Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Hak Wali Mujbīr Membatalkan Pernikahan (Analisis Putusan Mahkamah Syari'ah Perak) Hanapi, Agustin; Azizan, Hafizah Hani
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 1, No 1 (2017)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v1i1.1558

Abstract

Izin wali sangat penting dalam menentukan sahnya suatu perkawinan. Adanya wali adalah syarat sahnya perkawinan, sebagaimana adanya saksi. Nikah tidak sah tanpa wali laki-laki yang mukallaf, merdeka, muslim, adil, dan berakal sempurna. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana pertimbangan Hakim dalam memberikan putusan Hak wali mujbir di Mahkamah Syari'ah Perak Islam dan bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pernikahan tanpa wali mujbi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan telaah kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Pertimbangan hakim dalam memberikan putusan di Mahkamah Syari'ah Perak adalah berdasarkan seksyen 13 EKIP 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim boleh membatalkan pernikahan yang tidak mengikuti Undang-Undang Malaysia yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Syari'ah. Selain itu, Hakim juga melihat dari sekufu atau tidak antara pasangan mempelai tersebut. Adapun pernikahan yang tidak sesuai dengan Undang-undang Negara dan Hukum Islam, Hakim boleh membatalkan pernikahan pasangann tersebut.
Penelantaran Isteri oleh Suami sebagai Sebab Perceraian (Studi Kasus di Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan) Hanapi, Agustin; Risma, Bina
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (539.1 KB) | DOI: 10.22373/sjhk.v2i2.4744

Abstract

Salah satu penyebab perceraian adalah penelantaran yang dilakukan oleh suami terhadap isteri sehingga isteri menuntut perceraian di pengadilan. Namun hal ini terjadi di Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan dimana ada beberapa kasus penelantaran isteri sehingga menyebabkan perceraian. Berdasaran kasus tersebut Skripsi ini meneliti tentang Penelantaran Isteri Oleh Suami Sebagai Sebab Perceraian. Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Library research (Penelitian Pustaka), yaitu penelitian dengan mengambil data-data dari kepustakaan. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis melalui metode analisis deskriptif. Adapun penyebab terjadinya penelantaran di Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan adalah Mabuk, Meninggalkan salah satu pihak, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Cacat badan, Perselisihan dan pertengkaran terus menerus, Jiwa/Mental, Pihak ketiga, Tidak tanggungjawab dan Ekonomi. Dasar hukum terdapat dalam surat ar-Rum ayat 21, Dan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 19, menyebutkan, salah satunya jika antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga dan salah satunya pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
Urgency of Marriage Registration for Women and Child Protection in Gayo Lues District Hanapi, Agustin; Yuhermansyah, Edy
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 4, No 2 (2020)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v4i2.7942

Abstract

Announcing marriage is an act to spread Islamic greatness. There have never been any previous scholars who married secretly or did not announce their marriages. Currently, marriages that are carried out in secret are synonymous with elopement and are not recorded in the Religious Affairs Office. The phenomenon of underage elopement, which the locals refer to as ‘naik’ (rising), is quite prevalent in Gayo Lues District. There have been six cases occurred already in one year. A pair of students who were still under 19 without the permission of their parents or the school deliberately went to a traditional leader, begging to be married off, while some others even dared to skip the administrative procedures and directly married, thinking that the procedures could be taken care of later. However, the real-life is not as smooth as they expected, and so their marriage was not registered, eventually causing the women and children to be the victims. In this study, the focus has related the perspective of Islamic jurisprudence and legislation in Indonesia on marriage registration and the consequences for women and children when there is no marriage registration. This qualitative study used in-depth interviews, descriptive analysis methods, the empirical juridical approach, and the normative juridical approach. The results of the study showed that students who eloped in high school generally no longer continued their studies because of shame and inferiority towards their friends. Marriage registration is handled by the State or the Government through statutory regulations in order to create orderly marriage in society.
PERSEPSI MASYARAKAT ACEH TERHADAP NUSYUZ Agustin Hanapi; Yenny Sri Wahyuni
INTERNATIONAL JOURNAL OF CHILD AND GENDER STUDIES Vol 7, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/equality.v7i1.8692

