This Author published in this journals
All Journal Undang: Jurnal Hukum
Dri Santoso
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Metro

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

Pemikiran Hukum Islam Abdurrahman Wahid: Harmonisasi Islam dan Budaya Imam Mustofa; Ahmad Syarifudin; Dri Santoso
Undang: Jurnal Hukum Vol 4 No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.4.2.507-535

Abstract

This article discusses Islamic legal thought of Abdurrahman Wahid. According to this article, Wahid’s fiqh used the contemporary knowledge system as a core paradigm. Wahid used a concept called Pribumisasi Islam to try to unify the cultures where Islam arrived and lived. He attempted to contextualize nash and issue in Indonesia using the pribumisasi Islam idea. Wahid’s fiqh did not modify the nash; rather, it refined and expanded its application, contextualized Islam, and harmonized it within the times to meet the needs of society. Wahid refused to formalize Islamic law in Indonesia in its application. Aside from historical reasons, he claimed that Islam has a universal component that has contributed to the development of human values. Formalizing Islamic law in a multicultural and pluralistic country goes against the universality of Islamic teaching. Furthermore, the formulation of Islamic law based on conventional sources is partially irrelevant in this day. Wahid tended to apply Islamic values to everyday life rather than displaying Islam through numerous symbols. Abstrak Artikel ini membahas pemikiran hukum Islam Abdurrahman Wahid. Penggalian terhadap pemikiran hukum Islam Wahid menemukan bahwa fikih Wahid menggunakan sistem pengetahuan modern sebagai basis paradigma. Wahid mengharmonisasikan antara Islam dan adat di mana Islam datang dan tinggal, konsep yang kemudian dinamakan dengan Pribumisasi Islam. Di dalam Pribumisasi Islam, Wahid menjadikan pemahaman terhadap nash dikontekstualisasikan dengan masalah yang ada di Indonesia. Fikih Wahid tidak mengubah nash, melainkan mengubah dan mengembangkan pengaplikasiannya saja, menginterpretasikan Islam secara kontekstual dan menyelaraskan dengan perkembangan zaman sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam penerapannya, Wahid menolak formalisasi hukum Islam di Indonesia. Wahid mendasarkan pada pertimbangan historis di mana para pendiri bangsa saat itu menyepakati untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai negara teokratis, dan karena Islam memiliki dimensi universalisme yang telah memberi sumbangsih dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan. Memformalisasikan hukum Islam di dalam negara yang multikultur dan plural tidak sejalan dengan sifat universalitas ajaran Islam. Alasan yang lain, formulasi hukum Islam dalam kitab-kitab klasik sebagian tidak relevan untuk diterapkan pada saat ini, bila coba untuk diaplikasikan tidak menutup kemungkinan justru akan melahirkan masalah-masalah baru. Wahid lebih condong untuk menerapkan Islam secara substantif ketimbang memamerkan Islam melalui beragam simbol.