Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

MODAL SOSIAL KAJIAN TENTANG TATA KELOLA PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA MELALUI GEMOHING DI KECAMATAN WITIHAMA - KABUPATEN FLORES TIMUR Frans Bapa Tokan
JOURNAL OF GOVERNMENT (Kajian Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah) Vol 1, No 2 (2016): JOURNAL OF GOVERNMENT (Kajian Manajemen Pemerintahan dan Otonomi Daerah)
Publisher : rogram Studi Ilmu Pemeritahan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (318.859 KB)

Abstract

ABSTRACT The phenomenon of the collapse of social capital, such as the tradition of mutual cooperation and self-sufficient or by the villagers in the district called Gemohing Witihama increasingly felt in the social life of the village, amid strong grip of modernization and globalization. Social capital as collective power of rural communities that have long been rooted in people's lives, is actually the ancestral cultural heritage in managing the important pillars of social cohesion and community development should be a castle guard of civilization. Therefore the main issue to be examined is how the tradition of gemohing highlighted from the perspective of social capital in support of rural development. This study is expected to more comprehensively describe the key role assumed by gemohing as social capital in supporting the process of rural development. The study results demonstrate that social capital has been the collective strength of the governance of rural development increasingly shifted due to the presence of new social institutions formed by the State and a number of policies that it has ignored the main role of gemohing. Despite this collective power that can still be presented again given the still dominant cultural traditions and kinship ties are still inherent in social life, especially in the face of socio-cultural events as well as cooperation for the benefit of rural development. Thus concluded that gemohing can still be used as the basis of social energy boosters that are beneficial for development and also an antidote to the negative effects of globalization. Hence a number of important aspects of gemohing as social capital such as trust, social networks and collective action remains a core strength togetherness strengthen and reinforce cooperation in order to garner a solid face various problems and challenges of rural development. That means gemohing must be preserved and treated as an integrating force for the development of society in all its aspects. And therefore should be given a proper place by the village government in all dimensions of development. Keywors: Social Capital , Gemohing and Rural Community Development ABSTRAK Fenomena runtuhnya modal sosial masyarakat, seperti tradisi bergotong royong dan berswadaya atau oleh masyarakat desa di Kecamatan Witihama disebut Gemohing kian terasa dalam kehidupan sosial desa, di tengah kuatnya cengkraman modernisasi dan globalisasi. Modal sosial sebagai kekuatan kolektif masyarakat desa yang telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat, sejatinya merupakan warisan budaya leluhur  dalam mengelola kohesi sosial dan pilar penting pembangunan masyarakat yang mestinya menjadi  benteng penjaga peradaban. Karena itu persoalan utama yang hendak dikaji adalah bagaimanakah tradisi gemohing disorot dari sudut pandang modal sosial  dalam mendukung pembangunan masyarakat desa. Kajian ini diharapkan  mendeskripsikan secara lebih komprehensif peran kunci yang diemban oleh gemohing sebagai modal sosial dalam mendukung proses pembangunan  masyarakat desa. Hasil kajian membuktikan bahwa modal sosial yang selama ini menjadi kekuatan kolektif bagi tata kelola pembangunan masyarakat desa kian mengalami pergeseran akibat hadirnya lembaga-lembaga sosial baru bentukan Negara dan sejumlah kebijakannya  yang justru telah mengabaikan peran utama dari gemohing. Meskipun demikian kekuatan kolektif itu masih dapat dihadirkan kembali mengingat masih dominannya tradisi kultural dan ikatan kekerabatan yang masih melekat dalam kehidupan sosial terutama dalam menghadapi peristiwa sosial budaya maupun kerjasama untuk kepentingan pembangunan  masyarakat desa. Dengan demikian disimpulkan bahwa gemohing masih dapat dijadikan sebagai basis   penguat energi sosial masyarakat yang bermanfaat bagi pembangunan  dan sekaligus  penangkal ekses negatif dari globalisasi. Karena itu sejumlah aspek penting dari gemohing sebagai modal sosial seperti kepercayaan, jaringan sosial dan tindakan kolektif masih tetap menjadi kekuatan inti mempererat dan memperteguh kebersamaan guna menggalang kerjasama yang solid menghadapi berbagai problem dan tantangan pembangunan  desa. Itu berarti gemohing harus dijaga dan dirawat sebagai kekuatan pengintegrasi masyarakat untuk pembangunan di segala aspeknya. Dan karena itu harus diberi tempat semestinya oleh pemerintah desa dalam seluruh dimensi pembangunan.   Kata-kata Kunci :  Modal Sosial, Gemohing dan Pembangunan Masyarakat Desa
Analisis perilaku memilih pada Pilkada Kota Kupang Tahun 2017 Frans Bapa Tokan
JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Sarjana (S1) Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (440.612 KB) | DOI: 10.14710/jiip.v4i1.4749