Abstract

Dalam sebagian masyarakat, isteri begitu patuh kepada suami bahkan ada yang berkonsultasi kepada penulis bahwa dia tidak berani menolak ajakan suami walaupun kondisinya sendiri kurang fit, belum suci dari menstruasi, atau harus menyiapkan makanan dan pakaian walaupun dia sendiri kurang sehat karena takut masuk dalam keriteria nusyuz sehingga surga menjadi haram baginya. Begitu juga dengan suami sering bersikap semena-mena terhadap isteri dan merasa wewenang yang dimilikinya bersifat absolut sehingga ia dapat menggunakan kapan saja tanpa mempertimbangkan kondisi apapun, jika isteri enggan mematuhinya maka sering disebut sebagai isteri “nusyuz” ataupun “durhaka”. Tulisan ini memaparkan tentang “Persepsi Masyarakat Terhadap Nusyuz (Studi Kasus di Aceh Tenggara)” yang memiliki adat istiadat yang unik dan berbeda dari daerah lain di Aceh, yang begitu menikah maka seorang isteri harus rela diboyong dan tinggal di rumah suami (mertua isteri) sehingga sebagian isteri merasa  harus patuh kepada suaminya secara mutlak. Hampir semua responden tidak tahu dan tidak familiar dengan istilah “nusyuz” sebagaimana istilah yang digunakan oleh Alquran. Istilah yang familiar di kalangan mereka adalah “durhaka”, namun secara umum mereka labelkan hanya kepada isteri sekiranya tidak patuh dan taat kepada suami. Kemudian secara umum, responden menganggap bahwa masalah nafkah sepenuhnya tanggung jawab suami, sedangkan terkait urusan domestik seperti mencuci, mengurus rumah dan anak mutlak dibebankan kepada isteri, dan isteri harus memberikan pelayanan sepenuhnya terhadap suami.
PERAN PEREMPUAN DALAM ISLAM Agustin Hanapi
INTERNATIONAL JOURNAL OF CHILD AND GENDER STUDIES Vol 1, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/equality.v1i1.620

Abstract

Islam merupakan agama yang sangat menghormati dan menghargai perempuan dan laki-laki di hadapan Allah secara mutlak. Islam menghapus tradisi Jahiliyah yang begitu diskriminatif terhadap perempuan, dalam Islam laki-laki dan perempuan dianggap sebagai makhluk Allah yang setara, bebas ber-tasarruf, bahkan satu sama lain saling melengkapi dan membutuhkan. Islam sebagai rahmatan lil Alamin memposisikan perempuan pada tempat yang mulia. Tidak ada dikotomi dan diskriminasi peran antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an mengajarkan kedudukan orang beriman baik laki-laki maupun perempuan itu sama di hadapan Allah, oleh karena itu mereka harus memperoleh status yang setara dimata Tuhan, dan keduanya telah dideklarasikan secara sama dengan mendapatkan rahmat Allah. kepergian perempuan untuk studi walau tanpa mahram dapat dibenarkan selama terjamin kehormatan dan keselamatannya serta tidak mengundang kemaksiatan. Perempuan mempunyai hak untuk bekerja selama ia membutuhkannya atau pekerjaan itu membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap terpelihara. Oleh karena itu tidak ada halangan bagi perempuan untuk bekerja di selama pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat memelihara agamanya dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negatif terhadap diri dan lingkungannya. Mengabaikan perempuan dan tidak melibatkannya dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat berarti menyia-siakan paling tidak setengah dari potensi masyarakat.
PEMAHAMAN YANG BIAS GENDER Agustin Hanafi
Takammul : Jurnal Studi Gender dan Islam Serta Perlindungan Anak Vol 6, No 2 (2017): TAKAMMUL
Publisher : Pusat Studi Wanita UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (780 KB) | DOI: 10.22373/takammul.v1i1.1360

