Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

ASPEK RITUAL DAN SOSIAL DALAM TIPOLOGI PERILAKU KEBERAGAMAAN MASYARAKAT Yudi Arianto; Rinwanto
Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam Vol 13 No 1 (2019): Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam
Publisher : Program Studi PAI, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jt.v13i1.54

Abstract

Agama Islam merupakan agama yang kāffah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (vertical), amalan amalan yang berhubugan dengan ibadah atau sering dikenal dengan istilah aspek ritual, kebutuhan rohani seseorang seperti shalat, puasa, zakat, secara tidak langsung akan mendatangkan ketenangan dan kedamaian dalam jiwa.Akan tetapi juga mengatur pola hubungan antar sesama manusia (Horizontal), atau sering di kenal dengan istilah muamalah (aspek social) yang menekankan sikap toleran terhadap sesama makhluk, mengatur bagaimana pentingnya berbuat baik dan menempatkan diri pada posisi semestinya dalam berinteraksi dengan sesama,terpenuhinya aspek mu’amalah menjadi sangat penting bukan hanya sebagai pelengkap unsur ubudiyah, akan tetapi karena ia merupakan manifestasi dari kebenaraan ritual ubudiyyah, nilai-nilai yang terserap dari ritual ibadah selanjutnya akan bertransformasi dan bersinergi dengan aktifitas mu’amalah seseorang, yang tercermin dalam sikap yang luhur serta budi pekerti yang baik.Namun dalam realitas perjalan kehidupan masyarakat, dalam tataran perjalanannya sering terjadi ketidak seimbangan antara aspek ritual dan sosial, ritual ubudiyyah bagus akan tetapi aspek sosial (mu’amalahnya) kuarang bagus ataupun sebaliknya, yang akan berimplikasi pada kesenjangan hidup, kesenjangan antara aspek lahir dan batin yang selanjutnya akan menggiring pada tataran apatis terhadap sikap bermasyarakat. Dari problem inilah yang menjadi objek kajian penulis dan di cari titik jelas, a). apa pengertian Ibadah dan mu’amalah,?, bagaimana hubungan ibadah dan mu’amalah?, bagaimana perbedaan aspek ibadah dan mu’amalah?, bagaimana purifikasi dalam ibadah (ritual) dan modernisasi dalam social (mua’malah) berdasarkan prinsip-prinsip atau asas aspek ibadah dan mu’amlah?, bagaimana peranan nalar dalam bidang ibadah dan bidang social. Setelah di adakan kajian yang sedemikian serius penulis menyimpulkan,ibadah mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (vertical) sedang muamalah adalah transaksi pola hubungan antar sesama manusia (Horizontal),hubungan ibadah dan muamalah adalah akomudatif , aspek ibadah mengutamakan kepentingan Individu dalam bidang Ibadah kepada Tuhannya, sedangkan aspek muamalah mengutamakan kepentingan sosial dalam bidang mu’amalah, modernisasi, dalam arti meliputi segala macam bentuk mu’amalah diizinkan oleh shari’ah Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa shari’ah Islam itu sendiri,peran nalar dalam bidang ibadah tidak bisa ikut andil berperan karna dalam ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi/ ghairu ma’qulati al-ma’nairasional,Sedangkan bidang sosial (mu’amalah) bersifat ta’aquly/ ma’qulati al-ma’na rasional. Dari kedua aspek antara aspek ritual (ibadah) dan sosial (mu’amalah) tersebut, agama Islam sangat memperhatikan kesejahteraan manusia di dunia maupun di akhirat kelak. Islam mengandung tuntunan untuk menjalani kehidupan secara proporsional, yang apabila manusia mematuhi rambu rambu yang di perintah dan dilarang oleh syara’ maka akan memperoleh kehidupan yang layak di dunia dan di akhirat.
PEMBAHASAN FIQIH WANITA DALAM PERSPEKTIF MAŻHAB SYAFI’IY DI PONDOK PESANTREN Shofiyullahul Kahfi; Yudi Arianto
Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam Vol 14 No 1 (2020): Tadris : Jurnal Penelitian dan Pemikiran Pendidikan Islam
Publisher : Program Studi PAI, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jt.v14i1.69

