Furqan Amri
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Kepemimpinan Perempuan menurut Persepsi Teungku dan Ustaz berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Furqan Furqan; Nurullah Nurullah
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin Vol 20, No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-raniry Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/substantia.v20i2.5153

Abstract

This article aims to see the perception of Teungku/Ustaz pesantren on Women's leadership, the difference in stage perception of Teungku/Ustaz towards women's leadership based on educational background. This research is a quantitative study using a survey method to get an overview of the perception of Tengku/Ustaz pesantren based on Dayah and modern Dayah on women's leadership. The research samples for this study as much as 344 respondents taken randomly. This research conducted in six pesantren in Aceh, namely in the Pondok Pesantren Modern Oemar Diyan Indrapuri Aceh Besar District, Modern boarding schools Babun Najah Ulee Kareng and Dayah Modern Darul Ulum Kuta Alam Banda Aceh, Dayah al-Madinatuddiniyyah Babussalam Blang Bladeh (Abu Tumin), Dayah Babussalam Al-Aziziyah (Tu Sop) Jeunieb, and Dayah Ma'had al-Ulum Diniyyah Islamiyah (MUDI) Samalanga regency of Bireuen. Data collection techniques using questionnaires. Data analysis techniques using Quantitative statistical analysis with the help of SPSS 20 program. The results showed that a Teungku/Ustaz perception of women's leadership was in a low and moderate category against 29 item statements. Stage perception of Teungku/Ustaz seen based on the background of education shows the background of education in junior and high school at a low level, S1, and S2 at a moderate stage.  Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk melihat persepsi teungku/ustaz pesantren terhadap kepemimpinan perempuan, perbedaan tahap persepsi teungku/ustaz terhadap kepemimpinan perempuan berdasarkan latar belakang pendidikan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metode survei untuk mendapat gambaran tentang persepsi tengku/ustaz pesantren berbasis dayah dan dayah modern terhadap kepemimpinan perempuan. Sampel penelitian untuk penelitian ini sebanyak 344 responden yang diambil secara acak. Penelitian ini dilakukan di enam pesantren di Aceh yaitu di Pondok Pesantren Modern Oemar Diyan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar, Pondok Pesantren Modern Babun Najah Ulee Kareng dan Dayah Modern Darul Ulum Kuta Alam Kotamadya Banda Aceh, Dayah al-Madinatuddiniyyah Babussalam Blang Bladeh (Abu Tumin), Dayah Babussalam Al-Aziziyah (Tu Sop) Jeunieb, dan Dayah Ma’had al-Ulum Diniyyah Islamiyah (MUDI) Samalanga Kabupaten Bireuen. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner/angket. Teknik analisis data menggunakan analisis statistik kuantitati dengan bantuan program SPSS 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi teungku/ustaz terhadap kepemimpinan perempuan berada pada kategori rendah dan sedang terhadap 29 item pernyataan. Tahap persepsi teungku/ ustaz dilihat berdasarkan latar belakang pendidikan menunjukkan latar belakang pendidikan SMP dan SMA berada pada tahap rendah, S1 dan S2 pada tahap sedang.
Makna al-Dhalalah dalam Al-Qur`an Furqan Amri; Samsul Bahri; Ahmad Suryani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i1.13096

