Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Fungsi Relasional Masyarakat Madani (Civil Society) Dalam Mempengaruhi Politik Hukum Di Indonesia Triantono Triantono
Humani (Hukum dan Masyarakat Madani) Vol 9, No 2 (2019): November
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (568.286 KB) | DOI: 10.26623/humani.v9i2.1650

Abstract

Intisari Penyusunan suatu produk hukum merupakan bagian dari upaya kekuasaan negara untuk memastikan tercapainya tujuan dan cita-cita negara. Negara memiliki tugas menghadirkan representasi keadilan atas kepentingan dari seluruh rakyat yang menajemuk mewujudkan suatu hukum yang dicita-citakan bersama (ius constituendum). Munculnya ketimpangan baik ekonomi, politik maupun sumber daya beresiko memunculkan dikotomi antara kepentingan kelompok kuat (superior) dan kelompok lemah (inferior). Kondisi tersebut pada gilirannya beresiko memunculkan adanya politik hukum (legal policy) yang tidak adil. Keberadaan masyarakat madani (civil society) menjadi penting sebagai kelompok penekan dengan basis pada kepentingan kelompok lemah (superior). Kondisi ini akan memberikan afirmasi terhadap kelompok lemah (inferior) shingga memiliki akses dalam proses dan penyusunan produk hukum sehingga dapat menghadirkan keseimbangan. Fungsi strategis masyarakat madani (civil society)  adalah karena memiliki fungsi relasional terhadp kelompok lemah (inferior) berupa advokasi dan terhadap negara berupa kontrol. Fungsi ini akan berjalan lebih efektif jika relasi yang terbangun secara konstruktif dengan menjadi perantara bagi kelompok lemah dan menjadi mitra kritis bagi negara, bukan dengan jalan konfrontatif.AbstractThe making of a legal product is part of the efforts of state power to ensure the achievement of the goals and ideals of the state. The state has the task of presenting a representation of justice for the interests of all people who are pluralistic in realizing a law that is aspired together (ius constituendum). The emergence of economic, political and resource inequality risks creating a dichotomy between the interests of the strong (superior) and the weak (inferior) groups. This condition, in turn, risks creating an unfair legal politics. The existence of civil society (masyarakat madani) becomes important as a pressure group based on the interests of weak groups (superior). This condition will provide affirmation to the weak (inferior) group so that they have access to the process and preparation of legal products so that they can create a balance. The strategic function of civil society is because it has a relational function to inferior groups in the form of advocacy and to the state in the form of control. This function will be more effective if relationships are built constructively by being an intermediary for the weak group and being a critical partner for the country, not by a confrontational path.
KUALITAS PEMBUKTIAN PADA PERSIDANGAN PERKARA PIDANA SECARA ELEKTRONIK Triantono Triantono
Literasi Hukum Vol 5, No 1 (2021): Literasi Hukum
Publisher : Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (258.174 KB)

