Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

MENGEVALUASI PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM KEPAILITAN SEBAGAI PERLINDUNGAN TERHADAP DUNIA USAHA DI INDONESIA Mulyani Zulaeha
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (620.418 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.18

Abstract

Sistem pembuktian dalam kepailitan menerapkan prinsip pembuktian sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yaitu permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Pengadilan Niaga dalam memutus suatu perkara kepailitan hanya terbatas pada pembuktian secara sederhana terhadap unsur yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu debitur mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, apabila persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi maka debitur tersebut harus dipailitkan oleh Pengadilan Niaga. Pembuktian sederhana dalam kepailitan di satu sisi menerapkan aspek kepastian hukum namun di sisi lain mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan terutama terhadap kepailitan perusahaan prospektif. Hal ini karena tidak ada perbedaan sistem pembuktian antara kepailitan perorangan maupun kepailitan badan hukum (perusahaan). Padahal implikasi putusan pailit perorangan dengan putusan pailit perusahaan berbeda, pailitnya sebuah perusahaan secara mikro akan membawa dampak yang luas terhadap nasib karyawan dan stakeholder, secara makro akan berpengaruh bagi iklim dunia usaha di Indonesia khususnya bagi perusahaan yang masih potensial untuk terus berkembang. Fakta menunjukkan bahwa permohonan pailit yang diajukan di Indonesia lebih banyak terhadap perusahaan dibandingkan dengan permohonan pailit untuk perorangan. Apabila sistem pembuktian sederhana yang berlaku saat ini tetap terus dilaksanakan maka perusahaan yang masih potensial untuk berkembang dapat dinyatakan pailit. Oleh karena itu perlindungan terhadap perusahaan yang masih potensial untuk mendapat perlindungan dari ancaman pailit, melalui evaluasi sistem pembuktian sederhana dalam kepailitan.
MENGEVALUASI PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM KEPAILITAN SEBAGAI PERLINDUNGAN TERHADAP DUNIA USAHA DI INDONESIA Mulyani Zulaeha
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.18

Abstract

Sistem pembuktian dalam kepailitan menerapkan prinsip pembuktian sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yaitu permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Pengadilan Niaga dalam memutus suatu perkara kepailitan hanya terbatas pada pembuktian secara sederhana terhadap unsur yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu debitur mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, apabila persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi maka debitur tersebut harus dipailitkan oleh Pengadilan Niaga. Pembuktian sederhana dalam kepailitan di satu sisi menerapkan aspek kepastian hukum namun di sisi lain mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan terutama terhadap kepailitan perusahaan prospektif. Hal ini karena tidak ada perbedaan sistem pembuktian antara kepailitan perorangan maupun kepailitan badan hukum (perusahaan). Padahal implikasi putusan pailit perorangan dengan putusan pailit perusahaan berbeda, pailitnya sebuah perusahaan secara mikro akan membawa dampak yang luas terhadap nasib karyawan dan stakeholder, secara makro akan berpengaruh bagi iklim dunia usaha di Indonesia khususnya bagi perusahaan yang masih potensial untuk terus berkembang. Fakta menunjukkan bahwa permohonan pailit yang diajukan di Indonesia lebih banyak terhadap perusahaan dibandingkan dengan permohonan pailit untuk perorangan. Apabila sistem pembuktian sederhana yang berlaku saat ini tetap terus dilaksanakan maka perusahaan yang masih potensial untuk berkembang dapat dinyatakan pailit. Oleh karena itu perlindungan terhadap perusahaan yang masih potensial untuk mendapat perlindungan dari ancaman pailit, melalui evaluasi sistem pembuktian sederhana dalam kepailitan.
MEDIASI INTEREST BASED DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH Mulyani Zulaeha
Kertha Patrika Vol 38 No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/KP.2016.v38.i02.p05

