Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

MENCERMATI ARAH PENDIDIKAN INDONESIA Sri Mujiarti Ulfah
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 1 No. 2 (2012): (8)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (128.471 KB)

Abstract

Pendidikan bukan lagi untuk semua orang, namun kini telah mengarah hanya untuk sekelompok orang yang memiliki ?kantongtebal?. Adagiomyangmengatakan?orang miskin dilarang sekolah? juga menjadi jargon yang sering kita dengar dan semakin nyaring ketika memasuki tahun ajaranbaru. Masuk ke perguruan tinggi pun seakan menjadi mimpi bagi banyak orang, bahkan tak jarang kita temukan fakta mahasiswa karena keterbatasan biaya terpaksa harus berhenti kuliah. Bahkan yang paling memprihatinkan bagaimana cerita sedih si anak pintar, dengan hati berbunga-bunga karena telah dinyatakan lulus seleksi di perguruan tinggi bergengsi di Indonesia dia melakukan daftar ulang namun apa mau dikata pihak perguruan tinggi bergengsi tersebut meminta uang untuk biaya gedung, sedangkan si anak pintar tadi bersama ibunya tidak memiliki uang sebesar itu, pada akhirnya semua keinginanya untuk kuliah diperguruan tinggi bergengsi di Indonesia itupun pudar. Ironismemang. Sekelumit cerita diatas belum menggambarkan bagaimana output pendidikan bangsa ini. Kita berbangga hati ketika ada sebagian generasi kita memiliki prestasi baik dibidang saints, tekhnologi, dll, atau kalau standarnya adalah banyaknya medali olimpiada ilmiah yang kita raih maka kita tetap berbangga. Namun, semua itu jauh lebih sedikit dibangding bagaimana gambaran generasi kita saat ini. Sek bebas, narkoba, mabuk-mabukan, tawuran, berani dengan orang tua, atau ketika dia bekerja perilaku korupsi dan suap menyuap menjadi hal yang biasa. semua hal itu menambah miris hati kita, akan kita bawa kemana bangsa ini dengan kondisi generasi yang  untuk menentukan masa depannya pun dia tidak mampu? Namun pertanyaan lebih keras tertuju kepada pemeritah sebagai pihak yang memiliki otoritas dalam memegang kendali pendidikan, kemana arah pendidikanindonesia? Tulisan ini akan mencoba menganalisis untuk menjawab kemana arah pendidikanIndonesia. Komodifikasipendidikan   Gambaran dunia pendidikan kita saat ini sungguh menyedihkan, sebagaimana dituturkan oleh Hanif Saha Ghafur, pengajar UI yang juga penasihat Menteri Pendidikan Nasional (Special   Advisor for the Minister), mengatakan bahwa akses masyarakat terhadap perguruan  tinggi rendah. Pada 2010, hanya 17% yang diterima masuk PTN. Selebihnya, kelas menengah-atas. Tragisnya, persentase itu terus turun menjadi 15%-16%1. Lebih ironis lagi apa yang di gambarkan oleh Darmaningtyas, pakar pendidikan dari Perguruan Tinggi Taman Siswa Yogyakarta, malah melihat kondisi sesungguhnya jauh lebih parah. Menurutnya, jumlah golongan miskin di PTN dan perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) tahun 2010 tinggal 4%saja2. Rendahnya akses masyarakat untuk melanjutkan pada jenjang lebih tinggi lebih disebabkan karena biaya pendidikan yang tidak terjangkau. Tak dapat dipungkiri bahwa konsep privatisasi PT BHMN merupakan penyebab mahalnya pendidikan di negarakita3.   Berubahnya manajemen perguruan tinggi menjadi otonomi berawal dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pada tahun 2000 pemerintah menetapkan status BHMN pada empat PTN yang dipandang siap yaitu Universitas Indonesia dengan PP No. 152/2000. Universitas Gadjah Mada PP.No. 153/2000. IPB menjadi BHMN dengan dikeluarannya PP No.154/2000. Menyusul ITB dengan PP. No. 155/2000 menjadi BHMN. Beberapa tahun kemudian menyusul Universitas Sumatera Utara menjadi BHMN dengan PP.No.56/2003. Universitas Pendidikan indonesia menjadi BHMN dengan PP.No 6 tahun2004. Dan UNAIR menjadi BHMN dengan PP.No.30 tahun2006.   