Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

PENYALAHGUNAAN PERIZINAN PERKEBUNAN SAWIT DALAM PERSPEKTIF TINDAK PIDANA KORUPSI Mispansyah Mispansyah; Nurunnisa Nurunnisa
Jurnal Ius Constituendum Vol 6, No 2 (2021): OKTOBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v6i2.2700

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah: pertama, untuk menganalisis penyalahgunaan perizinan di sektor perkebunan sawit dikategorikan sebagai tindak pidana; kedua untuk menganalsis kebijakan formulasi terhadap tindak pidana penyalahgunaan perizinan perkebunan sawit dimasa mendatang. Urgensi penelitian, karena korupsi di sektor perkebunan sawit di Indonesia terjadi penyalahgunaan penerbitan izin dan berpotensi merugikan keuangan negara. Pasal 14 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) membuka peluang ketentuan di luar UU PTPK dapat ditarik dalam ketentuan tindak pidana korupsi, namun dengan syarat bahwa UU tersebut menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pidana dalam UU tersebut merupakan tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian yaitu: Pertama, berdasarkan kasus Martias Alias Pung Kian Hwa dan Kasus H.Suwarna Abdul Fatah, kasus tersebut adalah penyalahgunaan perizinan berkaitan dengan kehutanan dan perkebunan, namun izin tetap dikeluarkan. Penggunaan ketentuan UUPTPK terhadap kasus tindak pidana penyalahgunaan perizinan disektor perkebunan oleh Penegak Hukum tidak tepat, karena Undang-Undang Kehutanan dan UU Perkebunan tidak menyebutkan bahwa tindak pidana penyalahgunaan izin dalam UU Perkebunan merupakan tindak pidana korupsi. Kebaharuan dalam penelitian ini terdapat di bagian kedua, yaitu berupa kebijakan formulasi kedepan terhadap penyalahgunaan perizinan sektor perkebunan kelapa sawit yaitu harus melakukan revisi terhadap undang-undang kehutanan dan undang-undang perkebunan dengan menambah ketentuan pasal  yang menyatakan bahwa tindak pidana penyalahgunaan perizinan perkebunan merupakan tindak pidana korupsi.
A Comparison Approach in Corruption Eradication: An Empirical Examination Mispansyah Mispansyah
Hasanuddin Law Review VOLUME 4 ISSUE 2, AUGUST 2018
Publisher : Faculty of Law, Hasanuddin University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.174 KB) | DOI: 10.20956/halrev.v4i2.1077

Abstract

Corruption in Indonesia is increasingly structured and systemic. Worse yet, the corruption was fertile in sub-law enforcement agencies. This paper analyzes why corruption is so systemic in the legal system in Indonesia and how solution of Islam in eradicating corruption. This research was a normative-legal research. The results indicate that corruption occurred systemically in Indonesia due to secularization and capitalization in understanding the living system as embraced by the Republic of Indonesia, which resulted in bad law system both the substance, structure and legal culture, and bad people). The solution of Sharia Islam to eradicate corruption by creating a devotion of community (law awareness) based on religious values. In addition, with a decent salary system, appropriate penalties, the implementation of reverse evidence system and the exemplary leadership, corruption problems can be overcome and a clean government can be realized.
PAYMENT OF REPLACEMENT MONEY AS AN EFFORT FOR RECOVERY OF STATE FINANCIAL LOSSES IN CRIMINAL ACTS OF CORRUPTION I Wayan Sutije; Helmi Helmi; Mispansyah Mispansyah
JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora Vol 6, No 1 (2023): Pebruari 2023
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.276 KB) | DOI: 10.31604/justitia.v6i1.26-39

Abstract

This study aims to analyze the implementation of Compensation Payments as an Effort to Recover State Financial Losses in Corruption Crimes paid by perpetrators of criminal acts in the future. This research uses a normative research method that is prescriptive in nature because it focuses on research on norms that prioritize legal materials in the form of library materials, examines legal principles, the legal system, and legal synchronization by analyzing them, using a statutory approach. and conceptual approach. The results of this study show that the payment of replacement money as an effort to recover state financial losses creates a dynamic that is quite complicated because it collides with normative rules that provide loopholes for convicts to undergo subsidiary crimes.Keywords: Replacement Money; Corruption; Child Crime
Kebijakan Hukum Pidana pada Korupsi Dana Desa MUHAMMAD HASANUDDIN; Helmi Helmi; Mispansyah Mispansyah
Banua Law Review Vol. 5 No. 1 (2023): April
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v5i1.50