Abstract

Understanding verses and hadiths that gender bias, often used as a legitimation for inequality relationships women and men. Forexample, the interpretation of the word nafs wahidah that could be interpreted as Adam or also of the same material with Adam. However, the important thing is, that it does not mean there are more superior than others. Understanding verses and hadiths that gender bias is also found in understanding the hadith about the creation of woman from the rib. The creation of woman from the rib here is not in the true meaning, but often harfiyah interpreted giving rise to the perception that women in Islam is a second being. This understanding arises because of an incomplete understanding of the meaning of the verse and the hadith, and also due to the only partial understanding.
Kedudukan Metode al-Qāfah Dalam Penetapan Nasab Anak Menurut Ulama Perspektif Maqashid al-Syariah Agustin Hanapi; Imanuddin Imanuddin; Khairuddin Hasballah
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 14, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v14i1.15875

Abstract

Abstract:This study attempts to identify the position of Qāfah method in determining the child's lineage based on the scholars’ perspective using a qualitative approach through descriptive analysis. The results show that the al-qāfahmethod is important in Islam, particularly in certain cases of denial or claims against children. It is because not all people are willing to do a DNA test due to its complicated mechanism and unpreparedness of the parents to admit the child when the DNA test proves positive. Sholars’ views on the position of the al-qāfahmethod in determining the child’ lineage are varied. First, Hanafiyyah scholars absolutely reject this method because it prioritizes the theory of li'an law when the husband denies the lineage of his child. Second, most other scholars (Maliki, Shafi'i, Hambali, Al-Zahiri, and Al-Auza'i) accept the method by referring to Umar’s decision of engaging lineage experts (qā'if) in determining the child claims. Third, the Zahiri school believes that al-qāfah method can be used as a benchmark in determining the case of lineage and atsar (tracing the traces). The last, Ibn Qayyim considers that al-qāfahmethod as one of the laws established by the Prophet Muhammad.Keywords: Al-Qafah; fiqh; child’s lineage.Abstrak:Penelitian ini bertujuan untuk melihat kedudukan metode al-qāfah dalam menetapkan nasab anak menurut ulama dan perspektif maqasid syariah melalui pendekatan kualitatif dengan cara dekriptif-analisis. Data diperoleh dengan cara mencari literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan kemudian dianalisis dengan metode deskriptif analitik, metode komparatif, dan metode analisis konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa ulama fikih termasuk di antaranya jumhur ulama menyepakati metode al-qāfah sebagai cara untuk menetapkan nasab anak dengan merujuk tindakan Umar yang menghadirkan ahli nasab (qā’if) dalam perkara sengketa klaim anak. Juga mazhab Zahiri yang mengatakan bahwa al-qāfah dapat dijadikan patokan dalam putusan perihal nasab dan atsar (menelusuri jejak), serta Ibnu Qayyim yang meyakini al-qāfah menjadi salah satu di antara hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW). Dalam perspektif maqasid syariah metode al-qāfah penting dilakukan terutama pada kasus pengingkaran atau klaim terhadap anak, lantaran tidak semua masyarakat bersedia melakukan tes DNA karena biaya yang mahal, mekanisme yang rumit juga ketidaksiapan untuk mengakui seandainya diketahui bahwa itu adalah anaknya.Kata Kunci: Al-Qafah; fikih; nasab anak.
Peran Bahagian Sokongan Keluarga Dalam Masalah Pemenuhan Nafkah Isteri Pasca Perceraian (Studi Kasus Di Mahkamah Tinggi Syariah Kedah, Malaysia) Agustin Hanafi; Mohamad Hedhayatullah Bin Mohamad
Media Syari'ah Vol 20, No 1 (2018)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v20i1.6501