Kemudian, tanggal 17 Desember 2008, melalui jalan yang cukup panjang, yang diwarnai pro dan kontra, DPR RI tetap mensahkan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Keberadaan pihak yang pro dan kontra terhadap pengesahan UU BHP karena di satu sisi kehadiran UU BHP dianggap merupakan pencerahan bagi dunia pendidikan, sekaligus dijadikan sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan formal di Indonesia. Namun, di sisi  lain justru kehadiran UU BHP dianggap sebagai bentuk kapitalisasi dunia pendidikan, yang berdampak pada liberalisasi penyelenggaraan pendidikan, dan sebagai jalan lepas tangannya pemerintah terhadap dunia pendidikan sedikit demisedikit.   1Sudarmadi. Menata Ulang Manajemen Perguruan Tinggi.2011 2ibid 3ibid   Konsekuensi Perguruan Tinggi BHMN menyebabkan mahalnya biaya pendidikan tinggi sehingga semakin tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Kondisi ini berlanjut dengan diajukannya tuntutan judicial review terhadap UU BHP ke Mahkamah Konstitusi oleh sekelompok masyarakat. Hasil judicial review dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 dinyatakan bahwa UU BHP tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Alasan yan diberikan MK adalah bahwa UU BHP bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan agar pemerintah dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh masyarakat, pertama karena secara yuridis UU BHP tidak sejalan dengan UU lainnya dan subtansi yang saling bertabrakan, kedua UU BHP tidak memberikan dampak apapun terhadap peningkatan kualitas peserta didik dan ketiga UU BHP melakukan penyeragaman terhadap nilai-nilai kebhinekaan yang dimiliki oleh badan hukum pendidikan yang telah berdiri lama di Indonesia, seperti yayasan, perkumpulan, badan wakaf danlain-lain.   Lahirnya UU BHP merupakan bagian dari amanat UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, hal ini dikemukakan pada Pasal 53 UU Sisdiknas yang memerintahkan agar penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 53 Ayat (4) UU Sisdiknas memerintahkan  agar ketentuan tentang badan hukum pendidikan ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. UU BHP  yang telah  disahkan  merupakan  sebuah  konsep  yang sudah 36  kali  direvisidimulai sejak tahun 2003 dan baru di jadikan UU setelah 36 kali revisi di tahun2008.4   MenurutProf.Dr.Jimly Asshiddiqie, ?penerapanBHMNsamadengangejalakapitalis pendidkan    yang    memberatkan    mahasiswa   dan   stakeholder?.5                                                                                             Sedangkan  menurut Darmaningtyas,pengurusMajelisLuhurTamansiswa Yogyakarta,mengatakan?Karenadiprivatisasi dalam bentuk PT BHMN, mereka lalu ingin cari untung karena berpikir bantuan pemerintah  sewaktu-waktu  dapat  distop.  BHMN berpikir  cari dana  abadi  sehingga bayarnya mahal,?. Menurut Ichlasul Amal, guru besar di UGM, Perubahan besar terjadi setelah beberapa lembagapendidikanmenyandangstatusBHMNmulai2003.Statusinimembuatmanajemen   4Aryos Nivada.potensi bahaya laten UU BHP. http://www.achehpress.com/2009.diakses tgl 31 januari2012   5Edwin Tirani. Kelola Uang Di Universitas Idealnya BLU http://www.media-indonesia.com/Rabu, 28/3/ 2007. Diaksestgl 1/2/2012   lembaga PT harus kreatif menggali dana dari calon mahasiswa berhubung pasokan dari pemerintah terhitung minim. Apalagi, dengan status