Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Konsepsi dan Sistem Pengujian Peraturan Perundang-Undangan oleh Mahkamah Agung Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Riastri Haryani
BINAMULIA HUKUM Vol 6 No 2 (2017): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v6i2.76

Abstract

Secara konsepsi persoalan hak uji materiil dan lembaga yang berwenang melakukan hak uji materiil telah diawali sejak proses pembentukan UUD 1945 oleh para founding fathers, saat merumuskan rancangan Undang-Undang Dasar tanggal 11 Juli 1945 sampai tanggal 13 Juli 1945. Menurut UUD 1945, yang memiliki pengujian peraturan perundang-undangan hanya 2 lembaga yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kedua lembaga ini memuat konstruksi Undang-Undang Dasar 1945 setelah diamendemen merupakan pilar-pilar pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Di dalam ilmu hukum ada asas bahwa setiap peraturan perundang-undangan apapun bentuknya harus sesuai, tidak bertentangan, dan melaksanakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Peraturan perundang-undangan yang derajatnya berada di bawah konstitusi tidak boleh mengatur materi muatan konstitusi, apalagi menyimpangnya. Undang-Undang Dasar 1945 dianggap sebagai hukum yang tertinggi yang lebih bersifat mengikat daripada undang-undang biasa. Dengan dasar itu undang-undang tidak termasuk peraturan yang dapat diuji materiil oleh Mahkamah Agung. Meskipun disadari bahwa sangat mungkin suatu undang-undang dapat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (Konstitusi). Hak uji materiil Mahkamah Agung merupakan sarana pengendali semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang. Dalam penerapannya gugatan hak uji materiil dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui pemeriksaan tingkat kasasi atau langsung diajukan ke Mahkamah Agung. Kata Kunci: hak uji materiil, konstitusi.
Analisis Yuridis Peran Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Independen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Dennis Robby Hidayat; Philips A. Kana; Riastri Haryani
Krisna Law Vol 2 No 1 (2020): Krisna Law, Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (356.887 KB)

Abstract

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), merupakan suatu lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Bahwa kedudukan, fungsi dan wewenang KPK diatur dalam Bab I dan Bab II Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yaitu Pasal 3, 6, 7 dan 8. Pelaksanaan peran KPK diatur dalam Pasal 11, 12, 13, 14 dan 15 Undang-Undang KPK. Adapun hambatan dalam pemberantasan korupsi adalah hambatan struktural, hambatan kultural, hambatan instrumental dan hambatan manajemen. Kata Kunci: komisi pemberantasan korupsi, independensi, kedudukan, wewenang dan hambatan.
Analisis Yuridis Keterwakilan Perempuan Dalam Pengisian Keanggotaan Parlemen Dalam Perspektif Hukum Tata Negara Indonesia Tanti Setia Ningrum; Philips A. Kana; Riastri Haryani
Krisna Law Vol 2 No 1 (2020): Krisna Law, Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.423 KB)

Abstract

Dalam Pasal 28 H ayat (2) “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, hal ini seharusnya menjadi landasan untuk dijaminnya hak politik perempuan. Namun, seringkali partai politiklah yang mengabaikannya urgensi keterwakilan perempuan di parlemen. Kesadaran terhadap hak perempuan dalam keterwakilannya di parlemen dibangun dalam beberapa ketentuan undang-undang, salah satunya Undang-Undang Partai Politik yang memuat kuota affirmative action keterwakilan perempuan untuk setiap kepengurusan pada tiap tingkatan, pendirian dan pembentukan partai politik yang harus menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Hal ini karena partai politik merupakan mobil bagi perempuan untuk ikut bertarung di arena pemilihan umum yang kemudian mereka yang terpilih akan mewakili suara-suara perempuan di Indonesia. Kata Kunci: partai politik, keterwakilan perempuan, affirmative action, undang-undang partai politik, pemilu 2014.
Eksistensi Kebijakan Daerah yang Demokratis Dalam Sistem Pemerintahan Bersih Bebas dari KKN Riastri Haryani
Justice Voice Vol. 1 No. 1 (2022): Justice Voice
Publisher : Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (201.92 KB) | DOI: 10.37893/jv.v1i1.38

Abstract

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis tentang good governance dan menganalisis sejauh mana implementasi konsep good governance dalam mencapai sistem pemerintahan yang baik. Peneliti menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menggunakan ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang ada dalam menganalisis Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (3) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Hasil penelitian terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Untuk mewujudkan hal tersebut maka menurut Sedarmayanti diperlukan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna dan bertanggung jawab. Implementasi asas umum pemerintahan yang baik (good governance) akuntabilitas dan transparansi dalam pertanggungjawaban dilaksanakan dengan penyampaian informasi laporan penyelenggaraan pemerintah daerah kepada masyarakat.
Aspek Hukum Verifikasi Faktual Partai Politik Peserta Pemilu Riastri Haryani
Begawan Abioso Vol. 13 No. 2 (2022): Begawan Abioso
Publisher : Magister Ilmu Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3863.742 KB) | DOI: 10.37893/abioso.v13i2.189