Abstract

Nafkah merupakan salah satu daripada hak isteri yang perlu ditunaikan. Hukum ini telah termaktub di dalam Al-Quran dan sebagaimana yang diketahui oleh semua muslim, salah satu kewajiban seorang suami itu adalah menyediakan nafkah buat isterinya baik dalam  tempoh  perkawinan  maupun  pasca perceraian.  Namun,  mutakhir  ini,  banyak kasus yang melibatkan perilaku suami yang mengabaikan nafkah isteri pasca perceraian. Bahagian Sokongan Keluarga (BSK) merupakan pihak berwenang yang mampu mengatasi dengan sebaik mungkin segala permasalahan berkaitan dengan pemberian nafkah. BSK memberi peluang kepada mantan isteri untuk membuat tuntutan nafkah jika suami gagal atau enggan membayar nafkah sekaligus mengembalikan hak isteri. Pertanyaan yang diajukan dalam permasalahan ini adalah bagaimana peran BSK dalam menjamin terpenuhinya  nafkah isteri pasca perceraian dan bagaimana efektifitasnya (BSK) terhadap masalah penegakan nafkah isteri pasca perceraian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang peran (BSK) dalam masalah pemenuhan nafkah isteri pasca perceraian. Penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis empiris yaitu kajian lapangan (field research) dan yuridis normatif yaitu kajian kepustakaan (library research). Adapun Metode pengumpulan data yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah observasi, wawancara dan telaah dokumentasi. Hasil penelitian yang diperoleh, bahwa peran BSK dalam masalah pemenuhan nafkah isteri pasca perceraian berjalan secara efektif karena BSK memantau dan menangani masalah ketidakpatuhan mantan suami terhadap perintah nafkah Mahkamah Syariah melalui pembentukan Unit Khidmat Nasehat dan Perundangan, Unit Penguatkuasaan dan Pelaksanaan Perintah dan Unit Pengurusan Dana. Keberadaan BSK telah menjadi tempat rujukan dan   memberikan bantuan kepada mantan isteri. Berdasarkan hal tersebut, dapat difahami bahwa pokok permasalahan dalam penyelesaian masalah pengabaian nafkah apabila mantan suami memahami  hal  berkaitan  agama  Islam  serta  mengetahui  hak  dan  tanggung  jawab terhadap isteri pasca perceraian.Kata Kunci: Bahagian Sokongan Keluarga (BSK) dan Nafkah Isteri Pasca Penceraian Living in one of the rights of wives that need to be shown. This law has been contained in the Koran and as it is known by all Muslims, one of the obligations of a husband is to provide a living for his wife both in the period of marriage or post-divorce. However, these cutting-edge, many cases involve the behavior of husbands who neglect the living wives post-divorce. The Family Support Division (BSK) is the authority who can cope with the best possible problems relating to the provision of the living. BSK allows the former wife to make a living claim if the husband fails or refuses to pay the living while returning the right of the wife. The question posed in this issue was the role of BSK in guaranteeing the fulfillment of the postpartum wife and how effectiveness (BSK) has been to the problem of establishing a divorce post. The study aims to find out about the role (BSK) in the issue of fulfilling wives after divorce. The research in this thesis was empirical, i.e. field research and normative juridical (library research) study. The methods of data collection used by the authors in this thesis are observations, interviews and documentation study. The results of the research obtained, that the role of BSK in the problem of fulfillment of wives post-divorce runs effectively because BSK monitors and addresses the problem of non-compliance of ex-husband against the order of Sharia court The establishment of the Advisory and Legal Unit, enforcement Unit and the execution of the Order and fund Management unit. The existence of BSK has been a referral place and provides relief to the former wife. Based on this, it can be understood that the subject matter in solving the issue of living if the former husband understands the matter related to Islam and knows the rights and responsibilities of the post-divorce wife.
Isbat Nikah Siri dalam Putusan Hakim Mahkamah Syar'iyah Lhoksukan Agustin Hanapi; Mulyadi Mulyadi; Mursyid Djawas
Media Syari'ah Vol 23, No 1 (2021)
Publisher : Sharia and Law Faculty