BHMN mereka diberi keleluasan melakukan seleksi mahasiswa sendiri. Tak mengherankan, manajemen PT pun kemudian membuat kebijakan menyaring mahasiswa plus-plus: pintar secara akademis dan mampu di sisi   finansial. ?Kesalahanberada di pihak pemerintahyangmenerapkankebijakanBHMN,bukan pada PT-nya,?.6   Di banyak PTN, untuk masuk fakultas kedokteran tetap harus membayar uang pangkal di atas Rp 100 juta dan untuk jurusanekonomi-bisnis sekitarRp 50 juta.?Itumembuat masyarakat bingung karena seleksinya bersama tapi uang masuknya berbeda-beda, tergantung tingkat penghasilan orang tua. Apa bedanya dengan masuk ujian mandiri?? ujarDarmaningtyas.   Harus diakui, kebijakan BHMN di tahun-tahun lalu telah membawa dampak komersialisasi PTN dalam skala massif. Betapa tidak, memang awalnya hanya beberapa perguruan tinggi yang menentukan uang pangkal dan biaya kuliah dengan nilai tinggi. Namun, tanpa disadari para pembuat kebijakan, apa yang dilakukan sejumlah BHMN diam-diam telah menciptakan standar pasar baru yang kemudian diikuti perguruan tinggi lain, baik yang negeri maupunswasta.   Tentu ini sebuah ironi. Betapapun akses pendidikan tinggi harus diperluas karena merupakan pilar kemajuan bangsa ke depan. Bila komersialisasi pendidikan terus berlangsung dan warga miskin makin terpinggirkan, Indonesia diprediksi akan kehilangan SDM unggul dalam jumlah besar di masa depan. Kondisi yang tragis mengingat akses pendidikan tinggi di Indonesia masih rendah. Dari 237 juta penduduk RI, baru 5,2 juta orang yang mampukuliah.   Memang tak tidak dapat dipungkiri bahwa untuk biaya operasional pengelolaan pendidikan mahal, ditambah dengan riset yang harus dilakukan. Menurut Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Rohmat Wahab, biaya operasional pendidikan untuk mahasiswa prodi IPS berkisar 22 juta per tahun dan untuk prodi IPA 26 juta-28 juta per tahun (Kompas,11/7)   Memang anggaran untuk fungsi pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN yang tahun ini sebesar 248 triliun (20,2 % APBN). Dari jumlah itu, 158 triliun (60%) ditransfer ke daerah. Hanya 89 triliun  yang dikelola pemerintah pusat  yang disebar untuk  18  kementerian/lembaga. 6 Rachmanto Aris D. Menata ulang manajemen perguruan tinggi/http://swa.co.id/2011/10/ diakses tgl31/1/2012   Yang dikelola Kemdiknas sendiri hanya 55 triliun yang dibagi untuk program pendidikan dasar 12,7 triliun (23%), pendidikan menengah 5 triliun (9,1%), dan pendidikan tinggi 28,8 triliun (51,9%). Anggaran Dikti (pendidikan tinggi) itu termasuk di dalamnya PNBP (penerimaan negara bukan pajak), sehingga terlihat sangat besar. Dan semua jumlah itu sebagian besarnya untuk gaji guru dandosen.   Latarbelakang liberalisasiPendidikan   Di negara-negara kapitalis besar, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, pendidikan merupakan penyangga peradaban mereka secara fundamental, sekaligus merupakan lahan  industri strategis yang menjadi bagian dari dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara bersangkutan. Di negara-negara itu, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat seperti industri jasa danperdaganganyanglain.AdalahAmerikaSerikatditahun60-an,melakukanpenelitiandan hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa investasi dalam dunia pendidikan jauh lebih menguntungkan dibandingkan investasi di bidang saham.7 Dengan dana tidak kurang dari 6 milyar dolar, AS lalu membiayai penelitian terapan (applied research) dalam bidang pendidikan. Hasilnya adalah Amerika Serikat memiliki sebuah sistem pendidikan yang pragmatis dan berorientasi