Abstract

There are two groups of verses in the Qur'an that have gaps in attributing al-dhalalah to Allah. The first group of verses attributes al-dhalalah to come from Allah, not a direct result of the servant's actions. Another group of verses attributes al-dhalalah to come from the servant, not from Allah. In this paper, the author examines the meaning of al-dhalalah expressed in the Qur'an with the aim of explaining the meaning of al-dhalalah contained in the verses of the Qur'an. This study is a literature study with descriptive analysis through the maudhū'i interpretation method. The word dhalla in its various forms is not less than 190 times repeated in the Qur'an. In order to eliminate the contradictory meanings of the two groups of contradicting verses, it must be understood in a syar'i way, not only understood textually (mantuq). The existence of this contradiction indicates that the meaning to be shown by the two groups of verses is the syar'i meaning, not the textual meaning (mantūq). So it can be concluded that understanding the two groups of verses of al-dhalalah it cannot only be understood textually but must be understood with a syar'i approach, by looking at the qarīnah point of view contained in each verse. The ratio of al-dhalalah to Allah SWT is only a ratio of creation, not a direct ratio, while the direct subject of al-dhalalah is humans. Ada dua kelompok ayat dalam al-Qur’an yang memiliki kesenjangan dalam menisbahkan al-dhalalah kepada Allah Swt. Kelompok ayat pertama menisbahkan al-dhalalah datang dari Allah, bukan akibat langsung dari perbuatan hamba. Kelompok ayat lain menisbahkan al-dhalalah datang dari hamba bukan dari Allah Swt. Dalam tulisan ini, penulis mengkaji makna al-dhalalah yang diungkapkan dalam al-Qur’an dengan tujuan untuk menjelaskan makna al-dhalalah yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Kajian ini merupakan studi kepustakaan dengan analisis deskriptif melalui metode tafsir maudhū’i. Kata dhalla dalam berbagai bentuknya tidak kurang dari 190 kali terulang dalam al-Qur’an. Untuk meniadakan kontradiksi makna dari dua kelompok ayat yang bertentangan, harus dipahami secara syar’i tidak hanya dipahami secara tekstual (mantuq). Adanya kontradiksi ini menunjukkan bahwa makna yang hendak diperlihatkan oleh kedua kelompok ayat adalah makna syar’i bukan makna tekstual (mantūq). Sehingga dapat disimpulkan, bahwa dalam memahami dua kelompok ayat al-dhalalah tidak bisa hanya dipahami secara tekstual, akan tetapi harus dipahami dengan pendekatan syar’i, dengan melihat dari sudut pandang qarīnah yang terkandung dalam setiap ayat. Nisbah al-dhalalah kepada Allah Swt hanya sekedar nisbah penciptaan bukan nisbah secara langsung, sedangkan subyek langsung dari al-dhalalah adalah manusia.
Kebersihan Lingkungan dalam Al-Qur’an dan Aplikasinya pada Masyarakat Gampong Buloh Gogo Furqan Amri; Rahmayani Rahmayani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.11289

Abstract

The Al-Qur’an and Hadis, as guiding references for life, contain a  comprehensive and complete guideline for the good and prosperity of human life. One of which is a guideline for a healthy life by keeping the hygiene of the surrounding environment. Islam is very attentive about the hygiene of the environment as it directly and strongly relates to health. Therefore, maintaining the hygiene of the environment is equal to taking care of oneself. This study focuses on the level of understanding and awareness of Buloh Gogo village community, Padang Tiji sub-district, toward their environment. The author found that generally, the community of Buloh Gogo possesses good knowledge and understanding about the relation of the hygiene of the environment with health. However, practically they face difficulty maintaining hygiene due to their livestock roaming the environment freely. Only a small number of them take care of the environment and maintain its hygiene. Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup tentunya  mengandung berbagai petunjuk lengkap yang dapat  menciptakan kehidupan yang baik dan sejahtera bagi manusia, salah satunya adalah petunjuk tentang pola hidup sehat dengan menjaga kebersihan lingkungan. Islam sangat memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar karna kebersihan sangat erat kaitannya dengan kesehatan, oleh sebab itu menjaga kebersihan sama pentingnya dengan menjaga diri sendiri. Namun dalam kenyataannya masyarakat tidak terlalu memperhatikan dan memahami betapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Tulisan ini akan fokus pada tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat Gampong Buloh Gogo kecamatan Padang Tiji terhadap kebersihan lingkungan. Penulis menemukan bahwa pada umumnya masyarakat Gampong Buloh Gogo Kecamatan Padang Tiji memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang kebersihan lingkungan namun dalam praktiknya masyarakat Gampong Buloh Gogo kurang peduli dengan kebersihan lingkungan karna tingkat kesulitannya tinggi untuk selalu menjaga agar tetap bersih akibat dari hewan ternak yang bebas berkeliaran di lingkungan mereka dan  hanya sebagian kecil dari masyarakat saja yang peduli dan menjaga kebersihan lingkungan.
Istidraj menurut Pemahaman Mufasir Furqan Furqan; Diana Nabilah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (476.747 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9203