Abstract

Tujuan dalam penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui pengaturan UU No. 7 Tahun 2017 mengenai verifikasi faktual dapat berjalan dalam pemenuhan syarat partai politik peserta Pemilu. Kedua, untuk menganalisis dampak pemberlakuan verifikasi faktual. Partai politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam setiap Negara yang menerapkan sistem demokrasi. Partai politik memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politik yang sebetulnya menentukan demokrasi, political parties created democracy. Bentuk demokrasi tersebut tertuang dengan diadakannya Pemilu seperti yang akan digelar pada tahun 2019. Seharusnya semua partai politik peserta Pemilu tahun 2019 diverifikasi secara faktual, jika tidak diverifikasi secara faktual, akan menimbulkan diskriminasi di antara partai politik peserta Pemilu tahun 2019 dan akan berimplikasi pada tahapan penyelenggaraan Pemilu tahun 2019. Reformasi pasca orde baru telah menghidupkan kembali demokrasi, pertumbuhan partai politik pada masa ini tidak terhindarkan lagi sebab partai politik merupakan pilar dari demokrasi yang harus ada di dalam suatu Negara modern. Di Indonesia, eksistensi partai politik mulai bergeliat kembali sejak bergulirnya reformasi pada tahun 1998, dimulailah geliat politik di Indonesia yang ditandai dengan munculnya partai-partai politik baru di Indonesia yang mana hal tersebut adalah hal yang tidak mungkin dilakukan pada masa orde baru.
Pelaksanaan Pilkada Serentak: Tinjauan Hukum Tata Negara dan Dampaknya Terhadap Demokrasi di Indonesia Riastri Haryani
SIGn Jurnal Hukum Vol 5 No 1: April - September 2023
Publisher : CV. Social Politic Genius (SIGn)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37276/sjh.v5i1.262

Abstract

This study aims to examine and analyze the execution of Simultaneous Local Elections within the study of constitutional law and its impact on democracy in Indonesia. This study uses normative legal research with the statute and conceptual approaches. The collected legal material is then qualitatively analyzed to describe the problem and answer study purposes. The results show that implementing the 2024 Simultaneous Local Elections presents some crucial impacts on the Local Elections held in 2017, 2018, and 2020. The first impact, related to the 2017 and 2018 Local Elections, involves the ASN as Interim Regional Heads during the transition toward the 2024 Simultaneous Local Elections. However, this provision reflects principles of accountability and continuity of government, which are also critical parts of a democratic system. The second impact, particularly for the 2020 Local Elections, reduces the Regional Head’s term, initially set to serve until 2026. In contrast, legal considerations in Decision Number 18/PUU-XX/2022 decided that reducing the term of Regional Head due to the 2024 Simultaneous Local Elections does not contradict the 1945 Constitution. Therefore, several recommendations can be formulated for relevant parties. First, the appointment process of Interim Regional Heads should be more transparent and involve public consultation where possible. Second, serious consideration should be given to the impact of reduced terms for Regional Heads elected in 2020. Mechanisms should be in place to ensure that the reduction does not adversely affect the quality of governance or disrupt ongoing projects. Finally, the consideration in Decision Number 18/PUU-XX/2022 and the 1945 Constitution should guide all decision-making processes related to the 2024 Simultaneous Local Elections. Thus, a careful, balanced approach is needed in the execution of the 2024 Simultaneous Local Elections to maintain democratic integrity, the rule of law, and public trust.
KARAKTERISTIK SISTEM PARLEMENTER DALAM SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 Riastri Haryani
UNES Law Review Vol. 5 No. 4 (2023): UNES LAW REVIEW (Juni 2023)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v5i4.538

Abstract

Changes to the 1945 Constitution have changed the principle of people's sovereignty which was originally fully implemented by the MPR to be implemented according to the Basic Law. All state institutions in the 1945 Constitution became equal and exercised popular sovereignty within the scope of their respective authorities. Another fairly fundamental change is the shift in the power to form laws from the President to the House of Representatives (DPR), and regarding the functions and rights of the DPR institutions and the rights of DPR members. The objectives of this study are 1). To find out how the Indonesian government system is after the Amandemen of the 1945 Constitution.... 2). To find out the extent of the characteristics of the parliamentary system in the government system in Indonesia after the Amendment of the 1945 Constitution. If at first the members of the MPR had agreed that one of the changes to the 1945 Constitution was to strengthen the Presidential system, then with the changes that had occurred, it turned out that it was suspected of making an excess of power in the people's representatives. Some argue that instead of correcting the power that tends to be executive-heavy, what is created is the extreme legislative power. The format of statehood is like "sissy": The Republic is declared presidential, but the "parliamentarian" spirit is very strong. The government system of the Indonesian Presidency after the amendment of the 1945 Constitution can be interpreted as a presidential system of government with a parliamentary sense.
PEMENUHAN HAK POLITIK PENYANDANG DISABILITAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 Riastri Haryani
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.364