pasar, yang meniscayakan standarisasi semua bidang ilmu terhadap kebutuhan industri. Akhirnya mulai tahun 70-an hingga sekarang, Amerika Serikat menjadi kiblat pendidikan didunia.8   Indonesia sendiri mulai mengikatkan diri dalam WTO sejak tahun 1994. Dengan diterbitkanya Undang-Undang No.7 Tahun 1994 tentangpengesahan(ratifikasi)?Agreement Establising the World Trade Organization?, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak bisa menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Kesepakatan ini dimotori oleh WTO, dimana pada tahun 2005 melalui General Agreement on Trade in Services (GATS) Indonesia  sepakat  untuk  menandatangani  kesepakatan  tersebut.  GATS  mengaturliberalisasi       7Prof. Abuddin Nata, Pendidikan di Persimpangan Jalan,2009 8Rum Rosyid, Perselingkuhan Dunia Pendidikan dan Kepentingan Kapitalis,2010   perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, serta jasa-jasalainnya9.   Logika perdagangan jasa pendidikan, sebagaimana diutarakan oleh Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Sofian Effendi mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom dalam membagi kegiatan usaha dalam masyarakat. Ilmu ekonomi membagi 3 sektor kegiatan usaha dalam masyarakat. Pertama adalah sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian. Kedua, sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Dan ketiga, sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satuindustrisektortersier,karenakgiatanpokoknyaadalahmentransformasiorangyangtidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyaiketerampilan10.   Kontribusi sektor tersier terhadap produk nasional suatu bangsa memang cenderung meningkat seiring dengan kemajuan pembangunan bangsa tersebut. Sejak 1980-an di negara-negara maju, perdagangan jasa tumbuh pesat dan telah memberikan sumbangan yang besar pada produk domestik bruto (PDB), lebih besar dibandingkan dengan sector primer dan sekunder. Tiga negara yang paling mendapaatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat, Inggeris dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hh 104-105). Pada 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 milyar atau Rp. 126 trilyun. Di Inggeris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai sekitar 4 persen dari peneimaan sector jasa negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Exports mengungkapkan bahwa pada 1994 sector jasa telah menyumbangkan 70 persen pada PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekpor total negara Kangguru tersebut, Sebuah survey yang diadakan pada 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekpornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan.Ekpor   9 Dani Setiawan, Liberalisasi Pendidikan danWTO. 10 Prof.Dr.SofianEffendi,StrategiMenghadapiLiberalisasiPendidikanTinggi.2005   jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan AUS $ 1,2 milyar pada 1993. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melaluiWTO11.   Inilah pangkal masalah mahalnya biaya pendidikan itu. Yaitu negara ini  menggunakan paradigma kapitalisme dalam mengurusi kepentingan dan urusan rakyat termasuk pendidikan. Ideologi Kapitalisme memandang bahwa pengurusan rakyat oleh Pemerintah berbasis pada sistem pasar (market based system). Artinya, Pemerintah hanya menjamin berjalannya sistem pasar itu, bukan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Dalam pendidikan, Pemerintah hanya menjamin ketersediaan sekolah/PT bagi masyarakat; tidak peduli apakah biaya pendidikannya terjangkau atau tidak oleh masyarakat. Pemerintah akan memberikan izin kepada siapa pun untuk mendirikan sekolah/PT termasuk para investor asing. Anggota masyarakat yang mampu dapat memilih sekolah berkualitas dengan biaya mahal. Yang kurang mampu bisa memilih sekolah yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah. Yang tidak mampu dipersilakan untuk tidakbersekolah.   