Abstract

Ada begitu banyak alasan mengapa dibutuhkan kajian khusus tentang fiqih wanita. Salah satunya yaitu karena Allah SWT menciptakan wanita berbeda dengan laki-laki, baik secara fisik maupun psikis. Dan pada akhirnya syariat atau hukum-hukum yang Allah SWT turunkan kepada manusia juga banyak yang berbeda antara wanita dan laki-laki. Misalnya dalam permasalahan wanita saat menjadi saksi, dimana ketika seorang wanita menjadi saksi maka kesaksian tersebut dalam fiqih harus diperkuat dengan wanita lainnya. Sehingga jika wanita menjadi saksi dalam fiqih maka setidaknya dibutuhkan minimal dua wanita sebagai saksi, Itulah satu diantara sekian banyak alasan, begitu juga wanita secara psikis memang tidak bisa disamakan dengan psikis atau kejiwaan laki-laki. Hal tersebut menjadikan dalam Fiqih psikis wanita dan laki-laki mempunyai peran serta fungsi yang sangat berbeda dari keduanya. Dan dalam lingkup Mażhab Sya>fi’iy yang kita anut di Indonesia, ada beberapa rangkaian hukum yang khusus berlaku bagi wanita, yang perlu dibahas secara detail oleh para santri khususnya pembahasan di Pondok Pesantren.
Peranan Institusi Hukum Islam Suprastruktur dan Infrastruktur dalam Penyelesaian Problematika Masyarakat Yudi Arianto; Muhammad Syekh Ikhsan syaifuddin; Iqlima Iqlima
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 1 No 2 (2020): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (449.014 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v1i2.160

Abstract

Abstrak: Institusi hukum Islam mempunyai peranan fital dalam menata dan mengarahkan umat, keberadaannya menjadi garda terdepan untuk memberikan kontrol terhadap problematika yang merebak di tengah masyarakat, oleh karenanya perbedaan yang terdapat ditengah masyarakat harus disikapi dengan bijak, dengan tidak menjadikannya sebagai alasan perpecahan dan kemelut sosial. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Nilai-nilai keislaman sebenarnya telah tumbuh, jauh sebelum Indonesia merdeka, nilai-nilai tersebut kemudian bersinergi dengan aspek kebudayaan dan aspek sosial dalam masyarakat. 2) prinsip-prinsip keislaman yang telah membaur dengan kebudayaan yang ada selanjutnya mampu bertransisi ke dalam pranata-pranata sosial dalam masyarakat, 3) untuk mempertegas kedudukan lembaga infrastruktur dalam masyarakat sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk warga Negara, maka pemerintah dengan asas kedaulatannya membentuk lembaga Islam yang mempunyai kekuatan hukum mengikat kepada warga Negara Indonesia yang Muslim, wujud keberadaan lembaga suprastruktur. 4) Baik lembaga infrastruktur maupun suprastruktur keduanya mempunyai andil besar dalam memajukan potensi warga Negara terutama yang beragama Islam, keberadaan lembaga tersebut mampu memberikakan kontrol sikap masyarakat yang jauh dari nilai religiuisitas.
Telaah Biaya Produktifitas Pertanian Terhadap Prosentase Zakat Padi (Studi Analisis dengan Pendekatan Qiyās) Yudi Arianto; Pepsi Juwita Aditama; Yuli Roisatul A
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 2 No 2 (2021): Oktober
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (610.753 KB) | DOI: 10.51675/jaksya.v2i2.164

