepemimpinan (Hidayat, Sumertha, & Istiana, 2020) serta nilai-nilai lokal lintas etnis (Nashori, Nurdin, Herawati, Diana, & Masturah, 2020). Kemudian, dua naskah terakhir membahas mengenai kesiapan berubah (Mardhatillah & Rahman, 2020) dan kompetensi saat terjadi ketidaksesuaian latar belakang pendidikan (Wardani & Fatimah, 2020) dalam konteks organisasi. Melalui kesempatan ini, JPS juga menginformasikan bahwa Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Sosial ke-10 (TEMILNAS IPS X) akan diadakan pada 13-15 April 2020. Sesuai dengan mendesaknya isu lingkungan global, dalam pertemuan akbar tahunan tersebut diangkat tema “Kontribusi Psikologi Sosial dalam Masalah Lingkungan: Proteksi, Konservasi, dan Kualitas Interaksi Sosial”. Narasumber keynote dari acara ini adalah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar dan Profesor dengan kepakaran psikologi sosial dari University of Queensland, Australia yaitu Professor Winnifred Louis, Ph.D. TEMILNAS IPS X akan diadakan di Golden Tulip Galaxy Hotel, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Partisipasi dari para akademisi dan praktisi di bidang Psikologi Sosial atau bidang terkait tentunya sangat diharapkan. JPS senantiasa berusaha untuk berkontribusi dalam mengembangkan teori-teori psikologi sosial lewat temuan-temuan empiris di Indonesia. Namun, JPS juga tidak lupa bahwa perubahan sosial dan teknologi yang cepat terus terjadi sehingga psikologi sosial juga perlu terus menginvestigasi topik-topik yang relevan dengan perkembangan zaman.
Catatan editor untuk edisi khusus tren metodologi: Paradigma dan metodologi psikologi sosial dalam kebudayaan non-WEIRD Moh. Abdul Hakim; Joevarian Hudiyana
Jurnal Psikologi Sosial Vol 18 No 2 (2020): Special Issue - Methodological Trends in Social Psychology: Indonesian Context
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.7454/jps.2020.10

Abstract

Salam sejahtera, Pada tahun 2015 silam, lebih dari 100 peneliti dari berbagai institusi di beberapa benua melakukan sebuah usaha replikasi penelitian besar-besaran. Tak kurang dari 100 eksperimen yang terbit dalam jurnal psikologi bereputasi diuji kembali untuk menemukan apakah memang betul hasil eksperimen sesuai dengan laporan asli. Ternyata, hanya 68% dari usaha replikasi itu yang berhasil menemukan bukti signifikan secara statistik (Open Science Collaboration, 2015). Masalah yang dikemukakan oleh komunitas Open Science Collaboration ini menggegerkan ilmu psikologi, tak terkecuali psikologi sosial. Sejak munculnya isu krisis replikasi ini, berbagai temuan – mulai dari yang klasik sampai yang kontemporer dalam bidang psikologi – dipertanyakan kembali keabsahannya. Beberapa tahun kemudian, pakar neurosains kognitif dan advokat sains terbuka Christopher D. Chambers dari Cardiff University mempublikasikan sebuah buku yang membahas masalah fundamental dalam praktik ilmiah di psikologi. Dalam buku yang ia beri judul “The 7 Deadly Sins of Psychology” (7 Dosa Besar Psikologi), ia memaparkan sejumlah isu dimana metodologi merupakan salah satu isu yang bermasalah dalam psikologi (Chambers, 2019). Analisis statistik dan penentuan metodologi dalam riset-riset psikologi dianggap terlalu fleksibel sehingga rentan untuk dimanipulasi oleh peneliti. Tidak kalah pentingnya dan konsisten dengan temuan Open Science Collaboration, ilmu psikologi juga dianggap tidak reliabel. Temuan-temuan penting bisa tidak konsisten ketika diuji kembali dengan metode yang sama. Masalah pada reliabilitas temuan seperti itu bisa diatribusikan ke berbagai faktor. Pertama, psikologi belum membudayakan replikasi. Padahal, disiplin ilmu alam seperti fisika senantiasa berusaha mereplikasi temuan-temuan laboratorium mereka (Franklin, 2018). Kedua, adalah masalah fraud serta pelaporan metodologi atau analisis yang terlalu fleksibel sebagaimana dikemukakan Chambers (Chambers, 2019). Selain kedua alasan tersebut, ada satu alasan lain yang nampaknya jarang dibahas – bahwa ada faktor kebudayaan atau kontekstual yang menyebabkan kondisi studi asli dan studi berikutnya mengalami perbedaan. Alasan ini dikemukakan oleh Stroebe dan Strack (2014) dalam artikel mereka yang isinya mengemukakan bahwa replikasi dengan temuan sama persis itu sangat sulit terjadi. Faktor perbedaan budaya adalah isu yang substansial dan perlu diperhatikan dalam ilmu psikologi. Ini sudah lama ditekankan oleh Henrich, Heine, dan Norenzayan (2010) dalam artikel mereka yang berjudul “The weirdest people in the world?”