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dapat tidaknya tindak pidana korupsi dana Desa diselesaikan melalui pengembalian kerugian keuangan negara dan juga untuk mengetahui formulasi kebijakan hukum pidana melalui pengembalian kerugian keuangan negara terhadap tindak pidana korupsi dana desa dimasa mendatang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, penelitian dilakukan dengan mengkaji beberapa pasal dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dielaborasi dengan pengembalian kerugian keuangan negara pada tindak pidana korupsi dana Desa serta literatur terkait dengan pengembalian kerugian keuangan negara pada korupsi dana desa dalam perspektif kebijakan hukum pidana. Adapun penelitian  ini bersifat preskriptif. Pada hasil penelitian  ini menunjukkan bahwa; Pertama, Secara normatif, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara didalam pasal 4 UU PTKP tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada pasal 2 dan pasal 3 UU PTKP. Namun, dimasa yang akan datang dimungkinkan diselesaikan dengan pengembalian kerugian keuangan negara. Kedua, Formulasi kebijakan hukum pidana dalam pengembalian kerugian keuangan negara kedepan dapat meniadakan penuntutan dari jaksa penuntut umum, bahwa kerugian dibawah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta) sangat logis dilaksanakan dengan memperhatikan kesalahan, dampak, keuntungan, nilai-nilai kemanusiaan, kemanfaatan dan keadilan.
Penggelapan Uang Titipan Pembayaran Pajak Bumi Bangunan oleh Notaris/PPAT dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi Putri Resa Utami; Mohammad Effendy; Mispansyah Mispansyah
Notary Law Journal Vol. 1 No. 2 (2022): April
Publisher : Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (368.583 KB) | DOI: 10.32801/nolaj.v1i2.13

Abstract

Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam pembangunan di Indonesia lantaran sektor pajak di Indonesia merupakan sumber pendapatan terbesar bagi negara. Salah satu asal potensi pajak yaitu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Terhadap pembelian atas tanah maka terdapat pajak yang wajib dibayarkan oleh para pihak, penjual tanah pada hal ini akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) & Pajak Bumi Bangunan (PBB) sedangkan pembeli akan dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB. Terhadap pembayaran PBB, Notaris/PPAT memiliki peran yang penting. Notaris/PPAT dapat aktif melaksanakan kewajiban pajak dari wajib pajak, yaitu wajib pajak dapat menitipkan pembayaran PBB pada Notaris/PPAT. Namun dalam praktiknya terdapat transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan di mana pembayaran PBB-nya dititipkan oleh penjual tanah dan/atau bangunan kepada PPAT. Dalam kenyataannya, PPAT yang telah menerima penitipan pembayaran PBB tersebut tidak pernah melakukan pembayaran PBB ke Negara. Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui mengenai uang pajak bumi dan bangunan dapat di kategorikan keuangan negara apabila digelapkan dan untuk mengetahui mengenai pertanggungjawaban pidana atas penggelapan uang pembayaran pajak bumi dan bangunan yang dilakukan oleh Notaris/PPAT. Metode penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa uang yang digelapkan oleh Notaris/PPAT tersebut bisa dikategorikan keuangan negara apabila memenuhi unsur pemalsuan, di antaranya pemalsuan dokumen dan pemalsuan bukti validasi pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Pertanggungjawaban Notaris/PPAT tersebut juga dikenakan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama bagi mereka yang menjalankan jabatan umum, yaitu pidana minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal lima belas tahun penjara serta pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak  Rp. 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Wasiat Wajibah bagi Orang Tua atau Anak yang Berbeda Agama dalam Persfektif Hukum Kewarisan Islam di Indonesia Deswandie Trinanda; Mispansyah Mispansyah; Nurunnisa Nurunnisa
Notary Law Journal Vol. 1 No. 3 (2022): July
Publisher : Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.906 KB) | DOI: 10.32801/nolaj.v1i3.30