Abstract

Meningkatnya perkara tanah di pengadilan memunculkan keinginan untuk mempercepat proses penyelesaian melalui pola penyelesaian di luar pengadilan. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, sengketa tanah dapat diselesaikan melalui mediasi di luar pengadilan. Model mediasi yang cocok dalam penyelesaian sengketa tanah adalah mediasi berbasis kepentingan interest based, yaitu fokus mediasi diarahkan pada substansi kepentingan terbaik bagi kedua belah pihak berdasarkan pada aspek penyelesaian bersama dengan cara menyelesaikan akar persoalan, menghindari konflik berkepanjangan antara para pihak, serta adanya keinginan untuk mempunyai hubungan baik jangka panjang.
Legalitas Hukum Pihak Penggugat Dalam Mengajukan Gugatan Di Pengadilan Dengan Akta Pengikatan Jual Beli Ahmad Mubarak; Mulyani Zulaeha; Anang Shophan Tornado
Banua Law Review Vol. 4 No. 1 (2022): April
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i1.32

Abstract

Penelitian ini menjelaskan adanya perbedaan aturan yang saling bertentangan mengenai peralihan hak atas tanah antara ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 sehingga menimbulkan konflik hukum yang menjadi adanya ketidakpastian terhadap status hukum peralihan hak atas tanah melalui jual beli berdasarkan akta perjanjian pengikatan jual beli. Sehingga ketika timbulnya sengketa tanah pihaknya merasa haknya dirugikan oleh orang lain yang telah menguasai tanah sebagai objek sengketa tersebut tanpa adanya persetujuan dari orang yang mempunyai hak atas tanah tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan. Jadi penelitian bertujuan untuk menganalisis kepastian hukum dan perlindungan hukum mengenai peralihan terhadap pihak pembeli selama masih dalam perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual sebelum membuat akta jual beli yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan juga menganalisis legal standing yang dimiliki penggugat/pihak pembeli dalam mengajukan gugatan di pengadilan berdasarkan jual beli dan kuasa menjual. Hasil Penelitian ini menjelaskan pada dasarnya tunduk pada ketentuan peraturan mengenai pendaftaran tanah yang mengatur bahwa peralihan hak atas tanah kecuali lelang hanya dapat dibuktikan dengan Akta dari IPPAT dan didaftrkan ke Kantor Pertanahan. Dalam melakukan dan apabila dalam penyelesaian sengketa ketika mengajukan gugatan seorang penggugat harus memiliki syarat formil dan syarat materil. Jadi langkah hukum yang dapat ditempuh dalam penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan dengan non-litigasi. Jika tidak tercapai juga dalam penyelesaian sengketa nya maka langkah terahkir yang dilakukan menggunakan jalur litigasi
KEDUDUKAN KOMISI KODE ETIK POLRI DALAM PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI POLRI PERSPEKTIF KEPASTIAN HUKUM Saparyanto Saparyanto; Mulyani Zulaeha; Anang Sophan Tornado; Ifrani Ifrani; Suprapto Suprapto
Badamai Law Journal Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v7i1.14074

