Claim Missing Document
Check
Articles

Found 22 Documents
Search

Madurese Soap Opera: An Industry and Madurese Culture Migration of Situbondo People Hidayatullah, Panakajaya
Harmonia: Journal of Arts Research and Education Vol 19, No 1 (2019): June 2019
Publisher : Department of Drama, Dance and Music, FBS, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/harmonia.v19i1.14951

Abstract

The purpose of this study is to describe a variety of research problems, including the industrialization of Madurese soap opera and the Madurese cultural migration of the Situbondo community. The results showed that Madurese soap opera is a product of cultural industrialization that is produced based on the logic of mass cultures. Such as standardization, commodification, and massification. Standardization is seen from the use of local artists, Madurese dangdut music, as well as local narratives built through local phenomena in Situbondo. Cultural commodification can be seen from the changing motive of drama arts (Al Badar) to VCD films (Madurese soap opera). As a commodity, Madurese soap opera has an economic motivation that is demonstrated in terms of massification; it is produced in 10,000 pieces and distributed to the local market within East Java. Madurese soap opera is a phenomenon of the disruption of global industrial technology captured by local communities, acting as a comparison to the national soap opera industry. The contestation can be seen through both abilities in using global technology, namely television. Local television has a big role in promoting local content such as Madurese soap opera. Madurese soap opera on local television eventually became a medium that could bring people closer to their Madurese cultural identity.
Various Language Expressions in The Criticism of Madurese People on Social Media Field Sofyan, Akhmad; Hidayatullah, Panakajaya; Badrudin, Ali
KARSA: Journal of Social and Islamic Culture Vol 28, No 1 (2020)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v28i1.2352

Abstract

The Madurese community in Situbondo is a group of people who are still 'unfamiliar' with the internet media (social media). Their lack of understanding in using social media often creates problems in society. This article is the result of ethnography of communication research which discusses criticism behavior of Madurese people in Situbondo in social media. It comprehensively analyzes aspects of use of language choice, motive of language choice and language formulation expressed by informants. Research findings show that: 1) Situbondo people express criticism in social media by using code of Madurese language and mixed Madurese-Indonesia and Madurese-English, and they are expressed through some patterns which are humor, figurative, threatening and affirmative, direct and indirect satire, Kiyai quote and lyrical/poetical pattern; 2) Some motives background of choice of language code in expressing criticism are influenced by aspects of hierarchy in a context of diglosia society, politic of identity; dimension of ethnic group and psychological and cultural motives. Formulation of these findings explain that most of criticism model of Madurese people in Situbondo through social media is manifestation of habit in expressing criticism in real world. Something avoided is criticism model using sarcasm sentence, containing hate speech, offending pride, social status, family and feeling of interlocutors. Expressive and outspoken criticism in social media are also considered to be dangerous and unacceptable by people because they create ‘floating’ (unclear) interpretation, and potential to be misinterpreted. While some acceptable criticism are criticism model expressed by fine language and expressed by humor, figurative, fine satire and lyrical/poetical patterns.
Film Komedi Rukun Karya: Strategi Seniman Tradisi Mempertahankan Eksistensi pada Era Pandemi Panakajaya Hidayatullah; Dwi Haryanto; Dewi Angelina
Rekam : Jurnal Fotografi, Televisi, Animasi Vol 17, No 2 (2021): Oktober 2021
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/rekam.v17i2.5177

Abstract

Penelitian ini mengkaji tentang strategi seniman tradisi dalam mempertahankan eksistensinya di era pandemi. Penelitian difokuskan pada kelompok kesenian tradisi Ketoprak Madura Rukun Karya yang berasal dari Kabupaten Sumenep. Di masa pandemi, kelompok Rukun Karya mengalami dampak yang cukup signifikan, dengan dibatalkannya beberapa daftar pementasan selama setahun. Kelompok ini kemudian mampu membalikkan kondisi keterpurukan melalui kesuksesannya dalam memproduksi konten Film Komedi Rukun Karya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan multidisipliner. Metode pengumpulan data dilakukan melalui teknik observasi partisipatoris, pengamatan mendalam, wawancara, dan studi literatur. Temuan yang dihasilkan dari penelitian ini antara lain 1) Rukun Karya melakukan peralihan mode pertunjukan dari ketoprak Madura menjadi Film Komedi yang memiliki dua jenis bentuk penceritaan yakni cerita adaptasi (gaya ketoprak, sastra Timur-Tengah, sejarah, dan televisi) dan cerita realitas kehidupan masyarakat Madura; 2) Peralihan mode pertunjukan dari ketoprak menjadi Film Komedi didasari oleh mekanisme industri (budaya) melalui media (youtube) yakni strandarisasi, komodifikasi dan massifikasi; 3) Peralihan mode pertunjukan berdampak pada perubahan cara penyajian dan cara menikmati sajian pertunjukan, beberapa contohnya ialah hilangnya interaksi seniman-penonton, serta digantikannya cita rasa dalam menikmati sajian pertunjukan secara kolektif menjadi cita rasa yang privat dan sangat individualistik.
Ghending Dangdut: Artikulasi Budaya Masyarakat Madura dalam Seni Tabbhuwan panakajaya hidayatullah
Resital: Jurnal Seni Pertunjukan (Journal of Performing Arts) Vol 18, No 3 (2017): Desember 2017
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (620.029 KB) | DOI: 10.24821/resital.v18i3.2244

