Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pembaruan Regulasi Terorisme dalam Menangkal Radikalisme dan Fundamentalisme Syamsul Fatoni
AL-TAHRIR Vol 18, No 1 (2018): Islam: Liberalism & Fundamentalism
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/altahrir.v18i1.1165

Abstract

Abstract: Terrorism is categorized as extraordinary crime and causes death and loss of property, disturbing the stability of the economy and state security. The attributes given by Western Europe and the USA to radical Islamic movements such as militants, group of right Islam, fundamentalism to terrorism, are interesting to study. The Government issued a regulation to counter terrorism including Law Number 15 of 2003 about combating crimal acts of terorism, Law Number 9 of 2013 about Preventing and Combating Funding Crimal Acts of Terorism, Presidential Regulation Number 46 of 2010 about Establishment of a National Counterterrorism Agency amended by Presidential Regulation No. 12 of 2012. However, by paying attention to the acts of terrorism so far, criminal law reform must be carried out in counteracting terrorism in the country, including finding the root of the problem of the emergence of acts of terrorism by using theories, concepts, legal principles and interpretations in order realize fair legal protection for citizens.الملخص :كان الجدال الفكري بين الوطنية والإسلام دائما ينتهي إلى القضيتين الرئيسيتين هما العلاقة بين المسلم وغير المسلم والقانون السماوي والقانون الوضعي. والأساس الذي لابد من تأسيسه هو الوعي بأن الإسلام هو دين الإنسانية. والإيديولوجى الديني كثيرا ما يستعمل تحريضا لتصحيح الجهاد عن طريق الحركة العنفية .   والموقف السياسي الديني بدون ربطه بالسياق الاجتماعي الثقافي فإنه يؤثّر في نموذج التديّن غير المتسامح ولا يحترم الحقوق الإنسانية. ينمو هذا النموذج من التدين بنشوء الآراء السياسية عن إقامة الدولة الإسلامية  نتيجة آثار الحركات عبر الوطنية التي ليس لها الوعي بالحكم المحلّيّة وردّها عن فكرة الدولة القومية. استخدم هذا البحث نظرية السيكولوجي السياسي ونظرية الهوية الاجتماعية لتحليل إمكانية وقوع التطرف في المجتمع .Abstrak: Terorisme dikualifikasikan sebagai kejahatan sangat luar biasa (extraordinary crime) dan menyebabkan korban jiwa serta harta benda, mengganggu stabilitas perkenomian dan keamanan negara. Atribut yang diberikan oleh Eropa Barat dan USA terhadap  gerakan Islam radikal seperti kaum militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terorisme, menjadi menarik untuk dikaji. Pemerintah mengeluarkan regulasi untuk menangkal terorisme  di antaranya Undang-undang  Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Peraturan Presiden  Nomor  46 Tahun 2010 tentang Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang diubah dengan Peraturan Presiden  Nomor  12 Tahun 2012. Namun demikian dengan memperhatikan sepak terjang terorisme selama ini maka harus dilakukan pembaruan Hukum Pidana dalam menangkal Terorisme di tanah air, termasuk mencari akar masalah munculnya tindakan terorisme dengan menggunakan teori, konsep, asas dan interpretasi hukum dalam rangka mewujudkan perlindungan hukum yang adil bagi warga negara.
Persidangan Perkara Pidana Secara Elektronik Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Di Masa Pandemi Covid-19 Haris Dwi Saputro; Syamsul Fatoni
Inicio Legis Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Vol 3, No 2 (2022): November
Publisher : Fakultas Hukum Trunojoyo Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (304.288 KB) | DOI: 10.21107/il.v3i2.16902

