Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

DESIGNING TEXTILE WASTE SHREDDER MACHINE FOR CONTINOUS PRODUCT Mokh Afifuddin; Dedy Harianto; Sugiyarto Sugiyarto; Yulius Sarjono Eddy; Bambang Yulianto; Ahmad Darmawi
Journal of Industrial Engineering Management Vol 6, No 1 (2021): Journal of Industrial Engineering Management Vol. 6 No. 1
Publisher : Center for Study and Journal Management FTI UMI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33536/jiem.v6i1.736

Abstract

The textile and textile products industry is one of the mainstay commodities of the manufacturing industry as well as a driving force for national economic development. Like any production process, the textile manufacturing process also produces waste or residual substances called textile waste. Likewise the impact of the activities of garment, tailor, fashion, apparel and convection, one of which is patchwork waste. If the patchwork waste is not handled properly, it will result in waste generation which will have an impact on pollution in the environment. Lack of tools that can treat textile waste, resulting in less optimal handling of textile waste. This research is trying to make a design of a cloth chopping machine that is used to crush the remains of large rags into small pieces of cloth. Thus the packaging of fabric waste is easier and more efficient, besides that it can also be used as raw material for other products so that it can reduce fabric waste that pollutes the environment. In developing the model and design of a textile waste chopping machine, this chopping machine will cut the patchwork which can be sized according to your wishes. It is hoped that the results of this research will contribute to the development, advancement and appropriate technology. The design of this textile fabric waste chopper will provide a practical solution and zero waste process in a textile and garment industry.
Penyelesaian Mechanical Fault di Mesin Ring Spinning dengan Pendekatan Pareto Diagram dan Fishbone Fajar Pitarsi Dharma; Hamdan S. Bintang; Hendri Pujianto; Bambang Yulianto; Irma Prawidana
Proceeding Mercu Buana Conference on Industrial Engineering Vol 4 (2022): RENEWABLE ENERGY TOWARD SUSTAINABILITY OF SUPPLY CHAINS IN THE I4.0 ERA
Publisher : Universitas Mercu Buana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Proses Pemintalan benang menurut pembuatannya bisa dibagi menjadi tiga, diantaranya adalah pemintalan Airjet, pemintalan Open-End, dan pemintalan Ring Spinning (Goyal & Nayak, 2019). Didalam industri pemintalan pengendalian kualitas dan standar produksi adalah salah satu hal yang tidak bisa terpisahkan dan sangat penting untuk menghasilkan benang yang memiliki mutu tinggi sesuai dengan keinginan konsumen (Dharma, Ikatrinasari, et al., 2019). Untuk mengetahui kualitas ketidakrataan benang TR Ne 30 KT 65/35 dapat dilihat dengan menggunakan alat uji bernama uster evenness tester. Hasil Uster Evenness Tester (J. Li et al., n.d.; Liu et al., 2012) antara hasil benang yang bottom apronnya normal,  bottom apron yang sobek, serta bottom apron yang bolong menunjukkan perbedaan IPI antara ketiganya. Perbandingan kualitas standar benang antara bottom apron yang normal dan bottom apron yang sobek maupun bolong kemudian dapat disimpulkan bahwa dengan bottom apron normal, kualitas unevenness (9,44%) lebih bagus dibandingkan dengan standar kualitas U% (9,5%), sedangkan untuk hasil pengujian unevenness dengan bottom apron bolong dan sobek secara berturut-turut adalah 9,68% dan 9,64%, dengan hasil tersebut, bahwa bottom apron sobek dan bottom apron bolong tidak boleh dipakai dan harus segera diganti karena akan menjadikan U% tidak standar. Ketidakrataan benang yang memiliki faktor dominan ada pada bottom apron cacat yang dapat sangat berpengaruh pada kualitas IPI yang tidak sesuai dengan standar yang sudah ditentukan. Sehingga pada bottom apron tersebut perlu diperhatikan dan diberikan perawatan sesuai dengan jadwal yang sudah ada atau dilakukan penggantian jika sebelum jadwal scouring terjadi bottom apron tersebut sudah rusak dan diganti dengan yang sudah dicuci. Penyebab dari bottom apron yang rusak adalah karena seringnya Lapping dan karena usia apron sudah mencapai batas maksimalnya. Penyelesaian untuk permasalahan ketidakrataan benang yang disebabkan oleh bottom apron yang rusak adalah dengan cara mengganti yang baru.
Identifkasi Bahaya dan Analisa Risko Menggunakan Metode HIRARC dalam Upaya Mencegah Kecelakaan Kerja di Mesin Spinning (Studi Kasus: Workshop Spinning AK-Tekstil Solo) Mokh Afifuddin; Hamdan S Bintang; Bambang Yulianto
Majalah Teknik Industri Vol 27 No 1 (2019): Majalah Teknik Industri Juni 2019
Publisher : Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (UPPM) Politeknik ATI Makassar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Setiap pekerjaan selalu mengandung potensi risiko bahaya, baik itu berbentuk kecelakaan atau penyakit yang disebabkan pekerjaan tersebut. Besarnya potensi risiko tergantung dari jenis tata ruang dan lingkungan bangunan serta kualitas manajemen dan tenaga-tenaga pelaksana. Upaya pencegahan kecelakaan kerja dapat direncanakan, dilakukan dan dipantau dengan melakukan studi karakteristik tentang kecelakaan agar uapaya pencegahan dan penanggulanganya dapat dipilih melalui pendekatan yang paling tepat. Penelitian kali ini akan mengidentifikasi potensi-potensi bahaya dan menganalisa risiko serta upaya pengendaliannya pada workshop spinning di AK-Tekstil Solo dalam upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Studi yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan metode HIRARC untuk menganalisa dan mengidentifikasi potensi bahaya serta risiko yang dapat terjadi dalam melaksanakan aktifitas kerja di workshop spinning. Hasil identifikasi risiko keselamatan kerja pada bagian mesin spinning digolongkan berdasarkan jenis bahaya keselamatan kerja yaitu bahaya mekanis, bahaya listrik dan bahaya fisik. Potensi bahaya yang terdapat pada aktifitas mesin spinning yaitu terdapat aktiftas dengan tingkat risiko medium. Selain itu juga terdapat 4 ketegori bahaya yang terdapat pada lingkungan workshop yang memiliki risiko rendah namun tingkat kemungkinan terjadinya sangat tinggi shingga akan menimbulkan dampak yang fatal. Pengendalian untuk potensi bahaya ini adalah dengan pemakaian APD (Alat Pelindung Diri) pada saat bekerja.
Pengaruh Ambrolnya Roving Pada Cup flyer Terhadap Kualitas dan Produktivitas Roving di Mesin Speed frame Type JWF 1415 Saat Terjadi Trip Pada Departemen Spinning 9 Bambang Yulianto; Fajar Pitarsi Dharma; Kaffila Karunia Shahara
Jurnal Tekstil Vol 5 No 2 (2022)
Publisher : Akademi Komunitas Industri Tekstil Dan Produk Tekstil Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59432/jute.v5i2.41