. Menurut mereka, banyak (jika tidak dibilang mayoritas) riset psikologi dilakukan di komunitas atau negara WEIRD (Western – kebudayaan barat, Educated – sampel mahasiswa atau kaum terdidik, Industrialized – negara industri maju, Rich – kalangan ekonomi menengah keatas, dan Democratic – negara demokratik). Dengan kata lain, teori-teori yang dihasilkan dari riset-riset psikologi hanya terfokus pada kebudayaan WEIRD seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, namun mengabaikan konteks-konteks budaya lainnya. Sehingga, usaha generalisasi suatu teori tanpa memahami konteks lokal dari tiap kebudayaan non-WEIRD bisa menghasilkan temuan yang tidak konsisten. Menyadari betapa fundamentalnya isu kebudayaan ini, Jurnal Psikologi Sosial (JPS) mengeluarkan isu khusus tentang perspektif dan isu metodologi dalam psikologi sosial. Dalam isu khusus ini, JPS mempublikasikan naskah-naskah yang mengevaluasi perspektif atau paradigma yang muncul dari kebudayaan atau masyarakat WEIRD. Dalam naskah yang berjudul “Social neuroscience: Pendekatan multi-level integratif dalam penelitian psikologi sosial”, Galang Lufityanto berusaha mengulas potensi dari perspektif neurosains kognitif untuk psikologi sosial dalam konteks manusia Indonesia. Artikel ini sangat penting karena perspektif biologis seperti neurosains kognitif perlu direplikasi di berbagai konteks masyarakat berbeda (Fischer & Poortinga, 2018) agar terhindar dari generalisasi yang terlalu cepat. Sementara dalam naskah yang berjudul “Epistemological violence, essentialization dan tantangan etik dalam penelitian psikologi sosial”, Monica Eviandaru Madyaningrum berusaha mendiskusikan isu etika dalam riset psikologi sosial. Seringkali, psikologi sosial mengadopsi pandangan etika yang muncul dari kebudayaan seperti Amerika Serikat dimana etika prosedural yang terfokus pada individu menjadi tolak ukurnya. Padahal, etika juga men-cakup kerangka berpikir dan relasi kuasa yang terjadi dalam masyarakat. Naskah ini mengajak kita untuk keluar dari isu etika individu menjadi isu etika dalam relasi antar elemen masyarakat, sehingga lebih sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia. Isu khusus ini tidak hanya terfokus pada persoalan paradigma epistemik dan etika dalam psikologi sosial. Beberapa naskah berikutnya membahas tentang potensi penggunaan metode alternatif untuk riset-riset psikologi sosial. Andrian Liem dan Brian J. Hall dalam naskah mereka yang berjudul “Respondent-driven sampling (RDS) method: Introduction and its potential use for social psychology research” membahas potensi metode pencarian sampel (sampling) yang lebih superior daripada metode non-probabilitas lain tetapi juga lebih mungkin dilakukan dibandingkan metode random sampling. Dalam metode respondent-driven sampling (RDS), peneliti merekrut partisipan berdasarkan struktur jejaring atau rasa saling percaya antar partisipan. Mengingat masyarakat Indonesia beroperasi berdasarkan struktur relasi dan rasa saling percaya (Hopner & Liu, in press), metode RDS ini sangat menjanjikan untuk diterapkan. Bukan hanya karena kemudahan dalam pengambilan data, namun juga karena potensinya untuk lebih mampu menggeneralisasi temuan ke dalam populasi yang diteliti. Tidak kalah menariknya adalah naskah yang ditulis oleh Tsana Afrani dan para koleganya dengan judul “Apakah