Abstract

There are promises of Allah swt. in the Qur`an, such as promising of a way out from every problem and providing sustenance from unexpected directions for pious servants and providing a good life for those who believe and do good deeds. Instead, it will bring misery and torment to the disobedient. The fact is, not all faithful servants live in comfort and peace. Similarly with the sinful servant, which also not all live in misery as promised by Allah swt. This is because the consequences of immoral acts are sometimes postponed by Allah swt., the postponement of the punishment is called istidrāj. Mufasirs have two understandings regarding the meaning of istidrāj. First, istidrāj is interpreted as a postponement of punishment and only occurs in the hereafter. Second, istidrāj is the giving of some punishment while in this world and others in the hereafter. Ada beberapa janji Allah swt. dalam al-Qur`an, seperti menjanjikan jalan keluar pada setiap masalah dan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka bagi hamba bertakwa dan memberikan kehidupan yang baik bagi yang beriman dan beramal salih. Sebaliknya, akan memberikan kesengsaraan dan siksaan bagi mereka yang tidak taat. Kenyataannya, tidak semua hamba yang beriman hidup dalam kesenangan dan aman. Begitu juga dengan hamba yang bermaksiat, tidak semua hidup dalam kesengsaraan sebagaimana yang telah dijanjikan Allah Swt. Hal ini disebabkan bahwa konsenkuensi dari perbuatan maksiat terkadang ditangguhkan oleh Allah Swt, penangguhan azab tersebut diistilahkan dengan istidrāj. Para mufasir memiliki dua pemahaman terkait pemaknaan istidrāj. Pertama, istidrāj dimaknai sebagai penangguhan azab dan hanya terjadi di akhirat. Kedua, istidrāj adalah pemberian sebagian azab ketika di dunia dan sebagian lain di akhirat.
Lafaz al-Rajaʼ dan al-Tamanni dalam Al-Qur’an Furqan Amri; Retno Dumilah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.12541

Abstract

The existence of synonymy in the Koran is a debate among commentators. Some consider the existence of synonymy in the Koran and others deny it. Various words in the Qur'an appear to be synonymous at birth, but when examined carefully it turns out that each of these words has its own connotation. This study aims to explain the context of the use of the words al-Rajāʼ and al-Tamannīʼ and the interpretation of the commentators on the verses of al-Rajāʼ and al-Tamannīʼ. This study uses the thematic method by collecting verses related to the problems of the two pronunciations and by referring to the explanations of the commentators in the books of interpretation. The results showed that the writer found the lafaz al-Rajāʼ in the Koran 18 times with 7-word variations, while the al-Tamanni lafaz was found 9 times and had 7-word variations in each of the two words. Lafaz al-Rajāʼ and al-Tamannīʼ are interpreted with the meaning of hope or ideals, but in terms of the difference, al-Rajāʼ lafaz is devoted to hopes that are most likely to be achieved and achieved and accompanied by effort, while al-Tamann lafaz is hoping that cannot be achieved. achieved or the probability of achieving it is very small. Keberadaan sinonimitas dalam al-Qur’an menjadi perdebatan di kalangan para mufasir. Sebagian menilai adanya sinonimitas dalam Al-Qur’an dan sebagian yang lain mengingkarinya. Beragam kata dalam Al-Qur’an yang pada lahirnya tampak bersinonim, namun bila diteliti secara cermat ternyata masing-masing kata tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konteks penggunaan kata al-Rajāʼ dan al-Tamannīʼ serta penafsiran para  mufassir terhadap ayat-ayat al-Rajāʼ dan al-Tamannīʼ. Penelitian ini menggunakan metode tematik dengan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan permasalah kedua lafaz tersebut dan dengan merujuk kepada penjelasan para mufassir dalam kitab-kitab tafsir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulis menemukan lafaẓ al-Rajāʼ dalam Al-Qur’an sebanyak 18 kali dengan 7 bentuk variasi kata, sedangkan lafaz al-Tamanni ditemukan sebanyak 9 kali serta memiliki 7 bentuk variasi kata pada masing-masing kedua Lafaz tersebut. Lafaz al-Rajāʼ dan al-Tamannīʼ diartikan dengan makna harapan atau cita-cita, namun dari segi perbedaannya lafaz al-Rajāʼ dikhususkan kepada harapan yang kemungkinan besar dapat dicapai dan diraih serta diiringi dengan usaha, sedangkan lafaz al-Tamannīʼ merupakan  pengharapan yang tidak dapat tercapai atau kemungkinan ketercapaiannya sangat  kecil. 
Tahfiz Al-Qur’an dalam Perspektif Mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Ar-Raniry Periode 2013-2015 Furqan Amri; Suarni Suarni; Nurul Fadhilah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12553