Abstract

Tulisan ini merupakan hasil dari penelitian antropologi musik dengan metode etnografi yang menelaah tentang artikulasi budaya masyarakat Madura melalui ghendhing dangdut dalam seni tabbhuwân Madura. Sorotan dalam penelitian ini adalah perihal hubungan musik dan masyarakat: bagaimana masyarakat Madura memaknai budayanya melalui seni tabbhuwân, dan bagaimana mereka mengekspresikannya. Secara khusus akan membaca bentuk ekspresi simboliknya melalui analisis musikologis bentuk-bentuk musikal garap dangdut pada tabbhuwân Madura. Melalui analisis musikologis, akan dilihat pola-pola, kaidah dan kecenderungan musikal yang digunakan oleh masyarakat Madura dan nantinya akan dikomparasikan dengan pola-pola garap dangdut pada gamelan Jawa.  Penelitian ini menggunakan pendekatan multidisipliner yang mewacanakan teori musikologi dengan antropologi budaya. Temuan penelitian ini adalah 1) Berdasarkan analisis musikologis, dapat dikatakan bahwa ghendhing dangdut dalam budaya Madura bersifat lebih luwes, longgar dan dinamis dibanding dengan budaya Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Madura merupakan masyarakat yang dinamis, inklusif, ulet, tegas dan adaptatif. Mereka juga mampu merespon perubahan jaman, mempertanyakan kemapanan modernitas dan ke’adiluhung’-an budaya; 2) Bentuk tabbhuwân yang dinamis adalah cara masyarakat Madura memaknai budaya dan realitas hari ini (kontemporer). Tabbhuwân merupakan wujud interaksi budaya Madura dengan budaya lain, pemaknaan atas modernitas serta wujud konservasi budaya lokal.
Post – Harmony Sangposangan As Dynamic Existence of Madurese People In Digital era Panakajaya Hidayatullah
Resital:Jurnal Seni Pertunjukan Vol 21, No 1 (2020): April 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/resital.v21i1.3995

Abstract

Post – Harmony Sangposangan As Dynamic Existence of Madurese People. In Digital era This paper is a result of anthropology research by using cultural studies perspectives. This article, comprehensively, discuss; 1) musical relation between Western and traditional music in sangposangan; 2) a kind of ‘post-harmony’ sangposangan by using musicology analysis through musical text of Angling Madura song. The result of study shows an encounter between western and Madurese traditional music in sangposangan music which can produce a new musical entity (harmony of other).  Post-harmony sangposangan is manifested in dynamic composition which are; 1) dangdut composition in EDM syle, and 2) contrast change from dangdut koplo to pure dangdut. Post-harmony can be read as intuition, emotion, sense and instinct which can drive creative process of sangposangan music. It does not come from rigid notation system but it is constructed from rhythm of Madurese people’s life.ABSTRAKTulisan ini merupakan hasil penelitian antropologi musik dengan menggunakan perspektif kajian budaya. Secara komprehensif artikel ini menelaah tentang 1) relasi musikal antara musik Barat dan tradisional dalam musik sangposangan; 2) menelaah tentang bentuk ‘post-harmoni’ sangposangan melalui analisis musikologis dari teks musikal gending Angling Madura. Hasil kajian menunjukkan bahwa pertemuan musikal antara musik Barat dan tradisional Madura dalam musik sangposangan mampu menghasilkan sebuah entitas musikal yang baru (‘harmoni yang lain’). Post-harmoni sangposangan diwujudkan dalam dinamika garap yang dinamis yaitu 1) garap dangdut ala EDM, dan 2) perubahan kontras dari dangdut koplo ke dangdut piur. Post-harmoni dapat dibaca sebagai sebuah naluri, emosi, sense dan insting yang menjadi penggerak dari proses kreatif musik sangposangan. Ia tidak berangkat dari sistem notasi yang kaku, tetapi dibangun dari ritme kehidupan masyarakat Madura.Kata kunci: Sangposangan; Post – Harmony; Madura, Musik
Glundhângan and Pigeon in Sociocultural Practices of Madurese People panakajaya hidayatullah
Journal of Urban Society's Arts Vol 6, No 1 (2019): April 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v6i1.2575