intervensi prasangka lewat media bisa mengurangi prasangka implisit terhadap orang dengan HIV/AIDS? Eksperimen menggunakan implicit association test (IAT).” Dalam beberapa tahun terakhir, IAT atau tes asosiasi implisit menjadi alat ukur prasangka implisit yang dianggap kontroversial (Jost, 2019; Singal, 2017). Intervensi berbasis prasangka implisit juga menjadi sasaran kritik. Maka dari itu, penting untuk menguji IAT dalam konteks intervensi di berbagai konteks seperti di kebudayaan non-WEIRD. Ditemukan bahwa prasangka implisit tidak berubah setelah partisipan ikut serta dalam intervensi prasangka lewat media. Ini semakin mempertebal daftar kritik terhadap IAT. Naskah berikutnya membahas potensi metode kualitatif yang jarang digunakan dalam psikologi sosial, yaitu metode historis-komparatif. Dalam naskah yang berjudul “Menggunakan metode historis komparatif dalam penelitian psikologi”, Nugraha Arif Karyanta, Suryanto, dan Wiwin Hendriani menjelaskan bahwa data-data seperti dokumen bersejarah, catatan sejarah, bahkan dokumen sipil yang masih berlangsung bisa digunakan untuk menjelaskan proses psikologis yang terjadi pada suatu konteks masyarakat. Metode ini berpotensi untuk mengeksplorasi bagaimana temuan-temuan psiko-logi sosial yang seringkali muncul dari kebudayaan WEIRD bisa relevan atau tidak relevan dengan perkembangan sejarah, kebijakan sosial dan hukum, yang ada pada masyarakat non-WEIRD seperti masyarakat Indonesia. Sementara itu Retno Hanggarani Ninin dan kolega-koleganya menekankan pentingnya asesmen psikologi dalam situasi alamiah. Dalam naskah yang berjudul “Psikoetnografi sebagai metoda asesmen psikologi komunitas”, mereka membahas bahwa seringkali asesmen psikologis mencerabut individu dari situasi ekologis alami mereka. Padahal, individu tidak terlepas dari struktur sosial dan budaya yang ia alami sehari-hari. Dalam naskah ini, para penulis juga memberikan contoh bagaimana asesmen psikoetnografi bisa dilakukan. Membahas perbedaan dan kesetaraan antar budaya, tentu juga sulit dilepaskan dari isu kesetaraan lintas budaya dari alat ukur psikologis. Dalam isu khusus ini, JPS mempublikasikan dua naskah validasi alat ukur. Kedua alat ukur ini dinilai penting dan relevan untuk diadaptasi dan divalidasi pada konteks Indonesia. Dalam naskah “Adaptasi alat ukur Munroe Multicultural Attitude Scale Questionnaire versi Indonesia”, Intan Permatasari dan kolega-koleganya mempertanyakan validasi alat ukur sikap multikultural karena pada budaya Indonesia, sikap multikultural lebih prevalen pada relasi antar etnis sementara di budaya Amerika Serikat (budaya asal alat ukurnya), sikap multicultural lebih terfokus pada warna kulit. Sementara pada naskah “Adaptasi dan properti psikometrik skala kontrol diri ringkas versi Indonesia”, Haykal Hafizul Arifin dan Mirra Noor Milla berusaha mengadaptasi dan menemukan validitas konstruk dan validitas diskriminan dari alat ukur kontrol diri. Ada banyak struktur dimensi dari alat ukur kontrol diri dalam riset-riset sebelumnya. Para penulis menguji struktur dimensi mana yang paling cocok untuk konteks Indonesia. Akhir kata, izinkanlah kami berterima kasih kepada para reviewer yang telah memberikan masukkan kepada naskah-naskah di edisi khusus ini, mulai dari awal sampai naskah siap dipublikasikan. Kami berharap, edisi khusus ini bisa menjadi pemantik diskusi-diskusi saintifik lanjutan tentang ragam perspektif dan isu metodologi di psikologi sosial, khususnya untuk konteks kebudayaan non-WEIRD seperti Indonesia. Tidak hanya itu, kami juga berharap bahwa edisi khusus ini bisa menjadi pedoman atau acuan bagi penggunaan berbagai metode seperti sampling RDS, alat ukur IAT, asesmen psiko-etnografi, dan riset historis komparatif. Kami juga berharap edisi khusus ini menstimulasi riset lanjutan dengan paradigma social neuroscience dan paradigma etika yang lebih luas dari sekedar analisis etika prosedural.