Abstract

Tulisan ini mengajukan pertanyaan utama apakah perilaku memilih warga Kota Kupang 2017 dipengaruhi oleh faktor sosiologis atau psikologis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif dengan teknik multistage random sampling. Hasilnya ditemukan bahwa perilaku memilih warga Kota Kupang mayoritas cenderung  berkarakter sosiologis, yakni sebesar 63,50%, dengan sebaran dari akumulasi dua pasang calon atas nama Yonas Salean dan Niko Frans (disingkat Sahabat) sebesar 31%  dan Jefri Riwu Kore dan Herman Man (disingkat FirmanMu) sebesar 32,50%. Sedangkan  untuk alasan psikologis jauh lebih kecil, yakni hanya 21% dari akumulasi dua pasang paket calon atas nama Sahabat sebesar 12% dan FirmanMu sebesar 9%. Sedangkan sebagian lainnya memilih calon atas pertimbangan pragmatis yaitu sebesar 15,50% karena diberi bantuan barang atau uang menjelang hari pencoblosan. Jadi disimpulkan bahwa faktor sosiologis perilaku pemilih warga Kota Kupang lebih dominan dalam menentukan pilihan calon kepala daerahnya.
PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN (Studi tentang Relasi Kuasa dan Akses Perempuan dalam Pembangunan Desa di Desa Watoone - Kabupaten Flores Timur) Frans Bapa Tokan; Apolonaris Gai
Jurnal Caraka Prabu Vol 4 No 2 (2020): Jurnal Caraka Prabu
Publisher : Universitas Jenderal Ahmad Yani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36859/jcp.v4i2.298

Abstract

A participatory and sustainable village development process should actively involve women so that their essential interests can be realized in gender responsive village planning and budgeting and gender budgeting. Consciously, women and girls in supporting village development are quite high. However, qualitatively, village women are less capable and brave enough to convey ideas and criticism in village deliberation forums. The power relations and women's access to village resources are still limited due to the strong authoritarian-faced village oligarchy regime. The presence of authoritarian power relations is also perpetuated by the culture and low levels of education and the experiences of village women. Thus strengthening the capacity of individuals or groups to improve education and skills in various fields is a necessity.
VILLAGE GOVERNMENTS CAPACITY CHALLENGES FACING HINDRANCES TO IMPLEMENTATION OF THE RECOGNITION PRINCIPLE IN KOLILANANG VILLAGE, EAST FLORES DISTRICT IN 2022 Frans Bapa Tokan; Yohana Fransiska Medho; Yosef Dionisius Lamawuran; Marianus Kleden; Kristianus Molan; Veronika Ina Asa Boro
GOVERNABILITAS (Jurnal Ilmu Pemerintahan Semesta) Vol 4 No 1 (2023): Government, Planning and Development
Publisher : Program Studi Ilmu Pemerintahan - Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa "APMD"

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47431/governabilitas.v4i1.258

Abstract

The principle of recognition not only corroborates and develops the unique tradition of running the village, but also reinvigorates the village to make innovations and rearrangements of its administration based on autochthonous autonomy and decentralization-based local government. This research aims to explore the capacity of village administration to implement the principle of recognition and to reveal impediments being faced, also to contribute to strengthening local capacity for solving community problems. The methods used in this research are qualitative and descriptive where data were collected through in-depth interviews and observations. The result shows that the village administration and the village consultative body both collectively and individually lack the capacity to implement the recognition principles. The inability to implement the recognition principle is caused by poor human resources of both the village administration personnel and the village consultative body. Consequently, there are no creative ideas set forth by the village administration or by the village consultative body as well as by the villagers as a whole to formulate innovative development programs or culture-based village regulations. Therefore, we need to implement capacity-building programs through training, technical assistance, socialization of regulations and well-scheduled sustainable apprenticeship in order for the village administration to design innovative development programs in accordance with the local needs and uniqueness of the village.
Pelatihan tentang Proses Pendirian dan Penentuan Jenis Usaha Bumdes di Desa Watoone-Kecamatan Witihama Kabupaten Flores Timur Frans Bapa Tokan; Yohana Fransiska Medho; Yosef Dionisius Lamawuran; Yohanes Kornelius Ethelbert
Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat Vol 8 No 4 (2023): Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat
Publisher : Universitas Mathla'ul Anwar Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30653/jppm.v8i4.530