Abstract

Glundhângan adalah ansambel gamelan kayu yang dimainkan oleh orang Madura. Musik glundhângan dipercaya sebagai musik kuno orang Madura. Bahkan ada sebelum era gamelan metallophone. Di Jember, glundhângan terkait erat dengan merpati dan biasanya digunakan untuk acara nyata dan totta’an dhârâ. Nyata adalah peristiwa ketika master merpati berhasil mendapatkan merpati lawannya. Sementara totta’an dhârâ adalah pertandingan melepaskan merpati bersama dan kemudian mereka, merpati, kembali ke pajhudhun (rumah merpati) dari tuan mereka. Glundhângan adalah musik yang menjadi penanda kemenangan master merpati ketika ia mendapat merpati lawannya, dan itu adalah musik yang menyertai pelepasan merpati dan kembali ke rumah. Glundhângan terdiri dari beberapa alat musik kayu seperti glundhâng, dhung-dhung, tong-tong, tek-tek, nèng-nèng dan ghâghâmbhâng, dan mereka disertai oleh vokal dari tembhāng mamaca (versi kuno) dan kèjhungan (versi modern). Setiap pajhudhun dan merpati harus memiliki alat musik dhung-dhung atau tong-tong dalam bentuk berbagai kentongan yang terbuat dari kayu. Alat musik digunakan oleh seorang master sebagai alat komunikasi untuk merpati dan manusia. Instrumen dhung-dhung dari master merpati umumnya keramat sebagai peninggalan lainnya seperti keris. Pada umumnya, sang guru memasok dirinya sendiri dan merpati dengan kekuatan mistis. Ini adalah dhung-dhung itu sendiri yang menjadi identitas musik glundhângan. Bagi orang Madura, merpati diperlakukan sebagai hewan istimewa. Merpati juga merupakan perwujudan kekuatan supernatural dari tuannya. Musik dan merpati glundhângan adalah artikulasi orang Madura yang mewakili tingkat sosial, kebanggaan yang dipertaruhkan, simbol maskulinitas dan distribusi hasrat konflik yang produktif di antara orang-orang.Glundhangan is an ensemble of wooden gamelan played by Madurese people. Glundhangan music is believed as archaic music of Madurese people. It even existed before era of metallophone gamelan. In Jember, glundhângan is closely related to pigeon and usually used for nyata and totta’an dhârâ events. Nyata is an event when a pigeon master succeeds to get his opponent’s pigeon. While totta’an dhârâ is a match of releasing pigeons together and then they, pigeons, come back to pajhudhun (pigeon house) of their masters. Glundhângan is a music which becomes winning signifier of pigeon’s master when he gets his opponent’s pigeon, and it is an accompanying music for pigeons release and return to home. Glundhângan consists of some wooden musical instruments like glundhâng, dhung-dhung, tong-tong, tek-tek, nèng-nèng and ghâghâmbhâng, and they are accompanied by vocal of tembhâng mamaca (ancient version) and kèjhungan (modern version). Every pajhudhun and pigeon master must have musical instruments dhung-dhung or tong-tong in a form of various kentongan made by wood. The music instrument is used by a master as means of communication to pigeons and people. Dhung-dhung instrument of the pigeon master is commonly sacred as other relics like keris. Commonly, the master supplies himself and pigeons with mythical power. It is dhung-dhung itself which becomes identity of glundângan music. For Madurese people, pigeon is treated as special animal. Pigeon is also a manifestation of supernatural power of its master. Glundhângan music and pigeons are articulations of Madurese people that represent social degree, pride at stake, symbol of masculinity and productive distribution of conflict desire among people.    
Islam, National, and Local History in Tabbhuwan Walisanga Performance Art Panakajaya Hidayatullah
Journal of Urban Society's Arts Vol 7, No 2 (2020): October 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/jousa.v7i2.3827