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan diskripsi analitis tentang  kualitas pembuktian pada persidangan perkara pidana secara elektronik. Persidangan pidana secara elektronik menjadi terobosan ditengah upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19. Secara yuridis formal pengaturan terkait dengan persidangan perkara pidana dimasa pandemi melandaskan diri pada PERMA RI No. 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik. Terdapat 3 (tiga) rumusan  masalah dalam penelitian ini: pertama, bagaimana konstruksi yuridis persidangan pidana secara elektronik; Kedua, hal-hal apa saja yang menjadi masalah krusial dalam persidangan pidan elektronik; Ketiga, bagaimana kualitas pembuktian dari persidangan pidana secara elektronik. Jenis penlitian ini adalah yuridis-normatif, dengan menggunakan bahan-bahan pustaka baik yang termasuk bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Pengambilan data dilakukan dengan studi pustaka, sedangkan analisis data dilakukan secara diskriprif kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukan bawa secara konstruksi yuridis pelaksanaan persidangan pidana secara elektronik merupakan bentuk persidangan yang dilakukan dalam keadaan tertentu yang tidak memungkinkan dilakukannya persidangan melalui forum pengadilan secara langsung. Dalam kondisi tersebut terdapat pergeseran tentang konsep dan prinsip didalam KUHAP diantaranya tentang forum persidangan melalui media elektronik, kehadiran terdakwa/saksi dan proses pembuktian yang dilaksanakan tidak melalui forum langsung (tatap muka) didepan majelis hakim di muka Pengadilan. Masih terdapat problem krusial yang berpengaruh terhadap pelaksanaan persidangan dan kualitas pembuktian berdasarkan prinsip doe process of law, yaitu persoalan teknis, sarana-prasarana, kesiapan sumber daya manusia, kemanan cyber, dan problem koordinasi. Menjaga kualitas pembuktian persidangan elektronik berarti menjamin dan memastikan adanya persidangan yang transparan dan akuntabel dengan meminimisir seluruh resiko serta problem krusial khususnya pada proses pembuktian
PROSPEK ADOPSI MEKANISME PLEA BARGAINING PADA SISTEM HUKUM COMMON LAW DALAM PEMBAHARUAN SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA Triantono Triantono
Literasi Hukum Vol 6, No 1 (2022): Literasi Hukum
Publisher : Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (403.106 KB)

Abstract

Upaya untuk menghadirkan suatu sistem peradilan pidana yang sederhana, cepat dan biaya ringan terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar peradilan pidana yang berjalan dapat menghadirkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Tujuan tersebut masih terhambat oleh peradilan pidana yang tidak efisien, orientasi hanya pada kuantitas perkara, serta kekaburan atas kualitas keadilan subtantif. Salah satu peluang adalah dengan memasukkan konsep plea bargaining dalam rancangan RKUHAP. Penelitian ini berupaya untuk menjawab 2 (dua) rumusan masalah, yaitu: Pertama, bagaimana konsep dan penerapan Plea bargaining System dalam sistem hukum common law (Amerika Serikat)? Kedua, bagaimana prospek penerapan Plea bargaining System dalam pembaruan sistem peradilan pidana di Indonesia?. Penelitian ini merupakan penelitian juridis normative melalui studi pustaka dan dianalisis secara diskriptif kualitatif untuk menjawab persoalan penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa di Amerika Serikat plea bargaining dilakukan pada tahap arraignment dan preliminary hearing. Dengan penerapan plea bargaining system, Amerika Serikat mampu menangani banyaknya perkara yang masuk sehingga sistem peradilan pidana di Amerika Serikat mampu mencegah keluarnya biaya yang tinggi dan waktu yang panjang. Plea bargaining memiliki prospek dan dapat diadopsi sebagai legal problem solving di Indonesia dengan syarat pertama, Masih diperlukannya pengaturan lebih lanjut mengenai jalur khusus dalam Rancangan KUHAP ini, antara lain mengenai prosedur dan manajemen pelimpahan perkara dari acara pemeriksaan biasa ke acara pemeriksaan singkat. Kedua, Perlunya penyesuaian batasan maksimum pidana yang diatur dalam jalur khusus, yang mana harus disinkronisasikan dengan maksimum pidana pada acara pemeriksaan singkat
PARAMETER KEYAKINAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PIDANA Triantono Triantono; Muhammad Marizal
Justitia et Pax Vol. 37 No. 2 (2021): Justitia et Pax Volume 37 Nomor 2 Tahun 2021
Publisher : Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24002/jep.v37i2.3744