Abstract

This study aims to find out how the views of students of the study program of al-Qur'an and Tafsir of the year among 2013-2015 on the subject of tahfiz al-Qur'an . This research is field research using a qualitative approach that is guided by qualitative data, namely data from questionnaires, interviews, observations, and documentation. Collecting the data using a research instrument in the form of a list of questions summarized in a questionnaire and distributed to 50 samples of al-Qur'an and Tafsir students in the year among 2013-2015. Meanwhile, interviews were conducted with the caregivers for the tahfiz al-Qur'an subject. The documentation method is used to collect data about things in the form of transcripts, notes, photos, and so on and complete the data obtained from interviews or observations. The collected data is then analyzed and it shows that: All students of the Al-Qur'an and Tafsir Study Programs agree that Hifz al-Qur'an is a very important subject for this major. Among the reasons they explained was that with the existence of this Constitutional Court, it was very easy to understand the Qur'an and also study its Tafsir. Based on the results of the interviews, it can be concluded that the lecturers always provide direction regarding the methods that can be applied in memorizing the Qur'an, and the obstacles faced by students can be resolved by always approaching the Qur'an. Abstrak: Tahfiz al-Qur’an merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa Program Studi Ilmu al-Quran dan Tafsir mulai dari semester pertama hingga semester lima. Dalam proses belajar mengajar, banyak mahasiswa yang menyetor hafalan kepada dosen ketika mendekati batas waktu setoran. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan mahasiswa Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir periode 2013-2015 terhadap mata kuliah tahfiz al-Qur’an. Penelitian ini bersifat kajian lapangan dengan pendekatan kualitatif yang berpedoman pada data hasil angket, wawancara, obeservasi dan dokumentasi. Pengumpulan data melalui angket didistribusikan kepada 50 orang sampel mahasiswa Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir periode 2013-2015, sedangkan wawancara dilakukan terhadap dosen pengasuh mata kuliah tahfiz al-Qur’an. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir setuju bahwa Hifz al-Qur’an adalah mata kuliah yang sangat penting bagi Program Studi ini, alasan yang mereka jelaskan adalah karena mata kuliah ini membantu mahasiswa dalam memahami al-Qur’an dan juga mempelajari Tafsirnya. Para dosen senantiasa memberikan pengarahan terkait metode-metode yang dapat diterapkan dalam menghafal al-Qur’an, dan kendala-kendala yang dihadapi mahasiswa dapat diselesaikan dengan senantiasa mendekatkan diri kepada al-Qur’an.
Penafsiran Lafaz al-Rih dan al-Riyah dalam Al-Qur’an Furqan Furqan; Nabilla Ummami
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v3i2.13276

Abstract

One form of the beauty of the language and the richness of the meaning of the Qur'an is the use of the words rih and riyah, which are the same word with different forms of derivation but have a different philosophies of meaning. Even in Surah Yunus verse 22 and three other verses, the Qur'an mentions the word rih for both positive and negative connotations. The use of such words seems to give the reader the impression that the Qur'an is inconsistent in choosing the words it uses. Departing from this problem, the author formulates two objectives of this research, namely to explain the classification and scope of meaning of the words rih and riyah in the Qur'an and to describe the interpretation of the mufassir related to these lafaz. From the results of the study, lafaz rih has several expressions of meaning according to the context of the intended verse, namely punishment, strength or glory, help and fragrant smell. Broadly speaking, the word riyah is interpreted to be more about things that are fun and welfare information, because of the magnitude and many benefits the Qur'an mentions in the plural. As for the scientific interpretation of the word rih, the Qur'an describes something that is harmful and destructive. This is because at a certain speed the wind can exceed the benefit as well as the description of the commentators about the hot wind that brings fire and burns to destroy anything in its path. Salah satu bentuk keindahan bahasa dan kekayaan makna Alquran yaitu penggunaan kata rih dan riyah yang merupakan satu kata yang sama dengan bentuk derivasi yang berbeda, namun mempunyai filosofi makna yang berbeda. Bahkan dalam surah Yunus ayat 22 dan tiga ayat lainnya, Alquran menyebutkan kata rih untuk konotasi yang positif maupun negatif. Pemakaian kata serupa itu seakan-akan memberi kesan kepada pembaca bahwa Alquran inkonsisten dalam memilih kata-kata yang digunakannya. Berangkat dari permasalahan ini, penulis merumuskan dua tujuan penelitian ini yaitu untuk menjelaskan klasifikasi dan cakupan makna dari kata rih dan riyah dalam Alquran dan mendeskripsikan penafsiran mufassir terkait dengan lafaz tersebut. Dari hasil penelitian tersebut, lafaz rih memiliki beberapa ungkapan makna sesuai dengan konteks ayat yang dituju yaitu azab, kekuatan ataupun kejayaaan, petolongan dan bau harum. Secara garis besar, kata riyah ditafsirkan lebih kepada hal-hal yang sifatnya informasi-informasi menyenangkan dan kesejehteraan, karena besar dan banyak manfaatnya Alquran menyebutkannya dalam bentuk jamak. Adapun pada penafsiran ‘ilmi kata rih, Alquran mendeskripsikan sesuatu  yang merugikan dan merusak. Hal ini karena pada kecepatan tertentu angin dapat melampaui kemaslahatan seperti halnya uraian para mufassir mengenai angin panas yang membawa api dan membakar hingga membinasakan apapun yang dilaluinya. 
Studi Lafaz Din, Millah, Ummah dan Huda dalam Al-Qur’an Furqan Furqan; Khairatur Ridhatillah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v7i1.12489

