Abstract Besides being referred to as a student city, Yogyakarta is also referred to as a city of culture. One culture that still exists today is Hajad Dalem Labuhan or sea alms. According to some people and the Yogyakarta palace, Hajad Dalem Labuhan is only a means of fostering safety, peace, and well-being as well as a tourist attraction that brings rupiah coffers to the surrounding community. This research uses a descriptive qualitative method with Charles Sanders Peirce's semiotic analysis knife. The destruction of the Hajad Dalem Labuhan ceremony due to differences in viewpoints regarding the meaning of the signs and symbols in it made the action unfortunate by some people of Yogyakarta and included the regent of Bantul. Hajad Dalem Labuhan according to KRT Djatiningrat information is just a manifestation of piety to God Almighty. Good relations are not only done with God, and humans, but also nature. Uborampe is only a means to God, asking for anything to remain with Him. Unlike the case with groups that interpret the signs and symbols in the Hajad Dalem Labuhan ceremony with another view, that the ceremony will only lead to shirk and such needs to be reviewed. These differences in meaning will be reconciled with the perspective of Charles Sanders Peirce's semiotics. By applying the theory of semiotics, what is obtained in the triangle sign is the concept of Rahmatan Lil Alamin. So, both must have an attitude of tolerance which is the implementation of Rahmatan Lil Alamin itself. Keywords: Hajad Dalem Labuhan, Differences In Meaning, Charles Sanders Peirce's Semiotics, Applying The Theory, Rahmatan Lil Alamin. Abstrak Selain disebut sebagai Kota pelajar, Yogyakarta juga disebut sebagai Kota budaya. Salah satu budaya yang tetap eksis sampai sekarang ialah Hajad Dalem Labuhan atau sedekah laut. Menurut sebagian masyarakat dan kalangan keraton Yogyakarta, Hajad Dalem Labuhan hanyalah sebagai sarana membina keselamatan, ketenteraman, dan kesejahteraan serta sebagai obyek wisata yang mendatangkan pundi-pundi rupiah bagi masyarakat sekitar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pisau analisa semiotika Charles Sanders Peirce. Pengerusakan upacara Hajad Dalem Labuhan karena perbedaan sudut pandang tentang memaknai tanda dan simbol yang ada di dalamnya, membuat aksinya disayangkan oleh sebagian masyarakat Yogyakarta dan termasuk bupati Bantul. Hajad Dalem Labuhan menurut keterangan KRT. Djatiningrat, hanyalah sebuah manifestasi ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Hubungan baik tidak hanya dilakukan kepada Allah, dan manusia saja tetapi alam pun juga. Uborampe hanyalah sarana menuju Tuhan, meminta apapun tetap kepada-Nya. Berbeda halnya dengan kelompok yang memaknai tanda dan simbol daalm upacara Hajad Dalem Labuhan dengan pandangan lain, bahwa upacara tersebut hanya akan menjurus pada kesyirikan dan yang demikian perlu dikaji ulang. Perbedaan-perbedaan makna inilah akan didamaikan dengan perspektif semiotika Charles Sanders Peirce. Dengan mengaplikasikan teori semiotikanya, yang didapat dalam segitiga tanda ialah konsep Rahmatan Lil Alamin. Jadi, keduanya harus memiliki sikap toleransi yang merupakan implementasi dari Rahmatan Lil Alamin itu sendiri. Kata Kunci: Hajad Dalem Labuhan, Perbedaan-Perbedaan Makna, Semiotika Charles Sanders Pierce, Mengaplikasikan Teori, Rahmatan Lil Alamin.