I Nengah Susrama
Universitas Mahasaraswati Denpasar

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

KEPUTUSAN FIKTIF DALAM UPAYA ADMINISTRATIF TERHADAP KEPUTUSAN APARATUR SIPIL NEGARA I Nengah Susrama; Putu Angga Pratama Sukma
Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Vol. 1 No. 1 (2019): Jurnal Hukum Saraswati
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Substitution of Regional Head, there is usually a mutation / change of civil servants due to a cause due to internal factors that tend to be feudal culture. One of the efforts to resolve the transfer / replacement of civil servants by promoting administrative efforts towards the decree. When this administrative effort is carried out with a specified grace period, the Government Agency or Official does not respond / remain silent. This silence is the granting of the administrative effort (positive fictitious decision) of the applicant based on the Administrative Law of the Government.
PENGATURAN HUKUM BAGI PELAKU PEDAGANGAN MANUSIA MELALUI MEDIA INTERNET DI INDONESIA I Nengah Susrama
Jurnal Hukum Saraswati (JHS) Vol. 2 No. 2 (2020): Jurnal Hukum Saraswati
Publisher : Faculty of Law, Mahasaraswati University, Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36733/jhshs.v2i2.1373

Abstract

Di Indonesia, Kasus pelaku tindak pidana perdagangan manusia masih banyak ditemui. Dewasa ini, dengan kemajuan teknologi dan informasi, seringkali kita temui kasus-kasus pelaku perdagangan manusia di internet. Dalam jurnal ini, penulis akan membahas mengenai sanksi pidana mengenai pelaku perdagangan manusia dan mengenai peran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam penanganan kasus pelaku perdagangan manusia di internet. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dimana melihat permasalahan dari kajian bahan-bahan hukum seperti buku atau artikel yang membahas tentang perdagangan manusia sebagai referensi bahan pokok dan bahan hukum sekunder. Perdagangan manusia dikategorikan sebagai tindak pidana, yang lebih tepatnya tindak pidana khusus. Dalam hukum pidana Indonesia telah diatur dengan berbagai ketentuan. Ketentuan mencakup larangan dan pemberantasan seperti disebutkan didalam KUHP, Peraturan Perundang-Undangan dan didalam RUU KUHP, Bab XX, Pasal 546-561 tentang perdagangan manusia, yang penerapan sanksinya diancam dengan hukum pidana pidana penjara dan hukum pidana denda. Perdagangan manusia merupakan kejahatan yang terorganisir dan tersistematis, dimana orang yang termasuk didalamnya memiliki kepentingan pribadi atau kelompok untuk mendapat keuntungan
PELAKSANAAN COURTROOM TELEVISION DALAM PERADILAN PIDANA DENGAN AGENDA SAKSI I Nengah Susrama; Putu Angga Pratama Sukma
Jurnal Hukum Sasana Vol. 5 No. 1 (2019): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31599/sasana.v5i1.92

Abstract

Konsep courtroom television adalah pelaksanaan sidang terbuka untuk umum melalui stasiun televisi yang disiarkan secara langsung dengan berlandaskan asas sidang terbuka untuk umum, Konstitusi, KUHAP serta UU Pers yang memiliki fungsi pengawasan didalam persidangan perkara pidana. Akan tetapi konsep courtroom television ini dalam pelaksanaannya masih berbenturan dengan rumusan Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP mengenai pemeriksaan saksi di ruang persidangan seorang demi seorang. Pelasksanaan courtroom television harus menciptakan suatu sistem untuk kolaborasi antara lembaga peradilan, pers, stasiun televisi, stasiun radio atau provider internet dan juga masyarakat demi menegakan check and balances dalam sistem peradilan pidana selain sebagai fungsi pengawasan.
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP PASIEN YANG MEMBERIKAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN OPERASI SESAR (SC) APABILA TERBUKTI ADANYA UNSUR KELALAIAN Ni Luh Sunari Asih; I Nengah Susrama
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 2 No. 1 (2022): EDISI APRIL
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (218.454 KB)

