Tedy Apriawan
Neurosurgeon Staff. Department Of Neurosurgery. Faculty Of Medicine, Airlangga University- Dr. Soetomo General Academic Hospital, Surabaya, Indonesia

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

ICP MONITOR PLACEMENT STEPWISE EARLY DECOMPRESSIVE CRANIECTOMY FOR THE MANAGEMENT OF SEVERE TBI PATIENTS: A CASE REPORT Dirga Rachmad Aprianto; Achmad Kurniawan; Andhika Tomy Permana; Fadillah Putri Rusdi; Akbar Wido; Bagus Sulistyono; Made Gemma Daniswara Maliawan; Tedy Apriawan; Abdul Hafid Bajamal
Molucca Medica VOLUME 11, NOMOR 2, OKTOBER 2018
Publisher : Pattimura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (811.299 KB) | DOI: 10.30598/molmed.2018.v11.i2.35

Abstract

Pendahuluan. Peningkatan tekanan intrakranial (ICP) merupakan kejadian sekunder yang sering terjadi setelah cedera otak traumatis (TBI) dan berkorelasi dengan hasil yang buruk pada pasien. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kraniektomi dekompresif awal (DC) (dalam 48 jam setelah cedera) direkomendasikan untuk pasien dengan TBI berat yang membutuhkan evakuasi perdarahan intrakranial dan DC awal mampu mengurangi komplikasi TBI yang disebabkan oleh peningkatan TIK. Namun, meskipun DC awal telah dilakukan, peningkatan TIK masih dapat berlangsung karena terjadi edema otak yang masif. Metode. Sebuah kasus pasien yang dirawat dengan TBI berat dan perdarahan intrakranial. Pasien kemudian menjalani DC dan pemasangan ICP monitor setelah evakuasi perdarahan intrakranial. Selama observasi pasca operasi di ICU, cairan serebrospinal (CSF) pasien secara bertahap akan dikeluarkan jika ICP lebih dari 15mmHg. Hasil. ICP sesaat setelah dilakukan DC awal yaitu 30cm H20 (22 mmHg). Hari pertama setelah operasi, hemodinamik pasien stabil dan GCS 2X5 dengan ICP pasien sekitar 18 cmH2O. Pada hari ke 2-5, pasien hemodinamik stabil dengan GCS membaik (3X5) dengan penurunan ICP (sekitar 13-15 cmH2O). Pada hari ke-6, ICP monitor dilepaskan dan pasien dipulangkan pada hari ke 19 setelah pulih sepenuhnya. Kesimpulan. Penempatan ICP monitor dan aplikasi pelepasan CSF secara bertahap setelah DC mungkin membantu mengurangi peningkatan ICP pada pasien dengan TBI berat, dan dengan demikian mengurangi morbiditas dan mortalitas.
MANAJEMEN TRAUMA TEMBUS OTAK : LAPORAN KASUS Asadullah Asadullah; Endra Wibisono Harmawan; Resi Prastikarunia; Gunna Hutomo Putra; Heru Kustono; Setia Utama; Komang Sena Adistira Artha; Tedy Apriawan; Abdul Hafid Bajamal
Molucca Medica VOLUME 12, NOMOR 2, OKTOBER 2019
Publisher : Pattimura University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (885.194 KB) | DOI: 10.30598/molmed.2019.v12.i2.34

Abstract

Pendahuluan. Trauma tembus otak merupakan kegawatan medis yang meskipun jarang terjadi namun sering mengakibatkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Penanganan trauma tembus otak sendiri masih menjadi tantangan bagi para ahli bedah saraf di seluruh dunia. Menajemen yang optimal pada penaganan trauma tembus otak memerlukan pemahaman yang komprehensif terhadap mekanisme dan patofisiologi terjadinya cedera tersebut. Sampai saat ini penanganan standar pada kasus trauma tembus otak masih menjadi perdebatan. Metode. Artikel ini berbentuk serial kasus, kami melaporkan 3 kasus trauma tembus pada institusi kami. Artikel ini disusun dari berbagai referensi dan pengalaman kasus yang pernah ditangani di Rumah Sakit Umum AkademikDr. Soetomo. Hasil. Pada pasien trauma tembus yang dilakukan kraniotomi debridement kurang dari 12 jam post trauma diikuti pemberikan antibiotik profilaksis empirik dengan ceftriaxone dan metronidazole selama 7 hari dan antikejang phenytoin selama 7 hari didapatkan keluaran yang memuaskan. Kesimpulan Manajemen trauma tembus otak memerlukan metode diagnostic yang cepat dan tepat. Pemeriksaan CT scan kepala menjadi wajib untuk penegakan diagnosis trauma tembus kepala. CT angiografi diperlukan pada kasus kasus yang dicurigai menyebabkan lesi vaskular. Yang kemudian iikuti dengan penangan operasi segera dan pemberian antibiotic yang tepat. Kata Kunci: Trauma tembus otak, kraniotomi debridement, antibiotik profilaksis empiri, CT angiografi
Management of Traumatic Intracranial Hemorrhage on Anticoagulant Regiment: A Literature Review Tedy Apriawan; Ade Anugrah Kartosen; Ahmad Z. S. Ishlahy; Endang Pati Broto; Hana Ranu Herjuna; Khrisna Rangga Permana; Rizki Meizikri; Shaleh Drehem; Abdul Hafid Bajamal
Jurnal Medis Islam Internasional Vol 1 No 2 (2020): June
Publisher : UNUSA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33086/iimj.v1i2.1611

Abstract

Oral anticoagulant and antiplatelet are often prescribed in clinical practice. These drugs are mainly consumed by geriatric patients to prevent or treat cerebrovascular, systemic embolism, or heart condition.  Managing anticoagulated TBI patients is a challenging task for surgeons. This study aims to review available literatures regarding anticoagulated TBI patients and to suggest a treatment algorithm for such cases. Based on several retrospective and prospective studies, it might be wasteful to do a routine follow-up CT scan on anticoagulated TBI patients. The risk of new lesion development or presenting lesion progression seems to be especially low among patients with negative initial CT scan. We suggest to reserve repeat CT scan for patients with evident neurological deterioration. Tighter observation for anticoagulated patients with positive initial CT scan might be useful. Anticoagulation reversal is recommended by the American College of Cardiology, but some studies reported that reversal should be directed by INR. Acute antiplatelet cessation is still controversial for aspirin, but it is advised for clopidogrel. Preoperative management of both anticoagulant and antiplatelet should take into account the bleeding risk of the surgical procedure. Blind cessation and reversal of anticoagulant and/or antiplatelet might delay the timing of surgery and thus would better be avoided