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui dan menganalisis kualifikasi dan kompetensi yang dimiliki Komisi Kode Etik Polri dalam penegakan Kode Etik Profesi Polri dan (2) untuk mengetahui dan menganalisis putusan Komisi Kode Etik Polri. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan sifat penelitian preskriftif, Kemudian dengan menggunakan beberapa pendekatan, berupa: (1) Peraturan Perundang-undangan (statute approach), (2) Pendekatan sejarah (historis approach), (3) Pendekatan kasus (case approach), dan (4) Pendekatan konseptual (conceptual approach). Pembentukan Komisi Kode Etik Polri hanya berdasarkan pada jabatan dan kepangkatan semata tanpa adanya syarat formil gelar kesarjanaan dalam hal ini Sarjana Hukum (S.H.), serta tidak mensyaratkan adanya batas usia, memiliki pelatihan atau pendidikan hakim dan lulus ujian hakim, sebagaimana syarat menjadi hakim pada Peradilan Negeri maupun Peradilan Militer. Mengingat Komisi Kode Etik Polri juga bertindak dan mempunyai kewenangan seperti hakim yaitu memeriksa dan memutus perkara pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Polri yang dilakukan oleh anggota Polri. Sehingga jika disandingkan dengan hakim pada Peradilan Umum atau Peradilan Militer. Putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri tidak memenuhi rasa keadilan, bukan dikarenakan Komisi Kode Etik Polri yang tidak bisa berlaku adil atau karena memihak/berat sebelah kepada salah satu pihak, akan tetapi karena jenis sanksi yang sudah ditentukan oleh Perkap. Sedangkan putusan Sidang Komisi Kode Etik Polri berupa penjatuhan hukuman jika bersalah dan direhabilitasi serta dikembalikan hak-haknya jika tidak bersalah setelah dibuktikan melalui mekanisme Sidang Komisi Kode Etik Polri, mencerminkan adanya Kepastian Hukum. Kata Kunci: Komisi Kode Etk Polri, Keadilan, Kepastian Hukum
Asas Itikad Baik dalam Mediasi Mulyani Zulaeha
Banua Law Review Vol. 4 No. 2 (2022): October
Publisher : Banua Law Review

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/balrev.v4i2.43

Abstract

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mendudukan itikad baik sebagai syarat formil dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan. Itikad baik selama proses mediasi ditunjukan dengan suatu sikap perbuatan yang bertujuan untuk kebaikan dirinya dan tidak menimbulkan kerugian kepada pihak lain, berupa perilaku baik yang ditanamkan para pihak dalam bentuk menghadiri (mendukung) dan bersikap aktif (berperan) dalam forum pertemuan menjadi tolok ukur itikad baik dalam pelaksanaan Mediasi di pengadilan. Itikad baik merupakan asas yang universal, itikad baik tidak saja menjadi ukuran penilaian dalam suatu hubungan kontraktual tetapi secara dinamis itikad baik berkembang mengikuti kaedah hukumnya seiring dengan perkembangan masyarakat..
PEMBUKTIAN KEPEMILIKAN SAHAM PADA PERSEROAN TERBATAS (STUDI KASUS PT KARIAS CONNECT VISION NO. 36/PDT.P/2021/PN/AMT) Rizki Annisya; Mulyani Zulaeha; Noor Hafidah
Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hummaniora Vol 7, No 1 (2023): Pebruari, 2023
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jim.v7i1.2023.140-152

Abstract

Tujuan Penelitian Untuk menganalisis bagaimana bukti kepemilikan saham dalam Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UUPT. dan  apa langkah hukum yang dapat dilakukan terhadap perbuatan organ PT yang meniadakan saham salah satu pemegang saham. Jenis Penelitian  yang digunakan hukum normatif dengan pendekatan Perundang-Undangan Hasil Penelitian Bahwa bukti kepemilikan saham dalam Perseroan Terbatas bentuk kepemilikan saham adalah akta pendirian. Di dalam akta pendirian yang berisi anggaran dasar perusahaan tercantum pemilik saham, berapa lembar atau persen saham dan nilai saham. Kedua Langkah Hukum yang dilakukan terhadap Perbuatan organ Perseroan terbatas dilakukan dengan dua langkah yang pertama melalui perdata yang dapat ditempuh terhadap organ perseroan dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum pada Pengadilan Negeri agar dilakukan pemeriksaan terhadap perseroan dalam pasal 138 ayat (1) angka b UUPT, pasal tersebut mengatur bahwa pemeriksaan terhadap perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa anggota direksi melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga. Yang kedua dengan hukum pidana, organ perseroan terhadap perbuatan salah satu organ perseroan yang melakukan perbuatan tersebut dapat dilaporkan melakukan tindak pidana penggelapan dan penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 tentang Penggelapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penipuan. 
PENGATURAN REHABILITASI SESEORANG TERHADAP PEMBERITAAN MEDIA ONLINE KETIKA DIPUTUS BEBAS DAN BERKEKUATAN HUKUM TETAP Gusti Muhammad Raja; Mulyani Zulaeha; Suprapto Suprapto
Badamai Law Journal Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v5i2.10460