Abstract

Tabbhuwân is a Madurese tradition of performing arts. In the present context, modern culture influences many young people. It has become a restlessness for the clerics who then think of strategies on how to incorporate Islamic values in the younger generation today. In 2015 in Situbondo, Wali Sanga boarding school established a tabbhuwân wali sanga art group. Tabbhuwân is considered a way of preaching according to the conditions and culture of the community of Madura Situbondo. The players consist of the santri of the younger generation of Islamic boarding schools. Tabbhuwân wali sanga features Islamic drama performances that elevate the play of Islamic history and Indonesia. The play included Islamic history (stories of the companions of the Prophet Muhammad), local history, the history of the entry of Islam on Java (walisanga), and the history of Indonesian independence, one of which was titled ‘Jihad Resolution.’ Besides, tabbhuwân also includes elements of Madurese culture, including language, traditional music, expression, decoration, and discourse. Tabbhuwân plays a role in the spread of Islam, preserving Madurese culture and instilling nationalism in society through historical themes. The lower-middle-class community assumes that tabbhuwân is a means to understand the historical, social, and cultural realities occurring today. Tabbhuwân also influences fostering a sense of nationalism through heroic historical values, especially to the younger generation. In this case, tabhuwân imagines Indonesia in the discourse of religious nationalism. Islam, Nasional, dan Sejarah Lokal dalam Seni Pertunjukan Tabbhuwan Walisanga. TabbhuwânadalahsenipertunjukantradisimasyarakatMadura.Dalamkontekskekinian, budaya modern banyak mempengaruhi kaum muda. Hal ini menjadi keresahan para ulama yang kemudian memikirkan strategi bagaimana memasukkan nilai-nilai Islam pada generasi muda saat ini. Pada tahun 2015 di Situbondo, Pondok Pesantren Wali Sanga mendirikan kelompok seni tabbhuwân wali sanga. Tabbhuwân dianggap sebagai cara dakwah yang sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat Madura Situbondo. Para pemainnya terdiri dari para santri generasi muda pondok pesantren. Tabbhuwân wali sanga menampilkan pertunjukan drama Islam yang mengangkat lakon sejarah Islam dan Indonesia. Lakon tersebut meliputi sejarah Islam (cerita para sahabat Nabi Muhammad), sejarah lokal, sejarah masuknya Islam di Jawa (walisanga), dan sejarah kemerdekaan Indonesia, salah satunya bertajuk ‘Resolusi Jihad’. Selain itu, tabbhuwân juga memasukkan unsur budaya Madura yang meliputi bahasa, musik tradisional, ekspresi, ragam hias dan wacana. Tabbhuwân berperan dalam penyebaran agama Islam, pelestarian budaya Madura dan menanamkan nasionalisme dalam masyarakat melalui tema sejarah. Masyarakat kelas menengah ke bawah menganggap tabbhuwân sebagai cara memahami realitas sejarah, sosial dan budaya yang terjadi saat ini. Tabbhuwân juga memiliki pengaruh dalam menumbuhkan rasa nasionalisme melalui nilai-nilai sejarah yang heroik, khususnya kepada generasi muda. Dalam hal ini, tabhuwân membayangkan Indonesia dalam wacana nasionalisme agama.
Various Language Expressions in The Criticism of Madurese People on Social Media Field Akhmad Sofyan; Panakajaya Hidayatullah; Ali Badrudin
Karsa: Journal of Social and Islamic Culture Vol. 28 No. 1 (2020)
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v28i1.2352