Abstract

One of the specialties of the Qur'an is that it is rich in vocabulary. As there are two or more lafazes used to denote one meaning or meaning adjacent. Al-din, millah, ummah and huda are synonymous lafaz, the words mean religion, but the Qur'an uses them in different connotations. This research is a literature study with a maudhui method approach and content analysis techniques (content analysis). The results showed that lafaz al-din is mentioned 92 times in the Qur'an which is contained in 82 verses. According to Quraish Shihab, lafaz al-din means submission, obedience, calculation, religion and recompense. Ibn Katsir interpreted lafaz al-din as the meaning of obedience. Lafaz millah is mentioned 14 times in the Qur'an. According to Quraish Shihab, this lafaz means a set of teachings and according to Ibn Katsir it means religion (i.e. Islam) brought by prophet Ibrahim. Lafaz ummah with its various forms is found as many as 64 words with varying meanings. In the singular it is called 51 times and the plural form 13 times. According to Ibn Katsir, lafaz ummah means religion and tawhid. Lafaz huda in the Qur'an is mentioned in six forms with 73 derivations, each form has its own meaning. According to al-Maraghi, lafaz huda means religion and instruction, while Quraish Shihab argues that lafaz huda means divine hidayah, the teachings brought by the Prophet Muhammad, hidayah, taufik and Islamic teachings. Salah satu keistimewaan Alquran adalah kaya akan kosakata. Seperti terdapat dua lafaz atau lebih yang digunakan untuk menunjukkan satu makna atau makna yang berdekatan. Al-din, millah, ummah dan huda merupakan lafaz sinonim, kata-kata tersebut berarti agama, tetapi Alquran memakainya dalam konotasi yang berbeda. Penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan pendekatan metode maudhui dan teknik analisis isi (content analisys). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lafaz al-din disebutkan sebanyak 92 kali dalam Alquran yang terdapat pada 82 ayat. Menurut Quraish Shihab, lafaz al-din bermakna ketundukan, ketaatan, perhitungan, agama dan balasan. Ibnu Katsir menafsirkan lafaz al-din bermakna ketaatan. Lafaz millah disebutkan 14 kali dalam Alquran. Menurut Quraish Shihab, lafaz ini bermakna sekumpulan ajaran dan menurut Ibnu Katsir bermakna agama (yaitu Islam) yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Lafaz ummah dengan berbagai bentuknya dijumpai sebanyak 64 kata dengan arti yang bervariasi. Dalam bentuk tunggal disebut sebanyak 51 kali dan bentuk jamak 13 kali. Menurut Ibnu Katsir, lafaz ummah bermakna agama dan tauhid. Lafaz huda dalam Alquran disebutkan dalam enam bentuk dengan 73 derivasi, setiap bentuk memiliki arti tersendiri. Menurut al-Maraghi, lafaz huda bermakna agama dan petunjuk, sedangkan Quraish Shihab berpendapat lafaz huda bermakna hidayah ilahi, ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, hidayah, taufik dan ajaran Islam. 
Pemahaman Masyarakat Gampong Lapang Kabupaten Aceh Barat terhadap Qada dan Fidiah Puasa dalam Al-Qur’an Salman Abdul Muthalib; Furqan Furqan; Oka Ridayani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v7i2.13006