Catatan Editor: Langkah JPS dalam situasi pandemi dan pengantar Vol. 18 (3) tentang budaya, identitas, dan relasi antarkelompok Joevarian Hudiyana; Bagus Takwin
Jurnal Psikologi Sosial Vol 18 No 3 (2020): August
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.7454/jps.2020.19

Abstract

Salam sejahtera, Tahun 2020 ini merupakan tahun yang menantang bagi kita semua. Awal tahun diwarnai dengan berbagai peristiwa, diantaranya politik global yang memanas serta peristiwa alam seperti darurat kebakaran di Australia dan banjir besar yang melanda ibu kota Indonesia, Jakarta. Seakan tidak cukup, pada tahun yang sama wabah virus corona (COVID-19) menyebar ke seluruh dunia; menciptakan situasi pandemi yang ber-tahan hingga naskah ini ditulis. Per tanggal 24 Agustus 2020, telah ditemukan 23.499.048 kasus infeksi COVID-19 di 214 negara dan 809.834 angka kematian akibat infeksi tersebut. Pada tanggal yang sama, di Indonesia, sudah terdapat 155.412 kasus positif COVID-19 dan tercatat 6.759 angka kematian (Petterson, Manley, & Hernandez, 24 Agustus, 2020). Ini secara langsung berdampak pula terhadap kondisi sosial kema-syarakatan dan ekonomi di seluruh dunia, tak terkecuali dampak psikologis. Dikarenakan pentingnya mengetahui bagaimana situasi pandemi ini berdampak pada dinamika psikis terutama pada masyarakat Indonesia, Jurnal Psikologi Sosial (JPS) mengundang peneliti dan akademisi dari berbagai Universitas di Indonesia untuk menulis dalam edisi khusus JPS: Respons terhadap COVID-19. Dalam edisi ini, JPS menerima naskah-naskah dengan tema: (1) Respon individu maupun kolektif terhadap fenomena wabah corona virus, (2) Faktor-faktor yang memprediksi respon masyarakat terhadap corona virus, (3) Peranan leader dan authority dalam menangani wabah corona virus, (4) Psikologi politik dan penanganan corona virus, (5) Isu kebijakan terkait corona virus dan dampaknya terha-dap psikologi individual, dan (6) Dampak ekonomi dan finansial pada individu dalam wabah corona virus. Untuk edisi ini, kami juga mengundang tiga ahli psikologi sosial sebagai editor tamu. Diurutkan sesuai abjad, editor tamu pertama adalah Bapak Indra Yohanes Kiling, Ph.D dari Universitas Nusa Cendana, Nusa Tenggara Timur. Riset beliau banyak mengidentifikasi faktor sistemik atau risiko lingkungan pada kualitas hidup manusia di berbagai dimensi. Pemahaman ini penting karena situasi pandemi berdampak pada berbagai kondisi sistemik yang juga meme-ngaruhi kualitas hidup individu dalam masyarakat (Van Bavel dkk., 2020). Sementara editor tamu kedua adalah Dr. Rakhman Ardi dari Universitas Airlangga, Jawa Timur. Pemahaman akan dinamika perilaku di media sosial pada riset-riset beliau akan membantu kita juga, khususnya untuk tulisan-tulisan terkait dampak pandemi pada perilaku daring dan dalam dunia maya (Bao, 2020; Pennycook, McPhetres, Zhang, Lu, & Rand, 2020; Cinelli dkk., 2020). Last but not least, Dr. Setiawati Intan Savitri dari Unversitas Mercu Buana, DKI Jakarta yang memiliki berbagai riset tentang bagaimana individu bisa berespon dalam menghadapi situasi negatif dalam hidupnya. Kondisi pandemi ini bisa mengakibatkan dampak-dampak psikis seperti depresi dan rendahnya kesejahte-raan psikis maupun ekonomi (Rajkumar, 2020; Nguyen dkk., 2020), sehingga pemahaman beliau akan membantu terutama pada tema dampak COVID-19 terhadap psikis individu. Naskah-naskah yang terbit dalam edisi khusus “Respon terhadap COVID-19” (“Response to COVID-19”) diharapkan mampu menjadi fondasi pengetahuan untuk menghadapi wabah virus corona, khususnya berkaitan dengan isu psikologi sosial dalam konteks Indonesia. Sementara JPS memproses naskah-naskah edisi khusus tersebut, kami juga mempublikasikan edisi reguler pada bulan Agustus tahun 2020 ini (Volume 18 (3)). Terdapat delapan naskah yang dipublikasikan JPS pada edisi ini. Semua naskah ini merepresen-tasikan tema identitas dan relasi antar kelompok serta antarbudaya. Naskah-naskah ini menambah pengetahuan dalam memahami isu mendasar pada identitas sosial dan budaya serta warna-warna relasi antar kelompok identitas. Tidak hanya itu, beberapa naskah juga membantu kita memahami pengetahuan tentang intervensi pada isu hubungan antar identitas di Indonesia. Dua naskah membahas tentang isu peng-asuhan atau relasi anak dengan pengasuh dalam budaya Indonesia. Naskah Hartanti berjudul “Apakah sistem kekerabatan matrilineal di suku Minang masih membudaya? Analisis tematik pada makna pemberian dukungan sosial mamak kepada kemenakan” membahas hubungan pengasuh (‘mamak’ atau paman dari sisi ibu) dengan anak di kebudayaan Minang. Seperti yang mungkin sudah kita ketahui, suku Minang adalah salah satu suku matrilineal