Jelas, kekhawatiran masyarakat mengenai kian mengentalnya paham neoliberalisme dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi bukan tanpa alasan. Bahkan pemikir-pemikir pendidikan di Amerika-negara asal kelahiran mazhab neoli-beralisme-sekalipun juga risau atas praktik pendidikan tinggi yang berazas pada ideologi kapitalisme pasar bebas yang menjelma dalam mazhab neoliberalisme itu. Seorang pemikir critical pedagogy, Henry Giroux, menyebut neoliberalisme telah meneror ruang-ruang publik ketika lembaga pendidikan tinggi berpraktik menyerupai korporasi yang bersifat dominatif, eksploitatif, danhegemonik.   Proyek komersialisasi sekolah yang sedang berjalan sekarang sangat mungkin mencerminkan kesulitan, bahkan kegagalan pendidikan dalam melepaskan diri dari jerat kapitalisasi. Jerat kapitalisasi pendidikan, menurut Darmaningtyas (2005), menjadikan pendidikan harus 'menyembah' kepada aturan main pasar, sehingga kebijakan dunia pendidikan bukan lagi berorientasi kepada pencerdasan dan pemanusiaan manusia, tetapi justru menjadi ajang  mengeruk keuntunganfinansial.       11idem   bila sekadar terobsesi oleh motif ekonomi semata, perguruan tinggi akan cenderung  mengabaikan fungsi utama sebagai lembaga produsen ilmu pengetahuan, pelopor inovasi teknologi, serta pusat eksperimentasi dan observatorium bagi penemuan-penemuanbaru. Skema pembiayaan pendidikangratis Pada tahun 2007 terdapat kesepakatan antara Pemerintah dan DPR tentang danaanggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 51,3 trilyun (hanya 10,3 % dari total APBN), angka itu sedikit naik dari tahun 2006 yang sebesar Rp. 36,7 trilyun (9,1 % dari total APBN). Sepanjang tahun 2006 s/d 2009 alokasi anggaran pendidikan sebesar 210 trilyun, dimana angka tersebut jauh lebih sedikit dibanding beban pembayaran utang luarnegri. Alokasi pembayaran bunga utang dalam negri sebesar Rp. 38,84 trilyun, bunga utang luar negri Rp. 25,14 trilyun, cicilan pokok utang luar negri sebesar Rp. 46,84 trilyun. Jika ditotal, maka pembayaran utang luar negri telah menghabiskan 25,10 % dari total belanja negara yang berjumlah Rp. 441,61 trilyun, yang berarti juga memboroskan pendapatan negara sebesar 29,33%. Indonesia memiliki potensi besar untuk bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dengan melihat letak geografis Indonesia sangat menguntungkan, karena kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa kaya. Lihat saja pendapatan dari berbagai industri pertambangan asing di Indonesia seperti Exxon Mobil pada tahun 2007 berdasarkan laporannya, yang mencapai angka $ 40,6 Billion atau Rp3.723 trilyun serta Chevron ditahun 2007 mampu memperoleh keuntungan sampai $ 18,7 Billion atau Rp 171 trilliyun. Demikian pula dengan 137 pertambangan asing lainnya di Indonesia yang juga mengeruk keuntungan di negri berlahan subur ini. Bandingkan dengan keuntungan pemerintah dari hasil tambang yang telah dijual ke asing, tidak pernah menembus angka 3%. Tidak seharusnya negeri ini miskin, karena sama sekali tidak memiliki alasan untukitu.
MEMBANGUN BIROKRASI ANTI KORUPSI SRI MUJIARTI ULFAH
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 3 No. 2 (2014): (8)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (119.765 KB)