Abstract

Fasting qada (substitute) and fidiah is an obligation for people who do not fast. Terms, causes, and mechanisms for qada and fidiah have been formulated by scholars based on the Qur'an and hadith. To be accepted by Allah, one must understand and practice religious teachings correctly according to the provisions. In reality, it was found that the practice of qada and fidiah fasting in the Gampong Lapang community was different from the formulation of the ulama. This study will look at the Gampong Lapang community's understanding of qada and fidiah in the Koran and the mechanisms for their daily practice. The results of the study show that a small proportion of people have correctly understood qada, fasting, and fidiah according to the explanation of the scholars and the meaning of letters Al-Baqarah 184 and 185. While most of them are mistaken in understanding the meaning and procedures for its implementation. In their understanding, only the elderly and sick people are given relief, the fidiah applies to parents only, and all sick and traveling people may not fast because there is a fidiah. Qada will be doubled if the year has passed. There is also an understanding that only men have to double the number of days that must be Qada if the year has passed.Abstrak: Puasa qada (pengganti) dan fidiah adalah kewajiban bagi orang yang tidak berpuasa. Syarat, sebab dan mekanisme qada dan fidiah telah rumuskan ulama berdasarkan Al-Qur’an, hadis. Seseorang harus memahami dan mengamalkan dengan benar sesuai ketentuan agar praktik ajaran agama diterima Allah. Realita dalam masyarakat, ditemukan praktik puasa qada dan fidiah dalam masyarakat Gampong Lapang berbeda dengan rumusan para ulama. Kajian ini akan melihat pemahaman masyarakat Gampong Lapang terhadap qada dan fidiah dalam Al-Qur'an dan mekanisme pengamalannya sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kecil masyarakat telah memahami qada puasa dan fidiah dengan benar sesuai dengan penjelasan ulama dan makna surat Al-Baqarah 184 dan 185. Sementara sebagian besar keliru dalam memahami makna dan tata cara pelaksanaannya, mereka memahami bahwa hanya orang tua dan orang sakit yang diberikan keringanan, fidiah berlaku untuk orang tua saja, semua orang sakit dan bepergian boleh tidak berpuasa karena ada fidiah. Qada akan berlipat ganda jika tahun telah berlalu, ada juga yang memahami bahwa hanya laki-laki yang harus melipatgandakan jumlah hari yang diqada jika tahun telah berlalu.
Metodologi Tafsir Jami’ al-Bayan Imam Thabari Furqan Furqan
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 8, No 1 (2023)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v8i1.18397

Abstract

Jami' al-Bayan 'an Ta'wil Ayi al-Qur'an, also known as Tafsir ibnu Jarir, is a renowned interpretation book in the world of Islamic intellectuals. It is considered a valuable literature in the field of bil ma'tsur interpretations. Even in the field of bi ra'yi interpretation, it tends to prioritize the analytical aspect of the atsar. This interpretation provides numerous scientific explanations in detail, while also incorporating various opinions and exploring the most diligent viewpoints. This paper aims to delve deeper into the methodology or manhaj employed by Imam Ibnu Jarir al-Thabari in his book Jami' al-Bayan 'an Ta'wil Ayi al-Qur'an, using a descriptive method. The study results indicate that the book of interpretations, Jami' al-Bayan, follows the bil ma'tsur interpretation method. Nevertheless, it cannot be denied that it includes interpretations of several verses based on reasoning.Abstrak:Kitab Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil Ayi al-Qur’an atau yang dikenal dengan Tafsir ibnu Jarir adalah kitab tafsir yang masyhur dalam dunia Intelektual Islam. Ia dinilai sebagai literatur kitab tafsir bil ma’tsur, bahkan dalam bidang tafsir bil ra’yi ia cenderung mengedepankan sisi analisis dari pada atsar, sebab dalam tafsir ini terdapat banyak penjelasan ilmiah yang diungkapkan oleh beliau secara detail, serta memadukan berbagai pendapat dan menggali pendapat yang paling rajih. Tulisan ini bertujuan  mengulas lebih dalam mengenai metodologi yang digunakan imam Ibnu Jarir al-Thabari dalam kitabnya Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil ayi al-Qur’an dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitab tafsir Jami’ al-Bayan merupakan kitab tafsir dengan metode tafsir bil ma’tsur meskipun tidak dapat dinafikan bahwa di dalamnya terdapat penafsiran terhadap beberapa ayat yang menjadikan akal sebagai dasar dalam penafsirannya