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peraturan wasiat wajibah kepada orang tua atau anak yang berbeda agama dalam KHI dan menganalisis rumusan peraturan tentang pemberian wasiat wajibah bagi orang tua atau anak yang berbeda agama di masa yang akan datang. Konstituendum). Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan mempelajari dan memanfaatkan sumber hukum yaitu sumber hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh dari penelitian kepustakaan ini. Hasil penelitian adalah bahwa ketentuan maksimal sepertiga bagian sangat dimungkinkan untuk dikecualikan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Mahkamah Agung tentang wasiat wajibah yang diberikan kepada ahli waris yang berbeda agama sebagai non muslim, yaitu wasiat yang dibuat oleh Hakim. Undang-undang Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368/K/Ag/1995 tanggal 16 Juli 1998, dimana besarnya wasiat wajibah yang diberikan kepada ahli waris yang bukan Islam (tiga pertiga) bagian dari harta peninggalan orang yang meninggal. harta warisan. Terkait dengan rumusan peraturan tentang pemberian wasiat wajibah kepada orang tua atau anak yang berbeda agama (ahli waris non muslim) berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 368/K/Ag/1995, dimana untuk pertama kalinya Hakim Mahkamah Agung mengeluarkan undang-undang yang dibuat oleh hakim tentang wasiat wajibah kepada anak kandung dari seorang wanita murtad. Kemudian dalam Putusan Nomor 51/K/Ag/1999 Mahkamah Agung membuat Putusan tentang pemberian wasiat wajibah kepada saudara yang murtad, dan yang terbaru adalah Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 331/K/Ag/2018 tentang pemberian wasiat wajibah kepada suami yang murtad
Criminalization of Freedom of Assembly in Indonesia Mispansyah Mispansyah; Nurunnisa Nurunnisa; Tiya Erniyati
Islamic Research Vol 6 No 2 (2023): Islamic Research
Publisher : Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47076/jkpis.v6i2.192

Abstract

This study aims to analyze Law No. 16 of 2017 concerning Social Organizations in accordance with the Rule of Law Principles and find forms of formulative policies to revoke the status of Legal Entities of Community Organizations Association in the future (Ius Constituendum). This research is a normative legal research using 3 types of approaches: Statute Approach, Conceptual Approach, Case Approach related to the laws and regulations on Social Organizations. The results of this study indicate that Law No. 16 of 2017, which criminalizes freedom of assembly is not following the principles of the state law and even against the principles of the state law, and has the potential to lead to repressive actions to create a dictatorial ruler. Future formulative policies in realizing freedom of association and assembly, the Law on Community Organizations must continue to guarantee a fair judicial process (due process of law) as regulated in Law Number 17 of 2013 concerning Social Organizations, and the sanctions given are sufficient sanctions. Administratively by suspending or revoking the status of a legal entity association or suspending or dissolving community organizations.
Criminalization of Freedom of Assembly in Indonesia Mispansyah Mispansyah; Nurunnisa Nurunnisa; Tiya Erniyati
Islamic Research Vol 6 No 2 (2023): Islamic Research
Publisher : Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47076/jkpis.v6i2.192

Abstract

This study aims to analyze Law No. 16 of 2017 concerning Social Organizations in accordance with the Rule of Law Principles and find forms of formulative policies to revoke the status of Legal Entities of Community Organizations Association in the future (Ius Constituendum). This research is a normative legal research using 3 types of approaches: Statute Approach, Conceptual Approach, Case Approach related to the laws and regulations on Social Organizations. The results of this study indicate that Law No. 16 of 2017, which criminalizes freedom of assembly is not following the principles of the state law and even against the principles of the state law, and has the potential to lead to repressive actions to create a dictatorial ruler. Future formulative policies in realizing freedom of association and assembly, the Law on Community Organizations must continue to guarantee a fair judicial process (due process of law) as regulated in Law Number 17 of 2013 concerning Social Organizations, and the sanctions given are sufficient sanctions. Administratively by suspending or revoking the status of a legal entity association or suspending or dissolving community organizations.
NOTARY OBLIGATIONS TO REPORT BENEFICIARIES OR BENEFICIAL OWNERSHIP (BO) IN EACH MAKING OF DEEDS Endang Mastuti; Mispansyah Mispansyah; Ifrani Ifrani
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial Vol 10, No 4 (2023): NUSANTARA : JURNAL ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jips.v10i4.2023.1726-1736