Abstract

Abstrak: Fenomena perawatan tanaman tidak hanya memerlukan air yang merupakan kebutuhan primer bagi makhluk hidup, tetapi perawatan yang lainnya juga diperlukan, seperti pengolahan tanah, pemberian pupuk, pestisida atau penggunaan obat-obatan pembasmi hama lainnya, pupuk dan air merupakan hal pokok bagi tanaman, tanaman tanpa pupuk dan pestisida walaupun dapat bertahan hidup namun tidak dapat berproduksi secara maksimal. Realita telah membuktikan bahwa sebagian daerah pembiayaan pupuk justru lebih mahal daripada pembiayaan air yang bisa dibilang lebih praktis dan ekonomis. Sulitnya mendapatkan pupuk juga merupakan kendala tersendiri bagi para petani untuk mengolah pertaniannya. Ketika permasalahn perawatan ini dikaitkan dengan kewajiban yang harus dikeluarkan untuk zakat, maka banyak sekali proses pertanian yang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Beranjak dari kerangka ini, maka sudah selayaknya ada reformulasi produk hukum (fikih) untuk memberikan sebuah solusi sebagai jawaban atas problematika tersebut, agar tidak menjadi beban yang sangat berat khususnya bagi para petani. sehingga peranan istinbath al hukm disini sangat diperlukan, salah satunya adalah dengan konsep analogi (qiyas) yang dalam hal ini peng-qiyasan biaya pupuk dan sejenisnya dengan biaya pengairan, dimana akibat hukum yang lahir adalah prosentase pengeluaran zakat dari 10% menjadi 5%, lebih ringan karena ada beban biaya lebih yang harus ditanggung.
Respecting Elders and Community Norms: Understanding the Adat Prohibition on 'Nikah Malem Songo Geblake Mbah Rinwanto Rinwanto; Nurul Hakim; Farida Isroani; Yudi Arianto
Indonesian Journal of Cultural and Community Development Vol 14 No 1 (2023): March
Publisher : Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21070/ijccd2023870

Abstract

This study aims to explore the prohibition of "nikah malem songo geblake mbah" in the Jegulo Soko Tuban community, which is an adat (customary) prohibition outside of Islamic law. Using a normative-fiqhiyyah and sociological approach, the study found that the prohibition of "nikah malem songo geblake mbah" is based on sadd al-dhari'ah, as it is believed to potentially cause harm and disrespect to elders, and goes against community norms. The research also identified various factors contributing to the prohibition. In terms of Islamic law, the study concludes that "nikah malem songo geblake mbah" is prohibited, as it goes against the principles of kemaslahatan (public interest) and may cause harm. Therefore, it is recommended that the community continues to uphold the prohibition to maintain social harmony and respect for cultural norms.Highlights: The prohibition of 'nikah malem songo geblake mbah' is an adat rule outside of Islamic law. The prohibition is based on the principles of sadd al-dhari'ah and may cause harm and disrespect to elders. Upholding the prohibition is necessary to maintain social harmony and respect for cultural norms.
Urgensi Wali Adhal Studi Komparasi Perspektif Kompilasi Hukum Islam dan Fikih Rinwanto Rinwanto; Yudi Arianto; Masruchan Masruchan
The Indonesian Journal of Islamic Law and Civil Law Vol 4 No 1 (2023): April
Publisher : Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51675/jaksya.v4i1.402