terbesar di dunia (Levenson, Ekman, Heider, & Friesen, 1992). Pemahaman tentang relasi ini penting untuk memberikan kita pengetahuan tentang budaya matrilineal tersebut. Sementara naskah Wiswanti, Kuntoro, Ar Rizqi, dan Halim berjudul “Pola asuh dan budaya: Studi komparatif antara masyarakat urban dan masya-rakat rural Indonesia” membantu dalam memahami perbedaan pola asuh pada masyarakat rural dan urban di Indonesia. Temuan mereka menja-wab inkonsistensi pada studi sebelumnya tentang perbedaan pola asuh di dua konteks tersebut. Naskah berikutnya yang ditulis oleh Nugraha, Samian, dan Riantoputra membahas tentang relasi bawahan-atasan dengan memeriksa anteseden dibalik dukungan bawahan terhadap atasan lewat perspektif identitas sosial. Dalam naskah yang berjudul “Anteseden leader endorsement: perspektif teori identitas sosial”, ditemukan bahwa identitas pemimpin bukanlah faktor yang menentukan dukungan bawahan terhadap pemimpin—khususnya dalam konteks perusahaan swasta. Tiga naskah berikutnya membahas me-ngenai relasi antar identitas (intergroup) seperti prasangka dan kecemasan antar kelompok. Naskah oleh Yang dan Pelupessy berjudul “Apakah saliensi mortalitas berperan dalam menjelaskan prasangka terhadap pasangan antarbudaya? Sebuah studi eksperimental” menemukan bahwa efek saliensi mortalitas dalam teori manajemen teror bisa digeneralisasi di konteks: (1) prasangka terhadap relasi romantis antar budaya, dan (2) budaya yang lebih luas yaitu konteks budaya Indonesia. Motivasi eksistensial seperti motivasi meredam kecemasan kematian dan efeknya secara sosial ternyata juga ditemukan pada masyarakat Indonesia. Pada naskah berjudul “Do intergroup threats provoke intergroup anxiety? An experimental study on Chinese ethnic group in Indonesia”, Ampuni dan Irene menemukan pola menarik terkait efek ancaman intergroup terhadap kecemasan intergrup. Ditemukan bahwa kelompok yang diberikan manipulasi ancaman intergroup cenderung lebih tinggi dalam kecemasan. Temu-an ini konsisten dengan temuan sebelumnya; akan tetapi, setelah mengontrol kontak inter-group, pola yang terjadi justru berkebalikan. Ini menunjukkan bahwa pengalaman kontak sebelumnya pada partisipan berpengaruh pada per-sepsi ancaman di situasi eksperimen. Sementara pada naskah berjudul “Mawas diri berideologi: Tantangan berpartisipasi religius online di era ujaran kebencian”, dibahas tentang peranan ideologi otoritarianisme dalam hubungan antara relijiusitas dan prasangka. Pada riset yang dilaporkan oleh Sadida dan Pratiwi ini, ditemukan bahwa keterlibatan aktivitas agama secara daring memang memprediksi tingginya prasangka. Aktivitas agama itu memicu ideologi otoritarianisme yang lebih kuat sehingga sikap negatif pun juga semakin tinggi. Menariknya, tidak semua dimensi prasangka diprediksi oleh aktivitas keagamaan itu. Dua naskah terakhir membahas tentang metode intervensi untuk mengurangi stigma dan meningkatkan sensitivitas interkultural. Pada naskah oleh Soedarmadi, dibahas tentang efek intervensi keterampilan antar budaya dengan menginkorporasikan metode sebelumnya dengan kearifan lokal seperti nilai gotong royong. Dalam naskah berjudul “Apakah pelatihan keterampilan antarbudaya pada instansi pemerintahan dapat meningkatkan sensitivitas antarbudaya? Peranan nilai lokal gotong royong” ini, para pekerja di instansi pemerintahan memiliki sensitifitas interkultural yang lebih baik setelah mengikuti intervensi yang diberikan. Pada naskah berjudul “Pelatihan Rise and Shine sebagai metode psikoedukasi: Bisakah menurunkan stigma bunuh diri?”, Febriawan mengungkap bahwa metode psikoedukasi dapat menurunkan stigma. Terdapat perbedaan metode psikoedukasi Rise and Shine dengan metode-metode sebelumnya. Jika sebelumnya lebih banyak terfokus pada kemampuan seperti literasi bunuh diri dan kesehatan mental, pada psikoedukasi Rise and Shine juga masuk materi penyangga seperti berpikir kritis, ekspresi dengan kata, serta pengetahuan tentang kebijakan negara dalam kesehatan mental. Lewat naskah-naskah ini, ditemukan berbagai pola menarik yang bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan pada teori besar di psikologi sosial seperti teori identitas sosial, teori manajemen teror, dan teori kontak. Juga, kontribusi pengetahuan muncul untuk menjelaskan subkultur pada konteks Indonesia khususnya dalam konteks pengasuhan. Tidak hanya itu, metode intervensi berbasis kearifan lokal dan psikoedukasi integratif bisa berguna untuk menciptakan relasi tanpa stigma atau sensitifitas kebudayaan. Kedelapan naskah ini diharapkan mampu memberikan fondasi bagi riset lanjutan dan menginspirasi peneliti lain untuk mengatasi limitasi-limitasi yang muncul.