Abstract

According to Article 183 of the Criminal Procedure Code, a judge may not impose a sentence on a person unless he has at least two valid evidence and he is convinced that a criminal act actually occurred and that the defendant was guilty of committing it. In this context there are at least two means of evidence and belief must be applied cumulatively based on the negative evidence theory (negative wettelijk bewijs theorie) adopted in Indonesia. The word two means of evidence refers to the parameter that there must be at least two pieces of evidence from the four pieces of evidence that have been determined limitatifly based on Article 184 of the Criminal Procedure Code, but the problem is that there is no clear measure (parameter) regarding the judge's conviction. The results of the study concluded that the judge's confidence parameters consisted of formal parameters and material parameters. Formal parameters are very much determined by formal evidence as stipulated in law and jurisprudence. Meanwhile, material actors have a freer character not only to see formal procedural facts but also to juridical, sociological, and philosophical aspects.
KIPRAH FILSAFAT HUKUM PADA PENDIDIKAN HUKUM DI ERA KECERDASAN BUATAN (ARTIFICIAL INTELLIGENCE) Aditya Putra Kurniawan; Triantono Triantono; Muhammad Marizal
Literasi Hukum Vol 6, No 2 (2022): LITERASI HUKUM
Publisher : Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (359.348 KB)

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji tentang kiprah filsafat hukum khususnya pada pendidikan hukum di era kecerdasan buatan (artificial intelligence). Menurut penulis hal ini menarik untuk dianalisis berhubungan dengan adanya narasi yang kuat serta dikotomis berkaitan dengan kontribusi Pendidikan tinggi hukum khususnya di era kecerdasan buatan (artificial intelligence) sebagai dampak dari era disrupsi. Dikotomisasi yang dimaksud berhubungan dengan proses maupun produk dari Pendidikan hukum yang mengarah pada keahlian professional praktik atau pada kearifan dan kebijaksanaan. Kendati secara idel dua hal tadi tidak bisa dipisahkan, namun narasi dikotomis itu terasa menguat seiring dengan adanya revolusi indusitri 4.0. Kondisi ini seolah menghasilkan sekat antara filsafat hukum dan Pendidikan Hukum. Melihat daripada itu, maka ada 2 (dua) permasalan yang akan dikaji, yaitu: 1) Eksistensi filsafat hukum di era Kecerdasan Buatan; 2). Relevansi filsafat hukum pada Pendidikan hukum di Era Kecerdasan Buatan (Artifisial Intelligence). Dengan menggunakan penelitian kepustakaan persoalan tersebut akan dianalisis sehingga menghasilkan diskripsi analitis tentang kiprah filsafat hukum pada Pendidikan hukum di era kecerdasan buatan (artificial intelligence). Hasil penelitian menunjukan bahwa filsafat hukum tetap eksis sebagai basis moral atau etika dan keadilan di era penegakkan hukum menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelegence). Filsafat hukum dapat berperan dalam mengakhiri dikotomi dari suatu pendidikan hukum melalui internalisasi nilai kepastian, keadilan dan kemanfaatan sehingga keberadaan hukum dapat menghadirkan kesejahteraan manusia berlandaskan moral dan keadilan ditengah era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).
Students' Language Politeness in the Independent Curriculum in Class V of SDN 4 Cacaban, Magelang City Jendriadi Jendriadi; Farikah Farikah; Triantono Triantono; Delfiyan Widiyanto; Ipung Hananto; Linda Eka Pradita; Umi Rachmawati
EduLine: Journal of Education and Learning Innovation Vol. 3 No. 4 (2023)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengembangan Teknologi dan Rekayasa, Yayasan Ahmar Cendekia Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35877/454RI.eduline2131

Abstract

Language politeness is one of the skills that every person needs to apply . An impolite individual can be said to be an individual who is unable to appreciate, respect and sympathize with other individuals. Politeness in oral communication will have an effect on students' communication activities when dealing with various parties in everyday life . Factors that influence students' politeness come from parents, social environment, norms in society , and understanding of the principles of language politeness. Today's situation is that many students are not good at sorting and choosing words when interacting with people older than them. Their teachers are no exception. Therefore, it is necessary to observe students' language politeness so that they can interact well with any party. This research aims to observe the language politeness activities of class V students at SDN 4 Cacaban, Magelang city . The method used is a descriptive qualitative method as an effort to describe the politeness of students' language. Based on the research results, it shows that the language politeness applied by class V students in the independent curriculum is in accordance with the types of politeness acts . In the research conducted, it appears that teachers also play a role in influencing students' language politeness. Teachers also use polite greetings , by asking for help from their students. In this case, the teacher acts as an example and provides guidance to students regarding the importance of language politeness .
Causes of Elementary School Children Having Low Affectivity Delfiyan Widiyanto; Farikah Farikah; Triantono Triantono; Ipung Hananto; Jendriadi Jendriadi; Umi Rachmawati; Linda Eka Pradita; Annisa Istiqomah
Daengku: Journal of Humanities and Social Sciences Innovation Vol. 3 No. 6 (2023)
Publisher : PT Mattawang Mediatama Solution