Abstract

Langkah afirmatif ialah metode yang diterapkan oleh sejumlah besar orang untuk memberikan perlakuan yang setara terhadap individu dengan disabilitas, sehingga mereka dapat menjadi anggota legislatif yang sama dengan masyarakat umum. Undang-Undang menetapkan bahwa hak untuk dipilih dalam jabatan publik adalah hak yang sama bagi individu dengan disabilitas. Memberikan perlakuan khusus terhadap orang dengan disabilitas merupakan hal yang diperlukan mengingat bahwa mereka adalah minoritas yang terpinggirkan, namun pada saat yang sama, konstitusi menjamin hak-hak mereka.. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normative yang bersifat deskriptif analitis. Sangat penting untuk meningkatkan peran penyandang disabilitas agar mereka dapat memiliki bagian yang jelas dalam kehidupan dan undang-undang yang dibuat harus sedikit banyak memberikan perlindungan bagi mereka sebagai minoritas. Diperlukan penambahan Undang-Undang yang memastikan hak politik penyandang disabilitas dalam pembagian jatah kursi anggota legislatif sehingga keikutsertaan mereka dalam jajaran legislator dapat menciptakan peraturan yang pro-disabilitas.
PEMENUHAN HAK POLITIK PENYANDANG DISABILITAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 Riastri Haryani
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): Unes Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.364

Abstract

Langkah afirmatif ialah metode yang diterapkan oleh sejumlah besar orang untuk memberikan perlakuan yang setara terhadap individu dengan disabilitas, sehingga mereka dapat menjadi anggota legislatif yang sama dengan masyarakat umum. Undang-Undang menetapkan bahwa hak untuk dipilih dalam jabatan publik adalah hak yang sama bagi individu dengan disabilitas. Memberikan perlakuan khusus terhadap orang dengan disabilitas merupakan hal yang diperlukan mengingat bahwa mereka adalah minoritas yang terpinggirkan, namun pada saat yang sama, konstitusi menjamin hak-hak mereka.. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normative yang bersifat deskriptif analitis. Sangat penting untuk meningkatkan peran penyandang disabilitas agar mereka dapat memiliki bagian yang jelas dalam kehidupan dan undang-undang yang dibuat harus sedikit banyak memberikan perlindungan bagi mereka sebagai minoritas. Diperlukan penambahan Undang-Undang yang memastikan hak politik penyandang disabilitas dalam pembagian jatah kursi anggota legislatif sehingga keikutsertaan mereka dalam jajaran legislator dapat menciptakan peraturan yang pro-disabilitas.
Konsepsi dan Sistem Pengujian Peraturan Perundang-Undangan oleh Mahkamah Agung Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Riastri Haryani
Binamulia Hukum Vol. 6 No. 2 (2017): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v6i2.287

Abstract

Secara konsepsi persoalan hak uji materiil dan lembaga yang berwenang melakukan hak uji materiil telah diawali sejak proses pembentukan UUD 1945 oleh para founding fathers, saat merumuskan rancangan Undang-Undang Dasar tanggal 11 Juli 1945 sampai tanggal 13 Juli 1945. Menurut UUD 1945, yang memiliki pengujian peraturan perundang-undangan hanya 2 lembaga yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kedua lembaga ini memuat konstruksi Undang-Undang Dasar 1945 setelah diamendemen merupakan pilar-pilar pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Di dalam ilmu hukum ada asas bahwa setiap peraturan perundang-undangan apapun bentuknya harus sesuai, tidak bertentangan, dan melaksanakan konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Peraturan perundang-undangan yang derajatnya berada di bawah konstitusi tidak boleh mengatur materi muatan konstitusi, apalagi menyimpangnya. Undang-Undang Dasar 1945 dianggap sebagai hukum yang tertinggi yang lebih bersifat mengikat daripada undang-undang biasa. Dengan dasar itu undang-undang tidak termasuk peraturan yang dapat diuji materiil oleh Mahkamah Agung. Meskipun disadari bahwa sangat mungkin suatu undang-undang dapat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (Konstitusi). Hak uji materiil Mahkamah Agung merupakan sarana pengendali semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang. Dalam penerapannya gugatan hak uji materiil dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui pemeriksaan tingkat kasasi atau langsung diajukan ke Mahkamah Agung.