Abstract

Korupsi menjadi masalah serius negeri ini, jika tidak dtuntaskan sampai keakar masalah akan mengakibatkan krisis kepercayaan yang akut terhadap pemerintah. Birokrasi yang bersih dan baik menjadi idaman masyarakat. Berbagai langkah reformasi birokrasi pun dilakukan seperti implementasi Teori Good Governance, yang dipertegas dengan lahirnya Reinventing Governmant bahkan New public manajement namun sampai saat ini tidak memperlihatkan progress yang signifikan, salah satunya adalah struktur birokrasi kita masih sangat gemuk sehingga mengakibatkan tidak hanya korupsi namun juga membawa efek lain yang  merugikan masyarakat seperti birokrasi yang tidak produktif, tidak efisien, rendah kualitas, miskin inovasi dan kreativitas. Dengan berbagai kondisi itulah Islam mampu menjawab permasalahantersebut.
IMPLEMENTASI PROGRAM KELUARGA HARAPAN Sri Mujiarti Ulfah; Puput Ratnasari
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 4 No. 1 (2015): (7)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (86.81 KB)

Abstract

Program Keluarga Harapan merupakan program yang diadopsi pemerintah dari negara-negara Amerika Latin yang terlebih dahulu telah menjalankan program ini. Sasaran Program ini adalah keluarga sangat miskin dengan pertimbangan bahwa keluarga adalah satu unit yang  relevan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Orang tua mempunyai tanggungjawab terhadap pendidikan, kesehatan,  kesejahtaraan, dan masa depan anak. Oleh karenanya, keluarga adalah unit yang relevan dalam upaya memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Teori Kebijakan Publik yang digunakan adalah teori implementasi implementasi kebijakan dengan pendekatan top-down. yang dirumuskan oleh Donald Van metter dan Carl Van Horn disebut dengan A model of the policyimplementation. Pendekatan penelitian dengan menggunakan model penelitian kualitatif, wawancara mendalam dengan key informan (informan Kunci), pejabat di tingkat Kecamatan Sebangau dan beberapa Kelurahan dan pendamping di kecamatan Sebangau. selain itu, wawancara juga dilakukan kepada masyarakat penerima sasaran dan masyarakat yang tidak mendapatkan bantuanPKH. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa masih terdapat ketidaktepatan sasaran, dimana keluarga yang cukup mapan bisa  menerima program ini sedangkan yang sangat miskin tidak mendapatkan program ini. Selain itu, permasalahan standar miskin yang dgunakan BPS juga menjadimasalah.
AGENDA REFORMASI BIROKRASI UNTUK MEMBEBASKAN BUDAYA PUNGUTAN LIAR Sri Mujiarti Ulfah
Journal Ilmu Sosial, Politik, dan Ilmu Pemerintahan Vol. 6 No. 2 (2017): (7)
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (252.634 KB)

Abstract

Pungutan liar merupakan budaya buruk namun telah lama ada dan tetap dipraktikkan meskipun agenda reformasi birokrasi merupakan program prioritas pemerintah pasca orde baru.  Praktik pungutan liar ini menambah daftar panjang patologi birokrasi di Indonesia sehingga jika tidak segera diselesaikan akan melahirkan kebangkrutan birokrasi. Tantangan Reformasi birokrasi adalah politik pragmatis saat ini yang kental dipraktikkan oleh para politisi, politik kepentingan melahirkan reformasi birokrasi yang disetting sesuai kepentingan penguasa. Sehingga penting bagi pemerintah untuk melepaskan diri dari politik kepentingan aar agenda reformasi birokrasi berjalan sesuai dengan tujuannya.  
RELASI AKTOR GOVERNANCE DALAM PENANGANAN COVID-19 DI INDONESIA Gaffar, Ummu Habibah; Ulfah, Sri Mujiarti
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 10 No. 2 (2021): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v10i2.3365