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35877/454RI.daengku2132

Abstract

The behavior of elementary school students is caused by students' low affective competence. Problems related to elementary school students that occur in the city of Magelang include various deviations in students' attitudes, namely being difficult to manage in class and at school, bad words, and behavior against teachers. This weak student behavior is due to the students' low affective competence. The presence of this research wants to explore more deeply regarding student deviation and the management of affective competence. Apart from that, researchers will explore in more depth the causes of students' low affective competence. The hope with this research is to improve the quality of education and educate a golden generation with character. This research uses qualitative ethnographic research to explore more deeply the affective competence of students and the causes of low affective competence. This type of research is descriptive with mixed research methods. Quantitative research methods are used to measure students' affective abilities using questionnaire data collection techniques, observation and documentation. Qualitative research methods were used to determine the causes of students' low affective abilities. Data collection techniques include observation, interviews or FGD, and documentation. This research was conducted at SD Negeri Wates 3 in Magelang City. The results of the research show that the overall affective abilities of students are very good, but there are low affective abilities in learning as many as 5 students, and the affective abilities of students in the school environment are 8 students. This low affective ability is caused by wrong parenting patterns from parents, excessive use of technology, and students' friendship environment.
Penguatan Kapasitas Masyarakat dalam Pencegahan Perkawinan Usia Anak dan Kekerasan Berbasis Gender Model Kolaboratif-Pastisipatif Triantono Triantono; Muhammad Marizal; Fitria Khairum Nisa
E-Dimas: Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Vol 15, No 1 (2024): E-DIMAS
Publisher : Universitas PGRI Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26877/e-dimas.v15i1.15372

Abstract

Perkawinan usia masih terjadi dan berdampak pada munculnya masalah sosial seperti kemiskinan, rendahnya kualitas kesehatan ibu dan anak, serta kekerasan dalam rumah tangga. Norma gender yang ada pada masyarakat Desa Polengan masih rentan memunculkan kekerasan berbasis gender dengan korban kekerasan paling banyak adalah perempuan. Tidak hanya itu, belum adanya instrumen pedoman tentang partisipasi masyarakat dalam pencegahan perkawinan usia anak dan kekerasan berbasis gender. Metode yang digunakan dalam pengabdian masyarakat ini adalah dengan cara memberikan sosialisasi dengan tujuan penguatan kapasitas masyarakat, membangun komitmen melalui pendekatan community based organization, dan menyusun pedoman Pencegahan Perkawinan Usia Anak dan Kekerasan Berbasis Gender. Terdapat tiga ruang lingkup partisipasi masyarakat dalam upaya merespon perkawinan usia anak: (1) upaya kolektif terintegrasi dalam mewujudkan lingkungan bebas pernikahan anak; (2) pengarusutamaan pendewasaan usia perkawinan minimal 21 pada level penyusunan kebijakan; dan (3) pendampingan dan pemberdayaan bagi keluarga rentan sebagai dampak dari pernikahan usia anak. Strategi pencegahan perkawinan usia anak antara lain dengan: (1) Pemberdayaan individu, keluarga, dan kelompok masyarakat, (2) pengarusutamaan pendewasaan perkawinan anak dengan Penyusunan kebijakan Pemerintah desa, (3) komitmen masyarakat dalam mengadvokasi dan memberikan pendampingan pada keluarga rentan, serta (4) nilai dari kegiatan gotong royong secara kolektif. Selain itu, perlu adanya pendekatan dalam mengintervensi perkawinan usia anak yaitu pendekatan primer dengan cara pencegahan dan pendekatan sekunder dengan cara pendampingan.