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/jms.v23i1.9181

Abstract

Positive law only limits marriage isbat to marriages that occurred before Law no. 1 of 1974 because there is no rule requiring registration. Meanwhile, unregistered marriages that occur after the regulation cannot carry out isbat marriage, because the law only limits it before the enactment of Law no. 1 of 1974. However, the Compilation of Islamic Law provides space as Article 7 paragraph (3) letter e which reads that marriages are carried out by those who do not have marriage barriers according to Law no. 1 of 1974. Article 7 has provided a very broad absolute competence regarding isbat marriage, even though KHI is not included in the hierarchy of Legislation. Judges are given the flexibility to perform ijtihad for the benefit of all parties. This article is the basis for consideration of the Lhoksukon Syar'iyah Court judges in granting the application for isbat marriage for unregistered married couples, namely number: 131/Pdt.P/2019/MS.Lsk. number: 313/Pdt.P/2019/MS.Lsk. For this reason, this paper wants to answer the question of how the judges of the Lhoksukon Syar'iyah Court considered the reasons for the isbat of unregistered marriages, and what was the legal status of the judge's determination of the isbat of marriages for unregistered married couples. The method used is descriptive analysis method with a qualitative approach. The research approach is juridical normative and juridical sociological, using the theory of legal protection. Then use the theory of maqāṣid syarī'ah to realize goodness while avoiding evil, or take advantage and reject harm. The results of the study stated that the consideration of the judges of the Lhoksukon Syar'iyah Court in the case of isbat marriage for unregistered married couples was in accordance with the laws and regulations, the judge was also not rigid in ijtihad but considered sociological and problematic aspects.Hukum positif hanya membatasi isbat nikah pada perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 karena belum ada aturan mewajibkan pencatatan. Sedangkan nikah siri yang terjadi setelah aturan itu tidak dapat melakukan isbat nikah, karena Undang-Undang hanya membatasi sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974. Namun Kompilasi Hukum Islam memberi ruang sebagaimana Pasal 7 ayat (3) huruf e yang berbunyi perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 7 ini telah memberikan kompetensi absolut yang sangat luas tentang isbat nikah, padahal KHI tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan. Hakim diberikan keluasan untuk berijtihad demi kemaslahatan semua pihak. Pasal inilah menjadi dasar pertimbangan Majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon dalam  mengabulkan permohonan isbat nikah bagi pasangan nikah siri, yaitu nomor: 131/Pdt.P/2019/MS.Lsk. nomor: 313/Pdt.P/2019/MS.Lsk. Untuk itu tulisan ini ingin menjawab  pertanyaan bagaimana pertimbangan Hakim Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon terhadap alasan isbat nikah siri, dan bagaimana status hukum terhadap penetapan Hakim mengenai isbat nikah bagi pasangan nikah siri. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif. Adapun pendekatan penelitian bersifat yuridis normatif dan yuridis sosiologis, dengan menggunakan teori perlindungan hukum. Kemudian menggunakan teori maqāṣid syarī‘ah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudarat. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pertimbangan hakim  Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon dalam kasus isbat nikah bagi pasangan nikah siri telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, hakim juga tidak kaku dalam berijtihad tetapi mempertimbangkan aspek sosiologis dan masalahat.
Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Nikah Siri Dalam Fatwa MPU Aceh Nomor 1 tahun 2010 Tentang Nikah Siri Agustin Hanapi; Sudjah Mauliana
El-Hadhanah : Indonesian Journal Of Family Law And Islamic Law Vol 2 No 1 (2022): El-Hadhanah: Indonesian Journal Of Family Law And Islamic Law
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (454.823 KB) | DOI: 10.22373/hadhanah.v2i1.1567

Abstract

Some society assumed that all person who perform marriages under the hands or unregistered marriages are marriages that are carried out secretly without the knowledge of official officers, namely mariages record officer. Unregistered marriages become a problem in the community that can’t stop it soon, more harm than good. Unregistered marriages can also have a big impact on the consequences of the marriages law there is especially an bad effect on women and children. Now a days much of all still many unregistered marriages processed, because there are still many unofficial marriages with decision of false judge, therefore need for applicate the sanctions for the two perpetrators of unregistered marriages, in this case teh MPU Aceh have the create Fatwa about this problem one, so they must state a regulation to protect this habitual can not occur again in our community. Therefore, the researcher is interested in reviewing the application of sanctions for unregistered marriages perpetrators in MPU Aceh Fatwa No. 1 of 2010 concerning Siri Marriages. The research methods used are field research and literature research. The result in this study state that MPU Aceh applied sanctions for perpetrators of this series of marriages against false judge with imprisonment, the presence of false judge this unregistered marriages is viral now, therefore there needs to be sanctions applied. In the study of Maqasid Syar’iyah the recording of marriages agreements falls into the category of primary benefits of Daruriyat that can protect and maintain the benefit of religion, soul, reason, offspring, and property. Related to offspring, because with the recording, for women children benefif from the wife gets an inheritance and the child gets.