Abstract

Keberadaan seorang wali dalam aqad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah aqad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan. Dalam aqad perkawinan wali berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut. Dari penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian wali yang dimaksud secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Artinya dalam perkawinan wali itu adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu aqad nikah. Perempuan mana saja yang kawin tanpa izin walinya, perkawinannya adalah batal. Namun dalam perjalanan parktiknya di masyarakat seiring dengan berkembangnya gaya hidup dan pola hidup masyarakat maka banyak pula masalah yang timbul yang berkaitan dengan wali, seperti wali tidak bersedia mengawinkan anak perepuannya dengan tanpa alasan yang dapat diterima padahal si perempuan sudah meminta untuk dinikahkan dengan calon suami yang sekufu, tetapi kenyataannya wali enggan untuk menikahkan anak perempuanya dengan alasan yang belum tentu dapat diterima. maka wali tersebut dinamakan wali ‘ad}al, dan dalam hal ini perempuan tersebut berhak mengajukan perkaranya kepada hakim. Berdasarkan realita tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk membahas lebih jelas, bagaimana perspektif KHI dan fiqih sebagai acuan hukum dalam Islam tentang wali adal ?. Dengan berlandas pada jalur field research dan membandingkan dengan data kepustakaan literature library, sedangkan untuk menganalisa data, penulis mengunakan analisa secara kualitatif deskriptif. Setelah diadakan penelitian yang sedemikian serius dengan metode dan kerangka berpikir tersebut diatas, pada ending of research peneliti menyimpulkan, Pespektif Fiqih madhhab sha>fii, ma>liki dan KHI pasal 23 ayat 1 dan 2, adalah sebagai berikut, menurut madhhab sha>fii dan ma>liki ketika seorang perempuan meminta dinikahakan dengan calon suami yang sekufu maka wali wajib mengabulkanya sedangkan menurut madhhab hanafi wali berhak menolak jika maharnya kurang dari mahar mithil. jika terjadi ‘ad}al maka hak perwalian berpindah ke tangaan hakim, didalam KHI pasal 23 ayat 1 juga dijelaskan jika terjadi ‘ad}al maka hak perwalian pindah kepada wali hakim, sedangkan menurut madhhab h}ambali pindah kepada wali ab’ad dan didalam KHI pasal 23 ayat 2 dijelaskan wali hakim baru dapat bertindak setelah adanya putusan dari pengadilaan agama.
KEDUDUKAN WALI DAN SAKSI DALAM PERKAWINAN PERSPEKTIF ULAMA EMPAT MAZHAB (MALIKI, HANAFI, SHAFI’I DAN HANBALI) Rinwanto Rinwanto; Yudi Arianto
Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara Vol. 3 No. 1 (2020): AL MAQASHIDI: Jurnal Hukum Islam Nusantara
Publisher : UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1166.393 KB) | DOI: 10.32665/almaqashidi.v3i1.862

Abstract

Perkawinan merupakan Sunnah Allah yang sudah diketahui secara umum dan berlaku didunia ini pada semua makhluk Allah baik manusia, jin, hewan, begitu juga tumbuhtumbuhan. Perkawinan merupakan salah satu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan untuk memperbanyak diri (berkembang biak), dan meneruskan hidupnya. Tujuannya untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera yang sakinah mawaddah warohmah. Untuk mewujudakan tujuan tersebut maka terdapat rukun-rukun perkawinan, yaitu mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali, dua orang saksi dan ijab qobul. Terdapat perbedaan yang sangat mencolok dikalangan para ulama mazhab empat dua rukun perkawinan, yaitu: wali dan dua orang saksi. Ulama mazhab empat ada yang memasukkan dalam rukun dan ada yang tidak memasukkan sebagai rukun; ada yang mengatakan sebagai syarat sah dan ada juga yang mengatakan hanya sebagai pelengkap saja. Berangkat dari latar belakang tersebut, maka terdapat sebuah pertanyaan, bagaimana kedudukan wali dan saksi dalam perkawinan menurut empat mazhab?. Menjawab pertanyaan tersebut, jumhur ulama berpendapat, bahwa wali dan saksi merupakan salah satu rukun perkawinan dan menjadi tolak ukur sahnya perkawinan; akan tetapi ulama Hanafiyyah membatasi wali untuk perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad perkawinannya tanpa adanya wali, karena di-qiyas-kan dengan janda. Ulama Hanafiyyah mengatakan wali hanya sebagai pelengkap saja. Adapun ulama Malikiyyah menempatkan saksi pada hukum sunnah, akan tetapi mewajibkan mendatangkan wali ketika akan melakukan hubungan intim.