Abstract

Rehabilitasi itu sendiri menurut Pasal 1 ayat 23 Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana atau biasa disingkat dengan KUHAP adalah Hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang – undang atau karena kekeliruan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.Menurut Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (kitab Undang-Undang hukum acara pidana) apabila terdakwa di vonis bebas oleh pengadilan maka secara bulat harus di rehabilitasi. Hal ini terdapat di dalam pasal 97 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusan nya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Konsep rehabilitasi itu sendiri tentunya seiring perkembangan Zaman harus menyesuaikan keadaan yang ada, cara atau upaya yang dapat ditempuh oleh tersangka/terdakwa terhadap putusan hakim yang menyatakan mereka bebas. adapun menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985 tentang Permohonan Rehabilitasi dari terdakwa yang dibebaskan atau lepas dari segala tuntutan hukum hanya sebatas bentuk Penetapan Hakim, atau pengumuman di dinding informasi Pengadilan Negeri. Di Zaman era globalisasi 4.0 ini yang semuanya serba menggunakan teknologi sebagai media penyampaian informasi, hal ini tentu masih merugikan tersangka ataupun terdakwa yang mana seharusnya pemberian rehabilitasi nama baik tidak hanya melalui penetapan pengadilan, tentu juga harus melalui penghapusan pemberitaan di media online terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan tersangka ataupun terdakwa padahal tersangka ataupun terdakwa tersebut diputus bebas dari segala tuntutan hukum.
Kewenangan Notaris dalam Mensertifikasi Transaksi Elektronik ditinjau dari Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris Jamie Armadi Jaya; Mulyani Zulaeha; Suprapto Suprapto
Notary Law Journal Vol. 1 No. 2 (2022): April
Publisher : Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (400.712 KB) | DOI: 10.32801/nolaj.v1i2.19

Abstract

Dalam dunia kenotariatan dikenal dengan konsep Cyber Notary, konsep ini telah direalisasikan dengan ketentuan pasal 15 ayat 3 Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, didalam ketentuan pasalnya bahwa notaris dimungkinkan adanya ketentuan sertifikasi transaksi elektronik, akan tetapi belum banyak pengaturan hukum yang membahas mengenai sertifikasi transaksi elektronik ini. Dan bagaimanakah kepastian hukum dari ketentuan sertifikasi elektronik ini. Permasalahan adalah : Bagaimana Regulasi Pengaturan Kewenangan Notaris Dalam Mensertifikasi Transaksi Elektronik?, Bagaimana Kepastian Hukum Terhadap Kewenangan Notaris Dalam Mensertifikasi Transaksi Elektronik?. Metode peneitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Dalam peneitian ini penulis menggunakan tipe penelitian Konflik Norma. Sifat Penelitian bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan Undang-Undang (Statue Approach) dan pendekatan Konseptual (conceptual approach). Bahan Hukum terdiri dari Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder. Prosedur Memperoleh Bahan Hukum teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research) atau studi dokumen. Pengolahan Bahan Hukum Dan Analisis Bahan Hukum, bahan hukum yang telah diperoleh dalam studi kepustakaan itu kemudian diolah dengan cara melakukan klasifikasi secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Hasil Penelitian : 1)Regulasi pengaturan mengenai sertifikasi transaksi elektronik ini terdapat didalam Undang-Undang No.2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris dan terdapat juga didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. 2) Kepastian hukum dari ketentuan sertifikasi transaksi elektronik ini adalah hanya sebagai legalisasi transaksi yang bersidat elektronik. 3) notaris bertanggung jawab penuh terhadap isi dalam sertifikasi transaksi elektronik, apabila ada pemalsuan data maka notaris wajib dihukum sesuai ketentuan yang berlaku.