Catatan dari Managing Editor: Pengantar Vol. 19 (1) tentang kerja sama, dukungan sosial, dan altruisme Joevarian Hudiyana
Jurnal Psikologi Sosial Vol 19 No 1 (2021): February
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.7454/jps.2021.01

Abstract

“All the memories of your facesSeem like days of yoreAnd if the walls are closing inWe'll find a window deep within”(Lin & Sun, 2020) Lirik lagu di atas berasal dari lagu Stay With You, yang dinyanyikan J. J. Lin dan Stefanie Sun. Lagu ini menggambarkan situasi pandemi di mana kita semua menjaga jarak sosial dengan tembok-tembok yang memisahkan kita semua. Secara khusus, lagu ini dipersembahkan untuk tenaga kesehatan yang setiap hari berjuang di garda terdepan untuk melawan wabah COVID-19. Hampir satu tahun telah berlalu sejak kasus pertama virus corona diumumkan di Indonesia. Dalam waktu hampir satu tahun itu pula, kita menyaksikan berbagai dinamika sosial yang terjadi sebagai konsekuensi dari wabah yang melanda seluruh dunia itu. Wabah ini telah menunjukkan aspek-aspek terburuk manusia seperti diskriminasi terhadap pasien COVID-19 (Devakumar, Shannon, Bhopal, & Abubakar, 2020), skeptisisme terhadap sains (Brzezinski, Kecht, Van Dijcke, & Wright, 2020; Latkin, Dayton, Moran, Strickland, & Collins, 2021), teori konspirasi(Imhoff & Lamberty, 2020; Uscinski, dkk., 2020), ketidakpatuhan dalam menjalankan pembatasan sosial (Van Lissa dkk., 2020), dan ditambah lagi dengan respon buruk oleh para pemimpin negara di berbagai belahan dunia (Norrlöf, 2020). Meski demikian, situasi krisis ini juga memunculkan sisi terbaik yang dimiliki oleh manusia. Lagu yang dipersembahkan untuk tenaga kesehatan di awal tulisan ini menunjukkan betapa heroiknya mereka yang rela berkorban demi keselamatan kita semua. Di samping itu, tim peneliti psikologi sosial dari seluruh dunia juga bekerja sama untuk menyelidiki pola perilaku dari reaksi COVID-19 (lihat psycorona.org). Tim PsyCorona ini terdiri atas ratusan peneliti dari berbagai negara. Di Indonesia, PsyCorona diwakili oleh Dr. Mirra Noor Milla, Prof. Dr. Hamdi Muluk, dan saya sendiri (Universitas Indonesia) serta dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ (Universitas Udayana). Kerja sama ini melahirkan berbagai artikel yang sudah terbit dan sedang dalam proses penilaian di jurnal. Dari situ, bisa kita lihat bahwa krisis seperti pandemi COVID-19 ini juga memicu altruisme, perilaku menolong, dan perilaku bekerja sama. Situasi krisis memang telah didemonstrasikan secara empiris bisa memicu kerja sama dan perilaku bahu-membahu memberikan dukungan sosial (Cheng, Lam, & Leung, 2020; Hu &Zhou, 2020; Rodriguez, Trainor, & Quarantelli, 2006). Namun, bagaimanakah proses dan dinamika yang timbul agar bisa memunculkan altruisme? Riset terkait altruisme masih dibutuhkan dalam berbagai konteks, tak terkecuali di konteks Indonesia. Dalam Volume 19 edisi pertama di tahun 2021 ini, Jurnal Psikologi Sosial mempublikasikan delapan naskah empiris