Abstract

Penelitian ini membahas mengenai kekaburan norma yang terdapat pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian hukum normati. Hasil dari penelitian ini adalah pertanggungjawaban hukum terhadap pasien yang memberikan persetujuan tindakan kedokteran operasi sesar apabila terbukti adanya unsur kelalaian adalah masih terdapat kekaburan norma dalam pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Perlindungan hukum terhadap pasien yang memberikan persetujuan tindakan kedokteran operasi sesar apabila terbukti adanya unsur kelalaian adalah perlindungan hukum perdata dan perlindungan hukum pidana
Penegakan Hukum Terhadap Tahanan Yang Melarikan Diri Dari Rumah Tahanan Negara Kelas Iib Bangli Ida Bagus Made Wahyu Rama Saputra; I Nengah Susrama2
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 2 No. 02 (2022): Edisi Oktober
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tahanan merupakan seorang tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di dalam Rumah Tahanan (Rutan) sesuai Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Penegakan hukum terhadap tahanan yang melarikan diri dari Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Bangli yaitu pemberian sanksi bagi tahanan yang tertangkap kembali setelah melarikan diri berupa penempatan di dalam sel pengasingan selama 2x6 hari. Tahanan yang melarikan diri tersebut juga tidak akan mendapatkan hak untuk menerima kunjungandan penundaan hak remisi selama satu tahun. Pemberian sanksi juga diberikan bagi petugas keamanan yang bertugas saat itu berupa hukuman disiplin diterapkan dengan cara penurunan pangkat dan pemotongan gaji. Adapun faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tahanan yang melarikan diri dari Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Bangli yaitu, adanya Undang-undang RI no 12 tahun 1995, Petugas yang bersikap adil dan jujur, dan adanya bantuan dari instansi lain, serta faktor penghambatnya yaitu, SDM petugas belum semua sama, kekurangan personil keamanan, dan sarana atau fasilitas yang belum lengkap.
URGENSI PEMBENTUKAN LEMBAGA PENEMPATAN ANAK SEMENTARA (LPAS) TERKAIT DENGAN MEKANISME PENAHANAN TERHADAP ANAK OLEH PENUNTUT UMUM (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN NEGERI BANGLI) I Gusti Ngurah Agung Budiarta; I Nengah Susrama
Jurnal Hukum Mahasiswa Vol. 3 No. 1 (2023): EDISI APRIL
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Detentions made to ABH must be separated from adults as regulated in Article 3 letter b of the UU SPPA. Detention of ABH based on Article 105 of the UU SPPA is required to be carried out at the LPAS institution. The problem in this study is that Bali Province is one of the regions in Indonesia that does not yet have a LPAS as a support for the enactment of the UU SPPA. Based on the results of research conducted on these problems, it can be concluded that the mechanism for eliminating ABH stems from the Criminal Procedure Code (KUHAP) and the SPPA Law. The general prosecutor of the Bangli District Attorney in this case has not been able to fully implement the provisions in Law Number 11 of 2012 Article 33 paragraph (4) where child detainees should be held in Penitentiary or if there is no Penitentiary, then in accordance with the provisions of Article 33 paragraph (5) can be carried out in Social Welfare Organizing Institutions (LPKS), but in practice children who are in conflict with the law are still kept in detention centers.
Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Korban Kekerasan Psikis Dalam Pengaturan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Putu Sekarwangi Saraswati; I Nengah Susrama
Jurnal Analisis Hukum Vol 6 No 1 (2023)
Publisher : Universitas Pendidikan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38043/jah.v6i1.4197

Abstract

Kekerasan yang terjadi dalam keluarga sering disebut dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat terwujud dalam berbagai bentuk; baik kekerasan fisik atau penganiayaan, eksploitasi, penelantaran, ancaman, hingga kekerasan seksual yang dialami istri/suami, anak-anak atau pekerja rumah tangga (PRT). Banyaknya kasus KDRT baik yang dilaporkan maupun tidak sebenarnya sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan UUD Tahun 1945 terkait dengan membentuk keluarga yang harmonis dituangkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal yang unik dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga yaitu dalam Pasal 55 diatur mengenai alat bukti keterangan saksi korban yang mana cukup dengan 1 saksi saja sebagai alat bukti keterangan saksi. Secara umum keterangan saksi yang menjadi alat bukti persidangan paling tidak minimal 2 orang, meskipun ada pengecualian yang diatur dalam Pasal 185 ayat 3 KUHAP. Pengecualian yang diatur dalam Pasal 185 ayat 3 KUHAP implementasinya menurut peneliti terletak dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Permasalahannya terletak pada seberapa kuat kedudukan saksi korban yang tidak memiliki alat bukti sah lainnya terkait dengan kekerasan secara psikis yang notabenenya kekerasan yang tidak dapat dilihat secara langsung.
Pengaturan Cyber Terrorism Ditinjau Dari Perspektif Organizational Transnational Crime Putu Sekarwangi Saraswati; I Nengah Susrama
JPPI (Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia) Vol 10, No 2 (2024): JPPI (Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia)
Publisher : Indonesian Institute for Counseling, Education and Theraphy (IICET)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29210/020243153

Abstract

Perkembangan teknologi dan informasi yang kian pesat tidak hanya memberi akses kemudahan bagi masyarakat, namun juga diikuti oleh munculnya kejahatan baru yang salah satunya adalah cyber terrorism. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis (1) pengaturan cyber terrorism ditinjau dari perspektif organizational transnational crime; dan (2) aksi global cyber terrorism. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan (1) Pengaturan cyber terrorism ditinjau dari perspektif organizational transnational crime menunjukkan bahwa belum terdapat pengaturan secara khusus terkait cyber terrorism dalam hukum internasional. Dalam situasi kekosongan hukum ini, ASEAN Convention on Counter Terrorism dan International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings mulai dipergunakan sebagai dasar hukum untuk mempidanakan pelaku cyber terrorism. ASEAN Convention on Counter Terrorism telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 2012 tentang Pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism; (2) Aksi global cyber terrorism seiring dengan kecanggihan teknologi era digital semakin menguat dan semakin beragam aksi yang bisa dilakukannya. Sejauh ini, aksi cyber-terrorism dilakukan mulai dengan mengintimidasi pemerintah dan masyarakat sipil dengan menganggu sistem jaringan infrastruktur; melakukan serangan, pembunuhan, dan propaganda dengan akurasi yang tinggi tanpa terdeteksi tempat dan media yang digunakan.