Abstract

Abstract This study aims to analyze the urgency of the notary's obligation to report the beneficial owner in each deed to the Financial Transaction Analysis Reporting Center (PPATK) and how to assess the beneficial owner.Beneficial Ownership) referred to by the Legislation. The method used isnormative with the Antinomy research type, namely conflicting norms in the authority and obligations of a notary in reporting beneficial owners(beneficial ownership). The research results areThe urgency of the notary's obligation to report the beneficial owner(beneficial ownership) in each Deed to the Notary Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK) as a state official or general official appointed by the state in making Deeds that are vulnerable to being exploited by money laundering (TPPU) and terrorism financing (TPPT) perpetrators.Authority The Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK) requests reports from professions that are vulnerable to being misused by money laundering (TPPU) and terrorism financing (TPPT) perpetrators. PPATK asfinancial intelligence unit Whichhave duties and functions of receiving financial transaction reports, analyzing financial reports, and forwarding the results of the analysis to other law enforcement agencies. So the obligation to report the beneficial owner(beneficial owner) by a Notary to the Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK) is very important and urgent in the prevention and eradication of money laundering (TPPU) and terrorism funding (TPPT) crimes
TindakPidana Penipuan Dalam Kaitan Wanprestasi (Studi Terhadap Putusan No 485/K/Pid/2019/PN Bjb) Purnama Kurniawan*; Helmi Helmi; Mispansyah Mispansyah
JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Vol 8, No 3 (2023): Juni, socio-economics, community law, cultural history and social issues
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/jimps.v8i3.25618

Abstract

Terjadinya Wanprestasi senantiasa diawali dengan hubungan kontraktual (Characteristics of defaults is always preceded by a contractual relationship). Kontrak dibuat sebagai instrument yang secara khusus mengatur hubungan hukum antara kepentingan-kepentingan yang bersifat privat atau perdata Suatu hubungan hukum yang diawali dengan kontraktual tidak selalu merupakan perbuatan wanprestasi, akan tetapi dapat pula merupakan suatu perbuatan tindak pidana penipuan ex Pasal 378 KUHP adapaun dalam penelitian ini adalah Tindak Pidana Penipuan terkait Wanprestasi namun dalam putusannya oleh pengadilan Negeri Banjarbaru, hingga pada putusan kasasinya yang Kembali diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Tujuan dari Penelitina ini adalaha Mengkaji dan menganalisis Konstruksi pertimbangan hakim dalam memutuskan lepas dari segala tuntutan hukum dalam perkara NOMOR 485 K/Pid/2019 PN Bjb dan menganalisis tepatkah pertimbangan hakim dalam memutuskan lepas dari segala tuntutan hukum dalam perkara NOMOR 485K/Pid/2019/PN Bjb Hasil dari penelitian ini adalah berdasarkan Putusan perkara NOMOR 485K/Pid/2019/PN Bjb dalam putusan tersebut telah terbukti melakukan sebagaimana dalam surat dakwaan tetapi perbuatan tersebut merupakan wanprestasi bukan pidana hal ini membuat tidak ada kepastian Hukum dalam hal ini tidak adanya keadilan bagi Korban dengan diputuskan lepas dari segala tuntutan hukum bagi terdakwa, sedangkan tidak ada upaya ataupun itikad baik dari terdakwa untuk mengembalikan uang milik terdakwa hal ini tentunya tidak sejalan dengan apa yang dimaksud dengan teori kepastian hukum. Kedua Putusan Mahakmah Agung 485/K/Pid/2019/PN Bjb belum mencerminkan keadilan subtantif maupun keadilan prosedural , karena tidak semua parameter yang dijadikan dasar untuk menganalisis putusan tersebut dapat terpenuhi