dengan tema kerja sama, dukungan sosial, dan altruisme. Naskah pertama ditulis oleh Nugroho, Sajuthi, Mansjoer, Iskandar, dan Darusman yang membahas bagaimana kerja sama bisa muncul pada spesies Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang. Riset ini berkontribusi untuk memahami dalam konteks apa perilaku kooperatif dan kerja sama muncul pada primata. Pengetahuan ini membantu kita untuk memahami hasil perkembangan evolusi manusia dan primata-primata lainnya. Naskah kedua ditulis oleh Permatasari, Agustiani, dan Bachtiar. Mereka menunjukkan secara empiris bahwa anak prasekolah masih kesulitan untuk memahami emosi yang diekspresikan orang lain. Sehingga, empati dan altruism lebih sulit terjadi. Ini berbeda dengan asumsi dari teori sebelumnya tentang tahapan perkembangan anak. Sementara itu, naskah ketiga ditulis oleh Rhodes, Andiyasari, dan Riantoputra. Mereka menemukan bahwa peran pimpinan atau manajer penting untuk merangkul karyawan yang tidak berani bersuara karena nilai power distance. Pimpinan yang lebih terbuka dapat membantu karyawan-karyawan ini untuk lebih berani berpendapat atau menunjukkan voice behavior. Naskah keempat ditulis oleh Rozi dan Prasasti. Mereka menemukan bahwa resiliensi adalah produk dari kesabaran sebagai nilai kebajikan. Nilai kesabaran sebagai salah satu nilai kebajikan ditransimisikan secara intens dalam kebudayaan Indonesia dan dianggap sebagai nilai yang luhur. Nilai ini merupakan mekanisme adaptasi yang unik, dan menjadi simbol dari perilaku prososial di masyarakat (Lestari, 2016). Sementara itu naskah kelima ditulis oleh Firmansyah, Faturochman, dan Minza. Mereka menemukan bahwa rasa saling percaya antar teman bisa diprediksi oleh adanya dukungan sosial dan adanya resiprositas. Namun menariknya, kedekatan interpersonal bukan prediktor yang signifikan jika dibandingkan dengan dua prediktor lain. Ini berimplikasi pada pertanyaan tentang seberapa penting kelekatan interpersonal dalam hubungan pertemanan di Indonesia. Apakah penting? Ataukah lebih penting aspek dukungan sosial dan hubungan timbal balik yang ditunjukkan seorang teman? Naskah keenam oleh Pratiwi dan Afiatin menunjukkan bahwa peranan orang tua sangat penting dalam memprediksi kecanduan internet pada remaja. Ini karena mediasi oleh orangtua bisa menciptakan rasa keberhargaan diri pada remaja. Sementara itu naskah ketujuh merupakan riset yang ditulis oleh Luliyarti, Yahya, dan Ridha menggunakan teknik door in the face dan foot in the door untuk mencoba membuktikan intervensi seperti apa yang bisa meningkatkan perilaku prososial. Terakhir, naskah oleh Dienillah dan Chotidjah menemukan bahwa adanya dukungan sosial sangat penting untuk memoderasi apakah penerimaan diri mampu menciptakan rasa syukur pada penderita lupus. Kami selaku tim editor JPS berharap naskah-naskah yang dipublikasikan pada edisi ini bisa berdampak bagi perkembangan ilmu di Indonesia, khususnya terkait topik perilaku prososial dan perilaku kerja sama.
