Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Tinjauan Yuridis Peninjauan Kembali yang Diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum M. Jordan Pradana; Syofyan Nur; Erwin Erwin
PAMPAS: Journal of Criminal Law Vol. 1 No. 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/pampas.v1i2.9615

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara yuridis terhadap kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Peninjauan Kembali berdasarkan Pasal 263 ayat (1) hanya dapat dilakukam oleh terpidana atau ahli waris terpidana, namun pada kenyataannya Jaksa Penuntut Umum pernah mengajukan permintaan Peninjauan Kembali dan diterima oleh Mahkamah Agung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep logis positivis yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundang oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang. Hasil penelitian diketahui bahwa terdapat kekosongan norma hukum mengenai kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan permintaan Peninjauan Kembali dan menyarankan dibentuknya aturan khusus mengenai kedudukan Jaksa Penuntut Umum dalam mengajukan peninjauan kembali. Kesimpulan yaitu Sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP Jaksa Penuntut Umum tidak berhak mengajukan peninjauan kembali, karena yang berhak mengajukan peninjauan kembali hanya terpidana dan ahli warisnya dan peninjauan kembali tidak bisa dilakukan terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan diperlukan aturan khusus mengenai peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga terwujudnya keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. ABSTRACT This study aims to find out juridically about the position of the public prosecutor in filing legal remedies for judicial review to the Supreme Court. A review based on Article 263 paragraph (1) can only be carried out by the convict or the convict's heirs, but in reality the Public Prosecutor has submitted a request for reconsideration and was accepted by the Supreme Court. The method used in this research is normative research, which is an approach that uses a positivist logical concept which states that law is identical to written norms made and invited by authorized institutions or officials. The results of the study show that there is a vacuum in legal norms regarding the position of the Public Prosecutor in submitting a request for reconsideration and suggesting the formation of special rules regarding the position of the Public Prosecutor in filing a review. The conclusion is that in accordance with Article 263 paragraph (1) of the Criminal Procedure Code, the Public Prosecutor has no right to file a review, because only the convict and his heirs are entitled to apply for a review and the review cannot be carried out against an acquittal or a decision to be released from all lawsuits and regulations are required. specifically regarding the review submitted by the Public Prosecutor, so that justice, legal certainty and legal benefits can be realized.
Pola Pembinaan Terhadap Narapidana Seumur Hidup Dalam Kebijakan Implementasinya Nys Arfa; Syofyan Nur; Yulia Monita
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 3 No. 2 (2019): Volume 3, Nomor 2, Desember 2019
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.754 KB) | DOI: 10.22437/jssh.v3i2.8428

Abstract

Pembinaan narapidana di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Pembinaan narapidanaa itu sendiri terdiri dari narapidana waktu tertentu tidak lebih dari 20 (dua puluh) tahun dan narapidana seumur hidup menjalani hukuman sampai meninggal dunia. Permasalahan yang muncul adalah terkait dengan pembinaan narapidana seumur hidup yang pembinaannya bersifat jangka panjang, karena tidak dapat diketahui pasti kapan seseorang meninggal. Sementara pembinaan narapidana berdasarkan paraturan perundang-undangan yang berlaku adalah pola pembinaan secara umum untuk seluruh narapidana taanpa membedakan lama pidana dari narapidanaa itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana pola pembinaan narapidana seumur hidup tersebut dalam kebijakan implementasinya. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dimana dalam penelitian ini nanti akan dikaji mengenai kebijakan hukum pidana dalam pembinaan narapidana seumur hidup, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual, bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, bahwa pola pembinaan narapidana seumur hidup didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu pola pembinaan yang berlaku secara umum untuk seluruh narapidana tanpa membedakan lama pidana yang yang dijatuhkan terhadap narapidana. Terhadap narapidana yang dijatuhi pidana seumur hidup belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus terkait dengan pembinaannya. Dengan kata lain pembinaan narapidana seumur hidup mengikuti pada paraturan perundang-undangan yang sudah ada. Sistem pemasyarakatan memberikan pembinaan sesuai tahapan baku. Kebijakan implementatif tetap menempatkan narapidana seumur hidup berada di dalam sistem pemasyarakatan, akan tetapi agak sulit menentukan tahapan-tahapan pembinaannya karena masa pidana dari narapidana seumur hidup tidak terbatas.
Penyuluhan Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Kepada Anggota Polisi Dan Penyidik Di Kepolisian Resort (POLRES) Kabupaten Tanjung Jabung Barat Elly Sudarty; Syofyan Nur; Khabib Nawawi; Nys. Arfa; Erwin Erwin
Jurnal Karya Abdi Masyarakat Vol. 3 No. 2 (2019): Volume 3, Nomor 2, Desember 2019
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (212.565 KB) | DOI: 10.22437/jkam.v3i2.8484

Abstract

Pengadian Pada Masyarakat bertujuan: (1) Untuk memberikan pemahaman tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga; (2) Untuk memberikan pemahaman bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga yang harus diberikan oleh pihak Kepolisian; (3) Untuk memberikan pemahaman kepada Penyidik tentang mediasi penal dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. . Masalah KDRT itu sendiri sebetulnya masalah yang sering terjadi dalam kehidupan berumah tangga, tetapi sebagaian masyarakat tidak menganggap yang dialaminya sebagai suatu perbuatan yang salah dimata hukum. Oleh sebab itu masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang KDRT, sehingga jika terjadi atau mengalami KDRT, korban dapat mengambil langkah-langkah secara hukum. Metode yang digunakan adalah metode partisipatif diharapkan mitra dapat berperan aktif dalam kegiatan penyuluhan hukum dalam bentuk (1) Ceramah Sosialisasi UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang KDRT; (2) Penyuluhan hukum tentang materi UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang KDRT; (3) Penyelesaian KDRT melalui mediasi penal. Kesimpulan: Penyuluhan Hukum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Kepada Anggota Polisi Dan Penyidik di Kepolisian Resort (POLRES) Kabupaten Tanjung Jabung Barat”, menunjukkan bahwa akseptabilitas yakni tingkat penyerapan mitra terhadap kegiatan mengalami peningkatan pengetahuan dan pemahaman mitra tentang materi kegiatan. Yaitu adanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman peserta tentang materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tahun Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mitra mampu menyampaikan ide atau pemikiran berkaitan dengan KDRT serta dalam penyelesaian KDRT mitra telah menerapkan mediasi penal. Saran: Kegiatan penyuluhan sangat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya Aparat Penegak Hukum (Kepolisian) dalam penanggulangan KDRT, karena penegakan hukum tidak harus diselesaikan dengan penegakan hukum pidana, contohnya dalam KDRT dapat dilakukan upaya mediasi penal.