Abstract

The Madurese community in Situbondo is a group of people who are still 'unfamiliar' with the internet media (social media). Their lack of understanding in using social media often creates problems in society. This article is the result of ethnography of communication research which discusses criticism behavior of Madurese people in Situbondo in social media. It comprehensively analyzes aspects of use of language choice, motive of language choice and language formulation expressed by informants. Research findings show that: 1) Situbondo people express criticism in social media by using code of Madurese language and mixed Madurese-Indonesia and Madurese-English, and they are expressed through some patterns which are humor, figurative, threatening and affirmative, direct and indirect satire, Kiyai quote and lyrical/poetical pattern; 2) Some motives background of choice of language code in expressing criticism are influenced by aspects of hierarchy in a context of diglosia society, politic of identity; dimension of ethnic group and psychological and cultural motives. Formulation of these findings explain that most of criticism model of Madurese people in Situbondo through social media is manifestation of habit in expressing criticism in real world. Something avoided is criticism model using sarcasm sentence, containing hate speech, offending pride, social status, family and feeling of interlocutors. Expressive and outspoken criticism in social media are also considered to be dangerous and unacceptable by people because they create ‘floating’ (unclear) interpretation, and potential to be misinterpreted. While some acceptable criticism are criticism model expressed by fine language and expressed by humor, figurative, fine satire and lyrical/poetical patterns.
PEMBANGUNAN DESA WISATA BUDAYA BERBASIS TRADISI MAMACA DI KEBUNDADAP BARAT, KECAMATAN SARONGGI, KABUPATEN SUMENEP Agustina Dewi S.; Akhmad Sofyan; Dewi Angelina; Panakajaya Hidayatullah
UNEJ e-Proceeding 2020: E-PROSIDING SEMINAR NASIONAL PEKAN CHAIRIL ANWAR
Publisher : UPT Penerbitan Universitas Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mamaca merupakan tradisi masyarakat Madura yang berupa kegiatan membaca teks berupa puisi dengan cara dinyanyikan yang bersumber dari cerita babad, kisah para nabi, kisah para tokoh sejarah, maupun cerita yang diambil dari kisah atau tokoh fiktif yang bermuatan petotor atau nasihat. Hal ini membuat mamaca sangat berpengaruh bagi pembentukan eksistensi masyarakat Madura. Melihat pentingnya tradisi ini bagi masyarakat Madura, tentu menjadi penting untuk melestarikan tradisi yang mulai punah ini. Pelestarian tradisi mamaca ini salah satunya bisa dilakukan melalui desa wisata budaya di Madura, khususnya di Sumenep. Penelitian ini mencoba menganalisis peluang munculnya desa wisata di Sumenep dengan berbasis tradisi mamaca. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk memahami suatu gejala sosial secara holistik (utuh). Metode kualitatif ini memungkinkan peneliti untuk memahami masyarakat dan memandang mereka sebagaimana mereka mengungkapkan pandangan terhadap dirinya. Dengan adanya tradisi mamaca di Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, harusnya dapat dirintis destinasi desa wisata budaya melalui peraturan desa (Perdes). Dengan adanya destinasi desa wisata budaya diharapkan tradisi mamaca akan dapat dilestarikan sebagai aset budaya desa. Selain itu, dengan adanya destinasi desa wisata budaya diharapkan perekonomian masyarakat Desa Kedungdadap Barat dapat meningkat. Kata kunci: desa wisata budaya, kearifan lokal, dan tradisi mamaca
Ungkapan Kritik dalam Ranah Keluarga Masyarakat Madura di Besuki Raya Akhmad Sofyan; Panakajaya Hidayatullah; Ali Badrudin
MOZAIK HUMANIORA Vol. 21 No. 1 (2021): MOZAIK HUMANIORA VOL. 21 NO. 1
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/mozaik.v21i1.26282

Abstract

Penelitan ini bertujuan mengurai fenomena penggunaan ungkapan kritik dalam ranah keluarga masyarakat Madura di Besuki Raya. Fokus penelitian ini mengungkap tentang (1) bentuk dan model kritik yang digunakan, (2) konteks bagaimana kritik tersebut diproduksi di masyarakat, dan (3) formulasi pemilihan bentuk kritik di masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode etnografi komunikasi yang dipadukan dengan teknik simak. Temuan dalam penelitian ini menghasilkan (1) bentuk dan model kritik yang digunakan yakni (a) kritik langsung, (b) kritik menggunakan orang ketiga, (c) kritik menggunakan penanda bunyi, dan (d) kritik menggunakan bahasa metafora; (2) kritik disampaikan dalam beberapa konteks komunikasi dalam ranah keluarga, seperti hubungan orang tua kepada anak, mertua kepada menantu, menantu kepada mertua, istri kepada suami, suami kepada istri, kakek kepada cucu, dan cucu kepada nenek; (3) dalam formulasi pemilihan bentuk kritik di masyarkat Madura dapat dipetakan bahwa ada beberapa kritik yang dapat diterima seperti (a) kritik langsung yang disampaikan dengan pemilihan diksi kalimat yang baik, intonasi yang halus, dan disampaikan secara privat, (b) melalui orang ketiga, (c) penanda bunyi, dan (d) bahasa metafora (kiasan). Adapun bentuk kritik yang dihindari adalah bentuk kritik langsung yang disampaikan secara kasar (menggunakan kalimat yang menyinggung perasan) dan disampaikan secara di depan publik.