Abstract

Sejak memasuki era modernisasi produk regulasi yang mengatur tentang penerapan persidangan elektronik belum mengalami perkembangan yang signifikan. Peraturan perundang-undangan yang ada belum mampu mengakomodinir isu-isu hukum yang terjadi di masyarakat. Sesuai dengan konteks diatas maka penelitian ini memfokuskan sebagaimana berikut: (1) bagaimana permasalahan terkait persidangan pidana secara elektronik di Indonesia jika ditinjau dalam peraturan perundang-undangan?, (2) bagaimana bentuk penyesuaian dan pengaturan ke depan terhadap persidangan elektronik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia terhadap Asas Hukum Acara Pidana?. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kumulatif. Sumber bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Metode pengumpulan bahan hukumnya adalah studi kepustakaan (libary research) dan pencarian melalui media online (online research). Sedangkan, metode analisis bahan hukum yang digunakan yaitu deskritif, kualitatif, dan perskriptif dengan model penarikan kesimpulan secara deduktif. Dari kajian yang dilakukan diperoleh hasil : (1) Persidangan elektronik memiliki beberapa permasalahan, yaitu terdapat pergeseran konsep dan prinsip pokok persidangan pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP seperti  kehadiran para pihak secara langsung dipengadilan, kehadiran terdakwa/saksi, dan  keabsahan pembacaan putusan. (2) Perlu penyesuaian dan pembaharuan atau adanya revisi terhadap Hukum Acara Pidana yang mengatur terkait persidangan elektronik.
PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU KEKERASAN SEKSUAL DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA Imron Rosyadi; Syamsul Fatoni
Jurnal Yudisial Vol 15, No 3 (2022): BEST INTEREST OF THE CHILD
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v15i3.540

Abstract

ABSTRAK Sistem peradilan pidana harus mencerminkan nilai keadilan terhadap pemidanaan bagi pelaku kekerasan seksual. Dalam perkara ini, tersangka sebagai pendidik telah melakukan kekerasan yaitu pemaksaan terhadap anak untuk bersetubuh dengannya. Putusan hakim menyatakan terdakwa terbukti melakukan kekerasan seksual berdasarkan Pasal 81 ayat (1), (3) dan (5) jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Rumusan masalahnya bagaimanakah pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana dikaitkan dengan Putusan Nomor 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg? Metode dalam penelitian ini adalah normatif di mana fokus kajiannya adalah data sekunder sehingga terlihat pertimbangan hakim dalam putusannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemidanaan terhadap terdakwa dalam kasus kekerasan seksual yang pada pokoknya hukuman mati dan pidana lain seperti denda, restitusi dan seterusnya tidak bertentangan dengan hak asasi manusia sesuai UUD NRI 1945 Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) sehingga hak tersebut tidak absolut (non-derogable rights). Pemidanaan bagi pelakunya, harus diterapkan meskipun selama ini belum mampu memberikan efek jera dan komprehensif dalam penanggulangan tindak pidana, sedangkan hukuman kebiri kimia dan pembayaran restitusi diserahkan kepada terdakwa bertentangan dengan Pasal 67 KUHP. Diperlukan sinkronisasi di antara subsistem peradilan pidana khususnya pengadilan, didukung lembaga terkait sehingga pemidanaannya mencerminkan nilai keadilan sesuai ajaran hukum dan moral untuk kepentingan pelaku, korban serta masyarakat.Kata kunci: kekerasan; seksual; pemidanaan; sistem peradilan pidana. ABSTRACT The criminal justice system must reflect the value of justice in punishing perpetrators of sexual violence. In this case, the suspect, as an educator, had committed violence by forcing the child to have intercourse with him. The judge’s decision stated that the defendant was guilty of committing sexual violence according to Article 81 paragraphs (1), (3), and (5) in conjunction with Article 76D of Law Number 17 of 2016 on the Amendment to Law Number 23 of 2002 on Child Protection in conjunction with Article 65 paragraph (1) of the Criminal Code. The formulation of the problem is: how is the punishment of sexual violence perpetrators in the criminal justice system associated with Decision Number 989/Pid.Sus/2021/PN.Bdg? The method in this research is normative, where the focus of the study is secondary data so that the judge’s consideration in his decision can be seen. The results showed that the punishment for defendants in sexual violence is the death penalty. And other disciplines, such as fines, restitution, and so on, are not contrary to human rights compatible with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia Article 28J paragraph (2) and Article 28I paragraph (1), so these rights are not absolute (non-derogable rights). Punishment for the perpetrators must be applied even though, so far, it has not been able to provide a deterrent and comprehensive effect in tackling criminal offenses. At the same time, chemical castration and restitution payments are left to the defendant contrary to Article 67 of the Criminal Code. Synchronization between criminal justice sub- systems, especially the courts, supported by related institutions is needed so that the punishment reflects the value of justice compatible with legal and moral teachings for the benefit of the perpetrator, victim, and society. Keywords: violence; sexual; criminalization/punishment; criminal justice system.