Abstract

The second wave of Covid-19 has hit Indonesia in the last few months. This marks a new chapter for the Covid-19 variant in Indonesia, which is indicated by a very high transmission rate. At the same time, the government is trying to take preventive measures to prevent the spread of Covid-19, one of which is a call for a Covid-19 vaccine. In this regard, this article will look at the relationship between governance actors in efforts to prevent Covid-19 in Indonesia, with an emphasis on the involvement of civil society and private actors in handling Covid-19 in Indonesia. By using a qualitative method, this article takes a literature study by comparing the results of observations made by observing the development of Covid-19 and the involvement of various actors, especially in terms of preventing Covid-19 such as vaccination. This article concludes that the spread of Covid-19 is still very high, meanwhile the involvement of actors in handling Covid-19 tends to be limited and closed. The actors involved are mostly dominated by the government, while the private sector and civil society have not been involved much. This article will contribute at least practically, to be discussed further, especially to formulate a scheme for the involvement of other actors outside the government, while still prioritizing the security and welfare of the community.
ANALISIS KINERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL PP) DALAM PENATAAN PEDAGANG KREATIF LAPANGAN (PKL) DI KOTA PALANGKA RAYA (Studi Pedagang Kreatif Lapangan di Jalan Yos Sudarso Kota Palangka Raya) Rivaldo, Ferdy; Mujiarti Ulfah, Sri; Suprayitno
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 10 No. 2 (2021): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v10i2.3367

Abstract

The purpose of this study was to determine how the performance of the Civil Service Police Unit in the arrangement of creative field traders in Palangka Raya City. To find out what are the factors that affect the performance of the Civil Service Police Unit in structuring creative field traders in Palangka Raya City. The theory used in this study is the theory of organizational performance according to Dwiyanto (2008:50), namely productivity, service quality, responsiveness, responsibility, and accountability. The research method used is qualitative research. After the data is collected, it is reduced and presented, and after that a temporary conclusion is drawn about the data relating to the problems being researched and analyzed after that only the final conclusion is drawn. The performance of the Civil Service Police Unit in the Arrangement of Creative Field Traders in Palangka Raya City has been well implemented, it can be seen from the productivity, service quality, responsiveness, responsibility, and accountability. Human resources, infrastructure, and budget are factors that affect the performance of the Civil Service Police Unit in the Arrangement of Creative Field Traders in Palangka Raya City.
Implementasi kebijakan model kerjasama pendidikan kesetaraan dalam meningkatkan pembangunan sumber daya manusia Syamsuri Syamsuri; Sri Mujiarti Ulfah
Iapa Proceedings Conference 2018: Proceedings IAPA Annual Conference
Publisher : Indonesian Association for Public Administration (IAPA)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30589/proceedings.2018.202

Abstract

Constitutional had been mandated in which every citizen had the right to get education and the state had the obligation to provide the facilities for each citizens who wished to enhance their education with the hope that there were not any children who would not go to school and dropped out. However, based on BPS data of Palangka Raya city, there were 0.36% or 936 people in Palangka Raya city dropped out. Because of that, Palangka Raya City Government through the Department of Education and Culture established a partnership with the PKBM Lutfillah Foundation to carry out an Equivalence Education program for people who dropped out. The purpose of this paper was to analyze the policy implementation for Enhancing Equivalence Education Cooperation Model in Palangka Raya city. This research method was carried out with a descriptive qualitative approach, data collection was carried out through observation, interviews and documents and also the analysis technique was with the interactive analysis model. The result of the reseach indicated that the cooperation model which was carried out for conducting socialization, implementing learning and conducting examinations. The government, the policy-maker, provided the budget and set the time for conducting the exam while the Luthfillah Foundation provided the facilities for the place of learning implementation and facilities for conducting examinations and socialization.
Pemberdayaan Perempuan dalam Proses Pembuatan Black Garlic menuju Masyarakat Mandiri di Era Ekonomi Industri 4.0 Sri Mujiarti Ulfah; Solikah Nurwati; Suprayitno Suprayitno
PengabdianMu: Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat Vol 5 No 3 (2020): PengabdianMu: Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat
Publisher : Institute for Research and Community Services Universitas Muhammadiyah Palangkaraya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (221.595 KB) | DOI: 10.33084/pengabdianmu.v5i3.1125