Abstract

PT X adalah perusahaan yang bergerak di bidang tekstil dengan memproduksi benang, kain, dan pakaian jadi yang bertempat di Sukoharjo, Jawa Tengah. Spinning 9 adalah departemen yang memproduksi benang 100% rayon carded. Dimana salah satunya melalui mesin speed frame yang terkadang terjadi problem elektrik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa penyebab roving ambrol saat trip, untuk mengetahui perbandingan kualitas roving normal dengan roving ambrol, bagaimana cara penanganan roving ambrol dan bagaimana cara mengatasi agar mesin speed frame tidak ambrol. Metode penelitian ini menggunakan why-why analysis untuk menentukan root cause dari masalah dan penyelesaiannya. Hasil penelitian ini yaitu penyebabnya dikarenakan UPS (Uninterruptible Power Supply) yang lemah sehingga tidak bisa menyimpan daya, seharusnya saat trip UPS bisa memberikan sedikit putaran agar roving tidak ambrol. Kemudian untuk kualitas antara roving ambrol dengan roving normal menunjukan bahwa kualitas masih sesuai dengan standar. Untuk penanganan roving ambrol ada dua kemungkinan yaitu roving gulungan kecil (counter 100-200) akan diseset dan diolah kembali di mesin RWO (Roving Waste Opener), kemudian roving gulungan besar (counter >500) akan di doffing dan dilanjutkan ke mesin ring frame bagian cikalan. Dapat disimpulkan bahwa penyebab roving ambrol saat trip yaitu UPS lemah karena masa kapasitor, untuk itu perusahaan harus membuat jadwal perawatan pada UPS. Roving yang ambrol saat trip tidak berpengaruh terhadap kualitas melainkan mempengaruhi efisiensi produksi, sehingga efisiensi produksi mengalami penurunan yang seharusnya 80% menjadi 76%
Optimum Splice Thickness Ratio Splicer of a Winding Machine to PE20KT Thread Splicing Quality Hendri Pujianto; Bambang Yulianto; Hamdan S Bintang; Dinda Amelia Pramesti
Sainteks: Jurnal Sain dan Teknik Vol 5 No 2 (2023): September
Publisher : Universitas Insan Cendekia Mandiri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37577/sainteks.v5i2.605

Abstract

Winding machines are needed after the spinning process on ring-spinning machines because small packages of spinnerets are mostly not suitable for efficiently carrying out subsequent processes such as weaving and knitting. The splicer is independently actuated to optimize splicing cycles. PT Delta Dunia Tekstil II (DDT 2) is a company operating in the spinning industry, with the CD line producing 100% polyester yarn, which is used to make fabric in the knitting process. Based on observations, thread defects occur, such as loops and holes in the knitted fabric, because the thread splices resulting from the winding process are brittle and thin. Experiments on setting joint thickness parameters on splicer adjustment indicators 1–5 with a ratio of 0.25 were carried out. After carrying out the experiment, 3 ratios were obtained for sampling visual tests and joint strength, namely a ratio of 2.5, 2.75, and 3. Observing and calculating the splice strength of the three splicer ratios sampled, it was found that the ratio of parameter 3 in the splicer was visually very good and consistent. Strange results also meet the standard, of 92.37%. The optimal splicer ratio setting that can be used for the Carded 20 KT production process is setting the splicer ratio with a splice thickness parameter of 3.