Abstract

Sejak UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa ditetapkan, pemerintah pusat secara masif mempromosikan pendirian Bumdes sebagai kekuatan ekonomi desa. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan lembaga hukum dan usaha desa yang dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat dan potensi desa. Bumdes bukanlah semata-mata mencari profit tetapi juga memberi manfaat sosial dan non ekonomi lain. Melalui Bumdes, peran para tengkulak yang seringkali merugikan petani di desa dan penyebab meningkatknya biaya transaksi antara harga produk dari produsen kepada konsumen akhir bisa dikendalikan. Meskipun Bumdes penting bagi desa Watoone, akan tetapi pemerintah desa dan BPD enggan dan ragu mendirikan Bumdes, karena minimnya pengetahuan dan pengalaman tentang proses pendirian Bumdes. Karena itu kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini bertujuan meningkatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang berharga bagi pemerintah dan BPD dalam menggali dan mengelola potensi unggulan desa melalui pendirian BUMDes dan pengembangan program inovatif lainnya. Dengan demikian kegiatan pengabdian secara mendasar berkontribusi nyata pada penguatan kapasitan Pemerintahn desa, BPD dan para tokoh masyarakat untuk mendirikan Bumdes agar kelak dapat memberikan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan asli desa dan kesejahteraan hidup masyarakat desa. Since Law No. 6 of 2014 cosncerning Villages was enacted, the central government massively promoted the establishment of Bumdes as a village economic power. Bumdes are legal institutions and village businesses formed based on community needs and village potential. Bumdes are not solely looking for profit but also provide other social and non-economic benefits. Through Bumdes, the role of middlemen who often harm farmers in villages and the cause of increasing transaction costs between product prices from producers to final consumers can be controlled. Even though Bumdes are important for Watoone village, the village government and BPD are reluctant and hesitant to establish Bumdes, due to lack of knowledge and experience regarding the process of establishing Bumdes. Therefore this community service activity aims to increase valuable knowledge and learning experiences for the government and BPD in exploring and managing village superior potential through the establishment of BUMDes and the development of other innovative programs. Thus service activities fundamentally contribute significantly to strengthening the capacity of the village government, BPD and community leaders to establish Bumdes so that in the future they can provide added value for increasing village original income and the welfare of village communities.
Peran Pemerintah Desa dalam Pemberdayaan Kelompok Tani di Desa Putun Kecamatan Nunkolo Kabupaten Timor Tengah Selatan Dedi Yohanis Otu; Frans Bapa Tokan
Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Hummaniora Vol 8, No 1 (2024): Februari
Publisher : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31604/jim.v8i1.2024.239-246

Abstract

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang dilakukan pemerintah desa untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat atau memampukan dan memandirikan masyarakat. Dengan adanya pemberdayaaan kelompok tani yang dikembangkan oleh pemerintah sebagai alat pembangunan adalah untuk memanfaatkan secara lebih optimal semua daya yang tersedia serta meningkatkan taraf hidup masyarakat. Tujuan dari penelitian ini yaitu Untuk mendeskripsikan dan menganalisis Peran Pemerintah Desa Dalam Pemberdayaan Kelompok Tani (Poktan) Di Desa Putun Kecamatan Nunkolo Kabupaten Timor Tengah Selatan.Maka analisis data dalam penelitian ini berdasarkan 3 (Tiga) Peran Pemerintah Desa Dalam Pemberdayaan kelompok tani, Kemudahan dalam akses permodalan, Bantuan pembangunan Sarana Prasarana, Pengembangan Usaha, Pemasaran dan Kemitraan Usaha.Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pemerintah desa dalam pemberdayaan kelompok tani di desa Putun belum terlaksana secara optimal dikarenakan kurangnya perhatian oleh pemerintah terhadap kelompok tani, kurangnya keaktifan dan keterlibatan pemerintah secara langsung untuk melihat kendala yang dialami oleh para kelompok tani, baik secara modal, maupun sarana dan prasarana pertanian serta pembagian bantuan yang belum merata bagi kelompok tani.