Taufik Rachmat Nugraha
Universitas Padjadjaran

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

MILITERISASI RUANG ANGKASA, QUO VADIS INDONESIA? Taufik Rachmat Nugraha; Prita Amalia
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 32, No 3 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jmh.52601

Abstract

AbstractIn 2019 The US President was signing space policy directive IV which raised controversies across the globe. This decision is astonishing in recall that the 1968 Outer Space Treaty (the OST) in Art IV was prohibited from using the military by aggressive means. Furthermore, the space force will threaten the third-tier country like Indonesia and others to secure its own space assets, and since long ago Indonesia has actively promoted use of outer space peacefully. Finally, this paper will examine what the position of space force under the OST 1968 and how Indonesia should deal with it through socio-legal approach. IntisariPada tahun 2019 Presiden Amerika Serikat menandatangani Space Policy Directive IV yang menimbulkan beragam kontroversi dari berbagai negara. Keputusan ini cukup mengherankan dikarenakan dalam Pasal IV 1968 Outer Space Treaty (the OST) dengan jelas melarang penggunaan kekuatan militer dalam makna kekuatan yang bersifat agresif. Selanjutnya, keberadaan Space Force dapat mengancam negara tier ke-tiga seperti Indonesia untuk menjaga dan mengamankan asetnya di ruangangkasa, selain itu sejak dahulu Indonesia sangat aktif dalam mempromosikan penggunaan damai di ruangangkasa. Sebagai informasi, artikel ini akan menguji posisi Space Force dengan menggunakan the OST 1968 dan bagaimana posisi yangharus disikapi oleh Indonesia tentang hal tersebut dengan menggunakan pendekatan Socio-Legal.
INTERPRETASI INTERNATIONAL COURT of JUSTICE (ICJ) PADA PASAL VI PERJANJIAN NON-PROLIFERATION TREATY 1968 (NPT) Taufik Rachmat Nugraha
Arena Hukum Vol. 14 No. 2 (2021)
Publisher : Arena Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.arenahukum.2021.01402.8

Abstract

AbstractIt has been 50 years since the Non-Proliferation Treaty was made by America, England, and the Soviet Union to prevent the nuclear arms race in the future. However, Article VI of NPT consisted of ambiguity and has sparked long-lasting debate questioning NPT electiveness. Article VI at least has been examining twice by the International Court of Justice (ICJ) in 1996 and 2014. Unfortunately, those examinations were unsatisfied regarding when Nuclear Weapon State (NWS) should cease and disarmament their nuclear weapon? If referring to “an early date,” it should be done years long ago and not taking more than 50 years with pathetic achievement. Finally, this article will examine the current development of NWS using a normative juridical method according to existing nuclear regulation, ICJ Commentary, which resulting in a suggestion when NPT 1968 parties should fulfil their obligation under Art VI NPT 1968. AbstrakSudah 50 tahun Non-Proliferation Treaty 1968 (NPT) dibuat oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet sebagai pencegahan meletusnya perang menggunakan senjata nuklir di masa depan. Akan tetapi, dalam NPT sendiri khususnya Pasal VI menyimpan ambiguitas dan menimbulkan perdebatan selama bertahun-tahun bagaimana efektifitas isi dari NPT. Pasal VI NPT setidaknya pernah diuji dua kali pada tahun 1996 dan 2014, namun sayangnya belum membuahkan hasil yang memuaskan mengenai kapan senjata nuklir dari negara peserta NPT 1968 harus benar-benar dilucuti. Jika melihat kata-kata “an early date” seharusnya pelucutan senjata nuklir sudah beres sejak lama dan tidak memakan waktu hingga lebih dari 50 tahun dengan kemajuan yang menyedihkan. Penelitian yuridis normatif mengelaborasi peraturan tentang kesenjataan nuklir termasuk komentar ICJ pada Pasal VI fakta yang masih terjadi hingga saat ini, dan memberikan saran kapan seharusnya pemenuhan isi Pasal VI dilakukan oleh negara peserta untuk mencegah meletusnya perang nuklir di masa depan.