Catatan Managing Editor: Manusia, lingkungan, dan interaksi keduanya Joevarian Hudiyana
Jurnal Psikologi Sosial Vol 20 No 1 (2022): February
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan Ikatan Psikologi Sosial-HIMPSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.7454/jps.2022.01

Abstract

Salam sejahtera, Pada awal tahun baru ini, terjadi perubahan struktural yang sangat penting di Jurnal Psikologi Sosial (JPS). Kami selaku tim manajerial JPS mengucapkan selamat atas terpilihnya Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia periode 2022 sampai dengan 2026, Dr. Bagus Takwin, M.Hum. Sebelumnya, beliau menjabat sebagai kepala editor atau chief editor dari JPS sejak tahun 2017. Kami juga mengucapkan selamat kepada Bapak Dicky Pelupessy, Ph.D, salah satu dewan editor JPS, atas jabatannya sebagai Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Ke-mahasiswaan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dengan demikian, Mas Aten dan Mas Dicky—begitu mereka biasanya disapa secara akrab—tetap berada di JPS sebagai dewan editor. Kami selaku tim manajerial JPS mengucap-kan selamat atas terpilihnya Dr. Mirra Noor Milla dari Universitas Indonesia sebagai kepala editor baru JPS. Sebelumnya, beliau adalah salah satu dewan editor di JPS. Sebagaimana para penggiat dan ilmuwan psikologi sosial di Indonesia keta-hui, Mbak Mirra—begitu biasanya ia disapa di kampus—adalah pakar terorisme Indonesia. Karya-karya beliau dalam memahami tindakan terorisme dan rehabilitasi terhadap teroris di Indonesia cukup monumental dan bermanfaat dalam mencegah dan mengintervensi psikologi dari teroris.
Internet dan Kebahagiaan di Masa Pandemi Aidal Masrura; Ratna Djuwita; Joevarian Hudiyana

Publisher : Ilmu Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35891/jip.v9i1.2584

Abstract

This study aims to see the relationship between internet use and happiness, especially during the pandemic Covid-19. This study uses a non-experimental quantitative approach utilizing bivariate correlation analysis. There were 3938 respondents consisting 76% women in this study. The results showed that internet use, in general, was correlated with happiness, but not across all dimensions of internet use. Dimensions that are positively and significantly correlated are only those dimensions that can meet basic psychological needs. The implications of this research need to be discussed further.
Current Social Domination Theory: Is It Still Relevant? Sherly Mega Paranti; Joevarian Hudiyana
Psikostudia : Jurnal Psikologi Vol 11, No 2 (2022): Volume 11, Issue 2, June 2022
Publisher : Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/psikostudia.v11i2.7614

Abstract

Social dominance theory (SDT) often used to explain intergroups conflict and discrimination phenomenon. SDT argues that society lives in a social system where hierarchy of social groups exist. In such conditions, violence, and pressure on one group is a manifestation of the dominant group maintaining its status over the subordinate group. At the beginning of its emergence, SDT received quite a lot of criticism for its theoretical premises. However, in recent years there has been no literature that attempted to re-examine or criticize SDT in current condition. Meanwhile, SDT researchers have developed many studies to address theoretical weaknesses, especially in the last 10 years. This study aims to review and provide critics of SDT referring to the current development and condition of SDT. The research method used in this study is a literature review on the development of SDT. The results showed that to date SDT still has several unsolved weaknesses despite the massive development of its research, including the inconsistency of claims to the universality of social hierarchy, inconsistency on SDO constructs, lack of empirical evidence on social stratification groupings, and weaknesses in the SDT research methodology. However, SDT still has strength and potential that makes it survive and relevant in social scientific studies, especially on how it looks at intergroup conflict in terms of social hierarchy, social dominance, and power. Teori dominasi sosial atau social dominance theory merupakan salah satu teori dalam psikologi sosial yang cukup sering digunakan untuk menjelaskan perilaku antarkelompok, khususnya terkait konflik dan diskriminasi antarkelompok. Teori ini menjelaskan bahwa masyarakat hidup dalam sistem sosial dimana terdapat hierarki atas kelompok-kelompok sosial. Dalam kondisi seperti itu, kekerasan dan tekanan pada suatu kelompok adalah bentuk kelompok dominan mempertahankan statusnya atas kelompok subordinat. Selama tiga dekade eksistensinya, teori dominasi sosial cukup banyak mendapatkan kritik atas premis-premis teorinya. Namun, teori ini tetap eksis bahkan dalam 10 tahun terakhir penerapan teori ini meluas hingga ranah politik dan komunikasi. Meskipun teori dominasi sosial cukup berkembang, nyatanya masih terdapat beberapa kritik yang belum terjawab hingga saat ini yang menjadi kelemahan teori. Review ini akan menyoroti kelemahan-kelemahan teori yang belum terjawab, antara lain ketidakkonsistenan teori atas klaim universalitas hierarki sosial dan konstruk SDO, kurangnya bukti empiris atas pengelompokan stratifikasi sosial, serta kelemahan metodologi penelitian SDT. Review juga akan membahas mengapa teori ini tetap bertahan di tengah-tengah kelemahan yang ada, terutama karena keunikan teori yang melihat konflik antarkelompok dari sisi hierarki sosial, dominasi sosial, dan power.