Abstract

Kahayan Market in Palangka Raya is more famous as a market for herbal medicines. The benefits of single black garlic are familiar, but for the people of the city of Palangka Raya, the single black garlic is still unfamiliar. Black garlic is known to have higher anticancer content than ordinary garlic, as well as anti-bacterial activity. The many properties possessed by black garlic, provide space for people to consume herbal medicines as well as considerable opportunities to become businesses. Seeing the high enthusiasm of the participants involved in the training activities of making black garlic it can be concluded that the training participants were greatly helped by the existence of this training. Participants can absorb training material and immediately practice making black garlic well. After the training activity, the participants were able to make quality products in the form of black garlic. With the high response from the participants and also the products produced, it can be concluded that the training activities for making black garlic were successfully carried out well. The suggestion of this activity is the need for ongoing monitoring related to the manufacture of Black Garlic going forward, it is necessary to increase the spread of market share targets to increase product sales, as well as the need for broader cross-sector collaboration to increase the productivity of black garlic going forward
Implementasi Program Keluarga Harapan Sri Mujiarti Ulfah; Puput Ratnasari
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 4 No. 1 (2015): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v4i1.380

Abstract

Program Keluarga Harapan merupakan program yang diadopsi pemerintah dari negara-negara Amerika Latin yang terlebih dahulu telah menjalankan program ini. Sasaran Program ini adalah keluarga sangat miskin dengan pertimbangan bahwa keluarga adalah satu unit yang relevan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Orang tua mempunyai tanggungjawab terhadap pendidikan, kesehatan, kesejahtaraan, dan masa depan anak. Oleh karenanya, keluarga adalah unit yang relevan dalam upaya memutus rantai kemiskinan antargenerasi. Teori Kebijakan Publik yang digunakan adalah teori implementasi implementasi kebijakan dengan pendekatan top-down. yang dirumuskan oleh Donald Van metter dan Carl Van Horn disebut dengan A model of the policyimplementation. Pendekatan penelitian dengan menggunakan model penelitian kualitatif, wawancara mendalam dengan key informan (informan Kunci), pejabat di tingkat Kecamatan Sebangau dan beberapa Kelurahan dan pendamping di kecamatan Sebangau. selain itu, wawancara juga dilakukan kepada masyarakat penerima sasaran dan masyarakat yang tidak mendapatkan bantuanPKH. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa masih terdapat ketidaktepatan sasaran, dimana keluarga yang cukup mapan bisa menerima program ini sedangkan yang sangat miskin tidak mendapatkan program ini. Selain itu, permasalahan standar miskin yang dgunakan BPS juga menjadimasalah.
AGENDA REFORMASI BIROKRASI UNTUK MEMBEBASKAN BUDAYA PUNGUTAN LIAR Sri Mujiarti Ulfah
Journal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan Vol. 6 No. 2 (2017): JISPAR
Publisher : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37304/jispar.v6i2.413

Abstract

Pungutan liar merupakan budaya buruk namun telah lama ada dan tetap dipraktikkan meskipun agenda reformasi birokrasi merupakan program prioritas pemerintah pasca orde baru. Praktik pungutan liar ini menambah daftar panjang patologi birokrasi di Indonesia sehingga jika tidak segera diselesaikan akan melahirkan kebangkrutan birokrasi. Tantangan Reformasi birokrasi adalah politik pragmatis saat ini yang kental dipraktikkan oleh para politisi, politik kepentingan melahirkan reformasi birokrasi yang disetting sesuai kepentingan penguasa. Sehingga penting bagi pemerintah untuk melepaskan diri dari politik kepentingan aar agenda reformasi birokrasi berjalan sesuai dengan tujuannya.